Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya


sehingga makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Penullis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................1

DAFTAR ISI...................................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 3

A. . Latar Belakang.........................................................................................3

B. Rumusan Masalah ...................................................................................3

C Tujuan.......................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................5

A. Dialektika Islamisme dan Nasionalisme...........................................................4


B. Politik Indoensia Pasca Reformasi...................................................................10
C. Nasionalisme dan Demokrasi...........................................................................13
D. Ide Khilafah......................................................................................................16

BAB III PENUTUP ..........................................................................................10

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 15

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nasionalisme merupakan sikap politik masyarakat yang mempunyai kesamaan


wilayah, budaya, bahasa, idiologi, cita-cita dan tujuan, kemudian mengkristal menjadi paham
kebangsaan. Paham ini berkembang lalu mempengaruhi politik kekuasaan dunia dan
berdampak luas bagi negara-negara bangsa. Ketika nasionalisme masuk di dunia Islam,
mereka sudah memiliki nilai-nilai universal yang dianut masyarakat muslim sebagai unsur
pemersatu. Umat Islam senyikapi nasionalisme ini beragam, ada yang menerima, ada yang
apriori, dan ada yang menolak. Sebagian umat Islam berpendapat bahwa nasionalisme murni
adalah nasionalisme Eropa yang sekuler. Hanya ini yang dapat dijadikan energi perubahan
sosial politik di dunia Islam. Sebagian lain berpendapat bahwa nasionalisme ala Eropa adalah
sekuler, mengabaikan agama, yang menyebabkan lemahnya dunia Islam. Islam tidak
kompatibel dengan nasionalisme, karena secara ideologis saling berlawanan. Ia bersifat
nasional-lokal, sedangkan Islam bersifat universal. Sebagian lagi umat Islam bersikap netral,
nasionalisme harus memperhatikan kepentingan seluruh warga bangsa dengan basis ukhuwah
Islamiyah. Nasionalisme ini merupakan bagian integral dari konsep “Pemerintahan Madinah”
dan Ini yang disebut nasionalisme Islam. Paham nasionalisme Islam ini lalu menjadi spirit
dan inspirasi kaum muslimin secara global untuk bangkit dan membebasakan negara-negara
Islam dari kolonialisme negara-negara Eropa. Di beberapa negara Islam, paham nasionalisme
Islam menjadi alat pemersatu sekaligus alat perjuangan untuk merebut kemerdekaan.
Nasionalisme di Indonesia yang digagas oleh Soekarno adalah memansiakan manusia. 1
Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang menerapkan
sistem demokrasi untuk tatanegara dan politiknya. Berdasarkan sistem demokrasi tersebut,
sistem ketatanegaraan yang non-agamis dapat hidup berdampingan dan berperan aktif untuk
menjalankan nilai-nilai agama di ruang publik sebagai fitur yang sangat terlihat. Meskipun
demikian, hubungan antara Islam dan negara dalam perjalanan sejarah Indonesia selalu
mengalami grafik yang naik dan turun. Di satu periode sejarah Indonesia, politik Islam
merupakan pemikiran dan gerakan yang periferal dan bahkan dianggap sebagai ancaman bagi

1
Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2006), hal. 30

2
demokrasi dan tata nilai modernitas, karena kelompok Islam berjuang untuk mempertahankan
ideologi Islamisme dengan tujuan mendirikan negara Islam, atau setidaknya menerapkan
sistem hukum Islam yang tradisional dalam tata hukum nasional yang modern. Namun
seiring perkembangan dunia Islam bersamaan dengan upaya demokratisasi negara Indonesia,
politik Islam pun merubah arah tujuannya untuk menyesuaikan kondisi tersebut. Kelompok
Islam lebih mengakomodasi nilai-nilai demokrasi dan modernitas, tanpa harus meninggalkan
identitas keislamannya. Fenomena terakhir inilah yang dikenal sebagai post-Islamisme
sebagai suatu geraka sosio-politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Nasionalisme dan demokrasi sebagai pemikiran politik yang dibawa oleh Barat
menimbulkan respon intelektual yang bervariasi di dunia Islam, menciptakan ide pro dan
kontra yang tidak ada habisnya untuk dibahas. Pihak yang pro berasumsi bahwa meskipun ide
nasionalisme dan demokrasi dibawa oleh Barat, nilai-nilainya dapat diadaptasikan dengan
Islam. Di sisi yang lain, pihak lawan berasumsi bahwa paham yang dibawa oleh Barat
bertujuan untuk menguasai dunia Islam. Berbagai argumen mereka kemukakan untuk
merespon kedua pemikiran politik tersebut. Ada beberapa debat tentang hubungan antara
Islam dan demokrasi, yang memunculkan tiga kelompok muslim yang berbeda. Kubu yang
pertama dinyatakan oleh mereka yang menolak secara tegas konsep demokrasi dalam
berbagai bentuk. Kelompok yang kedua dinyatakan oleh mereka yang menerima demokrasi
berdasarkan pendekatan normatif bahwa Islam mengandung elemen-elemen ide demokrasi.
Argumen yang paling populer adalah doktrin shura yang sejalan dengan beberapa ayat dalam
al-Qur’an. Kelompok yang ketiga adalah mereka yang berdiri di tengah antara menerima dan
menolak beberapa aspek demokrasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud politik?
2. Bagaimana pentingnya pemerintah?
3. Bagaimana nilai-nilai dasar sistem politik Islam?
4. Apa yang dimaksud penguasa dan rakyat?
5. Apakah itu demokrasi dalam pandangan Islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian politik
2. Mengetahui pentingnya pemerintah
3. Mengetahui nilai-nilai dasar sistem politik Islam
4. Mengetahui pengertian penguasa dan rakyat

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dialektika Islamisme dan Nasionalisme


Indonesia adalah negara yang menganut paham kebangsaan (Nation-State), dan bukan
negara teokratis yang didasarkan pada ideologi keagamaan tertentu. Hampir semua
paham agama-agama besar dunia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha) hidup dan
berkembang di negeri ini. Meskipun ummat Islam merupakan kelompok terbesar dari
populasi nasional (sekitar 87 %), sikap terbuka dan toleran mereka terhadap kelompok-
kelompok agama yang lain terasa sangat menonjol. Hal itu bukan saja terbukti dari relatif
harmonisnya hubungan antar ummat beragam selama ini, tetapi juga dalam sikap para
pemimpin muslim yang, semenjak perumusan konstitusi kenegaraan di masa-masa
pergolakan kemerdekaan 1945, merelakan Republik Indonesia berdiri tanpa
mencantumkan secara formal Islam sebagai dasar negara.
Akan tetapi tinjauan historis secara menyeluruh membawa kita kepada wawasan yang
lebih mendalam mengenai dinamika hubungan agama dan politik di negara ini.
Penyusunan konstitusi negara dan perkembangan setelahnya memperlihatkan dinamika
konfliktual yang bukan saja menanam segregasi politik dan sosial dalam masyarakat,
tetapi juga mengancam eksistensi negara. Diterimanya Pancasila dan UUD 1945 sebagai
dasar negara menggantikan piagam Jakarta waktu itu hanya dapat dijelaskan sebagai
kontrak politik, berkat kewibawaan pemimpin muslim moderat.2
Sejak awal kemerdekaan, terutama di saat penyusunan konstitusi negara, telah muncul
bibit antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara. Persoalan yang mengemuka
adalah bagaimana menempatkan Islam dalam konteks kenegaraan yang notabene multi-
agama dan keyakinan. Meskipun pada akhirnya polemik itu berhasil didamaikan dengan
menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, namun ketegangan antara Islam dan negara
tidak bisa dihilangkan begitu saja. Pemerintah, baik Orde Lama maupun Orde Baru,
menempatkan Islam politik sebagai pesaing kekuasaan yang mengancam basis
kebangsaan. Politik muslim dianggap berpotensi melahirkan kekacauan nasional karena
pengingkarannya terhadap identitas paling dasar dari nasionalisme Indonesia, yaitu
keragaman agama, etnisitas serta kebudayaan penduduknya. 3
2
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia , (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1995), hal. 49
3
Eep Saefullah Fatah, Membangun Oposisi (Bandung: Rosda, 1999), hal. 201

