Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FILSAFAT ISLAM

Mata Kuliah Pengantar Studi Pemikiran Islam

Disusun oleh :

Kelompok 3

Anggi Maysarah Ritonga 2314010189

Dimas Agustian Vieri Syahvahlevi 2314010205

Nurjamiah Nasution 2314010207

Dosen Pengampu :

Webrizal S. Pd, M. Pd

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN

KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL

PADANG 1444H/2023M
KATA PENGANTAR

Kami ucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul
“Filsafat Islam” dengan baikdan selesai tepat waktu.
Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Webrizal S. Pd, M.
Pd. Selaku dosen pengampu mata kuliah pengantar studi pemikiran islam. Kami
juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbanganbaik berupa pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat danmenambah pengetahuan bagi para pembacanya. Bahkan kami
berharap lebih jauh lagi agarmakalah ini dapat dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun makalah ini menyadari masih banyak
kekurangan dalampenyusunan makalah karena kurangnya pengetahuan dan
pengalaman kami. Sehingga denganseluruh kerendahan hati, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untukmembangun dan
menyempurnakan makalah ini yang nantinya kami akan merevisi kembalimakalah
ini pada waktu berikutnya.

Padang, 15 September 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang..........................................................................................1
B. Rumusan masalah....................................................................................1
C. Tujuan masalah........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Islam.........................................................................3
B. Sejarah Munculnya Filsafat Islam...........................................................5
C. Pokok-pokok Masalah yang Dibahas Filsafat Islam................................8
D. Bagaimana Kita Menyikapi Perbedaan Para Filosof Islam dan Apa
Manfaatnya Bagi Kehidupan.................................................................18

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan............................................................................................19
B. Saran......................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Berfikir merupakan hal yang selalu dilakukan oleh manusia, dan
berpikir pula merupakan keistimewaaan yang diberikan oleh Allah SWT
kepada kita manusia. Akal yang diberikan oleh-nya merupakan suatu
pembeda antara kita dengan makhluk lainnya. Para ilmuan-ilmuan yang
terkemuka memberikan resolusi tentang ilmu filsafat namun masing-
masing resolusi mereka berbeda akan tetapi tidak sebaliknya, bahkan
saling mengisi dan saling melengkapi dan terdapat kesamaan yang saling
mempertalikan semua resolusi itu. Hal tersebut baik untuk menambah
pengetahuan kita karena dengan mengetahui pengertian dari para ilmuan-
ilmuan sebelumnya kita, banyak belajar dari sana.
Filsafat merupakan suatu upaya berpikir yang jelas dan terang
tentang secara keseluruhan kenyataan, filsafat dapat mengemudi pikiran
kita untuk meraih kebenaran yang dapat membawa manusia kepada
pemahaman, dan pemahaman membawa manusia pada tindakan yang
lebih layak.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah pada makalah
ini sebagai berikut :
1. Apa pengertian filsafat islam?
2. Bagaimana sejarah munculnya filsafat islam?
3. Apa saja pokok-pokok masalah yang dibahas filsafat islam?
4. Bagaimana kita menyikapi perbedaan para filosof islam dan apa
manfaatnya bagi kehidupan?

1
C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui pengertian filsafat islam
2. Untuk mengetahui sejarah munculnya filsafat islam
3. Untuk mengetahui apa saja pokok-pokok yang dibahas filsafat islam
4. Untuk mengetahui bagaimana kita menyikapi perbedaan para filosof
islam dan manfaatnya bagi kehidupan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Islam


Filsafat islam merupakan gabungan dari dua kata, yaitu filsafat dan
islam. Secara etimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata
philien atau philos, dan sophia. Kata philien atau philos berarti cinta
(love), tetapi dalam maknanya yang luas, berupa Hasrat ingin tahu
seseorang terhadap kebijaksanaan, ilmu pengetahuan, atau kebenaran.
Sementara itu, kata Sophia berarti kebijaksanaan (wisdom). Alhasil, secara
sederhana, filsafat adalah mencintai kebijaksanaan (the love wisdom).
Secara terminologis, filsafat merupakan kontemplasi atau
mempelajari pertanyaan-pertanyaan penting mengenai eksistensi
kehidupan yang berakhir dengan pencerahan dan pemahaman
(illumination and understanding), suatu visi mengenai keseluruhan.
Filsafat menggunakan nalar, persepsi, imajinasi, dan intuisi dalam
aktivitasnya untuk mengklarifikasi konsep-konsep, menganalisis sekaligus
membangun beragam argumen dan teori sebagai jawaban-jawaban yang
mungkin terhadap pertanyaan-pertanyaan perennial tersebut.
Dengan demikian, kata filsafat mengisyaratkan dua kutub, yaitu
kutub aktivitas (ditunjuk kata kerja philein) yang mengungkapkan aspirasi
dan keterarahan kepada sasaran yang belum dimiliki secara utuh, dan
kutub objek yang padanya pikiran manusia mengarahkan diri, yaitu
kebijaksanaan, atau kebenaran (yang di tunjuk kata benda sophia).
Menurut tradisi filsafat yang tua, setidak-tidaknya berdasarkan
berdasarkan tulisan-tulisan Diogenes Laertio dan Cicero, kata Yunani
philosophia pertama kali digunakan Pythagoras untuk menyebut gerak
pencarian akan kebijaksanaan dan kebenaran yang bisa dilakukan manusia.
Walaupun demikian, kebijaksanaan dalam bentuk utuh dan
sempurna hanya ada pada yang Ilahi, sementara manusia yang terbatas

