Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“RELASI ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA PASCA REFORMASI”

Disusun untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah Islam dan Negara

Dosen Pengampu: Dra. Hj. Gefarina M.A.

Disusun Oleh:

Nadya Putri Arifin (11201120000083)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAMNEGERI SYARIF HIDAYATULLAH Jakarta

1444 H/2023 M
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah
memberikan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan
tugas Makalah Islam dan Negara ini dengan baik dan lancar tanpa kurang suatu apa pun. Tak
lupa penulis haturkan pula shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad
SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di yaumil akhir kelak.

Penulisan makalah dengan judul “Relasi Islam dan Negara di Indonesia Pasca
Reformasi” ini bertujuan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester 6 (enam) pada mata
kuliah Islam dan Negara. Selama proses penyusunan makalah ini, penulis mendapatkan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada seluruh pihak
yang telah turut andil dalam pembuatan makalah ini, terutama kepada Ibu Dra. Hj. Gefarina
M.A selaku dosen mata kuliah Islam dan Negara.

Terima Kasih pula penulis ucapkan atas waktu yang telah diberikan sehingga penulis
mampu menyelesaikan tugas UAS makalah ini. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah
ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat berharap jika para pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun untuk menjadi bahan evaluasi di kemudian
hari. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, 30 Juni 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................1
BAB II.......................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................................2
A. Konsep Pemikiran Islam Mengenai Relasi Islam dan Negara.....................................2
a. Paradigma Integralistik................................................................................................2
b. Paradigma Simbiotik....................................................................................................3
c. Paradigma Sekularistik................................................................................................4
B. Dinamika Relasi Islam dan Negara di Indonesia Pasca Reformasi.............................5
BAB III......................................................................................................................................8
PENUTUP.................................................................................................................................8
A. Kesimpulan........................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sesungguhnya negara dan agama merupakan dua entitas yang berbeda. Negara
merupakan suatu organisasi yang memiliki kewibawaan, di mana dalam kuasanya mampu
memaksakan kehendak kepada setiap warga negara. Sedangkan agama adalah sistem yang
mengatur keimanan dan peribadatan terhadap kepercayaan Tuhan masing-masing individu
dan hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya serta lingkungannya.

Banyak dari ahli Barat terkemuka yang menyatakan mengenai demokrasi dan masyarakat
Muslim, di mana Islam dan budayanya tidak memiliki ajaran yang mendukung demokrasi
dengan baik. Pada teori Huntington, terdapat sisi negatif terhadap kesesuaian Islam dan
demokrasi yang telah banyak ditolak oleh para ahli, baik ahli Barat maupun Muslim.
Misalnya, Norris dan Inglehart dalam analisisnya terhadap hasil laporan survei World Values
Study (1995-2001) menyimpulkan bahwa masyarakat Muslim dan non-Muslim pada dasarnya
memiliki pandangan politik yang hampir sama. John L. Esposito dan John Obert Voll juga
menyatakan bahwa demokrasi bukanlah sebuah monopoli budaya Amerika atau Barat, tetapi
juga terkandung budaya lain, termasuk Islam. Menurut mereka, selama demokrasi dan Islam
dipahami secara kontekstual, maka keduanya akan berjalan seiringan. Prinsip-prinsip ajaran
Islam tentang musyawah (syura), mufakat (ijma’), dan pemikiran rasional dan independen
(ijtihad) merupakan bagian yang menyokong demokrasi dalam Islam.1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pemikiran Islam mengenai relasi Islam dan Negara?
2. Bagaimana dinamika yang terjadi dalam relasi Islam dan Negara di Indonesia pasca
reformasi?

1
A. Jufri, “Konsepsi Politik Islam dan Realitas Relasi Islam dan Negara di Indonesia Pasca Reformasi” Farabi:
Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18 (2018): 43.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Pemikiran Islam Mengenai Relasi Islam dan Negara


Dalam pandangan oleh beberapa ahli, Islam hanya memberikan prinsip-prinsip
kehidupan politik yang perlu diikuti oleh umatnya. Dalam hal ini dapat diambil dari
pengalaman Nabi Muhammad di Madinah yang membuktikannya. Al-Qur’an juga telah
menggariskan prinsip-prinsip kehidupan tersebut secara tegas. Setidaknya terdapat sejumlah
prinsip etis yang harus digariskan, seperti prinsip keadilan (al-adl), prinsip kesamaan (al-
musawah), dan prinsip musyawarah atau negosiasi (syura). Walaupun prinsip-prinsip yang
dikemukakan secara ini jumlahnya sedikit, akan tetapi ajaran-ajarannya dinyatakan secara
berulang-ulang oleh al-Qur’an.2 Sejauh ajaran prinsip Islam tentang masalah sosial-
kemasyarakatan dikemukakan secara substansialistik, maka signifikansi Islam dan demokrasi
akan terlihat jelas.