4
Karena persepsi semacam itu, negara berusaha menghalangi dan melakukan
domestifikasi terhadap gerakan politik Islam sehingga meningkatkan ketegangan terus
menerus. Pemerintah membatasi perkembangan Islam politik 4 melalui suatu politik
alienasi yang sistematik, sambil tetap mendorong Islam yang berorientasi ibadah dan
sosial.5 Pada tingkat tertentu negara berhasil melakukan tekanan. Islam politik tidak saja
gagal menjadikan Islam sebagai dasar negara pada dekade 1945 dan 1950-an, tetapi juga
mengalami proses marjinalisasi terutama di era rezim Orde Baru yang mengakibatkan
turunnya popularitas kelompok ini secara drastis. Hal ini terlihat pada dasawarsa terakhir
rezim Orde Baru, Islam politik kelihatannya telah berhasil dijinakkan oleh pemerintah.
Akan tetapi perkembangan pasca Orde Baru memperlihatkan dinamisasi Islam politik
yang luar biasa. Kemunculan Orde Reformasi yang memberikan kebebasan bagi seluruh
kekuatan politik membawa landmark baru, yakni “penghijauan” dunia politik Indonesia.
Gejala ini bisa diidentifikasi dari beberapa hal, diantaranya kemunculan partai-partai
Islam (baik yang berasas Islam maupun Pancasila) secara mencolok, disahkannya Perda
Syari’at di beberapa daerah, diskursus keislaman yang menguat dalam perbincangan
nasional serta islamisasi elite politik. Meskipun partai-partai Islam dalam tiga kali
Pemilu, tahun 1999, 2004 dan 2009, gagal meraih suara mayoritas, kepemimpinan
kenegaraan dan birokrasi pemerintahan memperlihatkan representasi kaum santri yang
mencolok yang tidak ada bandingannya dalam sejarah Indonesia pascakolonial.
Melihat fakta di atas, menarik untuk dicermati bahwa Islam politik bagaimanapun
merupakan pilar penting Nasionalisme Indonesia. Islam dan Nasionalisme adalah dua
entitas yang tidak sama, tetapi dalam perjalanan sejarah dan politik di negeri ini keduanya
terintegrasi dalam proses dialektis. Mendefinisikan relasi keduanya dalam kerangka
oposisional hanya akan melahirkan ketegangan dan chaos yang kontraproduktif bagi
upaya pembangunan masyarakat yang berkeadilan. Mayoritas muslim di Indonesia tidak
bisa hanya dijadikan mitos statistik yang abstrak, tetapi harus diberi saluran politik yang

4
Dalam kajian keislaman seperti diungkapkan Nikki Keddie, istilah Islam Politik disebut juga dengan “Islamis”,
yaitu suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan peran Islam dalam masyarakat dan politik, biasanya
dengan mencita-citakan negara Islam. Sedangkan istilah “Islami” merujuk pada kehidupan keimanan dan
keberagamaan dalam Islam. Nikki Keddie, “The lslamist Movement in Tunisia”, Maghreb Review l, no. 1,
(1986), hal. 26-39
5
Strategi ganda demikian merupakan adopsi dari kebijakan pemrintahan kolonial yang diterapkan sejak akhir
abad dua puluh. Kebijakan itu diperkenalkan oleh Snouck Hourgronje, seorang penasehat kolonial yang juga
pakar masalah-masalah keislaman. Teori Snouck secara efektif berhasil mematahkan kekuatan Islam di Aceh
dan Jawa, serta beberapa daerah lainnya di nusantara. Bagi Snouck, pemerintah kolonial harus bersikap
akomodatif terhadap Islam sebagai agama berdasarkan asas-asas liberal pemerintah Belanda, akan tetapi
membatasi setiap tendensi ke arah munculnya Islam sebagai kekuatan politik. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan
Matahari Terbit; Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hal. 40-52,
Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), hal. 31

