Anda di halaman 1dari 18

MATA KULIAH : PENGANTAR FILSAFAT

DOSEN : DR. EDWIN GOKLAS SILALAHI

PENGARUH FILSAFAT TERHADAP PERTUMBUHAN IMAN KRISTEN

D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Ridho hilman gea
2084236023

PROGRAM STUDI PKAUD


SEKOLAH TINGGI TEOLOGI EKUMENE
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
berkatnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul (Pengaruh Filsafat
Terhadap Pertumbuhan Iman Kristen ) ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak
Dosen Dr. Edwin Goklas Silalahi pada mata kuliah (Pengantar Filsafat) Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang (Pengaruh Filsafat Terhadap Pertumbuhan
Iman Kristen ) bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen Dr. Edwin Goklas Silalahi, selaku
dosen mata kuliah pengantar filsafat yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Nias, 25 April 2021

Ridho Hilman Gea


DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………. ….
KATA PENGANTAR ………………………………………………. ….
DAFTAR ISI …………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang …………………………………………………


B. Rumusan Masalah ………………………………………………
C. Tujuan Penulisan ……………………………………………… .

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat …………………………………………….


B. Objek Filsafat ………………………………………………….
C. ciri khas filsafat ………………………………………………..
D. cabang-cabang filsafat …………………………………………..
E. kaitan filsafat dan agama ……………………………………….
F. factor –faktor yang mempengaruhi pertumbuhan iman ……… ..
G. Pengaruh Filsafat Terhadap Pertumbuhan Iman Kristen……… ..
H. Filsafat dan Teologi sebagai sarana Mengenal Allah……………

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia sebagai makhluk hidup berpikir dan selalu berusaha
untukmengetahui segala sesuatu, tidak mau menerima begitu saja apa adanya sesuatu itu, selalu
ingintahu apa yang ada dibalik yang dilihat dan diamati. Segala sesuatu yang dilihatnya,
dialaminya,dan gejala yang terjadi di lingkungannya selalu dipertanyakan dan dianalisis atau
dikaji. Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu keheranan, kesangsian, dan
kesadaran atasketerbatasan. Berfilsafat kerap kali didorong untuk mengetahui apa yang telah
tahu dan apa yangbelum tahu, berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan
pernah diketahui dalamkemestaan yang seakan tak terbatas.Filsafat memiliki peranan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia. Setidaknya adatiga peran utama yang dimiliki yaitu
sebagai pendobrak, pembebas, dan pembimbing. Pendidikanadalah upaya mengembangkan
potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensicipta, rasa, maupun karsanya,
agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalamperjalanan hidupnya. Sedangkan
pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmulain. Pendidikan
lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan dengan proses perkembangan ilmu,ilmu pendidikan
juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikanberada bersama dengan
filsafat, sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri denganpembentukan manusia. Filsafat
diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahamikedudukan manusia, pengembangan
manusia, dan peningkatan hidup manusia.Dasar pendidikanadalah cita-cita kemanusiaan
universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalamkeseimbangan, kesatuan. organis,
harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup manusia.

Ada banyak orang Kristen yang menganggap minat terhadap filsafat sebagai suatu hal yang
membuat orang Kristen ragu-ragu. Ada banyak filsafat yang masih mempunyai kesangsian yang
begitu serius antara kehormatan dan intelektual dengan kepercayan agama. Filsafat adalah suatu
disiplin intelektual yang lebih mengarah pada natur realita dan penyelidikan terhadap prinsip-
prinsip umum mengenai pengetahuan dan keberadaan. Iman Kristen menimbulkan pertanyaan-
pertanyaan falsafah yang menyelidiki latar belakang dari pernyataan-pernyataan iman Kristen.
Jika filsafat lebih berfokus untuk membicarakan mengenai realita dan kebenaran dan tidak boleh
berbalik untuk membahas persoalan-persoalan agama. Tidak semua orang dapat
mempertimbangkan apa yang diperlukan dan menemukannya. Seseorang tidak dapat selalu
menemukan kebenaran melalui ide-ide yang terbentuk. Sebab Hume pernah meninjau bahwa
alam lebih kuat dari pada prinsip. Dan kemunkinan kant dan hume sama-sama mengataan
bahwa agama terlalu kuat bagi filsafat-filsafat yang telah terbentuk sebelumnya.

Zaman Victoria merupakan zaman yang dimana semua orang bersama-sama untuk
menyesuaikan diri dengan undang-undang moral yang kaku dan menerapkan agama yang keras,
tanpa sukacita. pada kenyataannya abad ke Sembilan belas adalah zaman beriman dan sekaligus
zaman yang tidak beriman. Di zaman ini lebih menyaksikan pada perkembangan misionaris yang
tidak ada bandingannya, serta melihat kebangunan-kebangunan dalam bidang agama di berbagai
belahan bumi.
Filsafat dan teologi atau agama mempunyai tugas, tujuan, dan titik tolak yang berbeda.
Teologi bekerja atas dasar wahyu sebagaimana tertulis dalam kitab suci. Teologi adalah ilmu
yang secara ilmiah mereflesikan ajaran agama dan Tuhan, atau refleksi tentang kepercayaan
religius. Jadi, objek teologi atau ajaran agama atau kepercayaan religius. Gagasan atau pemikiran
para filsuf memperlihatkan dimensi manusiawi atau duniawi dari agama. Pendekatan fiosofis
terhadap agama melihat bahwa agama bukanlah pertama-tama fenomena ilahi, melainkan
manusiawi.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang maksud dengan filsafat ?
2. Bagaimana hubungan filsafat pada pertumbuhan iman Kristen ?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui Apa yang maksud dengan filsafat
2. Untuk mengetahui Bagaimana hubungan filsafat pada pertumbuhan iman Kristen
BAB II

