Penyusun:
20/458573/FI/04809
PROGRAM SARJANA
FAKULTAS FILSAFAT
YOGYAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
Tiada yang lebih baik daripada Sang Pembuat Kebaikan. Segala puji bagi Tuhan
yang Maha Esa, yang telah melimpahkan segala rahmat dalam bentuk apapun baik yang
sekecil debu hingga yang tidak dapat diukur kuantitas maupun kualitasnya. Sampai pada
detik hembus napas ini, sungguh mutlak wajib disyukuri atas segala pemberian-Nya
sehingga penulisan makalah sebagai salah satu penugasan mata kuliah Filsafat Pancasila
ini dapat tersusun sedemikian rupa.
Panjang umur bagi hal-hal baik yang menuntun zaman gelap menuju zaman yang
terang benderang. Tanpa jasa semesta kebaikan, tidaklah mungkin kausalitas yang
terwujud di alam seantero dunia pun terdapat di dalam tulisan ini. Masih banyak sekali
kekurangan yang memerlukan kritik dan saran sebagai bentuk relasi melingkar untuk
menyempurnakan konsepsikonsepsi tertulis di makalah ini.
SAMPUL
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
BAB III
BAB IV
ANALISIS .................................................................................................................
BAB V
PENUTUP ................................................................................................................
PENDAHULUAN
OBJEK MATERIAL
Secara etimologis, krisis berasal dari bahasa Yunani κρίσις – krisis, dalam bentuk
kata sifat menjadi “kritis,” adalah setiap peristiwa yang sedang terjadi mengarah pada
situasi tidak stabil dan berbahaya yang memengaruhi individu, kelompok, komunitas, atau
seluruh masyarakat. Krisis dianggap membawa perubahan negatif dalam urusan keamanan,
sosial, atau lingkungan, tetika krisis terjadi tiba-tiba, dengan sedikit atau tanpa peringatan.
Lebih jauh, krisis adalah istilah yang berarti “waktu pengujian” atau “peristiwa darurat.”
Religiusitas, berasal dari kata religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio
(Latin) dan ad-dien (Arab). Menurut Drikarya (dalam Widiyanta 2005: 80) kata “religi”
berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya religare yang berarti mengikat.
Kemudian demikian secara etimologi, religiusitas merupakan suatu jalur atau laju suatu
persona atau kelompok yang mewajibkan untuk dilalui guna mencapai tujuan akhir
berbentuk ikatan kepada Tuhan, alam atau sesama manusia. Hawari (dalam Ancok, 1995:
76) menyatakan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan atau kedalaman
kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa dan
membaca kitab suci.
Berdasarkan uraian dari dua kata yang membentuk frasa “krisis religiusitas” di atas,
dengan demikian dapat disimpulkan, krisis religiusitas adalah kondisi darurat atau
kekurangan, atau minimal, pada jalur atau laju yang wajib dilaksanakan untuk menempuh
tujuan akhir kepada proses mengenal tuhan. Di era globalisasi sebagai akibat hidupnya
peradaban kembang-tumbuh iktelektual manusia, pengetahuan manusia akan kuasa tuhan
semakin tergeser oleh nuansa keilmuan yang lebih menarik manusia untuk turut andil
dalam proses persejarahannya. Karena berkembangnya keilmuan yang tak terbatas jumlah
kemunculannya seperti ekonomi, sosial, free-willness, dan lain sebagainya, akibat yang
dimunculkan yaitu berhasilnya sistem kapitalisme keilmuan terhadap tatanan masyarakat.
Hal ini membuka kemungkinan terciptanya masyarakat yang hedonis, egois, over-skeptis,
bahkan anti-tuhan.
Kerap disebut ekuivalen antara religi dengan agama, religius misalnya, dalam
perbincangan masyarakat, religius disamaartikan dengan agamis. Sedangkan Ansori
(dalam Ghufron, 2010: 167) membedakan istilah religi atau agama dengan religiusitas.
Agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan urutan dan kewajiban,
kemudian religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati dalam hati.
Nasution (1986: 57) menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan yang harus
dipegang dan dipatuhi manusia. Maksud ikatan tersebut yaitu berasal dari salah satu
kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat
ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
kehidupan manusia sehari-hari. Menurut Glock & Strak (dalam Ancok & Suroso 1995: 76)
agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang
terlambangkan yang semuanya itu berpusat pada persoalan persoalan yang dihayati sebagai
yang paling maknawi (ultimate meaning).
BAB III
OBJEK FORMAL
ANALISIS
Meningkat lagi menuju hal-hal yang terjadi di Indonesia, berbagai aksi besar yang
menggegerkan media massa, seperti Bom Bali I yang terjadi pada 2002, pengeboman di
tempat ibadah seperti di Gereja Katredal Makassar, bom bunuh diri di Gereja Santa Maria
Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pantekosta yang terjadi di Surabaya pada 2018.