3
sudah merasa puas dengan menegaskan diri sebagai pecinta, dan bukan
pemilik kebijaksanaan dan kebenaran utuh. Dengan akal budinya, manusia
hanya mampu mendekatkan diri kepada kebenaran utuh. Ia tidak pernah
akan meraihnya secara lengkap dan sempurna satu kali untuk selamanya.
Manusia bukan sophos, pemilik kebijaksanaan dan kebenaran utuh, karena
ia hanya philosophos, pecinta kebijaksanaan dan pencari kebanaran.
Sementara itu, kata islam secara semantik berasal dari akar kata
salima yang berarti menyerah, tunduk, dan selamat. Islam artinya
menyerahkan diri kepada Allah, dan dengan menyerahkan diri kepadanya
maka akan memperoleh keselamatan dan kedamaian. Dalam pengertian
menyerah, maka semua makhluk ciptaan Allah, yaitu gunung, Samudra,
udara, air, cahaya, dan bahkan setan, pada hakikatnya ialah Islam, dalam
arti tunduk dan menyerah kepada penciptanya, pada hukum-hukum yang
sudah di tetapkan dan berlaku pada dirinya, sebagai sunnatullah (termasuk
hukum alam).
Sebaliknya, seseorang tidak akan memperoleh keselamatan dan
kedamaian jika ia tidak menyerahkan diri kepada Allah. Jika ia tidak sudi
menyerahkan diri kepada Allah, dapat diartikan ia jatuh dan menyerahkan
diri pada hawa nafsunya, pada egoismenya, sehingga ia justru tidak
selamat dan tidak memperoleh kedamaian. Posisi manusia dan juga
makhluk Allah yang lainnya, di hadapan Allah tidak lain kecuali hanya
menyerahkan diri kepadanya, dan posisi melawan sama sekali berlawanan
dengan kodratnya sebagai ciptaan Allah yang tidak mungkin dapat
melawan Allah, penciptanya.
Jadi, filsafat islam, Islamic philosophy, pada hakikatnya adalah
filsafat yang bercorak Islami. Islam menempati posisi sebagai sifat, corak,
dan karakter dari filsafat. Filsafat islam bukan filsafat tentang islam, bukan
the philosophy of islam. Filsafat islam artinya berpikir dengan bebas dan
radikal, tetapi tetap berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat,
corak, serta karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian hati.

4
Filsafat islam tidaklah semata-mata bersifat rasional, yang hanya
bersandar pada analisis logis terhadap suatu peristiwa, melainkan juga
jejak spiritual untuk memasuki dimensi kegaiban. Rasionalitas filsafat
islam teretak pada kemampuannya menggunakan potensi berpikir secara
bebas, radikal, dan berada pada tataran makna untuk menganalisis fakta-
fakta empiric dari suatu kejadian, dalam bangunan system pengetahuan
yang ilmiah. Sedangkan transendensinya terletak pada kesanggupan
mendaya gunakan kalbu dan intuisi imajinatif, untuk menembus dan
menyatu dalam kebenaran gaib secara langsung, dan menjadi saksi
kehadiran Allah dalam realitas kehidupan.1

B. Sejarah Munculnya Filsafat Islam


Filsafat, sebagaimana telah dijelaskan di muka berasal dari
Keldania (sekarang Irak), kemudian pindah ke Mesir, lalu ke Yunani,
Suryani, dan akhirnya sampai ke negeri Arab. Filsafat pindah ke negeri
Arab setelah datangnya Islam. Setelah kaum muslimin membentuk suatu
negara raksasa yang membentang dari penghujung negeri Cina di timur,
sampai ke penghujung semenanjung Andalusia di Barat.
Mereka telah menerima dan memegang panji-panji peradaban
dunia, mendalami berbagai disiplin ilmu dan seni, serta memikirkan dasar-
dasarnya. Watak ajaran Islam bersifat terbuka, karena itu sesuai dengan
perkembangan dan perluasan wilayah Islam itu sendiri, maka ajaran Islam
tidak bisa lepas dari pergumulan dengan budaya dan pengetahuan bangsa
lain serta berkembang semakin luas dan mencakup berbagai disiplin ilmu,
termasuk filsafat. Pergumulan antara bangsa satu dengan bangsa lain di
dunia hampir tak bisa dihindari sama sekali. Implikasi dari semua ini
adalah, tidak adanya kemurnian budaya satu pun di dunia ini.