TEORI

A. Pengertian Filsafat

Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua. Bila kita membicarakan filsafat maka
pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau di zaman Yunani Kuno. Pada masa itu semua
ilmu dinamakan filsafat. Dari Yunanilah kata ―filsafat ini berasal, yaitu dari kata philos‖ dan
sophia. Philos artinya cinta yang sangat mendalam, dan ―sophia artinya kebijakan atau kearifan.
Istilah filsafat sering dipergunakan secara populer dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar
maupun tidak sadar. Dalam penggunaan populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian
hidup (individu) dan dapat juga disebut sebagai pandangan masyarakat (masyarakat). Mungkin
anda pernah bertemu dengan seseorang dan mengatakan: ―filsafat hidup saya adalah hidup
seperti oksigen, menghidupi orang lain dan diri saya sendiri‖. Atau orang lain lagi mengatakan
Hidup harus bermanfaat bagi orang lain dan dunia‖. Ini adalah contoh sederhana tentang filsafat
seseorang.

Selain itu, masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat kelompok. Oleh karena
manusia itu makhluk sosial, maka dalam hidupnya ia akan hidup bermasyarakat dengan
berpedoman pada nilai-nilai hidup yang diyakini bersama. Inilah yang disebut filsafat atau
pandangan hidup. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan filsafat bangsa.

Di Jerman dibedakan antara filsafat dengan pandangan hidup (Weltanscahuung). Filsafat


diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya.
Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Magnis Suseno (1995:20) bahwa filsafat sebagai ilmu
kritis. Dalam pengertian lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa
yang penting atau apa yang berarti dalam kehidupan.Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa
filsafat sebagai cara berpikir yang kompleks, suatu pandangan yang tidak memiliki kegunaan
praktis. Ada pula yang beranggapan bahwa para filsuf bertanggung jawab terhadap cita-cita dan
kultur masyarakat tertentu. Seperti halnya Karl Marx dan Fredrich Engels yang telah
menciptakan komunisme. Thomas Jefferson dan John Stuart Mill telah mengembangkan suatu
teori yang dianut dalam masyarakat demokratis. John Dewey adalah peletak dasar kehidupan
pragmatis di Amerika.

Sidi Gazalba (1974:7) mengatakan bahwa filsafat adalah hasil kegiatan berpikir yang
radikal, sistematis, universal.Kata radikal berasal dari bahasa Latin radix yang artinya akar.
Filsafat bersifat radikal, artinya permasalahan yang dikaji, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
dan jawaban yang diberikan bersifat mendalam sampai ke akar-akarnya yang bagi orang awam
mungkin dianggap hal biasa yang tidak perlu dibahas lagi, tetapi filsafat ingin mencari kejelasan
makna dan hakikatnya. Misal: Siapakah manusia itu? Apakah hakikat alam semesta ini? Apakah
hakikat keadilan?

Filsafat bersifat sistematis artinya pernyataan-pernyataan atau kajian-kajiannya


menunjukkan adanya hubungan satu sama lain, saling berkait dan bersifat koheren (runtut). Di
dalam tradisi filsafat ada paham-paham atau aliran besar yang menjadi titik tolak dan inti
pandangan terhadap berbagai pertanyaan filsafat. Misal: aliran empirisme berpandangan bahwa
hakikat pengetahuan adalah pengalaman. Tanpa pengalaman, maka tidak akan ada pengetahuan.
Pengalaman diperoleh karena ada indera manusia yang menangkap objek-objek di sekelilingnya
(sensasi indera) yang kemudian menjadi persepsi dan diolah oleh akal sehingga menjadi
pengetahuan.

Filsafat bersifat universal, artinya pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban filsafat


bersifat umum dan mengenai semua orang. Misalnya: Keadilan adalah keadaan seimbang antara
hak dan kewajiban. Setiap orang selalu berusaha untuk mendapatkan keadilan. Walaupun ada
perbedaan pandangan sebagai jawaban dari pertanyaan filsafat, tetapi jawaban yang diberikan
berlaku umum, tidak terbatas ruang dan waktu. Dengan kata lain, filsafat mencoba mengajukan
suatu konsep tentang alam semesta (termasuk manusia di dalamnya) secara sistematis.

Seorang filsuf akan memperhatikan semua aspek pengalaman manusia. Pandangannya


yang luas memungkinkan ia melihat segala sesuatu secara menyeluruh, memperhitungkan tujuan
yang seharusnya. Ia akan melampaui batas-batas yang sempit dari perhatian yang khusus dan
kepentingan individual. Harold H. Titus (1959) mengemukakan pengertian filsafat dalam arti
sempit maupun dalam arti luas. Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai ilmu yang berkaitan
dengan metodologi atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna. Filsafat diartikan
sebagai ―science of science‖ yang bertugas memberi analisis secara kritis terhadap asumsi-
asumsi dan konsep-konsep ilmu, mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan.
Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia
yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta,
hidup dan makna hidup. Ada beberapa definisi filsafat yang dikemukakan Harold Titus, yaitu:

(1)Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta;

(2)Filsafat adalah suatu metode berpikir reflektif dan penelitian penalaran;

(3)Filsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah;

(4)Filsafat adalah seperangkat teori dan sistem berpikir.

Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia yang memiliki peran penting dalam
menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam kegiatan ini manusia akan berusaha untuk
mencapai kearifn dan kebajikan. Kearifan merupakan hasil dari filsafat dari usaha mencapai
hubungan-hubungan antara berbagai pengetahuan dan menentukan implikasinya, baik yang
tersurat maupun yang tersurat dalam kehidupan.Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
berfilsafat merupakan kegiatan berpikir yang khas, yaitu radikal, sistematis dan universal untuk
mencari kearifan, kebenaran yang sesungguhnya dari segala sesuatu. Berfilsafat berarti berpikir
merangkum (sinopsis) tentang pokok-pokok atau dasar-dasar dari hal yang ditelaahnya.

B. Objek Filsafat

Bila kita membicarakan tentang pengetahuan yang sistematis, pasti ada kejelasan
mengenai objeknya. Objek dibedakan menjadi dua macam, yaitu objek material dan objek
formal. Setiap ilmu mempunyai objek material dan objek formal masing-masing. Demikian pula
halnya dengan filsafat. Sering orang mengatakan bahwa salah satu perbedaan antara ilmu empiris
dan filsafat adalah karena objeknya ini.

Objek material filsafat meliputi segala sesuatu yang ada. Segala sesuatu itu adalah Tuhan,
alam dan manusia. Bandingkanlah dengan ilmu empiris dan ilmu agama. Objek ilmu empiris
hanya manusia dan alam. Ilmu empiris tidak mempermasalahkan atau mengkaji tentang Tuhan,
tetapi ilmu-ilmu agama (teologi) sebagian besar berisi kajian tentang ketuhanan ditinjau dari
perspektif dan interpretasi manusia terhadap wahyu atau ajaran para Nabi. Ilmu filsafat mengkaji
tentang alam, manusia dan Tuhan. Sepanjang sejarah filsafat, kajian tentang alam menempati
urutan pertama, kemudian disusul kajian tentangmanusia dan Tuhan. Pada abad pertengahan di
Eropa ketika filsafat menjadi abdi teologi, banyak kajian-kajian filsafati tentang Tuhan. Setelah
masuk zaman modern, fokus kajian filsafat adalah manusia.

Objek formal (sudut pandang pendekatan) filsafat adalah dari sudut pandang hakikatnya.
Filsafat berusaha untuk membahas hakikat segala sesuatu. Hakikat artinya kebenaran yang
sesungguhnya atau yang sejati, yang esensial, bukan yang bersifat kebetulan. Sebagai contoh
dapat dikemukakan di sini. Manusia sebagai objek kajian ilmu dan filsafat dapat dikaji dari
berbagai sudut pandang. Manusia dapat dikaji dari sudut interaksinya dalam hidup
bermasyarakat. Inilah sudut pandang sosiologi. Manusia juga dapat ditinjau dari sisi
kejiwaannya. Inilah sudut pandang psikologi. Manusia dapat ditinjau dari perilakunya dalam
memenuhi kebutuhan hidup yang cenderung tidak terbatas dihadapkan dengan benda-benda yang
terbatas. Inilah sudut pandang ilmu ekonomi. Tetapi, manusia dapat pula dibahas dari sudut
pandang yang hakiki. Inilah sudut pandang filsafat.

C. Ciri khas filsafat

Filsafat cenderung mempertanyakan apa saja secara kritis. Sebagaimana dinyatakan di


atas bahwa membahas masalah manusia, alam semesta bahkan Tuhan. Jawaban filsafat
sebagaimana dicontohkan di atas berbeda dari jawaban spontan. Perbedaannya terletak pada
pertanggungjawaban rasional jawaban filsafat. Pertanggungjawaban rasional pada hakikatnya
berarti bahwa setiap langkah harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan serta harus
dipertahankan secara argumentatif, dengan argumen-argumen yang objektif,artinya yang dapat
dimengerti secara intersubjektif.
Walaupun filsafat terus mencari jawaban, tetapi jawaban yang diperoleh tidak pernah
abadi. Oleh karena itu filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah
masalah. Masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan karena
manusia di satu pihak tetap manusia dan di pihak lain berkembang dan berubah, maka masalah-
masalah baru filsafat sebenarnya adalah masalah-masalah lama manusia.

Perbincangan filsafat tetap menantang dan ditantang menuntut pertanggungjawaban dan


dituntut untuk mempertanggungjawabkan diri sendiri, mengusahakan pendalaman suatu
permasalahan, menggali dasar-dasar masalah yang menjadi kesibukannya, termasuk usahanya
sendiri.Artinya, filsafat tidak pernah puas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu sebagai sudah
selesai, selalu bersedia dan bahkan senang untuk membuka kembali perdebatan dan secara hakiki
bersifat dialektis dalam arti bahwa setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran
tesis –antitesis –tesis –antitesis, dan seterusnya. Filsafat secara hakiki memerlukan dan
menyenangi debat dan ―senang bertengkar‖ dalam merentangkan diri pada masalah-masalah
yang paling dasar sekalipun.

D. Cabang-cabang filsafat

Sidi Gazalba (1973) mengemukakan bidang permasalahan filsafat terdiri atas:

1) Metafisika, dengan pokok-pokok masalah: filsafat hakikat atau ontologi, filsafat


alam atau kosmologi, filsafat manusia, dan filsafat ketuhanan atau teodyce.
2) Teori pengetahuan atau epistemologi, yang mempersoalkan: hakikat pengetahuan,
dari mana asal atau sumber pengetahuan, bagaimana membentuk pengetahuan
yang tepat dan yang benar, apa yang dikatakan pengetahuan yang benar,
mungkinkah manusia mencapai pengetahuan yang benar dan apakah dapat
diketahui manusia, serta sampai di mana batas pengetahuan manusia.
3) Filsafat nilai atau aksiologi yang membicarakan: hakikat nilai, di mana letak nilai,
apakah pada bendanya atau pada perbuatannya atau pada manusia yang
menilainya; mengapa terjadi perbedaan nilai antara seseorang dengan orang lain,
siapakah yang menentukan nilai, mengapa perbedaan ruang dan waktu membawa
perbedaan penilaian.