Bahtiar Effendi dalam hal ini juga menegaskan bahwa:

Penting untuk dicatat bahwa Islam tidak berbicara terhadap segala sesuatu dalam bentuknya
yang detail. Kalau bacaan saya terhadap ayat-ayat yang dikandung dalam al-Qur’an benar,
maka dapat dikatakan bahwa Islam memberi panduan nilai, moral, dan etika dalam bentuknya. 3

Relasi Islam dan kekuasaan secara fungsional memiliki sifat simbiotik, meskipun dari
segi hakikat keduanya berbeda. Agama telah mendorong terbentuknya kekuasaan yang
bermoral, begitu pula sebaliknya, di mana moralitas kekuasaan turut menguatkan jiwa
keagamaan. memisahkan agama dari wawasan kekuasaan dalam pandangan Islam tidak
memiliki landasan yang solid dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini,
setidaknya terdapat 3 (tiga) paradigma pola relasi agama dan negara yang diperkenalkan oleh
tokoh masing-masing sebagai premis dalam memahami relasi Islam dan Negara di Indonesia.
Ketiga paradigma tersebut yakni integralistik, simbiotik, dan sekularistik.

a. Paradigma Integralistik
Konsep dari paradigma ini adalah bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan
negara dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Dalam paradigma ini, negara merupakan
2
Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfad hal-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar Ihya al Turats al-Arabi,
1945).
3
A. Jufri, “Konsepsi Politik Islam dan Realitas Relasi Islam dan Negara di Indonesia Pasca Reformasi” Farabi:
Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18 (2018): 44.

2
lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar
kedaulatan Ilahi, dikarenakan kedaulatan itu memang berasal dari dan berada di tangan
Tuhan.4 Oleh sebab itu, pandangan ini juga bersifat teokratis.

Bagi kelompok ini, syariah selalu dipahami sebagai sebuah totalitas bagi tatanan hidup
bermasyarakat dan rasa kemanusiaan. Sementara, negara berfungsi untuk menjalankan
syariah karena legitimasi politik negara harus berdasarkan syariah. Pandangan ini sebagian
besar dianut oleh kelompok syi’ah dan kelompok fundamentalis Islam. Tokoh yang menonjol
dalam kelompok ini adalah al-Maududi (1903-1979 M). Menurutnya, syari’at tidak mengenal
pemisahan antara agama dan negara. Ia juga mengaskan bahwa prinsip dasar Islam adalah
umat manusia, baik secara pribadi maupun bersama-sama harus melepaskan semua hak
pertuanannya, pembuatan undang-undang, dan pelaksanaan kedaulatan atas orang lain.5

Sedangkan bagi ahli Barat seperti James P. Piscatory, paradigma integraslistik ini
melahirkan paham negara agama, di mana terdapat kehidupan kenegaraan yang diatur
menggunakan prinsip-prinsip keagamaan sehingga melahirkan konsep Islam din wa al-
daulah (Islam agama dan sekaligus negara). Oleh karena itu, masyarakat tidak dapat
membedakan mana aturan negara dan mana aturan agama dikarenakan keduanya telah
menyatu. Di sini terlihat bahwa para ahli Barat jika dikaitkan dengan Islam sering melihat
bahwa negara agama tidak serasi dengan demokrasi.

b. Paradigma Simbiotik
Relasi agama dan negara dalam pandangan ini melihat terdapat interaksi timbal balik dan
saling membutuhkan. Agama membutuhkan negara, begitu pun sebaliknya negara
membutuhkan agama. Jika adanya pemisahan antara agama dan negara, maka itu akan
menimbulkan kekacauan dan moral.6

Pandangan simbiotik tentang agama dan negara ini dapat dipahami dalam pemikirannya
al-Mawardi (975-1059 M). Dalam kitabnya, al-Ahman al-Sulthaniyyah wa al-wilayat al-
diniyyah, ia menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) adalah suatu instrumen
untuk meneruskan misi kenabian untuk memelihara agama dan pengaturan dunia. 7 Selain itu,
terdapat pula dari pemikiran Ibnu Taimiyah yang menurutnya agama tidak dapat ditegakkan

4
M. Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999), 46.
5
Abdul A’la al-Maududi, Pesan Islam (Bandung: Pustaka, 1983), 193.
6
M. Arskal Salim G.P, Islam di Tengah Arus Transisi (Jakarta: Kompas, 2000) 8.
7
Abdul Hayyie dan Kamaluddin Nurdin, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam (Jakarta:
Gema Insani Press, 2000), 15.