1
Dr. Zaprulkhan, S. Sos.I, M.S.I. , pengantar filsafat islam, Yogyakarta, 2019

5
Dan biasanya negara besarlah yang memiliki pengaruh dan bersifat
hegemonik. Hanya saja, Islam memiliki orisinalitas dan otentisitas ajaran.
Oleh karena itu ketika Islam bersinggungan dengan budaya Yunani, Persi,
Cina atau yang lainnya, maka tidak otomatis Islam di Yunanikan,
diPersikan, diCinakan dst. Islam datang pada permulaan abad ke-7 M,
kemudian berkembang sampai ke seluruh Timur Tengah, Afrika Utara dan
Spanyol pada akhir abad tersebut.
Pada wilayah ini peradaban yang sudah ada tetap dikembangkan
dan disemangati oleh karakteristik ajaran Islam (baca: islamisasi). Karena
sesuai dengan watak ajaran Islam itu sendiri,Khuz al-hikmata walaupun fi
ayyi wi'ain kana, Uthlub al-'ilma walaupun bis-Shin). Kontak dengan
wilayah baru menyebabkan umat Islam menyerap ilmu pengetahuan yang
berasal dari Yunani dan juga Cina. Mereka mentransfer ilmu-ilmu tersebut
dalam paradigma baru dan kemudian berkembang sehingga menjadi
bagian dari peradaban Islam. Setelah diserap ke dalam struktur dasar yang
berasal dari wahyu Tuhan.
Warisan Yunani itu sendiri untuk sebagian besar merupakan
campuran pandangan-pandangan kuno di sekitar laut Tengah yang
disistemasikan dan di susun dalam bentuk dialektika oleh orang-orang
Yunani. Dari warisan Aleksandria itu dibawa ke Antiokhia, kemudian ke
Nisibis dan Edessa oleh orang Kristen Monofisit dan Nestorian hingga
sampai Persia (melalui penterjemahan).
Bagdad adalah sebuah kota yang merupakan pusat studi ilmu
pengetahuan yang populer saat itu. Di kota ini berdiri lembaga ilmu
pengetahuan yang bernamaBait al-Hikmah.Pusat studi yang pada awalnya
lahir di Yunani berpindah ke Iskandariyah dan selanjutnya ke Antiokhia
dan berakhir ke kota Haran pada zaman Khalifah al-Must'dhid (892-902).
Pusat studi tersebut dipindahkan dari Haran ke Bagdad. Di antara guru
besar filsafat yang mengajar di Bagdad saat itu antara lain: Quwairi, guru
Abu Basyar Matta dan Yuhanna Ibnu Hilan, guru al-Farabi. Dari muncul
kemudian bermunculan para filosuf Muslim dari al-Kindi hingga al-

6
Ghazali dst. Sebenarnya kaum muslimin pada masa permulaan Islam tidak
bermaksud untuk menukilkan filsafat secara langsung, dengan asumsi
bahwa hal itu tidak dianggap penting, bahkan mereka tidak bermaksud
menukilkan ilmu asing. Bilamana ada ilmu-ilmu asing yang telah
merembes ke Arab (Islam), hal itu karena adanya hubungan bangsa Arab
dengan bangsa-bangsa sekitarnya. Hubungan itu telah terjadi pada masa
Jahiliyah meski hanya dalam batas tertentu. Sehubungan dengan
perpindahan ilmu asing ke Arab pada permulaan Islam, ada suatu cerita
yang menarik. Konon pada zaman Rasulullah sudah ada dokter yaitu, Al-
Haris Ibnu Kildah as Saqafi. Ia dikenal sebagai dokter Arab.
Diriwayatkan dari Sa'ad Ibnu Abi Waqas, bahwa ia pernah sakit
dan Rasulullah datang menjenguknya, lalu Rasulullah berkata (kepada
Sa'ad): “Datanglah kamu kepada Haris Ibn Kildah, ia adalah seorang yang
mengajarkan ilmu kedokteran”. Sebenarnya saat itu pengetahuan Al-Haris
di bidang kedokteran masih sedikit, ia belum menguasai pokok-pokok
ilmu kedokteran dan cabang-cabangnya secara ilmiah, karena hal itu
memerlukan pengetahuan bahasa Suryani.
Perpindahan ilmu kedokteran dari Yunani ke Jundishapur, serta
penerjemahan buku-buku kedokteran ke bahasa Suryani adalah setelah
dibangunnya Iskandariyah, kota yang menjadi pusat peradaban Yunani.
Pada masa kejayaan Iskandariyah inilah banyak ilmuawan yang
bermunculan di sana. Mereka itu antara lain: Archimedes, Ptolemy, Galen,
Euclid dan lain-lain. Mereka telah meletakkan dasar-dasar ilmu
pengetahuan, seperti ilmu geometri, astronomi dan kedokteran.
Iskandariyah selanjutnya menjadi mercusuar ilmu pengetahuan sampai
pada abad ke-6 Masehi. Di sana lahir para ilmuwan generasi kedua yang
menyusun kembali, memperbaiki dan menyiapkan buku-buku para
ilmuwan generasi sebelumnya untuk mengajarkan kepada generasi
selanjutnya.

