Anda di halaman 1dari 21

FILSAFAT KETUHANAN SEBAGAI PENDEKATAN DALAM

ISLAM
TUGAS INI DISUSUN UNTUK MATAKULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DISUSUN OLEH:

ENDA DESMITA (2313462044)

TINGKAT 1 A

PROGRAM STUDI PEREKAM MEDIS DAN INFORMASI


KESEHATAN

UNIVERSITAS IMELDA MEDAN

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapakan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-
Nya kami dapat menyususn makalah ini yang berjudul “Filsafat Ketuhanan Sebagai
Pendekatan Dalam Islam”. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas
matakuliah Pendidikan Agama Islam. Dalam makalah ini menyajikan tentang filsafat
ketuhanan dalam pandangan agama islam.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca. Mungkin makalah ini masih banyak memiliki kekurangan walaupun kami
telah berusaha menyajikan yang terbaik bagi pembaca dan pendengar. Oleh karena itu, kritik
dan saran untuk menyempurnakan makalah ini dengan senang hati kami terima. Mudah-
mudahan makalah ini bermanfaat dan dapat dijadikan tuntunan oleh para pendengar dan
pembaca agar dapat menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari.

Medan, 20 September 2023

Penulis,

Enda Desmita

i
DAFTAR ISI

hal
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1


A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan .............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3


A. Pengertian Filsafat ............................................................................................. 3
B. Filsafat Ketuhanan Dalam Islam ........................................................................ 5
C. Kepercayaan Dalam Islam ................................................................................. 13
D. Pemikiran Aliran Dalam Islam ........................................................................... 15

BAB III PENUTUP ............................................................................................... 17


A. Simpulan .......................................................................................................... 17
B. Saran ................................................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuhan dipahami sebagai zat Mahakuasa dan asas dari suatu kepercayaan. Definisi
tentang Tuhan tidak memiliki kesepakatan, terdapat berbagai konsep ketuhanan. Dalam
pandangan teisme, Tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di alam
semesta. Menurut deisme, Tuhan merupakan pencipta alam semesta, namun tidak ikut
campur dalam kejadian di alam semesta. Menurut panteisme, Tuhan merupakan alam semesta
itu sendiri. Penganut monoteisme peracya bahwa Tuhan hanya ada satu, serta tidak berwujud
(tanpa materi), memiliki pribadi, sumber segala kewajiban moral, dan “hal terbesar yang
dapat direnungkan”.
Akibat konsep ketuhanan yang berbeda-beda itulah, banyak gagasan tentang sosok
Tuhan, sifat-sifat yang dimiliki-Nya, bahkan hakikat Tuhan pun terus dipermasalahkan.
Siapakah dan bagaimanakah Tuhan terus dicari oleh manusia sebagai fitrah seorang hamba
yang akan selalu memerlukan eksitensi tertinggi yang dapat menjadi tempat bertumpu dan
berlindung. Immanuel Kant menyatakan, bahwa “kebenaran adanya Tuhan adalah kebenaran
yang postulat. Yaitu kebenaran tertinggi dalam tingkat kebenaran. Kebenaran tak
terbantahkan. Kenenaran yang berada di luar jangkauan indera, akal dan ilmu pengetahuan.”
Dengan demikian, muncullah sebuah agama yang diaggap menjadi wadah kebenaran akan
adanya Tuhan. Agama merupakan suatu kepercayaan akan keberadaan suatu kekuatan
pengatur supranatural, yang menciptakan dan mengendalikan alam semesta yang selanjutnya
dapat disimpulkan, bahwa “agama merupakan suatu kepercayaan akan adanya Tuhan”.

B. Rumusan Masalah

 Apa pengertian filsafat?


 Bagaimana filsafat ketuhanan dalam islam?
 Apa saja jenis kepercayaan dalam islam?
 Bagaimana pemikiran aliran dalam islam tentang tuhan?