5
bisa menampung aspirasi dan kepentingannya sejauh tidak bertentangan dengan kerangka
konstitusional negara. Jika katup politik bagi masyarakat muslim terus ditutup besar
kemungkinan akan muncul gejala radikalisme yang hanya akan bisa diatasi dengan
penanganan yang otoriter dan militeristik. Sebaliknya jika konfigurasinya semakin
terbuka dan akomodatif maka politik muslim akan berkembang wajar sejalan dengan
mekanisme demokrasi yang diinginkan. Pertumbuhan dan perkembangan Nasionalisme di
awal abad dua puluh memberikan catatan tersendiri bagi sumbangsih Islam politik.
Demikian pula berbagai kenyataan sejarah yang terjadi setelahnya.
Nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang dikembangkan dalam rangka
mempersatukan semua elemen yang ada pada suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada rasa
cinta terhadap tanah air, bangsa dan negara serta idiologi dan politik. Nasionalisme juga
diartikan sebagai suatu sikap politik dan sosial dari kelompok masyarakat yang
mempunyai kesamaan budaya, bahasa, wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan.
Mereka merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap kelompok-kelompok yang
lain dalam satu bangsa.
Paham nasionalisme yang awalnya lahir di Barat (Eropa) sekitar abad ke-15 Masehi,
lalu berkembang dan menjalar ke dunia lain, terutama di Timur (Asia dan Afrika) pada
sekitar abad ke- 20 Masehi, dapat mempengaruhi wajah dunia dari sisi politik kekuasaan.
Ternyata paham nasionalisme ini memiliki dampak yang luas bagi negara-negara bangsa,
baik di dunia Barat maupun di dunia Timur. Bahkan paham ini mengalami multi tafsir
yang akibatnya bisa berdampak positif juga negatif. Dewasa ini, pengaruh positifnya,
nasionalisme sering dihubungkan dengan setiap hasrat untuk persatuan dan kemerdekaan
suatu bangsa. Tapi pengaruh negatifnya, nasionalisme juga dapat merupakan daya
perusak bagi negara-negara yang terdiri atas banyak suku bangsa.
Paham nasionalisme yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat
suatu bangsa, kemudian mengental dalam kehidupan politik kenegaraan yang berwujud
nation-state (negara bangsa) dan bertujuan untuk mempersatukan suatu bangsa. Namun
secara umum, sebenarnya jauh sebelum paham nasionalisme tersebut masuk dan
mempengaruhi masyarakat suatu bangsa, pada bangsa-bangsa tersebut telah ada nilai-nilai
universal yang berlaku, dianut oleh masyarakat dan menjadi unsur pemersatu di antara
mereka. Nilai-nilai itu adalah agama dan keyakinan. Nilai-nilai agama telah
mempengaruhi dan membentuk umat pemeluknya merasa senasib sepenanggungan dan
memiliki kedekatan emosional dalam persaudaraan dengan mengabaikan perbedaan suku
dan keturunan. Persatuan yang dilandasi oleh semangat kesamaan agama ini sangat
6
kentara, terutama dalam agama Islam. Akibatnya bagi kaum muslimin, kehadiran paham
nasionalisme ini mau tidak mau harus bersentuhan dengan nilai-nilai agama Islam yang
telah lebih lama berada di tengah-tengah masyarakat muslim saat itu. Sehingga banyak
kalangan umat Islam yang menyikapi nasionalisme ini beragam. Di antara mereka ada
yang menerima dan ada yang apriori, bahkan ada yang menolak. Maka dari sinilah
diskursus antara nasionalisme dan agama Islam dimulai.
Nasionalisme Indonesia tampaknya baru muncul dan berkembang di awal abad
duapuluh setelah kebijakan Etische Politiek (Politik Etis) pada tahun 1901. Politik Etis
merupakan kebijakan pembangunan yang diambil oleh pemerintahan kolonial di
Nederland terhadap negeri jajahan di Hindia Belanda, khususnya dalam tiga bidang utama
yaitu edukasi, transmigrasi dan irigasi. Langkah yang tidak lain adalah upaya balas budi
pemerintahan kolonial atas desakan faksi liberal di dalam parlemen Belanda sendiri.
Kebijakan tersebut, tanpa dimaksudkan, telah menciptakan banyak perubahan yang
diantaranya kesadaran diri dan kesadaran akan kesamaan nasib yang mengubah persepsi
masyarakat Hindia Belanda tentang dunia, sejarah, dan cita-cita kemerdekaan. Kesadaran
yang kemudian diartikulasikan dengan berdirinya berbagai organisasi modern, partai
politik, surat kabar, serikat buruh, karya sastra, lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.
Dalam wacana sejarah selama ini, tonggak kebangkitan Nasionalisme biasanya
dialamatkan pada organisasi Budhi Oetomo yang berdiri tahun 1908. 6 Akan tetapi jika
diperhatikan, gerakan tersebut sebenarnya tidak lain adalah kebangkitan kaum priyayi
Jawa yang membela posisi mereka yang semakin terjepit serta berupaya menghidupkan
kembali “kebudayaan Jawa yang adiluhung”. Karena itu Budhi Oetomo tidak lebih dari
suatu Javanese Nationalism yang pada awalnya bahkan sangat terbatas dan etnosentris.
Langkah untuk memperluas gerakannya tidak pernah berhasil. Pernah ada usulan untuk
mengubah dasar organisasinya dari Jawa menuju ke ‘suatu persaudaraan nasional tanpa
memandang ras, seks, atau keyakinan’ namun tidak pernah diterima. Demikian juga pada
pertemuan tanggal 29 Mei 1909, ada penolakan terhadap usulan menambahkan tujuan
organisasi untuk membangun tanah dan rakyat Hindia Belanda secara keseluruhan
sehingga Hindia Belanda bisa maju bersama dan rakyatnya bersatu. Bahkan, upaya untuk
mendirikan cabang Madura memakan waktu yang cukup lama. Dengan demikian,
sebagian ahli cenderung mengklasifikasi organisasi Budhi Oetomo sebagai gerakan elit
priyayi yang terbatas di Jawa dan Madura. Baru ketika muncul Sarekat Islam, kesadaran

6
Gamal Komandoko, Boedi Oetomo Awal Kebangkitan Kesadaran Bangsa, (Yogyakarta: MedPress, 2014),
cet.1, hal. 20

7
diri dan kesadaran akan kesamaan nasib itu meluas keluar dari garis etnik dan kelas yang
dimungkinkan oleh agama meski juga masih terbatas dalam agama. SI memberikan
fondasi bagi kelahiran Nasionalisme yang pada proses selanjutnya menjadi blue print
bagi seluruh organisasi politik dan kebangsaan.
SI berdiri pada tanggal 11 November 1912 di Solo. Organisasi ini berawal dari sebuah
organisasi dagang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Haji
Samanhudi pada tahun 1911. Ketika beralih menjadi SI dibawah kepemimpinan
Tjokroaminoto, tujuan dagang itupun kemudian meluas memadukan kepentingan
ekonomi, keagamaan, politik, dan perlawanan terhadap struktur feodalisme serta
kekuasaan kolonial di Hindia Belanda. Istilah Islam sendiri dalam penggunaannya
berkembang dan sedikit banyak lebih mencerminkan adanya kesadaran umum bahwa
anggota-anggotanya yang berkebangsaan Indonesia adalah kaum muslim, sedangkan
orang-orang Cina dan Belanda adalah bukan muslim. 7
Misi politik SI tergambar dari penggunaan istilah “Kongres Nasional” dalam pertemuan
nasional pertamanya tahun 1916 yang pada periode sebelumnya belum pernah dipakai.
Menurut Deliar Noer, hal tersebut mengindikasikan bahwa
“Tidak sekedar mencerminkan bahwa partai tersebut telah tersebar di seluruh Persada
Tanah Air dan bahwa kongres-kongres tersebut diikuti oleh utusan-utusan dari segenap
daerah. Tetapi ia pun juga mencerminkan suatu usaha yang sadar dari pimpinan-
pimpinannya untuk menyebarkan dan menegakkan cita-cita Nasionalisme, dengan Islam
sebagai ajaran yang dianggap dasar dalam pemikiran tersebut.”8
Pada perkembangannya, Islam terus mengalamin dinamisme dalam ranah politik,
kelak muncul gagasan islam kultural. Dengan tampilnya “Islam Kultural” serta
penerimaan Asas Pancasila, maka tercipta formulasi baru hubungan antara negara dan
kekuatan-kekuatan Islam. Usaha mereka tidak untuk menolak politik, tetapi untuk
menyusun kembali hubungan antara agama dan politik di dalam masyarakat yang
pluralis. Para aktifis baru tersebut berusaha mengembangkan format pollitik di mana
substansi bukan bentuk yang menjadi titik tekan utama. Dua unsur penting, yaitu
“keislaman” dan “keindonesiaan” harus diintegrasikan secara harmonis.
Dalam analisis Bahtiar Effendy, gerakan Islam baru ini memasuki tiga wilayah utama,
yaitu (1) pembaharuan pemikiran keagamaan (2) pembaharuan politik/birokrasi, dan (3)
transformasi sosial.9 Pada level yang pertama, yaitu pembaharuan pemikiran keagamaan,
7
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: Serambi, 2008), hal. 359
8
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1988), hal. 115
9
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta:
Paramadina, 1998), hal. 125