7
Dari generasi kedua inilah orang-orang Arab menukilkan berbagai
cabang ilmu pengetahuan dan filsafat. Demikianlah juga, Sehingga dapat
dikatakan bahwa perpindahannya filsafat ke Arab adalah setelah
Iskandariyah dibangun dan menjadi pusat ilmu pengetahuan, dimana
orang-orang Arab menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan
filsafat baik dari bahasa Yunani maupun dari bahasa Suryani ke dalam
bahasa Arab.
Penerjemahan buku-buku filsafat yang dilakukan orang-orang Arab
pada awalnya bukanlah bertujuan untuk mempelajari filsafat.
Kecenderungan bangsa Arab kala itu pada ilmu pengetahuan bukan pada
filsafat. Akan tetapi karena buku-buku yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab tersebut kebanyakan karya dari para Filosof Yunani, yang
mencampuradukkan antara filafat dan ilmu pengetahuan, maka orang-
orang Arab yang mempelajari ilmu pengetahuan terdorong pula untuk
mengenal filsafat, mempelajari aliran-alirannya, riwayat hidup para filosof
dan pendapat-pendapat mereka mengenai hubungan ilmu pengetahuan dan
filsafat. Karena perpindahannya filsafat ke negeri Arab tersebut adalah
setelah datangnya Islam di negeri ini, maka akhirnya filsafat yang
berpindah ke negeri Arab tersebut lebih dikenal dengan istilah filsafat
Islam.

C. Pokok-pokok Masalah yang Dibahas Filsafat Islam


1. Emanasi
Emanasi adalah teori yang dikemukakan oleh Plotinus, yang
terkenal dengan sebutan aliran Neo-Platinisme. Prinsip teori emanasi
adalah penjelasan tentang munculnya yang banyak dari yang satu atau
terjadinya alam dari sumber yang pertama. Dalam bahasa agama sering
dinamakan dengan penciptaan, yakni bagaimana Tuhan menciptakan alam
ini. Proses ini merupakan proses otomatis tanpa kehendak, bagaikan
munculnya panas dari api dan cahaya dari matahari. Persoalan tentang

8
terciptanya alam merupakan persoalan parenial yang sampai saat ini belum
terpecahkan secara baik. Al-Farabi, Filosof muslim yang terkenal
menguraikan teori emanasi secara lebih rinci. Al-Farabi menggunakan
teori emanasi, yang dalam bahasa arab disebut nazhariyat Al-faidh (teori
limpahan). Karena sesuatu kalau sudah sempurna akan melimpah,
bagaikan gelas jika terus diisi dengan air akan melimpah. Begitu juga
Tuhan yang maha sempurna akan melimpah dari dirinya kesempurnaan
juga.
2. Jiwa/ruh
Jiwa dalam bahasa arab disebut dengan nafs atau ruh, sedangkan
dalam bahasa inggris soul atau spirit adalah unsur immateri dalam diri
manusia. Jiwa tidak dapat dipisahkan dari tubuh, begitu juga sebaliknya
karena tanpa salah satu dari keduanya, seseorang tidak dapat dikatakan
manusia. Kendati jiwa adalah unsur pokok dalam diri manusia, persoalan
hakikat jiwa, hubungan jiwa dengan badan dan keabadian jiwa tidak
mudah dipecahkan. Karena itu, tidak heran para ahli agama, filosof, sufi,
dan psikolog sampai sekarang masih terus berusaha mengkaji dan
mendalami tentang eksistensi jiwa. Dalam kitab-kitab suci agama pun,
ungkapan jiwa termasuk bahasan yang penting karena terkait dengan
kepercayaan pokok, yaitu percaya akan hari akhirat, yang didalamnya
terkandung makna keabadian jiwa.
Dalam Al-Qur’an, jiwa diungkapkan denga kata nafs atau ruh, yang
artinya tidak selalu sama karena nafs sendiri tidak satu artinya, ada yang
berarti jiwa, hati, dan jenis. Sedangkan ruh yang berarti jiwa, malaikat
jibril, dan wahyu. Kendati terdapat persamaan arti antara nafs dan ruh,
dalam mu’jam Al-wasith, ruh dan nafs dibedakan. Ruh adalah yang
menghidupkan nafs dan esensi ruh lebih halus daripada nafs. Pengertian
ini tampaknya diperkuat oleh M. Quraish Shihab, yang mengatakan bahwa
nafs dalam Al-Qur’an menggambarkan totalitas manusia atau kepribadian
seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Dia mengutip
pendapat Abdul Karim Al-Khatib, salah seorang ulama islam kontemporer,

9
yang cenderung memahami jiwa sebagai suatu hasil perpaduan antara
jasmani dan ruhani manusia, perpaduan yang kemudian menjadikan yang
bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan pengetahuan, serta dikenal
dan dibedakan dengan manusia lainnya. Sedangkan Ibn Katsir berpendapat
bahwa nafs dan ruh adalah sama, yaitu zat yang halus menjalar didalam
tubuh, seperti mengalirnya air dalam akar pohon-pohonan.
Ibnu Miskawih, filosof etika, berpendapat bahwa jiwa adalah
substansi sederhana, tidak dapat diindera, jiwa bukanlah tubuh, bukan
juga bagian dari tubuh, dan bukan pula materi. Jiwa itu satu dan lebih
luas dari pada materi karena jiwa dapat menerima sesuatu yang
berlawanan pada saat yang bersamaan, seperti warna putih dan hitam,
sedangkan tubuh tidak dapat menerima kedua warna itu bersamaan. Jiwa
juga tidak dapat diukur dengan ukuran panjang atau lebar sebagaimana
mengukur benda karena jiwa tidak akan berubah lebih panjang atau lebih
lebar.
Ibnu Sina meyakini benar bahwa jiwa adalah unsur yang berbeda dari
tubuh dan memiliki karakter spesifik. Untuk mejelaskan perbedaan
tersebut dan sekaligus memperkuat adanya jiwa. Ibn Sina
mengemukakan empat argumen, yaitu:
1) Argumen psiko fisik, yaitu setiap benda harus tunduk pada hukum
alam, contohnya batu harus jatuh kebawah dan tidak bergerak, tetapi
ternyata manusia adalah benda yang bisa bergerak. Gerak manusia ini
tentu tidak digerakkan oleh tubuh itu sendiri, tetapi ada unsur luar yang
menggerakkannya, yang disebut jiwa.
2) Aku dan fenomena psikologis, yaitu ketika seseorang mengatakan aku
mau tidur, maka yang dimaksudnya bukan kakinya bergerak dan
matanya tertutup, tetapi yang dimaksud aku adalah keseluruhan dirinya
yang satu dan itu adalah jiwa.
3) Argumen kontinuitas, yaitu pengetahuan seseorang selalu sambung-
menyambung dari yang dulu , sekarang, dan yang akan datang tanpa
terputus. Seseorang dapat mengingat masa lalu, dan berada pada saat ini,