1
C. Tujuan

 Untuk mengetahui serta memahami konsep filsafat


 Untuk mengetahui serta memahami konsep filsafat ketuhanan dalam islam
 Untuk mengetahui serta memahami kepercayaan yang ada dalam islam
 Untuk mengetahui serta memahami aliran dalam islam tentang tuhan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat
Secara etimologis kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia dari kata
“philos” berarti cinta atau “philia” (persahabatan, tertarik kepada) dan “sophos” yang berarti
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman. praktis, intelegensi) 1. Dalam bahasa
Inggris adalah philosophy. Filsafat boleh dimaknakan ingin mengerti dengan mendalam atau
cinta dengan kebijaksanaan. Secara harfiah, filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Hal ini
menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian menyeluruh
tentang segala sesuatu yang dimaksudkan kebijaksanaan, namun terus menerus harus
mengejarnya. Filsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio yang menembus dasar-dasar
terakhir dari segala sesuatu. Filsafat menggumuli seluruh realitas, tetapi teristimewa
eksistensi dan tujuan manusia2.
Kecintaan pada kebijaksanaan haruslah dipandang sebagai suatu bentuk proses, artinya
segala usaha pemikiran selalu terarah untuk mencari kebenaran. Orang yang bijaksana selalu
menyampaikan suatu kebenaran sehingga bijaksana mengandung dua makna yaitu baik dan
benar. Sesuatu dikatakan baik apabila sesuatu itu berdimensi etika, sedangkan benar adalah
sesuatu yang berdimensi rasional, jadi sesuatu yang bijaksana adalah sesuatu yang etis dan
logis. Dengan demikian berfilsafat berarti selalu berusaha untuk berfikir guna mencapai
kebaikan dan kebenaran, berfikir dalam filsafat bukan sembarang berfikir namun berpikir
secara radikal sampai ke akar-akarnya, oleh karena itu meskipun berf ilsafat mengandung
kegiatan berfikir, tapi tidak setiap kegiatan berfikir berarti filsafat atau berfilsafat.
Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa pekerjaan berfilsafat itu ialah berfikir,
dan hanya manusia yang telah tiba di tingkat berfikir, yang berfilsafat (Alisyahbana, 1981).
Guna lebih memahami mengenai makna filsafat, berikut ini akan dikemukakan definisi
filsafat yang dikemukakan oleh para filsuf3:
1. Plato salah seorang murid Socrates yang hidup antara 427 – 347 SM mengartikan filsafat
sebagai pengetahuan tentang segala yang ada, tidak ada batas antara filsafat dan ilmu
(Gazalba, 1992)

1
Setya Widyawati, Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pendidikan. Jurnal Seni Budaya.
Volume 11 No. 1 Juli 2013. hlm 88.
2
Ibid. hlm. 88.
3
Ibid. hlm. 88-89.

3
2. Aristoteles (382 – 322 SM) murid Plato, menurutnya, filsafat bersifat sebagai ilmu yang
umum sekali yaitu ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di
dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika
(Suharsaputra, 2004) Dia juga berpendapat bahwa filsafat itu menyelidiki sebab dan asas
segala benda (Gazalba, 1992).
3. Cicero (106 – 43 SM). Filsafat adalah induk segala ilmu dunia. Fi lsafatlah yang
menggerakkan, yang melahirkan berbagai ilmu karena filsafat memacu para ahli
mengadakan penelitian (Gazalba, 1992).
4. Al Farabi (870 – 950 M) adalah seorang Filsuf Muslim yang mendefinisikan filsafat
sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud, bagaimana hakikatnya yang sebenarnya.
(Suharsaputra, 2004)
5. Immanuel Kant (1724 – 1804). Mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pokok dan pangkal
segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan yaitu :
a. Metafisika (apa yang dapat kita ketahui).
b. Etika (apa yang boleh kita kerjakan).
c. Agama (sampai dimanakah pengharapan kita)
d. Antropologi (apakah yang dinamakan manusia). (Suharsaputra, 2004)
6. H.C Webb dalam bukunya History of Philosophy menyatakan bahwa filsafat mengandung
pengertian penyelidikan. Tidak hanya penyelidikan hal-hal yang khusus dan tertentu saja,
bahkan lebih-lebih mengenai sifat – hakekat baik dari dunia kita, maupun dari cara hidup
yang seharusnya kita selenggarakan di dunia ini. (Suharsaputra, 2004)
7. Harold H. Titus dalam bukunya Living Issues in Philosophy mengemukakan beberapa
pengertian filsafat yaitu 4:
a. Philosophy is an attitude toward life and universe (Filsafat adalah sikap terhadap
kehidupan dan alam semesta).
b. Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned inquiry (Filsafat adalah
suatu metode berfikir reflektif dan pengkajian secara rasional)
c. Philosophy is a group of problems (Filsafat adalah sekelompok masalah)
d. Philosophy is a group of systems of thought (Filsafat adalah serangkaian sistem
berfikir) (Suharsaputra, 2004).
Dari beberapa pengertian di atas nampak bahwa ada pokok-pokok definisi dari para ahli
yang menekankan pada:

4
Ibid. hlm. 89

4
1. Subtansi, cakupan, dan upaya pencapaian dari apa yang dipikirkan dalam berfilsafat.
2. Upaya penyelidikan tentang substansi yang baik sebagai suatu keharusan dalam hidup di
dunia.
3. Dimensi-dimensi filsafat dari mulai sikap, metode berfikir, substansi masalah, serta sistem
berfikir.
Bila diperhatikan secara seksama, nampak pengertian-pengertian tersebut lebih bersifat
saling melengkapi, sehingga dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti penyelidikan tentang
apanya, bagaimananya, dan untuk apanya. Dalam konteks ciri-ciri berfikir filsafat, yang bila
dikaitkan dengan terminologi filsafat tercakup dalam ontologi (apanya), epistemologi
(bagaimananya), dan axiologi (untuk apanya).
B. Filsafat Ketuhanan Dalam Islam
Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi,
maka dipakai pendekatan yang disebut filosofis. Bagi orang yang menganut agama tertentu
(terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam
usaha memikirkannya. Jadi Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan
pendekatan akal budi tentang Tuhan. Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk
menemukan Tuhan secara ab-solut atau mutlak, namun mencari pertim-bangan
kemungkinan-kemungkinan bagi ma-nusia untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan. 5
Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk
menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS
45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu: 6
َََ‫سمۡ ع ه َوقَ ۡل ب ه َو َج َعل‬
َ ََ‫علَ َٰ َى‬ ۡ ََ‫ضلَّهََُ ٱللََُّ َََ عَلَ َٰ َى‬
َ ََ‫عل َم َو َخت َ َم‬ َ َ ‫أَفَ َر َء ۡيتَ ََ َم َن ٱت َّ َخذَََ إ َٰ َلََ َههُ ه ََو َٰىَهََُ َوأ‬
َّ ‫غشََ ََٰ َو ةَ فَ َمن يَ ۡه دي َه م نَ بَ ۡع َد ٱ َّه‬
ََ َ‫لَّلَفَلَََ تَذَك َُّرون‬ َ ‫علَ َٰ َىََ بَصَ ر ه‬ َ 
Artinya: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah
yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa
kamu tidak mengambil pelajaran?”
Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun),
ganda (mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama': aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak
mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, ada beberapa
penjelasan mengenai hal tersebut sebagai berikut:

5
Modul Perkuliahan Pendidikan Agama Islam. hlm. 2.
6
Ibid. hlm 2.

5
1. Berdasarkan logika Al-Quran: Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap
penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai
oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya
yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau
kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau
kerugian.
2. Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah: Al-ilah ialah yang dipuja dengan penuh
kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di hadapannya, takut, dan
mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa,
dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya,
dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya
(M.Imaduddin, 1989:56)
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia.
Yang pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika
Al-Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-
orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau
angan-angan (utopia) mereka. Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”.
Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru
diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus
membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam
hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah.
Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang
didasarkan pada penalaran manusia. Pembuktian adanya Tuhan tidak hanya menjadi
perbincangan para filosof Barat, tetapi juga menjadi pembicaraan para filosof Muslim, seperti
yang dilakukan oleh para filosof dan teolog Muslim. Ada sebagaian anggapan bahwa
rasionalisme akan konsep Tuhan dalam Islam hanya mengekor pada pemikiran filsafat
Yunani. Memang Filsafat Yunan banyak mempengaruhi pemikiran para filosof Muslim,
namun bukan berarti bahwa para filosof muslim tidak memiliki konsep sendiri tetntang
Tuhan.
Sudah diketauhi kebanyakan manusia bahwa kepercayaan terhadap Tuhan tidaklah
bertentangan pada keberedaan manusia, sebab semua individu mempunyai pengalaman-
pengalaman tentang agama dan mempunyai hal-hal yang trasenden di dunia. Jika mau disebut
percaya dengan Tuhan sangat tepat sekali dengan eksistensi manusia, sebab itulah di
dalamnya ada hal-hal yang ril melebihi kenyataan yang ada di dunia. Sudah banyak para

6
filosof yang mencoba pendapatnya dan menghadirkan sebagai macam fakta atau bukti yang
bisa masuk akal (bersifat rasional).
Fakta atau bukti tersebut sering disebut oleh para filosof menyebabnya dengan
eksistensi sebab pada inti tujuan akhirnya dapat menjawab pertanyaan yang berhubungan
dengan akal budi sehingga fakta atau bukti eksistemsial menjawab keperluan-keperluan yang
ada pada manusia secara keseluruhan, selaku eksistensi. Fakta atau bukti rasional lebih
bersifat objektif maka bukti tersebut lebih bersifat ilmiah selaku ilmu menuntut dilakukan
pemikiran-pemikiran yang objektif agar dapat diterima selaku pernyataan7.
Eksplorasi wacana filosofis, baik mengenai logika, fisika, metafisika atau wilayah
ketuhanan maupun ilmu fisika, dalam dunia Islam bisa dikatakan berkembang sangat pesat.
Fakta tersebut dapat dilihat dengan terus bermunculan para filsuf muslim dan karya-karya
besar mereka hingga era kontemporer dewasa ini. Dalam era klasik hingga abad pertengahan,
sebut saja misalnya filsuf-filsuf besar muslim seperti Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibn Sina
yang mewakili filsuf di kawasan Timur dan Ibn Bajjah, Ibn Thufail dan juga Ibn Rusyd
sebagai representasi para filsuf muslim di wilayah Barat Islam. Adapun penegertian filsafat
ketuhanan menurut para tokoh filsafat muslim sebagai berikut:
1. Al-Kindi (809 M- 873 M)
a. Pemikiran Al-Kindi tentang Tuhan
Pemikiran Al-Kindi tentang ketuhanan telah dijelaskannya dalam berbagai kitabnya,
terutama dalam kitab fi al-falsafah al-Ula dan juga dalam kitab fi Wahdaniyyati‟l-Lahi wa
tanahi jirmi‟il- Alam. Dalam kitab tersebut , ia membahas tentang adanya Allah, dzat dan
sifat-Nya8.
Sebagai seorang filsuf, Al-Kindi telah mengemukakan sejumlah dalil tentang adanya
Allah yang pada umumnya di dasarkan pada pengamatan empiris terhadap kenyataan-
kenyataan inderawi ini. Dan ini pada hakikatnya sejalan dengan tuntutan Al-Qur‟an yang
dalam berbagai ayatnya telah menghimbau manusia untuk mengamati, memperhatikan dan
memikirkan segala kenyataan di sekelilingnya dan juga dalam dirinya, sehingga pada
akhirnya ia akan sadar dan mengerti bahwa segala hal ini tidaklah terjadi dengan sendirinya,
tapi karena adanya pencipta yang telah menjadikannya untuk hikmah dan tujuan tertentu.
Diantara dalil-dalil terpenting yang dikemukakan oleh Al-Kindi tentang adanya Allah
sebagai berikut:
 Dalil barunya alam