Secara gamblang pelaku aksi pengeboman dan kerusuhan tersebut menunjukkan
ketidakadilan terhadap cara manusia lain meng-esa-kan Tuhannya. Menganggu golongan
lain yang sama-sama bertuhan adalah bukti bahwa masih sangat banyak manusia Indonesia
yang belum mengerti tentang ketuhanan atau religiusitas yang dikandung dalam sila
pertama Pancasila.
Layaknya dalam ajaran keagamaan Islam yang memposisikan kitab suci Alquran
sebagai pedoman dalam berkehidupan, Presiden ke-4 Republik Indonesia dalam syi’ir
tanpo waton-nya menyebutkan:
Di dalam syi’ir tersbut, Gus Dur menginterpretasikan suatu sumber iktibar bagi
umat manusia yang beragama Islam tentang kemunculan wahyu atau sabda-Nya yang
selalu diturunkan-Nya, bukan semata yang tertulis secara tekstual saja, melainkan kitab
suci tersebut jelaslah ada dan melekat pada lingkungan masyarakat Islam di dunia ini.
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila bukanlah
Ketuhanan Yang Maha Eka atau Yang Maha Tunggal. Universalitas sebagai bentuk
sifat menyeluruh haruslah menjadi konsep radikal dalam sikap religiusitas
masyarakat Indonesia untuk menghadapi kebhinekaan yang ada. Hal ini
dikarenakan Indonesia merupakan negara yang plural masyarakatnya, polietnik.
Krisis religiusitas masyarakat Indonesia haruslah diperbaiki untuk mencegah
adanya penyimpangan terhadap sila pertama Pancasila yang menjadi jiwa utama
keempat sila lainnya. Pendekatan yang diperlukan untuk mencapai peningkatan
religiusitas ini bukan lain adalah melalui pembelajaran, entah terhadap keagamaan,
sosial, politik, ataupun fokus keilmuan yang lain. Pendidikan Pancasila sejak dini
juga merupakan salah satu solusi atas miss-impression pada masyarakat Indonesia.
Esa yang dimuat pada sila pertama Indonesia merupakan pembahasan
universalitas atas keberadaan Tuhan, bukan atas jumlah numeral. Diskriminasi
adalah penyimpangan fatal atas hal tersebut. Telah dicontohkan oleh dunia
kehidupan Indonesia bahwa krisis religiusitas dan pengetahuan Pancasila sangatlah
menjadi pengaruh yang besar dalam fenomena kriminal sebagai bentuk
penyimpangan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Diungkapkan oleh Notonagoro (1984: 61 dan 1975: 52, 57) bahwa hakikat
adanya Tuhan ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima. Oleh karena
itu segala sesuatu yang ada merupakan akibat sebagai adanya tuhan (sila pertama).
Adapun manusia sebagai subjek ciptaan manusia pendukung pokok negara, karena
negara adalah lambang kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup
bersama yang anggotanya adalah manusia (sila kedua). Dengan demikian, negara
adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (sila ketiga). Selanjutnya
terbentuklah persekutuan hidup yang dinamakan rakyat. Rakyat merupakan
totalitas Individu-individu dalam negara yang bersatu (sila keempat). Adapun
keadilan yang pada hakikatnya merupakan tujuan bersama atau keadilan sosial (sila
kelima) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut
negara.
2. Saran
Pepatah mengatakan: “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”. Alangkah
wajib dan sangat direkomendasikan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk terus
belajar dan mengkaji segala objek kajian yang ada, terutama Pancasila dan religi
yang menjadi identitas negara Indonesia.
Manusia adalah makhluk sosial, sedangkan masyarakat Indonesia bukan
hanya makhluk sosial semata, melainkan juga makhluk sosial yang berketuhanan
Yang Maha Esa. Maka akan sangat terdukung apabila masyarakat Indonesia
menguasai dengan mantap mengenai pengetahuan religi dan Pancasila sehingga
tindak kriminalitas atau aktivitas yang menyimpang dari sila-sila Pancasila dapat
terkekang.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syaiful. “Nilai Pancasila dan Kontradiksi Sosialnya.” 2016. Jakarta: Gramedia.
Saragih, E. S. “Analisis dan makna teologi ketuhanan yang maha esa dalam konteks
pluralisme agama di Indonesia.” Jurnal Teologi Cultivation, vol. 2, no. 1, 2018,
pp. 1-14.
Soekarno. “Pidato Lisan Bung Karno.” 1953. Jajasan Penerbitan Djiwa Baru: Jogjakarta.
Wiyono, S., Samho, B., Pangalila, T., & Pasandaran, S. (2019). Kajian Nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa untuk Mengembangkan Karakter Anti Korupsi. Jurnal Civic
Education: Media Kajian Pancasila dan Kewarganegaraan, 3(2), 15-21.
Kemenkumham. “Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 24 Tahun 2016 tentang Hari
Lahir Pancasila.” 2016. Diakses pada 11 Desember 2022. Berita Biro Humas,
Hukum dan Kejasama https://www.kemenkumham.go.id/berita-
utama/peringati-hari-lahir-pancasila-dengan-perkokoh-persatuan.