E. Kaitan antara Agama dan Filsafat

Objek formal filsafat adalah mencari sebab yang sedalam dalamnya. Dalam hal ini
berbedalah dengan ilmu. Dalam alat dan kemampuan berpikir, filsafat mempergunakan pikiran
(budi betul dalam mencari sesuatu sebab itu dikatakan tanpa membatasi diri, tetapi juga ada
batasannya juga, ialah budi itu sendiri, atau boleh juga dikatakan bahwa kodrat manusia yang
berbudi).

Pada hakikatnya, setiap pengalaman manusia mengandung kemungkinan bagi terbukanya


dimensi filsafat. Sebaliknya, setiap permasalahan filsafat, betapa pun abstrak, yang menyangkut
manusia atau yang berkaitan dengan Ada pada umumnya, selalu berakar di dalam manusia yang
bertanya-tanya, yang berdiri di tengah-tengah arus pengalaman sehari-hari dan sejarah manusia.
Filsafat tidak mengenal “a zero tolerance” atau “titik nol mutlak” dalam memaknai kebenaran
sebagaimana ilmu alam. Filsafat juga tidak mengenal tuntutan kepatuhan mutlak akan kebenaran
hakiki sebagaimana ajaran agama. Meski demikian, filsafat tidak dimulai secara polos dengan
membuka selembar halaman yang masih kosong dari seseorang. Filsafat selalu berurusan dengan
manusia yang sudah berangkat pada perjalanannya. Di dalam filsafat akan muncul pertanyaan-
pertanyaan hakiki: Ada itu apa? Siapa aku? Apakah  yang “ada” itu mengatasi gejala-gejala yang
dapat disentuh pancaindera semata? Apakah yang nampak (appereance) sama dengan yang nyata
(reality)? Apakah pertanyaan-pertanyaan itu mengandung makna?

Subtansi dari semua ajaran agama adalah keyakinan dan kepercayaan terhadap eksistensi
Tuhan, sementara itu eksistensi Tuhan hanya dapat dibuktikan secara logis dengan menggunakan
kaidah-kaidah filsafat yaitu akal. Akal menurut salah seorang filsuf muslim yaitu Ar Razi adalah
karunia terbaik Tuhan yang diberikan kepada manusia. Dengan akal manusia melihat segala
yang berguna dan membuat hidupnya lebih baik. Sesuai dengan kaidah filsafat yaitu mencari
kebenaran, maka agama adalah kebenaran yang absolut dan dogmatis. Di sinilah fungsi akal
untuk menerjemahkan yang dijelaskan oleh agama.
Walaupun agama dan akal merupakan ciptaan Tuhan tetapi karena akal terdapat pada semua
manusia dan tidak ada satu orang pun yang mengingkarinya tetapi keberadaan ajaran-ajaran
agama tidak bisa diterima oleh semua manusia. Dengan demikian akal yang didorong untuk
menjelaskan dan dijadikan argument atas ajaran-ajaran agama. Walaupun kita menerima
eksistensi Tuhan dengan keimanan dan membenarkan bahwa ajaran agama berasal dari-Nya
tetapi akallah yang mendorong kita untuk berpikir akan adanya eksistensi Tuhan.
Agama dan filsafat mendapatkan porsi dan fungsinya masing-masing. Tidak bisa kita
memaksakan agama masuk ke dalam ranah kajian filsafat begitu juga sebaliknya tidak bisa
dipaksakan filsafat memasuki ranah kajian agama. Keduanya berada posisi yang saling
berhadapan karena sifat keduanya yang berbeda dan saling bertolak belakang. Agama bersifat
absolut dan dogmatis sedangkan filsafat bersifat relatif sesuai dengan kemampuan akal untuk
memahaminya.

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Iman

Dalam proses pertumbuhan imannya, seseorang tidak akan dapat bertumbuh imannya jika
tidak ada beberapa faktor yang mempengaruhi di dalamnya. Pertumbuhan iman jelas di
pengaruhi oleh bebrapa faktor. Berikut ini akan dijelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi
seseorang mengalami pertumbuhan imannya.

 Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar pribadi konseli. Ada beberapa faktor
eksternal yang mempengaruhi seseorang dalam hal pertumbuhan imannya. Faktor-faktor
tersebut antara lain Gereja, keluarga, teman, lingkungan tempat tinggal.
 Faktor internal
aktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri sendiri. berikut adalah faktor
internal yang mempengaruhi seseorang dalam hal pertumbuhan iman adalah spiritual,
psikologis

G. Pengaruh Filsafat Terhadap Pertumbuhan Iman Kristen

Seperti yang diungkapkan pada bagian pen-dahuluan di atas, bahwa seringkali dalam
kalangan tertentu, teologi dipahami sebagai sesuatu yang menyesatkan, sesuatu yang bebas,
sesuatu yang tidak murni dari kebenaran Firman Tuhan(Alkitab). Pemahaman tersebutmuncul,
sebab tidak dapat pung- kiri akan adanyafakta beberapa mereka yang belajar teologi justru
semakin tidak mempercayai Alkitab yang tanpa salah, bahkan ada yang menjadi ateis atau
berpindah kepada kepada kepercayaan yang lain. Selain itu,kondisi tersebutjuga dilatar-bela-
kangi oleh pemahaman bahwa di dalam Teologi te-lah dimasuki ilmu-ilmu filsafat yang
meragukan Alkitab dan keberadaan Tuhan.Apakah memangse-jatinya teologi dipahami
demikian?

