Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FILSAFAT PANCASILA II

IMPLEMENTASI DAN RELASI SILA PERTAMA PANCASILA SEBAGAI


RESPONSIBILITAS ATAS KRISIS RELIGIUSITAS MASYARAKAT

Dosen pengampu: Dr. Ahmad Zubaidi, M. Si.

Penyusun:

Nahidl Iqbalul Anam

20/458573/FI/04809

PROGRAM SARJANA

PROGRAM STUDI FILSAFAT

FAKULTAS FILSAFAT

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Tiada yang lebih baik daripada Sang Pembuat Kebaikan. Segala puji bagi Tuhan
yang Maha Esa, yang telah melimpahkan segala rahmat dalam bentuk apapun baik yang
sekecil debu hingga yang tidak dapat diukur kuantitas maupun kualitasnya. Sampai pada
detik hembus napas ini, sungguh mutlak wajib disyukuri atas segala pemberian-Nya
sehingga penulisan makalah sebagai salah satu penugasan mata kuliah Filsafat Pancasila
ini dapat tersusun sedemikian rupa.

Panjang umur bagi hal-hal baik yang menuntun zaman gelap menuju zaman yang
terang benderang. Tanpa jasa semesta kebaikan, tidaklah mungkin kausalitas yang
terwujud di alam seantero dunia pun terdapat di dalam tulisan ini. Masih banyak sekali
kekurangan yang memerlukan kritik dan saran sebagai bentuk relasi melingkar untuk
menyempurnakan konsepsikonsepsi tertulis di makalah ini.

Meninjau fenomena sosiokultural di seluruh belahan dunia, salah satunya yaitu


Indonesia dengan ideologi bangsa berupa Pancasila, banyak sekali penyelewengan
implementasi nilai dari sila pertamanya yang semestinya dijadikan sebagai landasan pokok
dalam kebertuhanan dan ke-beragama-an masyarakat Indonesia. Dengan demikian kondisi
yang ada, makalah ini akan mencoba menyangkutpautkan aksioma-aksioma, berbagai
acuan filosofis lain, dan pemikiran filosofis tokoh filsafat Indonesia terhadap sila pertama
Pancasila dengan beberapa kasus yang terjadi.

Pengharapan sebagai bentuk kerendahan hati manusia dalam berhubungan dengan


semesta: semoga tulisan ini termasuk ke dalam lingkup kemanfaatan demi terwujudnya
keutamaan dalam masyarakat Indonesia yang berketuhanan dengan dasar ideologi
Pancasila.
DAFTAR ISI

SAMPUL

KATA PENGANTAR ...............................................................................................

DAFTAR ISI ............................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Msalah .................................................................................

1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................

1.3. Tujuan ...........................................................................................................

BAB II

OBJEK MATERIAL .................................................................................................

BAB III

OBJEK FORMAL .....................................................................................................

BAB IV

ANALISIS .................................................................................................................

BAB V

PENUTUP ................................................................................................................