1
kemudian dapat memprediksi masa yang akan datang, yang semua itu
menunjukkan adanya aktivitas yang dilakukan oleh unsur selain badan,
yang disebut jiwa.
4) Argumen manusia terbang, yaitu diandaikan ada seseorang yang
lahir dengan kesempurnaan akal dan tubuh kemudian ditutup matanya,
sehingga tidak dapat melihat kemudian diterbangkan di udara kosong
tanpa bersentuhan dengan benda apapun, maka dapat dikatakan bahwa
jiwa itu ada karena dia dapat mengkhayalkan adanya kaki dan tangan.
Jelas bahwa khayalannya tentang kaki dan tangan bukan berasal dari
indera, tetapi unsur yang lain, yaitu jiwa.
Ibnu Sina meyakini bahwa jiwa akan kekal setelah mati karena jiwa
manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Jiwa tidak
akan mati ketika kematian tubuh karena jiwa adalah unsur yang sama
sekali berbeda dengan tubuh dan tidak mungkin jiwa tergantung pada
tubuh. Hubungan antara tubuh dan jiwa bukanlah hubungan yang
kausal dan keharusan, tetapi bagaikan hubungan tuan dan hamba, yaitu
tuan tidak terpengaruh dengan perubahan yang menimpa hambanya.
Karena itu, jiwa tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada
badan karena tidak hanya mendapat balasan didunia saja, tetapi nanti
pada hidup kedua di akhirat. Jika jiwa manusia telah mencapai
kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan, maka dia akan
mengalami kesenangan untuk selamanya, dan jika dia berpisah dengan
badan dengan keadaan yang tidak sempurna, karena waktu bersatu
dengan tubuh dipengaruhi hawa nafsu, maka ia akan hidup dalam
keadaan menyesal untuk selamanya.
3. Akal
Permasalahan akal merupakan bagian yang menjadi pembahasan
tidak saja dalam filsafat islam, tetapi juga dalam teologi dan bahkan
hampir di semua aspek dalam bidang keilmuan islam. Dalam fiqih
umpamanya, akal merupakan bagian yang amat pokok untuk berijtihad
karena setelah Al-Qur’an dan hadits, akal lah yang berperan

1
menentukan suatu hukum. Hadits nabi juga menegaskan bahwa jika
ditemukan penyelesaian suatu persoalan dalam Al-qur’an dan hadits,
maka hendaklah berijtihad dengan akal. Karena itu, wajar kemudian
akal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan bagian
keilmuan dalam islam.
Peranan akal dalam teologi mu’tadzilah amat besar jika
dibandingkan dengan Asy-Ariyah. Bagi mu’tadzilah manusia sudah
harus melakukan kebaikan dan meninggakan keburukan kendati belum
diutus rasul karena Tuhan memberi daya akal kepada manusia untuk
membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Menurut Al-Kindi, akal terbagi atas empat: pertama akal yang
selalu bertindak; kedua, akal yang secara potensial berada dalam ruh;
ketiga, akal yang berubah di dalam ruh dari daya menjadi aktual; dan
keempat, akal yang kita sebut akal kedua.2
Akal menurut Al-Razi merupakan limpahan dari Tuhan. Akal
diciptakan oleh Tuhan untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam
fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, serta
bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan
kebahagian yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi
dengan jalan berfilsafat.3
4. Teori kenabian
Kenabian merupakan salah satu pembahasan yang dibicarakan oleh
para filosof Islam karena persoalan ini terkait erat dengan pelimpahan
dari Akal Aktif (Jibril) kepada para nabi dan filosof. Jika para nabi
mendapatkan wahyu dari jibril, maka filosofpun dapat berhubungan
dengan jibril yang dalam istilahnya disebut Akal Aktif. Persoalan
berikutnya adalah jika nabi dan filosof sama-sama dapat berhubungan
dengan Jibril, apa perbedaan nabi dan filosof. Dalam kata lain apakah

2
Ahmad fouad El-Ehwany, Islamic philosophy, (kairo, 1951)
3
Al-razy, rasa’il falsafiyyah, (Beirut:Dar al-afaq al-jadilah, 1982)