8
para aktifisnya mencoba mensintesakan antara dasar-dasar teologis/filosofis keislaman
dengan realitas keindonesiaan. Mereka menyatakan bahwa banyak ajaran-ajaran agama
yang selama ini dipraktekkan dipahami secara parsial/tekstual sehingga mengakibatkan
kesenjangan antara teks-teks keagamaan dengan realitas yang dihadapi masyarakat.
Untuk itu mereka melancarkan pembaharuan dalam bidang keagamaan secara
menyeluruh dengan memunculkan ide-ide keislaman baru yang antara lain adalah
desakralisasi, pribumisasi, dan reaktualisasi ajaran Islam. Para pembaharu dalam bidang
ini diantaranya adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Munawwir Sadzjali,
Dawam Rahardjo, dan Djohan Effendi. Pada wilayah yang kedua, yaitu pembaharuan
politik/birokrasi, bergerak dalam upaya menjadi bagian dari politik dan birokrasi
pemerintah sambil melakukan pembaharuan. Aksi mereka penting dalam melahirkan
proyek “Islamisasi Birokrasi” di tahun 1980-an. Mereka percaya bahwa ketegangan
antara Islam dan negara akan mencair apabila pemikir dan aktifis muslim melibatkan diri
dan berpartisipasi aktif dalam politik dan birokrasi negara. Aktifis dari kalangan ini di
antaranya adalah Dahlan Ranuwihardja, Hartono mardjono, Akbar Tanjung, Mar’i
Muhammad, dan lain sebagainya.
Sedangkan pada level yang ketiga, yaitu transformasi sosial, mencoba mengalihkan
perhatian yang selama ini terfokus pada cita-cita negara Islam dengan berbagai variasinya
kearah pemberdayaan soial-ekonomi ummat. Dalam uraian mereka, proyek pembangunan
yang selama ini dilakukan pemerintah hanya memperkuat negara dan menguntungkan
segelintir elit, sedangkan mayoritas ummat masih terpuruk dalam kemiskinan dan
kebodohan. Mereka kemudian memunculkan sejumlah program yang bertujuan
memperkuat masyarakat, terutama pedesaan, dalam ekonomi, sosial, pendidikan dan lain
sebagainya. Para aktifis dari kalangan ini adalah Sudjoko Prasodjo, Adi Sasono, Dawam
Rahardjo, serta beberapa eksponen muda dari Ormas Islam. Untuk tujuan itu mereka
kemudian menjadikan pesantren sebagai pintu masuk utama karena selama ini institusi itu
memiliki basis yang kuat di kalangan muslim pedesaan. Maka diperkenalkanlah sejumlah
program pemberdayaan yang melibatkan tokoh dan aktifis pesantren, terutama di
kalangan NU. 10
Dinamisme baru yang diperlihatkan gerakan Islam sejak 1980-an pada dasarnya
menunjukkan bahwa bentuk artikulasi politik Islam tidak monolitik, tetapi plural
sebanding dengan variasi keberislaman itu sendiri. Hasil penting gerakan tersebut adalah

10
Martin Van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS,
1999), hal. 50

9
pemberdayaan di berbagai level sehingga islamisasi muncul dengan cara yang begitu kuat
dan membuktikan “filsafat garam” dari Mohammad Hatta jauh sebelumnya. Gerakan
tersebut tidak berarti pupusnya aktivisme politik islam, tetapi tidak lain merupakan
politik resiliensi atas berbagai tekanan di masa Orba yang nantinya akan sangat
berpengaruh bagi bangkitnya kembali Islam politik dalam panggung politik Indonesia
pasca reformasi 1998, suatu bentuk artikulasi baru yang jauh dari monolitik.
B. Politik Indonesia Pasca Reformasi
Memahami politik Indonesia setelah reformasi hanya mungkin dilakukan jika sejarah
politik Indonesia pada periode sebelumnya telah dikaji dengan baik, demikian pula
pemahaman mengenai potret Islam politik hanya bisa terjadi jika perjalanannya dalam
rentangan sejarah yang panjang sejak awal abad dua puluh telah dibahas jelas dalam studi
yang objektif. Persoalan ini penting dikemukakan mengingat adanya kecenderungan untuk
melihat Islam politik pasca Orba sebagai fragmen yang terpisah. Misalnya beberapa studi
yang dilakukan terhadap PKS, partai yang dianggap sebagai representasi paling baik dari
Islam ideologis, menyimpulkan bahwa partai ini hanya manifestasi pengaruh ideologi
Pan-Islamisme dari gerakan Ikhwanul al-Muslimin di Mesir. Akibatnya, PKS kerap kali
dituding menyimpan agenda internasional yang lebih loyal pada induk gerakannya di
Mesir daripada terhadap NKRI. Suatu bentuk stigmatisasi yang agaknya sama dengan
kejadian tahun 1960-an ketika PKI dianggap lebih loyal kepada Komunisme Internasional
poros Peking/Cina.
Studi akademik meniscayakan adanya eksplorasi beragam faktor yang melahirkan
peristiwa politik tertentu. Sebagai contoh kasus, PKS mungkin saja meniru model ideologi
dan strategi Ikhwanul al-Muslimin sebagai faktor heterochthonous, yakni unsur luar yang
masuk dan tidak ada presedennya dalam sejarah sendiri. Akan tetapi penting diingat
bahwa betapapun kuatnya unsur luar tersebut, ia akan mengalami disjuncture.
Yakni proses ketika unsur luar itu dimaknai dan dimanfaatkan dengan cara yang berlainan
sama sekali sehingga ia kemudian ditranslasi dan disesuaikan dengan konteks sosial dan
sejarah yang berbeda. Dalam konteks ini, tidak ada satupun ideologi dan program PKS yang
bertujuan membubarkan NKRI ataupun mendirikan negara Islam Indonesia. Program partai
lebih diarahkan untuk memajukan pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan,
penanggulangan bencana, dan sebagainya. Betapapun nihilnya realisasi program tersebut serta
rapuhnya institusi yang menyokongnya, sama juga seperti yang dialami partai-partai lain. Di
samping itu, ada faktor autochthonous, yakni unsur dari dalam yang menentukan yang