5.1. KESIMPULAN ............................................................................................

5.2. SARAN .........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Telah banyak sekali sikap dalam bentuk perkataan, perbuatan, baik batin dan
lahir yang apabila ditelusuri lebih lanjut dapat dikategorikan ke dalam sebuah
penyimpangan terhadap ungkapan “Yang Maha Esa” dalam sila Pertama Pancasila.
Banyak pula kejadian fatal yang disebabkan oleh sikap tersebut entah itu dari alam,
maupun dari subjek lain yang menjadi perlawanan terhadap sikap tersebut. Bahkan
anak kecil pun, seharusnya sejak dini dibiasakan untuk menghindari tindak yang
bertentangan dengan konsep keesaan Tuhan.
Hal yang telah disebutkan dapat terjadi dikarenakan adanya krisis pengetahuan
baik itu pengetahuan a priori maupun a posteriori tentang ilmu-ilmu yang secara
kontinu menghubungkan kepada pengetahuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
termasuk ilmu keagamaan yang secara filsafati bukan hanya ibadah yang merupakan
bentuk rutinitas suatu agama.
Makalah ini akan mencoba mengantarkan isi pokok atau fokus pembahasan
melalui pendekatan religi dari agama islam yang kemudian dikaitkan dan
ditransformasikan ke dalam konsep-konsep lain.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan krisis religiusitas?
2. Bagaimana akibat yang mungkin terjadi atas krisis religiusitas?
3. Apa nilai yang dimuat dalam sila pertama Pancasila?
4. Apa yang dimaksudkan dengan “Yang Maha Esa” dalam sila pertama
Pancasila?
5. Apa yang mempengaruhi keteledoran terhadap pengetahuan berketuhanan?
1.3. Tujuan
Makalah ini ditujukan untuk memicu pengetahuan pembaca dalam ranah ilmu
agama, sosial, hukum, dan ilmu lainnya sehingga dapat membentuk cikal penerus
peradaban Indonesia yang Pancasilais, beragama, berketuhanan, dan bersosial lebih
baik dari generasi sebelumnya. Di sisi lain, diharapkan makalah ini dapat menjadi
penggerak bagi penggiat tulisan lain untuk ikut merintis pemikirannya tentang
Pancasila, agama, maupun kebermasyarakatan di Indonesia.
BAB II

OBJEK MATERIAL

Secara etimologis, krisis berasal dari bahasa Yunani κρίσις – krisis, dalam bentuk
kata sifat menjadi “kritis,” adalah setiap peristiwa yang sedang terjadi mengarah pada
situasi tidak stabil dan berbahaya yang memengaruhi individu, kelompok, komunitas, atau
seluruh masyarakat. Krisis dianggap membawa perubahan negatif dalam urusan keamanan,
sosial, atau lingkungan, tetika krisis terjadi tiba-tiba, dengan sedikit atau tanpa peringatan.
Lebih jauh, krisis adalah istilah yang berarti “waktu pengujian” atau “peristiwa darurat.”

Religiusitas, berasal dari kata religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio
(Latin) dan ad-dien (Arab). Menurut Drikarya (dalam Widiyanta 2005: 80) kata “religi”
berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya religare yang berarti mengikat.
Kemudian demikian secara etimologi, religiusitas merupakan suatu jalur atau laju suatu
persona atau kelompok yang mewajibkan untuk dilalui guna mencapai tujuan akhir
berbentuk ikatan kepada Tuhan, alam atau sesama manusia. Hawari (dalam Ancok, 1995:
76) menyatakan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan atau kedalaman
kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa dan
membaca kitab suci.

Berdasarkan uraian dari dua kata yang membentuk frasa “krisis religiusitas” di atas,
dengan demikian dapat disimpulkan, krisis religiusitas adalah kondisi darurat atau
kekurangan, atau minimal, pada jalur atau laju yang wajib dilaksanakan untuk menempuh
tujuan akhir kepada proses mengenal tuhan. Di era globalisasi sebagai akibat hidupnya
peradaban kembang-tumbuh iktelektual manusia, pengetahuan manusia akan kuasa tuhan
semakin tergeser oleh nuansa keilmuan yang lebih menarik manusia untuk turut andil
dalam proses persejarahannya. Karena berkembangnya keilmuan yang tak terbatas jumlah
kemunculannya seperti ekonomi, sosial, free-willness, dan lain sebagainya, akibat yang
dimunculkan yaitu berhasilnya sistem kapitalisme keilmuan terhadap tatanan masyarakat.
Hal ini membuka kemungkinan terciptanya masyarakat yang hedonis, egois, over-skeptis,
bahkan anti-tuhan.

Kerap disebut ekuivalen antara religi dengan agama, religius misalnya, dalam
perbincangan masyarakat, religius disamaartikan dengan agamis. Sedangkan Ansori
(dalam Ghufron, 2010: 167) membedakan istilah religi atau agama dengan religiusitas.
Agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan urutan dan kewajiban,
kemudian religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati dalam hati.