7
Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika. (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 53.
8
Ahmad Daudy. Kuliah Filsafat Islam. (Jakarta :Bulan Bintang, 1989). hlm 16.

7
Penggunaan konsep bahwa alam ini baharu sebagai dalil adanya Allah telah umum
dikenal dalam kalangan mutakallimin sebelum Al-Kindi. Menurut Al-Kindi alam semesta
betapapun luasnya adalah terbatas dan segala yang terbatas dan segala yang terbatas tidak
mungkin tidak mempunyai awal yang tida terbatas. Dengan kata lain, alam mesti mempunyai
titik awal dalam waktu. Betapapun jauhnya ia dirunut ke belekang, ia harus mulai dari titik
temporal tertentu dan tidak mungkin surut ke belakang secara tak terhingga.
Dengan cara seperti itu, Al-Kindi sampai pada kesimpulan bahwa alam semesta
terbatas. Jika alam semesta terbatas, berarti materi alam ini juga terbatas. Dengan terbatasnya
materi alam, terbatas juga hal-hal yang melekat dengannya, yaitu gerak dan waktu. Oleh
karena materi alam terbukti terbatas, dalam arti memiliki awal dalam waktu, gerak yang
tergantung pada materipun ikut terbatas. Tak berbeda dengan waktu ebagai efek dari gerak 9.
 Dalil keragaman dan kesatuan
Dalil ini didasarkan pada suatu konsepsi bahwa keragaman yang terdapat dalam
kenyataan empiris ini tidak mungkin ada tanpa adanya kesatuan (wahdah), dan kesatuan tidak
mungkin ada tanpa adanya keragaman. Fenomena keterkaitan segala kenyataan empiris ini
dalam keragaman dan kesatuan bukanlah karena kebetulan tapi ada sebabnya. Dan sebab ini
bukan jenis dzat kenyataan tersebut karena jika demikian, maka tidak aka nada kesudahan
secara aktual, yakni sebab-sebab yang tidak berakhir. Kata Al-Kindi kita menegetahui bahwa
tidak mungkin adanya sesuatu secara aktual tanpa akhir. Dengan demikian tentunya ada
sebab lain yang membuat keterkaitan kenyataan empiris ini dlam keragaman dan kesatuan,
yakni suatu dzat yang lebih tinggi dan luhur serta lebih mendahuli ada-Nya (qadim), karena
sebab itu harus mendahuli musabab. Tuhan adalah sebab efisien.
Ada dua macam sebab efisien: pertama, sebab efisien sejati dan aksinya adalah ciptaan
dari ketiadaan (ibda‟). Kedua, semua sebab efisien yang lain adalah lanjutan, yaitu sebab-
sebab tersebut ada lantaran sebab-sebab lain, dan sebab- sebab itu sendiri adalah sebab-sebab
dari efek-efek lain. secara kias, sebab-sebab itu sama sekali bukanlah sebab-sebab sejati. Ia
berkehendak dan tak pernah bergantung pada sesuatu apapun.
2. Al-Farabi
a. Pemikiran Al-Farabi tentang Tuhan
Persoalan-persoalan filsafat telah dibahas oleh filosuf sebelumnya, baik dari Yunani,
Persia atau yang lainnya, meski pemecahan yang dilakukan mereka saling berlawanan. Al-
Farabi dalam usaha memecahkan persoalan tersebut tidak terlepas murni dari pembahasan-