1
kedudukan nabi dan filosof sama atau berbeda. Kalau sama di mana
letak persamaannya jika berbeda dimana letak perbedaannya.
Dalam beberapa hal nabi dan filosof sama, yakni dapat
berhubungan dengan Jibril, baik ketika bangun maupun ketika tidur.
Sedangkan filosof hanya dapat berhubungan dengan Jibril hanya ketika
tidur saja. Di samping itu, nabi berhubungan dengan perantara
hidayah, sedangkan filosof lewat perantara akal mustafad. Persoalan
inilah yang kemudian dibicarakan oleh para filosof-filosof muslim.
Menurut Al-Farabi, dasar setiap agama langit adalah wahyu dan
inspirasi. Seorang nabi adalah seseorang yang dianugerahi kesempatan
untuk dapat langsung berkomunikasi dengan Tuhan dan diberi
kemampuan untuk menyatakan kehendak-Nya. Islam, sebagaimana
agama-agama langit lainnya, mempunyai Tuhan sebagai penguasa. Al-
Qur’an mengatakan: “ Ia tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
Tuhan Yang Maha Kuasa telah mengajarnya.” (QS. 53: 4-5).
Al-Razi adalah seorang tokoh filsafat yang kontroversial yang
mengikuti aliran rasionalis murni. Oleh karena itu, ia berpandangan
manusia tidak membutuhkan adanya nabi yang tugasnya mengatur
kehidupan manusia agar teratur. Manusia bisa teratur dalam menata
kehidupannya dengan adanya akal yang diberikan oleh Tuhan kepada
manusia sebagai karunia yang terbesar. Jadi, menurutnya hanya
dengan akal-lah manusia dapat hidup teratur tanpa nabi sekalipun.4
Adapun menurut Al-Thusi, manusia mempunyai kebebasan dalam
bertindak dan kelak akan dibangkitkan kembali tubuhnya. Setelah
menetapkan kebebasan berkehendak dan kebangkitan kembali tubuh,
Al-Thusi lalu menetapkan perlunya kenabian dan kepemimpinan
spiritual. Pertentangan minat serta kebebasan individu mengakibatkan
tercerai-berainya kehidupan sosial, dan ini memerlukan aturan suci
dari Tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia.5

4
Abdul Rahman Badawi, Muhammad ibn Zakaria al-razi, dalam M.M syarif, para filosof
5
M.M Sharif

1
Pendapat tersebut membawa konsekwensi beraganya minat serta
dimungkinkannya terjadi kekacauan dalam kehidupan sosial. Untuk itu
diperlukan aturan suci dari Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia.
Oleh karena Tuhan berada di luar jangkauan indera, maka Dia
mengutus nabi untuk menuntun manusia. Jadi kehadiran nabi sangat
diperlukan manusia, termasuk dalam hal kepemimpinan spiritual untuk
melanjutkan aturan suci yang ditetapkan para nabi.
5. Eskatologi
Iman pada hari akhirat dalam Islam merupakan rukun iman setelah
iman kepada Tuhan. Jika seseorang tidak mengimani kebangkitan di
hari akhirat, maka dia berhak di cap kafir. Al-Ghazali, yang terkenal
dengan julukan hujjatul Islam. Mencap filosof kafir karena filosof
mengimani kebangkitan ruhani dan menolak kebangkitan jasmani.
Persoalannya adalah apakah benar filosof itu kafir sebagimana
dituduhkan Al-Ghazali. Kalau benar apakah kafir mereka sama dengan
kafir musyrik. Persoalan inilah yang kemudian mendapat reaksi cukup
keras dari Ibn Rusyd, sehingga menulis buku khusus, yang berjudul
Tahafut Al-Tahafut untuk menjawab tuduhan Al-Ghazali tersebut.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana sebenarnya posisi Al-
Ghazali yang menggugat para filosof dan bagaimana juga posisi Ibn
Rusyd dalam menjawab tuduhan Al-Ghazali tersebut. Bentuk
perdebatan dengan argument masing-masing inilah yang cukup
menarik untuk dikaji dan didalami karena kedua tokoh ini cukup
memiliki pengaruh besar dalam pola pemikiran umat Islam sampai
sekarang. Karena itu, ini tidak bertujuan untuk menilai mana yang
benar dan salah, tetapi untuk menjelaskan secara proporsional dan
objektif suatu perdebatan yang berkualitas. Penilaian diserahkan
kepada pembaca mana yang dianggapnya benar atau salah.
6. Kebaikan dan kejahatan
Adanya kejahatan di jagad raya merupakan masalah yang tidak
henti-hentinya diperdebatkan, terutama oleh agamawan dan ilmuwan.