Pada dasarnya, istilah teologi berasal dari dua kata kata s(theos), artinya Allah dan
s (logos) artinya pemikiran, uraian. Sehingga teologi dapat didefinisikan sebagai ilmu
tentang Allah atau pelajaran dan penjelasan tentang Allah.Sedangkan secara umum, teologi
adalah ajaran tentang Allah dan karya-karyaNya. Kemudian penulis memahami bahwa ‘Teologi’
merupakansuatu usaha manusia (ilmu) yang menyelidiki tentangAllah dalam hubungan-Nya
dengan alam semesta, yang mendasarkan penyelidikannya melalui penya-taan umum (ciptaan)
dan penyataan khusus (Alkitab) melalui interpretasi teks ke dalam konteks kehidup-an umat
manusia.

Dalam perkembangannya, teologi juga me-ngalami pasang surut. Teologi secara praktis
telah dimula dari tokoh-tokoh Perjanjian Lama yang mem-bahas tentang Allah. Selanjutnya,
masuk ke dalam dunia Perjanjian Baru dan zaman bapak-bapak Gereja; kemudian zaman
reformasi; pencerahan, moderndan post-modern. Masing-masing zaman memiliki tantangan
tersendiri. Pada umumnya teologi yang berkembang setiap jaman juga dipengaruhi oleh
perkembangan yang ada di dalam zaman itu. Singkatnya, perkembangan yang terjadi di dalam
dunia, mempengaruhi metode dan sistem penyelidikan (hermeneutik) Alkitab sebagai Firman.
Ada kalanya Alkitab menjadi satu-satunya kebenaran yang mutlak, namun tidak jarang Alkitab
hanya sekedar buku biasa dan di bawah dari rasional manusia. Jadi, pemahaman akan Alkitab
serta metode hermeneutik yang digunakan di dalam memahaminya, akan selalu menjadi dasar
dibangunnya sebuah teologi. Sehingga per kembangan teologi di pengaruhi oleh sikap seorang
teolog kepada Alkitab dan bagaimana iamemahami-nya

Dari pemahaman-pemahaman di atas, sebe-narnya semua hal yang membahas tentang


Allah da-pat dikatakan teologi. Dan mereka yang melakukan-nya adalah seorang Teolog, yang
sedang berteolog (termasuk mereka yang awam dan juga yang “sekolah Alkitab” non-
STT).Sehingga dapat dikatakan bahwa ketika manusia berusaha untuk berpikir dan memahami
tentang Allah dan yang behubungan dengan Dia, maka pada saat itu mereka sedang berteologi.
Oleh sebab itu, secara praktis teologi telah ada sejak manusia ada dan terus ada selama manusia
berusaha memahami tentang Tuhan. Dengan demikian, sejauh ini dapat dikatakan bahwa tidak
seharus-nya mempermasalahkan tentang istilah teologi, namun lebih kepada bagaimana seorang
teolog berteologi

Berdasarkan pemahaman akan filsafat dan teologi yang telah disampaikan di atas, maka
terda-pattitik perbedanaan dan titik temu di antara kedua-nya. Perbedaannya adalah masalah
penekanan. Mes-kipun filsafat dimulai dari studi tentang alam, dan teologi dimulai dari
mendengarkan wahyu(Alkitab), keduanyabergerak ke tujuan akhir yang sama, yang merupakan
kebijaksanaan universal tertinggi. Studi tentang makhluk dengan mudah menuntun pada pe-
nemuan sumber utamanya, dan penyelidikan keilahian memberi cahaya pada seluruh alam
semesta. Zaman modern memunculkan pemisahan di antara mereka. Akibatnya, kami tiba di
proyek filsafat alam murni di satu sisi, dan gagasan teologi murni meng-ungkapkan di sisi lain.
Yang cukup menarik, dalam kedua kasus itu, teologi kehilangan: dalam kisah yangpertama, hal
itu menjadi sia-sia, yang belakangan ti-dak berarti. Namun demikian, setidaknya ada dua cara
yang berbeda di mana seseorang dapat memu-lihkan hubungan antara teologi dan filsafat.
Pertama, filsafat dapat masuk ke dalam bidang teologi untuk memberinya beberapa konsep dan
prinsip dan upaya untuk membenarkan klaimnya; kedua, teologi dapat mengintervensi dalam
ranah filsafat, menyarankan.

kepadanya beberapa masalah, kategori, dan klaim untuk diterapkan pada dunia alami.
Proyek pertama kira-kira bisa disebut teologi filosofis, sementara yanglain bisa disebut filsafat
teologis(Rojek, 2016, p. 149; Tety & Wiraatmadja, 2017, p. 57). Titik temu-nya yaitu pada saat
keduanya sama-sama berusaha untuk memahami tentang Kebenaran Allah yang sejati. Itulah
relasi positif keduanya. Sedangkan relasi negatif yang sama adalah ketika masing-masing tidak
menuju kepada Allah yang sejati.Pemahaman akan sisi negatif dan positif pun memiliki variasi,
sebab dari perspektif mana seseorang melihat. Dalam pembahasan ini, lebih melihat dari sudut
pan-dang Injili konservatif.