10
11
diakibatkan oleh pergulatan politik dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Kemunculan
partai-partai Islam seperti PKS, PKB, PAN, PPP, dan sebagai merupakan continuity dan
change dari perkembangan SI di awal abad duapuluh, pertentangan ideologis pasaca
kemerdekaan, serta tumbuhnya Islam Kultural di tahun 1980-an. Perkembangan politik pasca
reformasi dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam sekaligus. Keduanya telah berkait-kelindan
sedemikian rupa dalam lingkaran kompleksitas sehingga sulit ditentukan mana faktor luar dan
dalam.
Kemunculan partai-partai Islam pasca reformasi 1998 cukup mengejutkan banyak
kalangan. Kekuatan Islam politik yang dianggap telah terkubur selama Orba berkuasa
muncul kembali dalam suatu dinamisme baru, yang sekaligus menunjukkan bahwa Islam
politik memiliki resiliensi kuat di tengah-tengah rezim otoriter. Slogan “Islam Yes, Politik
Islam No” yang dulu menjadi jargon populer kini dimentahkan oleh kegairahan banyak
pihak mendirikan partai-partai berbasis Islam. Dari 48 partai peserta Pemilu 1999, 20 di
antaranya merupakan partai Islam. 20 partai Islam tersebut memiliki variasi yang berbeda,
baik pada tingkat asas kepartaian, basis massa, slogan, espektasi politik, maupun fokus
program. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa ekspresi politik muslim pada dasarnya
beragam. Hasil penelitian yang dilakukan Zainal Abidin Amir terhadap lima partai Islam
yang berbasis massa paling besar, yakni PKB, PAN, PPP, PKS, dan PBR, memperlihatkan
terjadinya pergeseran paradigmatis yang berbeda dari partai generasi sebelumnya. 12
Sungguhpun sebagian dari lima partai di atas, yaitu PKS, PPP, dan PBR, masih
mencantumkan asas formal Islam sebagai dasar kepartaian tetapi arah kepartaiannya
berdiri di atas paradigma yang baru. Dalam tujuan partai, tidak satupun yang merumuskan
cita-cita pendirian negara Islam ataupun pencantuman kembali Piagam Jakarta. Untuk
masalah yang terakhir, pasca Pemilu 1999 memang muncul perdebatan kecil tentang
Piagam Jakarta akan tetapi segera dengan cepat hilang tergantikan oleh isu-isu lain.
Mereka lebih memilih langkah politik pragmatis dan inklusif dengan memasuki sistem
politik yang tersedia untuk meraih akses besar dalam proses pembuatan keputusan tanpa
meninggalkan prinsip-prinsip Islam. Isu-isu lain seperti perbaikan ekonomi, pendidikan,
penanggulangan bencana, pemberantasan KKN, dan demokratisasi tampaknya lebih
menarik minat. Sedangkan PAN dan PKB bergerak lebih jauh lagi dengan memakai
Pancasila sebagai asas partai. 13
11
Daniel Dhakidae, Partai-Partai Politik Indonesia; Kisah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-Patahan
Sejarah, dalam Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia; Ideologi, Strategi dan Program (Jakarta:
Kompas, 1999), hlm. 1-2
12
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto (Jakarta: LP3ES, 2003), hal. 79
13
Asef Bayat. Post-Islamisme; Wajah Baru Islam Politik, (Yogyakarta: LkiS, 2002), hal. 105

11
Kembali pada masalah Islam politik, partai-partai Islam, dengan variasi isu dan
gerakannya, tampaknya akan kembali masuk sebagai pemain utama dalam panggung
politik nasional. Meskipun partai-partai Islam dalam tiga kali Pemilu, tahun 1999, 2004
dan 2009, gagal meraih suara mayoritas, kepemimpinan kenegaraan dan birokrasi
pemerintahan memperlihatkan representasi kaum santri yang mencolok. Dialektika antara
Islam dan Nasionalisme telah merubah arah dari gerakan Islam. Kenyataan yang
seharusnya merubah persepsi masyarakat politik di Indonesia yang semata-mata melihat
Islam politik berangkat dan bertujuan sektarian. Dalam konfigurasi perpolitikan nasional,
kian terlihat dibutuhkannya suatu mekanisme yang memberikan ruang aspirasi bagi Islam
politik. Jika seluruh elemen bangsa setia dengan upaya demokratisasi berdasarkan prinsip
meritokrasi, mekanisme tersebut sudah tersedia sehingga konstituen Islam politik tidak
mengalami frustasi, apalagi ketidakpercayaan, yang mendorong mereka ke arah
ekstrimisme politik. Menenpatkan kaitan antara Islam dan Nasionalisme dalam relasi
oposisional hanya akan melahirkan situasi yang kontraproduktif, sebaliknya jika
ditempatkan dalam relasi dialektis akan menjadi raison d’etre bagi terwujudnya bangsa
yang demokratis dan berkeadilan.
Pengalaman di awal abad duapuluh menunjukkan bahwa SI (Islam Politik) merupakan
landasan pertama perkembangan Nasionalisme di tanah Hindia Belanda. Suatu hal yang
juga menarik dikaji bahwa Komunisme yang sampai kini masih menjadi ‘hantu’ dalam
kehidupan politik Indonesia, hanya bisa berkembang dan memperoleh simpati luar biasa
dari rakyat melalui wadah SI. Perkembangan awal Komunisme, baik ketika berwujud
sekelompok kecil aktifis Nationale Indische Partij (NIP) maupun dalam Indische Sociaal
Democratische Vereeniging (ISDV) yang didirikan Hendrik Sneevlit tahun 1914, terbatas
pada orang-orang Eropa dan kalangan pribumi keturunan Eropa. Komunisme memperoleh
aksentuasi yang nyata pada saat ideologi tersebut berkembang di SI. SI Cabang Semarang
yang dipimpin oleh Semaun dan Darsosno kemudian menjadi cikal bakal Partai Komunis
Indonesia (PKI). Jika bersetuju dengan gagasan Nasakom (Nasionalisme, Agamis dan
Komunis) Soekarno sebagai tiga pilar kebangsaan, maka ketiganya tumbuh dan bersemai
di atas landasan Islam Politik. Sebab itu, harapan juga dapat disandangkan pada partai-
partai Islam yang tumbuh pasca reformasi. Momentum reformasi bisa menjadi awal dari
perubahan-perubahan besar yang akan terjadi. Jawaban terhadap masalah tersebut
memang hanya mungkin dijawab oleh perkembangan sejarah yang akan terjadi kemudian.
Yang lebih penting saat sekarang adalah mendorong iklim politik Indonesia lebih terbuka