1
Masalah yang mendasar, terutama bagi teisme, adalah kenapa
kejahatan itu ada, padahal Tuhan Pencipta, maha kuasa, dan sumber
kebaikan. Salah satu susunan argument ateisme menolak teisme adalah
sebagai berikut :
a. Jika Tuhan maha baik, tentu Dia akan membasmi kejahatan
b. Jika Tuhan maha kuasa, tentu Dia mampu menghancurkan
kejahatan
c. Tetapi Kejahatan belum terhapus
d. Karena itu, Tuhan tidak ada.6
7. Alam antara Qadim dan Baharu
Perbincangan mengenai penciptaan alam dan sifat alam merupakan
salah satu hal yang krusial, dalam teologi Islam maupun dalam filsafat
Islam. Sebab jika alam qadim sedangkan Tuhan juga qadim, maka
tentu ada 2 yang qadim. Dua yang qadim bertentangan dengan ajaran
dasar Islam yang menegaskan bahwa hanya Tuhan satu-satunya zat
yang qadim, selain Tuhan adalah baharu dan ciptaan-Nya. Perdebatan
inilah yang muncul di kalangan filosof karena mereka di tuduh
memprakarsai alam qadim. Apakah benar alam qaim menurut filosof
atau tidak bahkan mereka yang menuduh filosof mengatakan alam
qadim salah memahami pandangan filosof.
Menurut Al-Kindi, Tuhan menciptakan alam dari tidak ada
karenanya alam adalah baharu. Penciptaan alam adalah proses dari
yang tertinggi sampai yang terendah. Akal adalah yang tertinggi dan
materi adalah yang terendah. Namun, dalam pemikiran Al-Kindi tidak
jelas apakah dia menganut teori emanasi tentang penciptaan atau tidak
karena tidak ada tulisannya yang terperinci tentang itu.

6
Noman L. Geisler and William Watkins, Perspective unknowing and evaluating today’s world
view

1
8. Pengetahuan Tuhan
Salah satu persoalan yang diperdebatkan kalangan teolog da filosof
adalah mengenai pengetahuan Tuhan apakah Tuhan mengetahui hal-
hal yang terperinci, seperti apakah Tuhan mengetahui semut hitam
berjalan di malam gelap diatas batu hitam. Persoalannya adalah jika
Tuhan mengetahui hal-hal yang terperinci, maka Tuhan amat sangat
sibuk dan apa gunanya Tuhan mengetahui semua itu. Jika Tuhan tidak
mengetahui tentu di samping terkesan Dia tidak mengetahui, juga tidak
sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan Tuhan Maha
Mengetahui.
Persoalan inilah yang diperdebatkan secara panjang lebar antara
teolog dan filosof. Abu Barakat Al-Bagdadi berkomentar tentang
persoalan tersebut, “Para pemikir kontemporer dan tradisional berbeda
pendapat tentang pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal yang
terperinci. Sebagian mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak
mengetahui selain zat dan sifat-Nya. Adapun sebagian yang lain
mengatakan bahwa Tuhan mengetahui zat dan juga semua makhluk-
Nya dalam berbagai keadaan, baik yang sekarang maupun yang akan
datang. Sisanya berpendapat bahwa Tuhan mengetahui zat sifat-sifat
global, dan wujud yang abadi lewat zat-Nya. Bagi pendapat yang
terakhir ini Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang terperinci dan
berbagai perubahan di jagad raya.
9. Hukum kausalitas
Teori kausalitas adalah salah satu sumbangan terbesar filsafat pada
ilmu. Ilmu menjadikan teori kausalitas sebagai dasar pijakannya. Ilmu
kesehatan umpamanya, harus taat azaz pada hukum sebab akibat.
Kalau obat tertentu tidak memberi kepastian penyembuhan bagi
penyakit tertentu, maka akan kacau sistem pengobatan. Karena itu,
obat harus mencapai tingkat kepastian sebagai penyembuh suatu
penyakit. Peristiwa-peristiwa di alam juga tidak terlepas dari hukum
sebab akibat, seperti api membakar dan air membasahi.

1
Teori kausalitas sudah dikembangkan sejak zaman Yunani.
Aristoteles mempertegas keberadaan teori kausalitas dengan
menguraikan bahwa ada empat macam sebab, yaitu sebab materi,
bentuk, efisisen, dan tujuan. Keempat jenis sebab tersebut saling
terkait dan bersatu. Sebab materi dan bentuk ada dalam benda itu
sendiri, sedangkan sebab efisien dan tujuan berada di luar benda.
Keempat sebab berlaku, baik bagi kejadian alam maupun bagi kejadian
yang disebabkan oleh manusia. Aristoteles bermaksud bahwa dengan
penjelasan ini ia memberikan daftar komplit yang memuat semua
faktor yang dapat menyebabkan suatu kejadian. Dalam suatu kejadian
keempat jenis sebab itu dapat dibedakan, paling tidak secara logis.7
10. Ruang dan waktu
Dalam sistem Aristoteles, alam terbatas oleh ruang, tetapi tidak
terbatas oleh waktu. Hal itu dikarenakan gerak alam seabadi Penggerak
Tak Tergerakkan (Unmovable Mover). Keabadian alam ini ditolak
dalam pemikiran Islam, karena alam adalah diciptakan. Untuk itu para
filosof muslim mencari jalan keluarnya yang sesuai dengan agama dan
permasalahan tersebut. Tokoh filosof Muslim yang dianggap ateis
karena sependapat dengan Aristoteles bahwa alam ini kekal adalah Ibn
Sina dan Ibn Rusyd.
Al-Kindi memecahkan masalah tersebut secara radikal dengan
gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Ia mengatakan
bahwa alam ini tidak kekal. Benda-benda fisik terdiri atas materi dan
bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu. Waktu dan ruang
adalah hal yang terbatas, karena keduanya tidak aka nada kecuali
dengan keterbatasan. Waktu bukanlah gerak, tetapi bilangan pengukur
gerak, karena waktu tak lain adalah yang dahulu dan yang akan datang.
Bilangan terdiri atas dua macam, yaitu tersendiri dan
berkesinambungan. Oleh karena itu, waktu adalah berkesinambungan
yang dapat ditentukan, yang berproses dari dulu hingga kelak.
7
K. Bertens, Sejarah filsafat Yunani, Yogyakarta