3
tanpa adanya pemerintahan. Dan dalam pemerintahan tersebut seharusnya dipimpin oleh
seseorang yang amanah dan bertanggung jawab dalam menjalankan hukum-hukum Allah. 8
Untuk menentukan dan mengangkat kepala negara, maka harus berdasarkan pilihan rakyat.
Artinya, rakyat memiliki kedaulatan yang signifikan untuk menentukan sistem politik
negara.9

Dengan demikian, teori simbiotik membiarkan tuntutan-tuntutan realitas sosial-politik


yang berkembang namun agama memberikan justifikasinya. Agama juga tidak harus menjadi
dasar negara karena negara dalam pandangan ini tetap menjadi lembaga politik yang mandiri.
Oleh karenanya, pandangan simbiotik ini di satu sisi bersifat teologis, namun di sisi lain juga
bersifat pragmatik. Jadi, dari pandangan ini perlu memberikan peluang bagi hak-hak
masyarakat, meskipun dibatasi oleh norma-norma agama.10

c. Paradigma Sekularistik
Berbeda lagi dengan pandangan sekularistik, di mana pandangan ini menolak pernyataan
relasi agama dan negara yang diungkapkan oleh pandangan integralistik dan pandangan
simbiotik. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak dasar negara Islam atau
bentuk determinasi Islam dari negara.11 Pandangan ini menyatakan bahwa Islam hanya
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, pengaturannya diserahkan sepenuhnya kepada umat
manusia. Dikarenakan masing-masing entitas dari keduanya memiliki pekerjaan dalam
bidangnya sendiri sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh ada intervensi
satu sama lain.

Dalam konteks ini, Ali Abdul al-Raziq menyatakan pendapatnya dalam membedakan
agama dan negara. Ia memberikan alasan yang cukup panjang dari perspektif teologis dan
historis untuk membuktikan bahwa tindakan-tindakan politik Nabi Muhammad seperti
melakukan perang, tidak ada kaitannya dan tidak merefleksikan fungsinya sebagai utusan
Tuhan. Oleh karenanya, menurut Ali Abdul al-Raziq asumsi yang menyatakan bahwa
diperlukannya mendirikan negara dengan sistem, peraturan perundang-undangan, dan
pemerintahan yang Islami adalah suatu hal yang keliru.

8
Ahmad Shalaby, Studi Komprehensif tentang Agama Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1988), 249.
9
J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), 12.
10
A. Jufri, “Konsepsi Politik Islam dan Realitas Relasi Islam dan Negara di Indonesia Pasca Reformasi” Farabi:
Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18 (2018): 48.
11
M. Arskal Salim G.P, Islam di Tengah Arus Transisi (Jakarta: Kompas, 2000) 9.

4
Dan yang dikatakan pandangan lain terhadap sistem khilafah atau sistem imamah, itu
semua bukanlah keharusan bagi kaum muslimin untuk mendirikannya karena bukan bagian
dari Islam. Al-Raziq juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad tidak membangun negara
ketika di Madinah. Jadi, otoritas murni bersifat spiritual. Menurutnya, Nabi Muhammad
semata-mata utusan Tuhan, bukan sebagai kepala negara, meskipun realitasnya Nabi
dijadikan sebagai kepala negara di Madinah. Hal itu hanya tuntutan yang wajar dan
manusiawi.

B. Dinamika Relasi Islam dan Negara di Indonesia Pasca Reformasi


Sedikitnya ada dua cara yang memandang Islam dan politik di Indonesia pada masa
lampau dan kemungkinan hingga menjelang dan setelah reformasi, yaitu pertama, Islam
merupakan format dan tujuan yang digunakan untuk mengatur kehidupan bangsa dan negara
secara formal, legalistik, dan menyeluruh. inilah yang disebut dengan ‘Islam Politik’. Kedua,
Islam merupakan salah satu komponen yang dapat membentuk, melandasi, dan mengarahkan
bangsa dan negara. Dan inilah yang disebut dengan ‘Islam kultural’.12

Dengan berakhirnya masa Orde Baru (Orba) 1998 membawa perubahan bagi masyarakat
Indonesia yang digantikan dengan era reformasi. Gelombang demonstrasi menekan Soeharto
untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia, kemudian diserahkan jabatannya
kepada Presiden B.J. Habibie. Era reformasi merupakan bentuk perubahan dari segala aspek
apa pun yang mendukung kebebasan dan demokrasi. Pergantian Orba berimplikasi pada
meningkatnya partisipasi rakyat dan memunculkan partai-partai politik baru, termasuk partai-
partai agama (Islam).13 Selain itu terdapat pula organisasi keagamaan seperti Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang turut mendukung dan mensponsori pendirian partai
baru.