Nasution (1986: 57) menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan yang harus
dipegang dan dipatuhi manusia. Maksud ikatan tersebut yaitu berasal dari salah satu
kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat
ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
kehidupan manusia sehari-hari. Menurut Glock & Strak (dalam Ancok & Suroso 1995: 76)
agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang
terlambangkan yang semuanya itu berpusat pada persoalan persoalan yang dihayati sebagai
yang paling maknawi (ultimate meaning).
BAB III

OBJEK FORMAL

3.1. Pengertian nilai


Nilai adalah alat yang menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan
atau keadaan akhir tertentu yang lebih disukai secara sosial dibandingkan cara
pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai memuat elemen
pertimbangan yang membawa ide-ide seorang individu mengenai hal-hal yang
benar, baik, atau diinginkan. Nilai dianut banyak orang dalam masyarakat sebagai
sesuatu yang benar, pantas, luhur dan baik untuk dilakukan.
3.2. Pancasila
Pancasila merupakan frasa atau ungkapan yang berasal dari bahasa
Sanskerta/Pali, terbentuk dari dua kata yaitu panca yang artinya lima dan sila dan
sila yang dimakai kemoralan. Sejarah mengatakan bahwa istilah pancasila ini
diprakarsai oleh Dr. (H.C.) Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945. Dasar pemikiran Ir.
Soekarno dalam mencetuskan istilah ini mengadopsi dari konsep Jawa kuno, yaitu
molimo yang mengajarkan lima moralitas: tidak membunuh makhluk hidup, tidak
berkata dusta, tidak mencuri, tidak berzina, dan tidak minum minuman keras.
Manusia sebagai pendukung pokok sila–sila pancasil secara ontologis
memiliki hal–hal yg mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa jasmani
dan rohani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia
sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk tuhan inilah maka
secara hierarkis sila pertama Tuhan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai
keempat sila-sila pancasila yg lainnya (Notonagoro, 1975:53).
Berikut adalah makna atau isi sila-sila Pancasila menurut Notonagoro:
1. Sila pertama: Tuhan adalah sebagai asal mula segala sesuatu, tuhan
adalah mutlak, sempurna dan kuasa, tidak berubah, tidak terbatas pula
sebagai pengatur tata tertib alam (Notonagoro, 1975:78).
2. Sila kedua: kemanusiaan yang adil dan beradab, negara adalah lembaga
kemanusiaan, yang diadakan oleh manusia (Notonagoro, 1975:55).
3. Sila ketiga: persatuan indonesia. Persatuan adalah sebagai akibat adanya
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, adapun hasil
persatuan adalah rakyat sehingga rakyat adalah merupakan unsur pokok
negara.
4. Sila keempat: pokok sila keempat ialah kerakyatan yaitu kesesuaiannya
dengan hakikat rakyat.
5. Sila kelima: keadilan sosial didasari dan dijiwai oleh sila kedua yaitu
kemanusiaan yang adil dan beradab (Notonagoro, 1975:140,141).
Kembali pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, banyak yang salah
paham dengan arti dari kalimat pada sila pertama ini. Entah itu dari jenjang taman
kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, kebanyakan pemahaman terhadap sila
pertama Pancasila adalah Tuhan Yang Satu, yang jumlahnya satu. Apabila kita
pandang makna atau arti Yang Maha Esa melalui pendekatan bahasa
Sanskerta/Pali, Esa bukan berarti jumlah tunggal yang melekat pada subjek Tuhan.
“Maha” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti mulia atau besar (bukan
dimasudkan ke dalam penegrtian bentuk). Kata “maha” bukan berarti sangat, maka
bukanlah benar apabila seperti Maha Besar diartikan sebagai sangat besar. Itu
adalah salah. Sedangkan “esa”, pun berasal dari bahasa Sanskerta yang bukan
artinya satu atau tunggal dalam jumlah. Esa berasal dari kata “etad” yang lebih
diacukan kepada pengertian eksistensi atau keberadaan mutlak, esa mengacu pada
kata “ini” (this – Inggris). Dalam bahasa Sanskerta yang berjumlah atau yang
diartikan secara jumlah, kata satu adalah eka. Maka jika yang bermakna ketuhanan
yang tunggal atau satu bukanlah menggunakan kata esa, melainkan akan menjadi
Ketuhanan Yang Maha Eka.
Mgr. John Liku Ada’ mengatakan “ketuhanan dalam Pancasila tidak
dijabarkan secara rinci dan sistematis oleh Sukarno dalam risalah-risalah teoritis.”
Ketuhanan dalam Pancasila menjadi faktor transendental, unsur pembentuk ilahi
dari prisnsip kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Dengan
demikian, maka konsep ketuhanan dalam Pancasila bukanlah mengenai teori
ketuhanan, melainkan merupakan bagian hakiki cita-cita atau perjuangan Ir.
Soekarno untuk menyusun atau membentuk Indonseia sebagai suatu bangsa.
Pancasila semestinya menjadi kegiatan kebudayaan, menjadi orientasi
hidup, dan tujuan kehidupan berbangsa. Pada sila pertama Pancasila, didapatkan
suatu klaim bahwa Indonesia adalah negara berketuhanan, bukan dipimpin oleh
satu agama atau golongan tertentu, melainkan suatu entitas representasi nilai dari
keragaman agama. Dapat disimpulkan pula bahwa keragaman agama merupakan
suatu kekuatan bangasa yang terdiri dari ragam etnik masyarakatnya. Maka,
toleransi merupakan otot atau syarat utama dalam membangun kebangsaan
berketuhanan yang adidaya.
BAB IV