menyatakan bah-wa sejarah telah mencatat tentang hubungan antara teologi dan filsafat
telah memiliki perseteruan yang berlangsung cukup lama, bahkan telah terdapat usaha berulang-
ulang untuk membangun tembok dikotomi antara keduanya.Hal tersebut sepertinya dida-sari
pada teks Alkitab yang telah dikutip pada awal pembahasan ini, yaitu dalam Kolose 2:8. Selain
itu juga didasarkan pada pernyataan Bapa Gereja, Tertulianus (160-225 M), yang telah
disinggung di atas bahwa apakah hubungan antara Yerusalem (tempat firman TUHAN berasal)
dan Athena (tempat filsafat berasal). Pada zaman reformasi, gereja-gereja refor-matoris juga
diperhadapkan dengan bermacam-ma-cam tantangan, salah satu tantangannya adalah meng-
hadapi perkembangan pemikiran filsafati, yang makin lama makin memusuhi pemikiran
Kristiani(Hadiwi-jono, 2014, p. 6).Holmes (2009, pp. 33–35) mengatakan dalam
perkembangannya, tidak sedikit juga, bahwa orang percaya memiliki konsep pemahaman yang
mendikotomikan antara yang “sakral (hal-hal spiritual dan religius)” dengan yang “sekuler (hal-
hal sementara yang ada di dunia)”. Teologi di anggap sebagai suatu yang sakral, sedangkan
filsafat di-anggap sebagai sesuatu yang sekuler.

Hal senada juga disampaikan oleh Tong, yaitu bahwa relasi antara filsafat dan iman
Kristen (teologi) menjadi salah satu bidang sejarah yang pa ing kontroversial dan paradoks.
Sebab, beragam pendapat bahwa filsafat merupakan musuh Kristen mendapat dukungan,
sedangkan pendapat yang mengata-kan filsafat tidak perlu dipertentangkan dengan iman Kristen
juga mendapat dukungan. Dengan demikianproblemanya terletak pada apakah definisi filsafat
dan seperti apakah filsafat yang benar. Oleh sebab itu, Geisler dan Feinberg(2002, p. 3) juga
menyampaikan bahwa sepanjang sejarah, terdapat hubungan “benci tapi rindu” antara filsafat
dengan Agama Kristen dan Teologi Kristen. Keduanya nampaknya terpisah, namun sebenarnya
mereka juga perlu diper-satukan. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang sejarah pernah
mencatat ada filsuf-filsuf yang berse-brangan dengan Teologi (iman Kristen), namun ada filsuf-
filsuf yang justru senada dengan teologi.

Sistem filosofis besar, seperti teori ide Plato, metafisika Aristoteles, atau bahkan sistem
Descartes, Kant dan Hegel, semuanya merupakan ekspresi filo-sofis dari pengalaman utama
iman para penemu mereka. Bahkan filosofi ateistik dipengaruhi oleh agama, karena “negasi
Allah juga semacam agama, seti-daknya dalam pengertian psikologis.” Rojek (2016, p.
154)menjelaskantulisan Florovskyyang menga-takanpemikir yang beriman harus setia menjaga
per-batasan antara divina dan humana, antara Yang Transenden dan Yang Imanen, tetapi ia tidak
bisa, seharusnya tidak dan bahkan tidak dapat melihat dunia, memikirkannya dan
menjelaskannya seolah-olah tidak ada Tuhan. Karena Tuhan benar-benar ada, mata agama
langsung memandang-Nya di mana-mana, dan pengalaman kebebasan beragama mencakup
semua sifat orang percaya. Di tingkat pribadi, imanselalu masuk ke dalam filsafat, dan tidak
mungkin mengusirnya. Ternyata iman dan nalar berbeda, tetapi tidak sepenuhnya terpisah.
Meskipun iman ber-sifat otonom sehubungan dengan akal, akal tidak otonom sehubungan
dengan iman. Karena itu, pengalaman iman dapat mengubah sikap seseorang terhadap
kenyataan, tetapi juga mampu mengubah seluruh pandangan dunia seseorang, dan menembus
sistem kepercayaan filosofis seseorang. Memang, filosofi seperti itu tidak hanya menjadi
pembenaran agama, tetapi lebih merupakan ekspresi dari keya-kinan seseorang.

Hal tersebut menunjukkan bahwa telah ter-jadi ketegangan antara filsafat dan teologi di
dalam sejarah pemikiran Kristen. Walaupun keduanya juga pernah diusahakan untuk bersama,
Dengan demiki-an, perlu memahami dengan jelasdan tepat prinsip dasar dari filsafat
maupunteologi itu sendiri, sehing-ga dapat menemukan relasi yang harmonis di antara ke
duanya, secara khusus di dalam proses pengenal-an akan Allah, yang adalah sumber
kebenaransejati. Sebab diyakini, keduanya adalah hal yang baik dari Tuhan

H. Filsafat dan Teologi sebagai sarana Mengenal Allah


Filsafat dan Teologi sekalipun dalam sejarah menunjukkan adanya hubungan “benci
tetapi rindu”, bahkan ada sebagian orang menentang kedua-dua-nya di dalam kaitannya dengan
Alkitab, namun ke-dua hal tersebut adalah sesuatu yang seharusnya da-pat digunakan secara
bersama-sama dalam memaha-mi tentang Allah. Kondisi itudapat dipahami dari prinsip-prinsip
yang terkandung di dalam kedua hal tersebut.