Kategori partai Islam yang muncul pasca reformasi seperti PBB (Partai Bulan Bintang),
PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PK (Partai Keadilan), Partai Masyumi, PUI (Partai
Umat Islam), dan sebagainya. Terdapat pula partai yang berasaskan Pancasila, akan tetapi
masih berbasis Islam seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PAN (Partai Amanat
Nasional). Dari 42 partai Islam yang mendaftarkan diri, hanya 20 partai Islam yang lolos
untuk mengikuti Pemilu 1999. Inilah yang perlu digaris bawahi, di mana umat Islam benar-
benar dapat mengekspresikan aspirasinya secara formal pasca reformasi setelah hampir
12
A. Jufri, “Konsepsi Politik Islam dan Realitas Relasi Islam dan Negara di Indonesia Pasca Reformasi” Farabi:
Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18 (2018): 48-49.
13
Maulida Maulaya Hubbah, “Relasi Agama dan Negara di Indonesia” researchgate (2021): 4.

5
selama empat dekade (1959-1998) kehendak politiknya melalui jalur formal partai politik
dibelenggu oleh rezim.14

Pada masa pemerintahan Habibie tidak banyak terjadi ketegangan terkait isu agama dan
negara. Selain dikarenakan masa jabatannya yang relatif singkat, kebijakan serta fokus
pemulihan ekonomi dan juga KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) menjadi warisan bebas
yang menjadi alasan adanya isu ideologis yang tidak terlalu tampak dan populer di masa itu.

Kemudian di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati tergolong tidak


banyak terjadi perubahan, meskipun ekonomi Indonesia sedang mengalami perbaikan, seperti
nilai tukar rupiah yang lebih stabil dan periode yang terlalu singkat. 15 Beralih ke masa
pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), di mana terdapat pandangan relasi agama
dan negara yang terbagi menjadi dua, yaitu agamis dan sekularis. Kelompok agamis dipimpin
oleh orang-orang Islam garis keras yang memiliki tujuan untuk mengubah Indonesia sebagai
negara yang berideologi Islam. Sedangkan kelompok sekularis merupakan pecahan dari
kelompok nasionalis yang sejak dekade awal kemerdekaan sudah terpecah belah menjadi dua
bagian, yakni kelompok nasionalis sekuler dan kelompok nasionalis agamis.

Sejak dekade tujuh atau delapan puluhan, kelompok agamis sebenarnya telah terpecah
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Islam politik (Islamis) dengan cita-cita Negara
Islamnya dan menginginkan penerapan syariat Islam secara formal atau singkatnya kelompok
Islam ideal; serta kelompok Islam akomodasionis.

Kelompok Islam ideal dengan gerakan Islam syariatnya tampaknya masih hidup hingga
masa pemerintahan Jokowi, dengan melalui Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang
memperjuangkan berdirinya Negara Islam. HTI pada masa SBY di tahun 2007 melakukan
konferensi besar mengenai penegakkan khilafah di Indonesia. Konferensi tersebut dihadiri
sekitar 100.000 ribu orang. Dan dari konferensi tersebut, HTI secara terang-terangan
menampilkan kepercayaan dirinya untuk mendirikan negara Islam. Sehingga tindakan radikal
HTI semakin mencederai stabilitas negara dan dasar negara yang sifatnya paten. Oleh
karenanya, HTI dibubarkan pada masa Presiden Jokowi tahun 2017 berdasarkan Perppu
Nomor 2 tahun 2017 atas perubahan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 Tentang Ormas;
yang sekarang telah menjadi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 Tentang Organisasi

14
A. Jufri, “Konsepsi Politik Islam dan Realitas Relasi Islam dan Negara di Indonesia Pasca Reformasi” Farabi:
Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18 (2018): 50.
15
Kamsi, Pergolakan Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: SUKA Press, 2014), 145-147.

6
Kemasyarakatan.16 Namun, lambat laun kesadaran masyarakat membuat dukungan tersebut
menurun dikarenakan terdapat dinamika persepsi umat Islam yang tidak identik dengan Islam
itu sendiri serta dinamika partai-partai nasionalis yang mengakomodasi aspirasi Islam.