ANALISIS

Fakta bahwa kebanyakan atau mayoritas masyarakat Indonesia masih belum


mementingkan makna abstrak umum universal dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tentu
saja sejak lahirnya Pancasila hingga saat ini masih saja terdapat pelanggaran,
penyelewengan, atau penyimpangan terhadap sila pertama ini. Sekecil sikap acuh kepada
anugerah Tuhan saja merupakan suatu bentuk pelanggaran, Tuhan menyampaikan
kesehatan berupa berbagai kemampuan yang sedemikian sempurnanya kepada manusia
tetapi manusia masih saja enggan menyadari dalam keadaan sadarnya untuk
mensyukurinya. Sebagai bentuk terimakasih atas ketidakberdayaanya manusia, hendaknya
mereka menyadari fungsi-fungsi umum dari apa yang Tuhan berikan. Manusia haruslah
kreatif, inovatif, produktif, dan juga sensitif terhadap lingkungannya sebagai simbolisasi
yang sangat mudah yang seharusnya semua orang mampu melakukannya.

Ketika seseorang menganggap ketidakmampuannya karena bodohnya, itu masihlah


normal. Yang terburuk adalah mereka yang tidak menyadari kamampuannya untuk
mempelajari apa yang mereka belum mngerti. Bukanlah hal tersebut merupakan
kesombongan terhadap kuasa Tuhan? Sikap enggan mengeksplorasi diri merupakan suatu
penyimpangan sekan tidak mempercayai kuasa Tuhan sebagai sang Pencipta tiap partikel
yang melekat dalam diri manusia. Maka belum menuju Yang Maha Esa saja sikap ini
sudah menegasikan adanya Tuhan atau dapat dikatakan tidak berketuhanan.