9
Ibid. hlm. 17.

8
pembahasan yang dilakukan oleh mereka itu. Diantara persoalan itu adalah Esa dan
berbilang10.
Filsafat Yunani membahas membahas persoalan ini berdasarkan pada filsafat fisika
semata. Sedangkan aliran Iskandariyah (Neo Platonisme) dan filsafat Islam, persoalan ini
dipindahkan kepada landasan-landasan agama. meskipun dua aliran terakhir ini caranya
sama, namun tujuannya sangat bertolak belakang. Aliran Islam Iskandariyah dan filsafat
Islam bertujuan membentuk susunan alam yang dapat mempertemukan hasil-hasil pemikiran
dengan ketentuan-ketentuan agama. Kondisi semacam ini soal Esa dan berbilang menjadi
dasar membangun filsafat keseluruhan. Pembicaraan metafisika ini berkisar pada masalah
Tuhan, Wujudnya atau kehendak-Nya.
 Dalil wujud Allah
Dalam masalah ini, Al-Farabi sebagai seorang failasuf tidak tertarik dengan argumen
para mutakallimin. Ia mengemukakan dalil lain yang dalam falsafah dikenal dengan dalil
ontologi, yakni dalil yang berpijak pada konsep wajib dan mungkin. Semua yang ada (al-
maujudat) menurut Al-Farabi dapat dibagi kepada dua bagian: mumkin wujud dan wajib
wujud. Mumkin wujud ialah alam ini yang dari dirinya tidak mungkin ada dalam kenyataan ,
dan jika ia telah nyata, maka itu karena adanya sebab yang tidak mengandung pada dirinya
mungkin, sehingga tidak akan menimbulkan rentetan sebab yang tidak berakhir atau
lingkaran sebab-sebab yang tidak ada ujungnya. Sebab itu Allah wajib adanya karena
dzatnya, dan alam ini wajib adanya dalam kenyataan ini karena dijadikan Allah11.
 Hakikat Tuhan
Hakikat Tuhan yang dikemukakan oleh Al-Farabi. Ia menyatakan bahwa Allah adalah
wujud yang sempurna dan yang ada tampa suatu sebab, karena apabila ada sebab baginya-
Nya berarti Ia tidak sempurna bergantung kepadanya. Ia wujud yang paling dahulu dan
mulia, karena itu Tuhan adalah dzat yang azali dan yang selalu ada. Zat-Nya itu sendiri sudah
cukup menjadi sebab bagi keabadian wujud-Nya. Wujud-Nya tidak terdiri dari matter (benda)
dan from (bentuk), yaitu dua bagian yang terbentuk pada mahluk. Karena wujud Tuhan itu
sempurna, maka wujud tersebut tidak mungkin terdapat sama sekali pada selain Tuhan seperti
halnya dengan sesuatu yang sempurna indahnya apabila tidak terdapat keindahan semacam
itu pada lainnya atau dengan perkataan lain ia menyendiri dengan keindahan-Nya itu. Karena
itu Tuhan Esa dan tidak ada sekutu-Nya.25

10
Ibid. hlm 17.
11
Ibid. hlm. 34

9
Apabila Tuhan lebih dari satu, maka Tuhan itu ada kalanya sama-sama sempurna
wujudnya atau barang kali berbeda dalam sesuatu sifat-sifat tertentu. Dengan demikian tiap-
tiap Tuhan mempunyai dua macam sifat, yaitu sifat umum yang dimiliki bersam-sama oleh
Tuhan itu dan sifat-sifat khusus hanya terdapat pada masing-masing Tuhan. Inilah sesuatu
yang tidak mungkin.
Demikian pula apabila Tuhan itu tunggal, maka Ia tidak dapat diberi batasan, karena
batasan berarti penyusunan yaitu dengan memakai matter dan form, seperti halnya dengan
benda, sedangkan semuanya itu adalah mustahil dengan Tuhan. Oleh karena itu Tuhan yang
tidak dapat dibatasi ini tidak akan dapat dicapai oleh manusia yang terbatas ini dengan
sempurna. Sebagaimana suatu cahaya yang sangat kuat yang menyilaukan mata, sehingga
kita sulit menguraikan sifat-sifat cahaya itu yang sebenarnya.
3. Ibn Sina
a. Pemikiran Ibnu Sina tentang Tuhan
Metafisika adalah ilmu yang membahas sesuatu yang berada diluar alam empiris, dan
bagian yang terpenting darinya adalah “ ilmu ketuhanan” karena pokok pembahasnnya
menurut Aristoteles adalah Tuhan sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Sesuai
dengan konsepsi itu, Ibn Sina mengatakan bahwa ilmu ilahi adalah ilmu yang membahas
wujud yang mutlak, yakni Tuhan, dzat dan sifat-sifatnya12.
 Dalil Wujud Allah
Dalam pembuktian adanya Allah, Ibn Sina menempuh jalan yang berbeda dengan jalan
yang digariskan dalam agama dan juga berbeda dalil para ahli kalam (mutakallimin) yang
berpijak pada konsep “alam baharu”. Ia melanjutkan dalil ontologi yang berasal dari
Aristoteles dan mengikuti Al-Farabi sebelumnya dengan membagikan wujud ini menjadi dua
jenis: wajib wujud dan mungkin wujud, dengan penjelasan sebagai berikut:
Wajib wujud adalah sesuatu yang ada (al-maujud) yang jika diandaikan tidak ada, ia
menjadi mustahil, yakni mesti adanya. sedangkan yang dimaksud dengan mungkin wujud
ialah yang diandaikan tidak ada atau ada, ia tidak menjadi mustahil, yakni boleh ada dan
boleh tiada, tidak mesti ada atau tiada dari sisi apapun. Konsep ini bersifat akali semata. Lalu
Ibn Sina menjabarkannya dengan membagikan wajib wujud kepada dua: dengan dzatnya
(wajib al-wujud bi dzatih) dan dengan lainnya (wajib al-wujud bi ghairih). Yang pertama,
wujudnya karena dzatnya semata, sehingga jadi mustahil jika diandaikan tidak ada, dan yang