Kedua, kelompok Islam akomodasionis. Kelompok ini bersamaan dengan kelompok


agamis berusaha untuk memperjuangkan Islam dari segi substansi. Kelompok ini juga
memandang agama dan negara saling bersinggungan atau saling terkait (paradigma
simbiotik). Jika dilihat dari segi kelembagaan, Indonesia merupakan negara sekuler, namun
secara filosofis bukan negara sekuler. Hal ini dikarenakan agama di Indonesia tidak pernah
mengatur sistem pemerintahan, akan tetapi mengatur bagaimana tatanan kenegaraan yang
seharusnya. Pengakuan eksistensi agama dalam kehidupan bernegara di Indonesia
diwujudkan melalui lembaga-lembaga keagamaan, seperti Kementerian Agama, Pengadilan
Agama, dan lain sebagainya. Dan negara pun mengakui eksistensi partai-partai politik serta
organisasi-organisasi massa yang berbasis agama.17

16
UU Noor 16 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013
Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
17
Maulida Maulaya Hubbah, “Relasi Agama dan Negara di Indonesia” researchgate (2021): 6.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Relasi Islam dan kekuasaan secara fungsional memiliki sifat simbiotik, meskipun dari
segi hakikat keduanya berbeda. Agama telah mendorong terbentuknya kekuasaan yang
bermoral, begitu pula sebaliknya, di mana moralitas kekuasaan turut menguatkan jiwa
keagamaan. memisahkan agama dari wawasan kekuasaan dalam pandangan Islam tidak
memiliki landasan yang solid dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini,
setidaknya terdapat 3 (tiga) paradigma pola relasi agama dan negara yang diperkenalkan oleh
tokoh masing-masing sebagai premis dalam memahami relasi Islam dan Negara di Indonesia.
Ketiga paradigma tersebut yakni integralistik, simbiotik, dan sekularistik.

Kemudian terdapat dua cara memandang Islam dan Politik di Indonesia pada masa
lampau dan kemungkinan hingga menjelang dan setelah reformasi, yaitu pertama, Islam
merupakan format dan tujuan yang digunakan untuk mengatur kehidupan bangsa dan negara
secara formal, legalistik, dan menyeluruh. Inilah yang disebut dengan ‘Islam Politik’. Kedua,
Islam merupakan salah satu komponen yang dapat membentuk, melandasi, dan mengarahkan
bangsa dan negara. Dan inilah yang disebut dengan ‘Islam kultural’.

Dengan berakhirnya masa Orde Baru (Orba) 1998 telah membawa perubahan bagi
masyarakat Indonesia yang digantikan dengan era reformasi. Soeharto yang mundur dari
jabatannya sebagai Presiden Indonesia, kemudian diserahkan jabatannya kepada Presiden B.J.
Habibie. Era reformasi merupakan bentuk perubahan dari segala aspek apa pun yang
mendukung kebebasan dan demokrasi. Pergantian Orba berimplikasi pada meningkatnya
partisipasi rakyat dan memunculkan partai-partai politik baru, termasuk partai-partai agama
(Islam). Selain itu terdapat pula organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah yang turut mendukung dan mensponsori pendirian partai baru.

Dengan demikian, meskipun jika dilihat dari kelembagaan Indonesia merupakan negara
sekuler, tetapi secara filosofis bukan negara sekuler, terdapat pengakuan eksistensi agama
dalam kehidupan bernegara di Indonesia yang diwujudkan melalui lembaga-lembaga
keagamaan, seperti Kementerian Agama, Pengadilan Agama, dan lain sebagainya. Dan

8
negara pun mengakui eksistensi partai-partai politik serta organisasi-organisasi massa yang
berbasis agama.

9
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maududi, Abdul A’la. Pesan Islam. Bandung: Pustaka, 1983.

Baqi, Fuad Abdul. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfad hal-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar Ihya al
Turats al-Arabi, 1945.

G.P, M. Arskal Salim. Islam di Tengah Arus Transisi. Jakarta: Kompas, 2000.

Hayyie, Abdul, dan Kamaluddin Nurdin. Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam
Takaran Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Hubbah, Maulida Maulaya. “Relasi Agama dan Negara di Indonesia” researchgate (2021): 1-
8.

Jufri, A. “Konsepsi Politik Islam dan Realitas Relasi Islam dan Negara di Indonesia Pasca
Reformasi” Farabi: Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18
(2018): 42-55.

Kamsi. Pergolakan Politik Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: SUKA Press, 2014.

Pulungan, J. Suyuti. Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1995.

Shalaby, Ahmad. Studi Komprehensif tentang Agama Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1988.

Syamsuddin, M. Din. Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik
Islam. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Undang-Undang

UU Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan perubahan atas UU Nomor


17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.

10

Anda mungkin juga menyukai