Tuhan menyayangi manusia dan pengetahuan manusia untuk sebuah probabilitas


capaiannya menuju kepada-Nya. Akan tetapi acap kali manusia mengabaikan pekerjaan
Tuhan yang merupakan bentuk suatu kepedulian terhadap makhluk-Nya. Dia menunjukkan
miliaran fenomena terdekat kepada kita, untuk dijadikan cermin, untuk dijadikan suatu
iktibar, perumpamaan atau alat refleksi pribadi agar menjadi titik acuan dan titik tolak
menuju lebih baik. Contoh kecil saja, tiada mungkin Tuhan sia-sia menciptakan spesies
nyamuk, kebanyakan manusia pun menegetahui bahwa Tuhan Maha Adil, ada maksud
dibalik realitas sebagai kenyataan mutlak tentang sebab penciptaan nyamuk. Kawanan
nyamuk ini pun sudah bukan hal yang asing di lingkungan yang tidak bersih. Ketika
banyak orang yang membunuh nyamuk, kemudian mengatakan keburukan nyamuk, tanpa
menyadari bahwa manusia saat itu sedang kotor, sedangkan tempat kotor tentu menjadi
tempat kawasan nyamuk bersuka-ria (meskipun nyamuk tersebut tewas karena
mengganggu manusia).

Meningkat lagi menuju hal-hal yang terjadi di Indonesia, berbagai aksi besar yang
menggegerkan media massa, seperti Bom Bali I yang terjadi pada 2002, pengeboman di
tempat ibadah seperti di Gereja Katredal Makassar, bom bunuh diri di Gereja Santa Maria
Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pantekosta yang terjadi di Surabaya pada 2018.
Secara gamblang pelaku aksi pengeboman dan kerusuhan tersebut menunjukkan
ketidakadilan terhadap cara manusia lain meng-esa-kan Tuhannya. Menganggu golongan
lain yang sama-sama bertuhan adalah bukti bahwa masih sangat banyak manusia Indonesia
yang belum mengerti tentang ketuhanan atau religiusitas yang dikandung dalam sila
pertama Pancasila.

Lantas, sudah semestinya masyarakat Indonesia belajar untuk membuka


kemungkinan kepada dirinya sendiri atas pekerjaan Tuhan di sekelilingnya. Kepekaan atau
sensitifitas manusia haruslah dilatih dalam kehidupan sehingga dapat mengurangi adanya
prasangka buruk terhadap-Nya. Pesimisme dan optimisme yang tidak diseimbangkan
dengan bentuk syukur atas nikmat Tuhan pun justru dapat menjadi cikal bakal dalam
perilaku menyimpang terhadap sila pertama Pancasila ini.

Layaknya dalam ajaran keagamaan Islam yang memposisikan kitab suci Alquran
sebagai pedoman dalam berkehidupan, Presiden ke-4 Republik Indonesia dalam syi’ir
tanpo waton-nya menyebutkan:

Alquran qadim, wahyu minulyo

Tanpo tinulis, biso diwoco

[Alquran qadim, wahyu yang mulia,

Tanpa tertulis, bisa dibaca]