Filsafat dipahami sebagai “cinta akan hikmat atau kebijaksanaan”. Hikmat atau
kebijaksanaan itu sendiri berarti kebenaran yang sejati. Dari pe-mahaman ini, maka filsafat
selaras dengan Alkitab, yaitu seperti yang dikatakan oleh peamsal: “Janganlah meninggalkan
hikmat itu, maka engkau akan di-peliharanya, kasihilah dia, maka engkau akan dijaga-
nya!”(Ams. 4:6). Apa yang dinasihatkan penulis Amsal ini merupakan bentuk dari nasihat untuk
ber-filsafat.Dengan demikian, orang percaya sudah se-harusnya berfilsafat dengan benar.
Pengkhotbah sendiri bersifat filosofis, dan mengungkapkan beberapa pandangan filosofis
duniawi sebelum mencapai konklusi bahwa filsafat yang terbaik adalah didasarkan pada yang
takut akan Allah dan menaati-Nya.

Dengan demikian, berfilsafat berarti ada kaitannya dengan TUHAN Allah, atau dengan
kata lain untuk berfilsafat yang benar harus didasar-kan takut akan Allah.

Sedangkan Teologi dimengerti sebagai “ ilmu tentang Allah dan hal-hal yang berkaitan
dengan-Nya”. Namun pemahaman akan Allah ini sejauh mana Ia menyatakan diri kepada
manusia untuk dapat diketahui, sebab Ia adalah Pencipta dan manusia adalah ciptaan-Nya. Di
dalam sejarah, Allah telah menyatakan diri-Nya melalui wahyu umum dan wahyu
khusus.Pemahaman dan pengenalan yang benar tentang Allah perlu dimiliki, sebab hal itu akan
mendatangkan kehidupan shalombagi manusia.

Filsafat dan teologi memiliki prinsip-prinsip dasar yang sama, sebab keduanya sama-
sama meru-pakan suatu ilmu. Adapun persamaan-persamaanya tersebutsebagai berikutminimal
terdapat4 poin. Pertama, keduanya sama-sama memiliki subyek yangsama, yaitu “Manusia”
yang adalah pelaku sebagai filsuf dan juga sebagai teolog. Manusia diciptakan serupa dan
segambar dengan Allah, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk berfilsafat dan
berteologi.Manusia bernalar, berperasaan, dan berkehen-dak, sehingga disadari atau tidak,
mereka sedang menjadi subjek dari filsafat dan teologi.Filsafat dan teologi sama-sama membawa
manusia untuk me-maksimalkan keseluruhan yang ada di dalam diri-nya.Bahkan seharusnya
dapat dikatakan seorang teolog juga ada filsuf dan sebaliknya.

Kedua, filsafat dan teologimembahas objek yang sama, yaitu Allah dan hal-hal yang
berkaitan dengan karya-Nya. Sepanjang sejarah filsafat dan teologi, mereka membahas tentang
Allah, manusia, dan alam sekitarnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa filsafat dan teologi
memiliki objek, serta ruang lingkup yang sama. Selanjutnya, filsafat dimulai dari rasa ingin tahu
akan kepastian. Sehingga dengan filsafat akan mendorong manusia untuk mengetahui apa yang
diketahui dan apa yang belum diketahuinyatentang objek yang sedang dimaksud di atas. Hal ini
berfilsafat berarti bahwa seorang filsuf perlu merendahkan hati sebab tidak semua hal akan dapat
pernah diketahui secara sempurna, sebab ada halhal yang di luar batas manusia. Dengan
demikian, berfilsafat juga berarti berinstropeksi diri untuk menyatakan kebenaran sejauh mana
yang telah dipahami. Hal yang samajuga ada di dalam Teologi, yaitu bahwa seorang teolog
hanya dapat memahami Allah sejauh mana Ia menyatakan diri-Nya.Sebab manusia adalah
ciptaan yang terbatas, maka tidak dapat mungkin memahami Allah sebagai Pencipta yang tidak
terbatas. Sehingga seorang teolog juga perlu merendahkan diri untuk mendapatkan pemahaman
dari Allah.

Ketiga, keduanya juga memiliki tujuan yang sama, yaitu sama-sama mencari suatu
kebenaran sejati. Dan sumber kebenaran adalah Allah, yang mana Ia telah menyatakan
kebenaran-Nya di dalam wahyu umum dan wahyu khusus. Filsafat bertujuan untuk menemukan
kebenaran sejati dan memberikan ja-waban yang solutif terhadap permasalahan manusia. Filsafat
memiliki tugas untuk melakukan suatu analisis deskriptif dan kritis untuk tindakan, isi dan pra-
anggapan kepercayaan. Salah satu alasan ketidaksepakatan mengenai interpretasi yang tepat dari
pemikiran Aquinas karena dia tidak berbicara banyak tentang masalah Filsafat Kristen. Namun,
dia banyak bicara tentang hubungan antara iman dan akal. Dan dalam karyanya sendiri sebagai
seorang teolog profesional, ia mengembangkan filosofi yang sangat canggih. Seseorang dapat
belajar dari Aquinastidak hanya dengan mengamati apa yang dia katakan tentang masalah alasan
iman, tetapi juga dengan mempertimbangkan dengan hati-hati apa yang dia lakukan -prosedur
yang dia ikuti dalam mengarahkan dirinya ke topik-topik yang menarik secara filosofis.Dalam
hal ini berhubungan dengan pengenalan akan Allah. Teologi juga bertu uan untuk menemukan
kebenaran tentang Allah.