12
sehingga setiap aliran ataupun kelompok merasa mendapatkan ruang kehidupan yang
layak di negeri ini.
C. Nasionalisme dan Demokrasi
Nasionalisme dan demokrasi sebagai pemikiran politik yang dibawa oleh Barat
menimbulkan berbagai respon intelektual dalam dunia Islam, yaitu munculnya pemikiran
pro dan kontra yang tidak ada habisnya untuk diperbincangkan. Pihak pro beranggapan
bahwa ide Nasionalisme dan demokrasi walau dibawa oleh Barat ternyata nilai-nilainya
bisa disesuaikan dengan Islam, sebaliknya pihak kontra beranggapan bahwa isme-isme
yang dibawa oleh Barat bertujuan untuk mendominasi dunia Islam. Berbagai macam
argumen yang mereka kemukakan untuk merespon dua pemikiran politik tersebut.
Nasionalisme yang muncul dari perjuangan melawan kekuatan penjajah yang
berkuasa dan Nasionalisme yang berasal dari suatu negeri yang tidak pernah mengalami
penjajahan mengandung perbedaan yang sangat besar. Penjajahan yang menyerang secara
langsung harga diri suatu kelompok masyarakat, meninggalkan sebuah trauma yang
hanya bisa disembuhkan dengan waktu. Di Eropa nilai-nilai nasionalis ada hubungannya
dengan bangkitnya kelas menengah. Para raja memanfaatkan Nasionalisme untuk
mendapatkan dukungan dari kelas menengah melawan golongan bangsawan dan gereja.
Sebaliknya, Nasionalisme di dunia Islam memiliki peran ganda, yaitu sebagai katalisator
utama dari perpecahan kemaharajaan Usmaniyah dan sebagai penyulut semangat massa
melawan kekuasaan penjajah.
Wilayah Islam bersentuhan dengan ide Nasionalisme Prancis ketika Napoleon
menduduki Mesir tahun 1798 M. Salah satu ide yang dibawa Napoleon adalah ide
kebangsaan yang terkandung dalam maklumatnya, bahwa orang Prancis merupakan suatu
bangsa (nation) dan kaum Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir dari Kaukus.
Jadi sungguhpun Mamluk Islam, tetapi berlain bangsa dengan orang Mesir. Ide
Nasionalisme ini memang belum serta merta mempengaruhi pemahaman umat Islam
Mesir waktu itu. Ide ini baru mengemuka dalam wacana pemikiran di lingkungan Muslim
saat pertama kali diajukan oleh al-Tahtawi.14

Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi yang pernah tinggal di Prancis (1826-1831), menjadi tokoh
yang berpengaruh dalam menyebarkan Gagasan Nasionalisme melalui bukunya yang
menggambarkan pengalaman dan pengamatannya atas kebangkitan Nasionalisme di
14
Moh. Asror Yusuf, Persinggungan Islam dan Barat; Studi Pandangan Badiuzzaman Said Nursi,(Kediri:
STAIN Kediri, Press, 2009), hal 126

13
Eropa. Karenanya, tidaklah mengejutkan apabila pada pertengahan abad ke-19 istilah-
istilah semacam tanah air, bangsa dan konsep-konsep terkait lainnya mulai muncul dalam
bahasa Arab dan Turki. 15 Dia menyatakan pentingnya Patriotisme (hubb al-waṭan) untuk
dimiliki setiap orang. Patriotisme adalah dasar yang kuat untuk mendorong orang
mendirikan suatu masyarakat yang mempunyai peradaban. Dengan ide hubb al-waṭan ini,
maka pemahaman “seluruh dunia Islam adalah tanah air bagi setiap muslim” telah
bergeser tekanannya. Tanah air sekarang ditekankan artinya pada tumpah darah
seseorang, bukan seluruh dunia Islam. Menurutnya, patriotisme suatu sarana untuk
mengawasi gap antara wilayah Islam dan Barat. Para pendukung Nasionalisme awal ini
beranggapan, bahwa kaum muslim seharusnya meminjam ilmu pengetahuan yang di
kembangkan Barat, sembari tetap teguh pada ajaran Islam yang sejati.16
Menurut Ziauddin Sardar, Pan-Arabisme agresif yang berkobar-kobar di masa Abdul
Nasser merupakan ungkapan perasaan anti penjajah. Pada masa pasca penjajahan,
perasaan ini tetap tertanam untuk melawan Imperialisme, suatu hasil “kemajuan
ideologis” di bawah pengaruh Marxisme. Di negeri Parsi, Reza Syah Pahlavi
mengiklankan suatu Nasionalisme Parsi yang mendasarkan diri pada kultur Parsi yang
dicampur dengan ajaran Syi’ah agar bisa menjadi adonan yang enak. 17
Sudah banyak dilakukan usaha untuk menyatukan ajaran nasionalis dengan ajaran
Islam. Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha berusaha
menggabungkan Islam dengan teknikisme lewat sarana politik Pan-Islamisme. Ziya
Gohalp berusaha menghubungkan Pan-Islamisme dengan Nasionalisme Turki dan
modernisasi. Reza Syah Pahlavi menyatukan Nasionalisme Parsi dengan ajaran Syi’ah.
Boumedienne memimpin Al-Jazair dengan mengambil bentuk negara sosialis-nasionalis
18
dan Islam. Yang terakhir, Teori Internasional Ketiga dari Kolonel Muammar Qaddafi
berusaha menyatukan agama, Nasionalisme dan Sosialisme sebagai tiga kekuatan yang
menggerakkan sejarah. 19
Bila menengok perkembangan demokrasi Indonesia, sebagaimana dituturkan
Moh. Hatta, sumber demokrasi, tegasnya demokrasi sosial di Indonesia ada tiga; a).
15
Moh. Asror Yusuf, Persinggungan Islam dan Barat; Studi Pandangan Badiuzzaman Said Nursi,(Kediri:
STAIN Kediri, Press, 2009), hal 123
16
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme,
(Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 27
17
Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Islam, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 80
18
Teori internasional ke tiga adalah sebagai tandingan bagi kapitalisme dan juga komunisme. Hal pokok di sini
adalah rakyat di pedesaan atau semua karyawan pabrik harus berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan
bagi negara, serta ikut andil dalam konferensi-konferensi rakyat(mu’tamirat). Lihat William Montogomery
Watt, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal. 58
19
Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Islam, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 85