12
Ibid. hlm. 72

10
kedua, wujudnya karena ada sesuatu yang lain di luar dzatnya, misalnya empat yang adanya
itu bukan karena dirnya, tetapi karena hasil penambahan dua dengan dua.
Adapun yang mungkin itu dapat dilihat, dari sisi dzatnya, dalam hal ini, ia tida mesti
ada dan tidak ada, dan karena itu disebut mumkin bi dzatih, dan juga dapat dilihat dari sisi
lainnya, sehingga ia disebut mumkin bi dzatih dan wajib bi ghairih. Dan jenis mumkin ini
menjangkau alam semesta ini. Adapun wajib wujud dengan dzatnya, maka itu adalah Tuhan
yang dari-Nya berasal dari segala yang ada.
 Dzat dan sifat
Pemikiran Ibn Sina tentang dzat dan sifat Allah berbeda dengan apa yang telah disebut
oleh Al-Farabi sebelumnya yang merupakan hasil paduan antara ajaran Islam dengan
konsepsi Aristoteles. Sebagai wajib al-wujud, Allah adalah Esa pada dzat-Nya. Sebab, jika
Dia lebih dari satu, sama berarti adanya sebab lain yang membuat-Nya sedemikian, dan ini
adalah mustahil. Juga Allah adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Sebab, jika Dia
demikian, maka kesempurnaan-Nya bergantung pada bagian-bagian-Nya, sehingga akan
menafikan diri-Nya sebagai Wajib al-Wujud dengan dzat-Nya.
4. Ibnu Maskawaih
a. Pemikiran Ibnu Maskawaih tentang Tuhan
Metafisika Maskawaih mencakup tetntang bukti adanya Tuhan pencipta, jiwa dan
kenabian (nubuwwah). Secara lengkap metafisika Maskawaih dituangkan dalam kitabnya Al-
Fauz Al-Asghar.
 Bukti-bukti adanya Tuhan
Maskawaih mengatakan bahwa sebebnarnya tentang adanya Tuhan pencipta itu telah
menjadi kesepakatan para filosuf sejak dulu kala. Maskawaih berusaha membuktikan bahwa
Tuhan pencipta itu Esa, Azali (tanpa awal), dan Jism (bukan materi). Tuhan dapat diketahui
dengan cara menindakkan (negative), bukan dengan cara positif. Pembuktiann secara positif
berarti pembuktian secara langsung, sedangkan pembuktian secara negatif adalah secara tidak
langsung dengan menolak suatu proposisi tentang Tuhan untuk menerima yang sebaliknya.
Misalnya kita menolak proposisi yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu badan, Tuhan
adalah bergerak, Tuhan adalah tidak Esa, Tuhan adalah diciptakan dan sebagainya.
Sementara yang kita terima adalah sebaliknya, yaitu Tuhan bukan suatu badan, Tuhan tidak
bergerak, Tuhan adalah Esa dan Tuhan adalah tidak diciptakan dan sebagainya13.

13
H. A. Musthofa. Filsafat Islam. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997).

11
Pendapat Masakawaih bahwa untuk membuktikan adanya Tuhan hanya dapat dilakukan
secara negatif itu telah mendapat kritik. Jika yang dimaksud pembuktian secara langsung
tidak dapat dilakukan itu ialah untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan secara rasional
memang dapat diterima. Tetapi hal itu tida benar jika yang dimaksud adalah mencangkup
segala macam pengenalan. Sebab di samping pengetahuan secara rasional, dimungkinkan
juga pengenalan dengan jalan penghayatan yang merupakan pengalaman kejiwaan
sebagaimana bisa terjadi dalam dunia mistik.
Maskawaih menggunakan berbagai macam argument untuk menetapkan adanya Tuhan.
Yang penting ditonjolkan adalah adanya gerak atau perubahan yang terjadi pada alam.
Memperhatikan bahwa segala macam benda mempunyai sifat gerak atau berubah sesuai
watak pembawaan masing-masing (sifat gerak itu berbeda-beda yang berbeda), maka adanya
gerak yang berbeda itu membuktikn adanya yang menjadi sumber gerak, penggerak pertama
yang tidak bergerak yaitu Tuhan. Argument gerak ini diambil dari argument Aristoteles.
Sebagai pengerak pertama yang tidak bergerak, juga menjadi sebab pertama dari segala yang
ada. Adanya segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan, dan adanya Tuhan adalah pada diri-Nya.
Tuhan sebagai pencipta segala segala sesuatu menciptakan dari awal, segal sesuatu diciptakan
Tuhan dari tiada (adam), sebab tidak ada artinya mencipta, jika yang diciptakan telah wujud
sebelumnya.
5. Al-Ghozali
Dalam al-Munqidz, Al-Ghazali telah mengklasifikan filosof menjadi tiga kelompok.
Setelah itu Al-Ghazali mencoba mengalihkan perhatian pada pembagian ilmu-ilmu mereka
dari segi tujuan yang ingin dicapai. Dalam pandangannya, Al-Ghazali menggolongkan ilmu-
ilmu tersebut menjadi 6 kelompok; yaitu matematika, logika, fisika, metafisika, politik, dan
etika. Di antara menjadi fokus di sini adalah metafisikanya. Berbicara metafisika, tidak bisa
lepas dengan masalah ketuhanan (ilahiyyat). Madkour menyebutkan bahwa dalam masalah
ketuhanan, Al-Ghazali banyak mengikuti dan membentengi aliran Asy‟ariyah. Al-Ghazali
sebagaimana penganut Al-Asy‟ariyah mencoba menselaraskan akal dengan naql14.
Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia biasa
mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain. Namun Al-Ghazali
menghentikan akal pada batas- batas tertentu, dan hanya naql-lah yang bisa melewati batas-
batas ini. Meskipun demikian, menurut Ali, argumentasi-argumentasi yang telah dibangun al-
Asy‟ari mengenai konsep ketuhanan (ilahiyyat) lebih mendekati pada argumentasi yang