Ilmu teologi merupakan usaha manusia dengan akal-nya untuk meneliti Alkitab, agar
dapat mengetahui kebenaran-kebenaran ilahi. Dalam konteksini, tugas teologi adalah menarik
implikasi dari rangkaian pe-ristiwa dalam urutannya, dan dalam kulminasinya dalam
penampakan Kristus. Atau, sekali lagi, wahyu dapat diadakan untuk memasukkan komunikasi
lang-sung kebenaran melalui organ-organ terpilih dari Roh ilahi. Kemudian, tugas mendasar dari
teologi menjadi kepastian, perumusan, dan sistematisasi ke-benaran yang dikomunikasikan, dan
jika kebenaran ini sampai padanya diperbaiki dalam catatan tertulis yang berwibawa, jelas bahwa
tugasnya sangat difa-silitasi.

Dan yang keempat, keduanya memiliki me-tode dalam mengusahakan pencapaian


tujuannya, sebab sama-sama sebagai ilmu.Nash mengatakan bah-wa meskipun keduanya sering
menggunakan bahasa yang berbeda dan sering mendatangkan kesimpulan yang berbeda, baik
filsafat maupun agama harus berurusan dengan pertanyaan yang sama, yaitu meliputi
pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan apa yang eksis (metafisik), bagaimana manusia
harus hi-dup (etika), dan bagaimana manusia mengetahui. Ada metode-metode yang dimiliki
oleh filsafat maupun teologi di dalam tujuannya mencari kebenaran. Namun hal itu tidak dibahas
dalampembahasan ini.
Dengan demikian, filsafat dan teologi ke-duanya merupakan sarana untuk mencari
kebenaran yang sejati. Yang mana, kebenaran tersebut kembali kepada Allah, sehingga manusia
dapat mengenal-Nya dan mendapatkan kehidupan.Akhirnya, memangAlkitab pernah mencatat
akan nasihat agar berhati- hati dengan filsafat. namun perlu diperha-tikan bahwa jika ada filsafat
yang kosong, tradisi dan yang tidak menurut Kristus, maka sudah tentu juga akan ada filsafat
yang berisi dan yang tunduk kepada Kristus. Sebab berfilsafat yang benar akan membawa
manusia kepada kebenaran Allah, dan kuncinya terletak pada kewaspadaan dan kesadaran ma-
nusiayang hidup berdasarkan Injil, sehingga dapat dikatakan bahwa segala kebenaran adalah
kebenaran Allahyang ada dalam Injil. Berfilsafat dalam Injil inilah yang dapat digunakan untuk
memahami Allah bersama-sama dengan teologi.Sekali lagi dapat dikatakan, seorang teolog
sekaligus adalah filsuf dan begitu juga sebaliknya.

Kebersamaan teologi dan filsafat di dalam memahami tentang Allah, dapat saling
melengkapi. Pada umumnya, teologi lebih berfokus kepada Alki-tab sebagai wahyu khusus
Allah, namun filsafat le-bih luas lagi yaitu hingga kepada wahyu umum Allah.Dan di dalamnya
ada kebenaran, yang bersumber dari Allah, sebab segala kebenaran adalah kebenaran
Allah.Melalui wahyu umum, manusia dapat menge-nal Allah, namun akan lebih sempurna bila
mengenal-Nya melalui wahyu khusus. Alkitab berisi tentang filsafat, namun Alkitab bukan buku
filsafat. Akhirnya, di dalam teori dan praktiknya, sudah seharusnya teologi dan filsafat bersama-
sama digunakan sebagai sarana untuk mengenal dan hidup didalam Allah. Dengan kata lain,
filsafat membentuk menajamkan dan mengembangkan keilmuan teologi dengan
mempertanyakaan keberadaan setiap objek teologi (ontologi), siapa teologi (episte-mologi),
danbagaimana teologi bagi orang Kristen dan dunia (aksiologi).

Tugas filsafat biasanya dilihat sebagai penyelidikan independen yang tidak didasarkan
pada kebenaran yang diungkapkan, ak-hirnya memuncak dalam teologi alamiah, yang me-
rupakan pembenaran filosofis dari beberapa klaim teologis dasar. Namun, ada juga cara kedua
dalam melakukan filsafat, yang dimulai dengan wahyu dan kemudian mendekati dunia alami.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pengaruh antara filsafat dan iman Kristen , yaitu keduanya adalah dua sarana yang
dianugerahkan Allah kepada manusia, sehingga manusia dapat memahami dan mengenal siapa
diri-Nya dan hal-hal yang ber-kaitan dengan-Nya. Dalam perspektif teologi injili, kedua hal
tersebut tidak jarang berseberangan, sehingga menghasilkan sesuatu yang perdebatan yang
serius. Keduanya diusahakan untuk dapat berdampingan dan menajamkan di dalam kekristenan.
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa filsafat dan teologi adalah sesuatu yang netral dan
tergantung kepada siapa yang mempergunakannya. Dapat diibaratkan seperti ‘pisau’, yang dapat
digunakan untuk memasak sesuatu yang indah bila berada di tangan seorang koki, namun juga
dapat digunakan untuk membunuh jika berada di tangan orang yang jahat.
DAFTAR PUSTAKA

http://rhina-sari.blogspot.com/2013/11/makalah-filsafat.html

https://docplayer.info/49776660-Modul-x-filsafat-pendidikan-kristen.html

http://eprints.ums.ac.id/32455/2/04.%20BAB%20I.pdf

http://athenlengkong.blogspot.com/2013/02/dipandang-dari-sudut-manapun-
hubungan.html

file:///C:/Users/ASUS/AppData/Local/Temp/218-1084-4-PB.pdf

Anda mungkin juga menyukai