14
Sosialisme Barat yang membela pronsip-prinsip kemanusiaan yang sekaligus
dipandang sebagai tujuan demokrasi, b) Ajaran Islam yang memerintahkan
kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat, c) Pola hidup dalam bentuk
kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa di Indonesia. Hatta berkeyakinan
bahwa fondasi demokrasi di Indonesia sudah cukup solid karena didukung oleh
kombinasi tiga kekuatan sosio-religius di atas yang sudah mengakar dalam sebagian
besar masyarakat kita. 20
Pencarian bagi bentuk demokrasi yang cocok di Indonesia
dimulai ketika persiapan kemerdekaan 1945, terutama dalam kerangka pembahasan
mengenai konstitusi Indonesia. Ada tiga konsep demokrasi yang digunakan untuk
menandai berbagai sistem politik Indonesia, yaitu demokrasi liberal atau demokrasi
parlementer (1950-1958), demokrasi terpimpin (1959-1965) dan demokrasi pancasila
(1966 hingga sekarang).21 Sebagaimana di sebagian besar negara berkembang lainnya,
demokrasi di Indonesia belum diwujudkan secara penuh, dan masih bergerak menuju
ideal. Ini dibuktikan dengan belum cukupnya kebebasan pers, banyaknya protes akan
kecurangan hasil pemilu dan lain sebagainya. Bahkan dalam sejarahnya, demokrasi
terpimpin ciptaan Bung Karno pada hakikatnya adalah sistem politik otoriter yang
ditutupi dengan jubah demokrasi. Penyimpangan demokrasi tidak hanya terjadi di
Indonesia, tapi juga di berbagai negara. Bila Soekarno di Indonesia menggunakan
istilah demokrasi terpimpin, maka Nasser menggunakan istilah demokrasi tanpa
partai, Ayub Khan menamakan demokrasi dasar, Mao Ze Dong menamakan
rezimnya”Republic of New democracy” atau “socialist democracies”.22 Jubah-jubah
semacam ini hanyalah rekayasa untuk menutupi kecenderungan otoriter pada
sebagian pemimpin puncak suatu bangsa. Proses demokratisasi ini tidak hanya
bergantung pada kehendak politik pemerintah, tetapi juga bergantung pada kondisi dan
tuntutan masyarakat itu sendiri, khususnya tingkat kesejahteraan ekonomi dan pendidikan
masyarakat, serta sifat dasar budaya tradisional yang sebagian tidak selaras dengan
budaya demokrasi. Identitas Indonesia yang berbasis pada masyarakat multikultural dapat
menjadi wadah pengembangan demokrasi di Indonesia. 23
D. Ide Khilafah
20
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik; Teori belah Bambu Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta :
Gema Insani Press, 1996), hal. 197
21
Masykur Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap
Konsep Demokrasi (1966-1993), hal. 14
22
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, (Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965
Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 198
23
Tim Indonesian Center for civic Education (ICCE) UIN Syarif Hidayatullah, Peny. A Ubaedillah dkk ,
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hal. 162

15
Runtuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M, akibat serangan bangsa Mongol
menandai berakhirnya masa kejayaan Islam. Sejak saat itu, kekuatan politik Islam
mengalami kemunduran secara drastis, bahkan wilayah kekuasaannya tercabik-cabik
dalam beberapa kerajaan kecil yang satu dengan yang lain saling bermusuhan bahkan
saling memerangi.24 Baru pada abad XVI M.muncul tiga kerajaan besar yang
menggantikan posisi Dinasti Abbasiyah. Pertama, Turki Usmani yang bermazhab Sunni,
di Turki. Kedua, Safawi yang bermazhab Syiah di Persia, dan terakhir Mughal yang
bermazhab Sunni di Anak Benua India. Diantara tiga kerajaan tersebut, Turki Utsmani
yang terbesardan paling lama bertahan bahkan kekuasaannya meliputi kawasan Timur
Tengah dan bagian Timur Benua Eropa. Namun Kerajaan Turki Utsmani yang dipandang
sebagai khalifah dan pemerintahan Islam sedunia tidak dapat mempertahankan
eksistensinya. Ia dibubarkan pada bulan Maret 1924 setelah pembentukan Negara
nasional sekuler Republik Turki yang dipelopori oleh Kemal Attaturk. Dengan demikian
institusi yang dipandang sebagai lambang supremasi politik Islam lenyap. 25 Kehancuran
khilafah Utsmani telah membuat umat Islam kehilangan wibawa kekuasaan di mata
dunia, umat Islam yang dulu jaya dan menjadi imam peradaban kini harus menjadi anak
yatim yang selalu diperlakukan dengan tidak adil. Pikiran mereka terpecah oleh adanya
sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan nasionalisme dimana Islam bukan lagi
26
sebagai perekat utama bagi kehidupan mereka. Menurut Munawir Sadzali penyebab
runtuhnya kerajaan-kerajaan besar pasca kerajaan Abbasiyah seperti Turki Utsmani lebih
disebabkan oleh disintegrasi politik dengan melemahnya otoritas di masing-masing
pemerintah pusat dan munculnya penguasa semi otonom di berbagai daerah dan provinsi
negara-negara tersebut, disertai dengan disalokasi sosial, memburuknya situasi ekonomi
akibat persaingan dagang dengan negara-negara Eropa, kalah perang, serta merosotnya
spiritualitas dan moralitas masyarakat, terutama para penguasa. 27 Sejak saat itu pula kaum
muslimin di berbagai Negara di dunia selalu berusaha menemukan kembali serta
membangun kembali sistem politik Islam. Seperti ide pembentukan kembali Negara
khilafah yang diprakarsai oleh Hasan al-Banna dengan mendirikan gerakan Ikhwanul
Muslimin pada tahun 1928. Namun, gerakan-gerakan tersebut dimusuhi dan ditekan oleh
penguasa-penguasa, bahkan di negara-negara Islam sendiri.
24
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal.129
25
Abd. Mu’in Salim, Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), hal. 2
26
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniah, Terj. Samson Rahman, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal. Xix.
27
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Edisi 5, (Jakarta: PT. UI Press, 1993), hal.111