14
Ahmad Atabik. Telaah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat. Jurnal Fikrah vol 3. no.1. 2014. hlm. 32.

12
bersifat filosofis daripada argumentasi agamis. Oleh karenanya, Al-Ghazali kemudian
mencoba kepada jalan lain yang dianggapnya lebih agamis, yaitu menempuh jalan tasawuf.
C. Kepercayaan Dalam Islam
Kepercayaan dinamisme dan animisme, kendati dianggap sebagai awal dari
kepercayaan umat manusia, sampai sekarang kepercayaan itu masih terdapat di berbagai
lapisan masyarakat. Walaupun kepercayaan itu tidak seperti masyarakat primitif. Fenomena
dan praktiknya masih mirip, seperti meminta pertolangan kepada dukun dan memakai cincin
tertentu agar terhindar dari berbagai bencana. Dalam studi filsafat agama, konsep perubahan
sistem kepercayaan pada yang gaib sangat penting karena salah satu pokok ajaran agama
adalah mengenai adanya zat yang gaib dan suci. Konsep tentang Tuhan banyak sekali
macamnya, dinamisme, animisme, polytheisme, trinitisme, panteisme, dan monoteisme.
1. Politeisme
Politeisme mengatakan bahwa Tuhan atau Dewa itu banyak. Pada mulanya Dewa-dewa
atau Tuhan-tuhan dalam Politheisme mempunyai kedudukan yang hampir sama. Akan tetapi
karena beberapa hal lambat laun beberapa diantara mereka ada yang mempunyai kedudukan
lebih tinggi dari kedudukan Dewa-dewa atau Tuhan-tuhan lainnya. Dalam agama Yunani,
Dewa Zeus mempunyai kedudukan tertinggi dari Dewa-dewa lainnya. Kalau suatu tempat
mempunyai kedudukan Dewanya pun ikut pula menjadi tinggi15.
Sekalipun politheisme menganggap bahwa kedudukan Dewa-dewa itu tidak sama,
namun meraka tetap mengakui eksistensi Dewa-dewa tersebut, hanya saja tidak dimuliakan
sebagaimana mereka memuliakan Dewa tertinggi. Dalam prateknya seorang penganut
politheisme menyembah seluruh Dewa yang diyakini. Alasannya, sekalipun Dewa-dewa itu
berlainan tetapi mereka selalu bekerjasama dalam melakukan tugasnya.
2. Animisme
Kata Animisme berasal dari bahasa latin, yaitu anima yang berarti roh. Kepercayaan
animisme merupakan kepercayaan kepada mahluk halus dan roh. Keyakinan ini banyak
dianut oleh bangsa-bangsa yang belum bersentuhan dengan agama wahyu. Paham animism
memercayai bahwa setiap benda dibumi (seperti laut, gunung, hutan, gua, atau tempat-tempat
tertentu) mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar jiwa tersebut tidak mengganggu
manusia, bahkan membantu mereka dalam kehidupan16.
3. Dinamisme

15
Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika. (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 51.
16
Darun Setiadi, Filsafat Agama (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012). hlm.75.

13
Dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu Dunamos, sedangkan dalam bahasa
Inggris Dynamic dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan arti kekuatan, daya, atau
kekuasaan. Definisi dari dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar
manusia yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Dalam Ensiklopedia Umum, dijumapi
definisi dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan primitife yang ada pada zaman sebelum
kedatangan agama Hindu di Indonesia. Dinamisme disebut juga dengan nama preanisme,
yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau mahluk mempunyai daya dan kekuatan.
Maksud dari arti tadi adalah kesaktian dan kekuatan yang berada dalam zat suatu benda dan
diyakini mampu memberi manfaat atau bahaya. Kesaktian itu dapat berasal dari api, batu-
batuan, air, pepohonan, binatang dan bahkan manusia.
Dinamisme lahir dari rasa kebergantungan manusia terhadap daya dan kekuatan lain
yang berada diluar dirinya. Setiap manusia selalu merasa butuh dan berharap pada zat lain
yang dianggapnya mampu memberikan pertolongan dengan kekutan yang
dimilikinya.manusia mencari zat lain yang akan disembuh sehingga ia merasa tenang jika
berada disamping zat itu. Sebagai contoh, ketika manusia mendapatkan bahwa api memiliki
daya panas, ia akan menduga bahwa api lah yang paling berhak disembah keran api telah
memberikan pertolongan ketika merasa dingin. Ia mengira bahwa api memiliki kekuatan
misteri yang tidak mungkin dimiliki oleh manusia sehingga ia akan menyembahnya. Oleh
karena itu, mereka menyembah sesuatu selain Allah. mereka tidak menyembah Allah karena
bodoh dalam mengenal Tuhan17.
4. Atheisme
Atheisme didefinisikan secara luas bahwasanya kepercayaan akan adanya tuhan
maupun dewa itu tidak ada. Atheisme adalah kepercayaan seseorang bahwa tidak adanya
tuhan. Orang yang menganut kepercayaan atheisme diasumsikan sebagai orang yang tidak
memiliki agama.
5. Monoteisme
Monotheisme mengatakan bahwa di seluruh alam ini hanya ada satu Tuhan. Dia adalah
pencipta dan pengatur segala yang ada di alam ini. Tidak ada lagi Tuhan selain Dia. Di dalam
Islam monotheisme disebut ajaran Tauhid. Para Nabi dan Rasul dahulu mengajarkan bahwa
Tuhan itu Esa dan tiada yang menandingi-Nya, baik dalam bentuk, sifat maupun perbuatan-
Nya. Tuhan adalah dzat yang Mahasempurna.