1
D. Bagaimana Kita Menyikapi Perbedaan Para Filosof Islam dan Apa
Manfaatnya Bagi Kehidupan
Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang melarang
perpecahan (iftiraq) dan perselisihan (ikhtilaf), namun apabila kita
mencermati, akan tampak oleh kita bahwa yang dimaksud adalah berbeda
pendapat dalam masalah-masalah prinsip atau Ushul yang berdampak
kepada perpecahan. Adapun berbeda pendapat dalam masalah-masalah
cabang agama atau Furu’, maka hal ini tidaklah tercela dan tidak boleh
sampai berdampak atau berujung pada perpecahan, karena para sahabat
juga berbeda pendapat akan tetapi mereka tetap bersaudara dan saling
menghormati satu dengan yang lain tanpa saling menghujat atau
melecehkan dan menjatuhkan.
Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya,
ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya,
mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang
tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Quran
dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima
kebenaran dari siapapun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah
menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran
mutlak hanya milik Allah. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat
mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti, dan
menolak pendapat lain sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan agama.
“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan
pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”
Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.

1
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian mengenai Filsafat Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa;
1. Filsafat berasal dari kata Yunani yaitu philos (keinginan) dan Sophia
(kebenaran) jadi, filsafat adalah cinta kepada ilmu pengetahuan atau
kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Adapun filsafat Islam
adalah pemikiran-pemikiran filsafat yang memberikan kontribusi pada
Islam dan sebaliknya Islam menggunakan filsafat untuk memperkuat
prinsip-prinsip agama.
2. Filsafat Barat adalah hasil pemikiran radikal oleh para filosof Barat sejak
abad pertengahan sampai abad modern. Sedangkan Filsafat Islam adalah
berpikir bebas, radikal dan berada pada taraf makna yang mempunyai
sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan kedamaian hati.
3. Filsafat Islam berawal dari filsafat Yunani yang telah dipelajari
sebelumnya oleh bangsa taklukan Islam seperti Mesir, Baghdad dan Syiria
yang kemudian diteruskan secara intensif oleh para Khalifah. Tokoh-tokoh
filsafat Islam yaitu : AlKindi, Ibnu Rusyd, Al Razi, Ibn Thufail, Al Farabi,
Suhrawardi Al Maqtul, Mulla Shadra, Nashiruddin Thussi, dll.
4. Pokok-pokok yang dibahas dalam filsafat Islam yaitu :
a) Prinsip teori emanasi adalah penjelasan tentang munculnya yang
banyak dari yang satu atau terjadinya alam dari sumber yang pertama.
b) Jiwa dalam bahasa arab disebut dengan nafs atau ruh, sedangkan
dalam bahasa inggris soul atau spirit adalah unsur immateri dalam diri
manusia. Jiwa tidak dapat dipisahkan dari tubuh, begitu juga
sebaliknya karena tanpa salah satu dari keduanya, seseorang tidak
dapat dikatakan manusia.
c) Akal, merupakan bagian yang amat pokok karena digunakan untuk
berijtihad dan membantu manusia agar tidak terlena oleh materi.

1
d) Filosof berkomunikasi melalui mimpi sedangkan nabi diberi
kemampuan untuk berkomunikasi secara langsung maupun dalam
mimpi. Dan kenabian menjadi penting karena jika manusia hanya
menggunakan akal maka akan terjadi kerusakan dan karena itu perlu
adanya suatu petunjuk suci dari-Nya.
e) Eskatologi = Iman pada hari akhirat dalam Islam merupakan rukun
iman setelah iman kepada Tuhan.
f) Kebaikan dan kejahatan,
g) Alam, antara qodim dan baru, menurut alKindi, alam itu baru.
Penciptaan alam dimulai dari yang tertinggi hingga yang terendah.
h) Pengetahuan Tuhan.
i) Hukum kausalitas(sebab-akibat)
j) Ruang dan waktu.

B. Saran
Kami selaku penulis memohon kepada para pembaca agar memberikan
kritik dan saran atas makalah kami karena pasti kami tidak akan lepas dari
kekeliruan-kekeliruan.

2
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Badawi, Muhammad ibn Zakaria al-Razi,

Ahmad Fouad El-Ehwany, Islamic philosophy,


Al-razy, Rasa’il Falsafiyyah, Beirut: Dar al-afaq al-jadilah, 1982 dalam M.M
syarif, Para Filosof

Dr. Zaprulkhan, S. Sos.I, M.S.I. , Pengantar Filsafat Islam,


K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta
Kairo, 1951

M.M Sharif

Noman L. Geisler and William Watkins, Perspective Unknowing and Evaluating


today’s world view

Yogyakarta, 2019

Anda mungkin juga menyukai