16
Gerakan tersebut kemudian menyebar ke seluruh negeri dan dunia, tak terkecuali
Indonesia. Banyak pro dan kontra bermunculan menyikapi isu yang di usung oleh
gerakan tersebut. Belakangan, wacana sistem khilafah dijadikan agenda utama
HizbutTahrir Indonesia (HTI) sebagai bagian dari Hizbut Tahrir yang berskala
internasional. Menurut HTI: bahwasanya problematika utama yang menimpa kaum
Muslimin saat ini disebabkan tidak diterapkannya hukum-hukum Islam di tengah
masyarakat‟. Satu-satunya wadah yang mampu menjamin penerapan sistem dan hukum-
hukum Islam secara total di tengah-tengah masyarakat hanyalah khilafah al-Islamiyah.
Gagasan HTI tersebut mendapat penolakan khususnya dari Muhammadiyah, al-
Washliyah dan Nadhlatul Ulama, ketiga ormas terbesar di Indonesia ini dengan berbagai
alasan. Salah satu alasannya adalah bahwa Indonesia merupakan negara Pancasila yang
dihuni oleh berbagai macam ragam budaya. Indonesia juga bukan negara yang
berideologi Islam. Sejak dibubarkannya sistem khilafah di Turki sebenarnya sudah
muncul perbedaan pendapat di kalangan para pemikir maupun aktivisi politik Islam saat
itu, tentang perlu atau tidak menegakkan kembali sistem khilafah. Sebab, baik ayat-ayat
al-Qur‟an maupun hadis-hadis Nabi yang dijadikan dasar hukum wajib didirikannya
khilafah ternyata hanya berbicara tentang perlunya kepemimpinan menurut ketiga ormas
tersebut diatas.
Mewakili Muhammadiyah Misalnya, Din Syamsuddin mengatakan, “Silakan saja HTI
menganggap khilafah islamiyah sebagai kepemimpinan islam. tetapi dalam islam, makna
khilafah sangat luas dan banyak persepsi. misalnya, setiap orang adalah khalifah atau
pemimpin dalam dirinya sendiri.
Al Washliyah mengatakan Demokrasi diintepretasikan di Indonesia adalah sebuah
teori dan undang-undang yang dibuat mengacu kepada wahyu (Alqur‟an dan Sunnah)
yang bertujuan agar interpretasi wahyu dalam memaknai dan menjalankan roda 4 pilar
dan nasionalis di Indonesia khususnya, tidak liar yang menyebabkan bangsa ini terus
dirundung mala petaka konflik berkepanjangan yang akan menyebabkan NKRI ini hancur
dan terbelah. Prof.Dr. Syeikh Said Thanthawi (Grand Syekh Al Azhar Mesir) mengatakan
: “Negara Islam itu tidak ada, yang ada adalah negara Islami” artinya apapun bentuk
negara tersebut selagi undang-undang negaranya tidak bertentangan dengan hukum Islam,
maka itulah yang dikatakan dengan negara yang Islami (yang bersifat Islam).”
Sementara itu Nahdatul Ulama (NU), mengatakan bahwa khalifah itu hanya
berlangsung selama tiga puluh tahun (30) setelah wafatnya Nabi SAW, yaitu masa-masa
pemerintahan Sahabat, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra. Dan setelah mereka adalah
17
para raja yang berkuasa dengan tangan besi. Nahdatul Ulama yang mengatakan bahwa
menegakkan Khilafah tidaklah Wajib, melainkan sebuah pilihan karena Hujjahnya lebih
kuat, dari pada pendapat Hizbut Tahrir Indonesia, ini dibuktikan dengan pendapat Hizbut
Tahrir Indonesia yang mengemukakan dalil dari Bisyarah (Kabar Gembira), atau bisa
dikatakan mereka berhujjah atas dalil Motivasi saja. Hizbut Tahrir Indonesia
mengemukakan dalil dari Hadits Riwayat Muslim No 3429, hadits riwayat Ahmad No
17680, 22030 dan 16344, adalah kurang tepat sasaran karena Hadits-hadits tersebut dapat
di Nasakh oleh Hadits-hadit yang dikemukakan oleh Nahdatul ulama yakni (Mansukh)
Hadits Riwayat Ahmad No 20910 dan al-Tirmidzi No 2152, hadits Riwayat Muslim 3393
dan lain-lainnya, bahkan para ulamapun sepakat bahwa Khilafah itu adalah sebuah pilihan
dan bukannya syariat yang wajib dilaksanakan.
“Muhammadiyah menolak paham yang memutlakkan sistem kekhilafahan Islam yang
disertai sikap menegasikan pilihan politik Islam lainnya dengan menuding sebagai sistem
di luar Islam (tidak lslami, sistem thaghut), lebih-lebih apabila disertai gerakan untuk
mengganti sistem politik yang telah berlaku pada setiap negara Islam atau negara
Muslim,” tegas Muhammadiyah, dalam pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Ketua
Umum Haedar Nashir, dan Sekretaris Umum Abdul Mu’ti.
Bagi Muhammadiyah, paham dan gerakan yang mewajibkan berdirinya negara
Khilafah lslamiyah di Indonesia tidaklah sejalan dan bahkan bertentangan dengan
konstitusi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Pada Muktamar ke-47 Tahun 2015 di Makassar, Muhammadiyah
memutuskan sebuah dokumen penting tentang “Negara Pancasila Dar al-Ahdi Wa al-
Syahadah.” Kandungan isinya ialah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan sejalan dengan ajaran Islam, sebagai hasil konsensus nasional
yang harus dibangun menuju terwujudnya cita-cita nasional. Sebagai hasil konsensus
nasional maka Negara Pancasila mengikat bagi seluruh institusi negara dan komponen
bangsa” tegas Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Oleh karena itu, Muhammadiyah
menolak segala paham, eksistensi organisasi, dan gerakan anti Pancasila lainnya yang
berusaha mengganti Dasar Negara Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal yang sama juga di tegaskan al-Washliyah bahwa NKRI adalah harga mati, MUI
yang diwakili Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Ma`ruf Amin menyatakan
jangan mempertentangkan antara agama dan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara
Indonesia. Pancasila, kata Ma`ruf, adalah solusi kebangsaan (hulul wathaniyah) yang

18
menjadi titik kesepakatan dan kompromi dalam berbangsa dan bernegara. Bahkan, roh
agama menjadi kekuatan besar yang mengilhami kelahiran Pancasila itu.

19
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan

Indonesia yang kaya akan suku dan beragam akan agama berdiri di atas demokrasi
Pancasila yang mengakomodir semua kepentingan masyarakat yang hidup di dalamnya.
Indonesia bukanlah negara teokrasi. Banyak tanggapan yang mengenai ide nasionalisme
dan islamisme serta demokrasi bahkan khilafah. Hal itu sangatlah wajar karena
kesemuanya adalah sebuah konstruksi cara berpikir yang masing-masing memiliki
parameternya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Adams, Cindy. 2006. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. Jakarta: Yayasan Bung Karno

Amir, Zainal Abidin. 2003. Peta Islam Politik Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES

Ash-Shalabi, Ali Muhammad. 2003. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniah, Terj.
Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme


hingga Postmodernisme. Jakarta: Paramadina

Bayat, Asef. 2002. Post-Islamisme; Wajah Baru Islam Politik. Yogyakarta: LkiS

Benda, Harry J.. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya

Bruinessen, Martin Van. 1999. NU; Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana
Baru. Yogyakarta: LKiS

Dhakidae, Daniel. 1999. Partai-Partai Politik Indonesia; Kisah Pergerakan dan Organisasi
dalam Patahan-Patahan Sejarah, dalam Litbang Kompas, Partai-Partai Politik
Indonesia; Ideologi, Strategi dan Program. Jakarta: Kompas

Effendi, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia. Jakarta: Paramadina

Fatah, Eep Saefullah. 1999. Membangun Oposisi. Bandung: Rosda

Keddie, Nikki. 1986 .“The lslamist Movement in Tunisia”, Maghreb Review l, no. 1

Komandoko, Gamal. 2014. Boedi Oetomo Awal Kebangkitan Kesadaran Bangsa.


Yogyakarta: MedPress

Maarif, Ahmad Syafi’i. 1996. Islam dan Politik; Teori belah Bambu Demokrasi Terpimpin
(1959-1965). Jakarta : Gema Insani Press

Masykur Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim


Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993)

Mulkhan, Abdul Munir. 1994. Runtuhnya Mitos Politik Santri. Yogyakarta: SIPRESS

21
Nasution, Adnan Buyung. 1995. Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti

Noer, Deliar. 1988. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES

Ricklefs, M.C.. 2008. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi

Salim, Abd. Mu’in. 1995. Fiqh Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Islam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada

Sardar, Ziauddin. 1991. Rekayasa Masa Depan Peradaban Islam. Bandung: Mizan

Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara, Edisi 5. Jakarta: PT. UI Press

Tim Indonesian Center for civic Education (ICCE) UIN Syarif Hidayatullah, Peny. A
Ubaedillah dkk , Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani

Yatim, Badri. 2002. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Yusuf. Moh. Asror. 2009. Persinggungan Islam dan Barat; Studi Pandangan Badiuzzaman
Said Nursi. Kediri: STAI

22
23

Anda mungkin juga menyukai