17
Ibid. hlm. 80-81

14
D. Pemikiran Aliran Dalam Islam Tentang Tuhan
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu
Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara
garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara
keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi
dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran
yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan
pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal
dengan tradisional. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu
ketuhanan dalam Islam. Aliran tersebut yaitu 18:
1. Mu’tazilah yang merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan
pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Orang
islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi
mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain). Dalam menganalisis ketuhanan, mereka
memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan
kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul
abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan
akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam
ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah
adalah pecahan dari Khawarij.
2. Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak
dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan
hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
3. Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan
dan dipaksa oleh Tuhan.
4. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan Jabariah
Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat islam
periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan
ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara
aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar
dari islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat

18
Modul Perkuliahan Pendidikan Agama Islam. hlm. 4.

15
Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa
dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di antara aliran tersebut yang nampaknya
lebih dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan etos kerja
adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.
Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas pengamatan dan
pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan merupakan
sesuatu yang ghaib, sehingga informasi tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia
biarpun dinyatakan sebagai hasil renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.
Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam: QS 21 (Al-
Anbiya): 9219
ۡ َ‫إ نَّ ََ َٰ َهََ ذ ه أ ُ َّمتُكُمۡ ََ أ ُ َّم ةَ َٰ َوََ ح َد ةَ َوأَنَ ا َ َربُّكُمۡ ََ ف‬
‫ٱعبُدُو َن‬

Artinya: “ Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang
satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”
Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada
perbedaan konsep tentang ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui
Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para
Rasul, Adam sebagai Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir. Jika terjadi perbedaan-
perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena perbuatan
manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan
kebohongan manusia yang teramat besar.
Dengan mengemukakan alasan di atas, maka menurut informasi al-Quran, sebutan yang
benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah
tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti
konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran
adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula
dapat dibagi menjadi bagian-bagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang
lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus
menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya. Konsepsi
kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk bahwa manusia
mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan
kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.

19
Ibid. hlm. 5.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat ketuhanan mengajarkan manusia mengenal Tuhan melalui akal pikiran semata-
mata yanag kemudian kebenarannya didapati sesuai dengan wahyu (kitab suci). Dengan kata
lain, bahwa baik agama mauapun filsafat ketuhanan sama- sama bertolak dari pangkalan
pelajaran ketuhanan, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Masing-masing menempuh cara dan
jalannya sendiri, namun keduanya akan bertemu kembali di tempat yang dituju dengan
kesimpulan yang sama: Tuhan Ada dan Maha Esa.
Ada beberapa tokoh ahli agama yang mengemukakan pendapat mengenai filsafat
ketuhanan dalam islam yaitu, Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibn Sina yang mewakili filsuf di
kawasan Timur dan Ibn Bajjah, Ibn Thufail dan juga Ibn Rusyd sebagai representasi para
filsuf muslim di wilayah Barat Islam
B. Saran
Semoga dengan makalah ini para pembaca dapat mengetahui dan memahami mengenai
filsafat ketuhanan dalam agama islam serta mengetahui beberapa kepercayaan yang ada
dalam islam serta mengetahui para tokoh ahli yang perpendapat terkait filsafat ketuhanan
dalam agama islam. sejarah-sejarah yang pernah terjadi saat pembentukan UUD 1945
Republik Indonesia. Dan mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penyusun dan bagi pembaca semuanya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Atabik, Ahmad. 2014. Telaah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat. Jurnal Fikrah vol 3. no.1.
Daudy, Ahmad. 1989. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta :Bulan Bintang.
Modul Perkuliahan Pendidikan Agama Islam
Musthofa, H. A. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika. (Jakarta: Prenada Media.
Setiadi, Darun. 2012. Filsafat Agama. Bandung: CV Pustaka Setia.
Widyawati, Setya. 2013. Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pendidikan. Jurnal
Seni Budaya. Volume 11 No. 1.

18

Anda mungkin juga menyukai