Di dalam syi’ir tersbut, Gus Dur menginterpretasikan suatu sumber iktibar bagi
umat manusia yang beragama Islam tentang kemunculan wahyu atau sabda-Nya yang
selalu diturunkan-Nya, bukan semata yang tertulis secara tekstual saja, melainkan kitab
suci tersebut jelaslah ada dan melekat pada lingkungan masyarakat Islam di dunia ini.
BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila bukanlah
Ketuhanan Yang Maha Eka atau Yang Maha Tunggal. Universalitas sebagai bentuk
sifat menyeluruh haruslah menjadi konsep radikal dalam sikap religiusitas
masyarakat Indonesia untuk menghadapi kebhinekaan yang ada. Hal ini
dikarenakan Indonesia merupakan negara yang plural masyarakatnya, polietnik.
Krisis religiusitas masyarakat Indonesia haruslah diperbaiki untuk mencegah
adanya penyimpangan terhadap sila pertama Pancasila yang menjadi jiwa utama
keempat sila lainnya. Pendekatan yang diperlukan untuk mencapai peningkatan
religiusitas ini bukan lain adalah melalui pembelajaran, entah terhadap keagamaan,
sosial, politik, ataupun fokus keilmuan yang lain. Pendidikan Pancasila sejak dini
juga merupakan salah satu solusi atas miss-impression pada masyarakat Indonesia.
Esa yang dimuat pada sila pertama Indonesia merupakan pembahasan
universalitas atas keberadaan Tuhan, bukan atas jumlah numeral. Diskriminasi
adalah penyimpangan fatal atas hal tersebut. Telah dicontohkan oleh dunia
kehidupan Indonesia bahwa krisis religiusitas dan pengetahuan Pancasila sangatlah
menjadi pengaruh yang besar dalam fenomena kriminal sebagai bentuk
penyimpangan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Diungkapkan oleh Notonagoro (1984: 61 dan 1975: 52, 57) bahwa hakikat
adanya Tuhan ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima. Oleh karena
itu segala sesuatu yang ada merupakan akibat sebagai adanya tuhan (sila pertama).
Adapun manusia sebagai subjek ciptaan manusia pendukung pokok negara, karena
negara adalah lambang kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup
bersama yang anggotanya adalah manusia (sila kedua). Dengan demikian, negara
adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (sila ketiga). Selanjutnya
terbentuklah persekutuan hidup yang dinamakan rakyat. Rakyat merupakan
totalitas Individu-individu dalam negara yang bersatu (sila keempat). Adapun
keadilan yang pada hakikatnya merupakan tujuan bersama atau keadilan sosial (sila
kelima) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut
negara.
2. Saran
Pepatah mengatakan: “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”. Alangkah
wajib dan sangat direkomendasikan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk terus
belajar dan mengkaji segala objek kajian yang ada, terutama Pancasila dan religi
yang menjadi identitas negara Indonesia.
Manusia adalah makhluk sosial, sedangkan masyarakat Indonesia bukan
hanya makhluk sosial semata, melainkan juga makhluk sosial yang berketuhanan
Yang Maha Esa. Maka akan sangat terdukung apabila masyarakat Indonesia
menguasai dengan mantap mengenai pengetahuan religi dan Pancasila sehingga
tindak kriminalitas atau aktivitas yang menyimpang dari sila-sila Pancasila dapat
terkekang.
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Syaiful. “Nilai Pancasila dan Kontradiksi Sosialnya.” 2016. Jakarta: Gramedia.

Asmaroini, Ambiro P. “Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Bagi Siswa Di Era


Globalisasi.” Citizenship Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, vol. 4, no. 2,
2016, pp. 440-450.

Saragih, E. S. “Analisis dan makna teologi ketuhanan yang maha esa dalam konteks
pluralisme agama di Indonesia.” Jurnal Teologi Cultivation, vol. 2, no. 1, 2018,
pp. 1-14.

Gumelar, Michael S. “Pemarginalan Terstruktur: Implikasi Sila “Ketuhanan Yang Maha


Esa” dari Pancasila Terhadap Sila Lainnya.” An1mage Jurnal Studi Kultural,
vol. 3, no.1, 2018, pp. 6-12.

Soekarno. “Pidato Lisan Bung Karno.” 1953. Jajasan Penerbitan Djiwa Baru: Jogjakarta.

Soeprapto, Sri. “Konsep Inventif Etika Pancasila Berdasarkan Filsafat Pancasila


Notonagoro. 2013. UNY Press: Yogyakarta

Wiyono, S., Samho, B., Pangalila, T., & Pasandaran, S. (2019). Kajian Nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa untuk Mengembangkan Karakter Anti Korupsi. Jurnal Civic
Education: Media Kajian Pancasila dan Kewarganegaraan, 3(2), 15-21.

Kemenkumham. “Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 24 Tahun 2016 tentang Hari
Lahir Pancasila.” 2016. Diakses pada 11 Desember 2022. Berita Biro Humas,
Hukum dan Kejasama https://www.kemenkumham.go.id/berita-
utama/peringati-hari-lahir-pancasila-dengan-perkokoh-persatuan.

Anda mungkin juga menyukai