Anda di halaman 1dari 12

NAMA : SYAMSIDAR

NIM : 702322021005
KELAS : 21BPI-1
MATKUL : CIVID EDUCATION

HUBUNGAN ANTAR NEGAR A DAN AGAMA


1. Hubungan agama dan negara (kasus Islam)
Dalam konteks dunia islam masih menjadi perdebatan yang intensif dikalangan para
pakar muslim hingga kini. Menurut Azyumardi Azra, perdebatan itu telah berlangsung
sejak hampir satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini. Menurut Azra
ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara dalam islam disulut oleh
hubungan antara islam sebagai agama (din) dan negara sebagai (dawlah).
Perdebatan islam dan negara berangkat dari pandangan dominan islam sebagai sebuah
sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur semua kehidupan manusia,
termasuk persoalan politik. Dari pandangan islam sebagai agama yang komprehensif ini
pada dasarnya dalam islam tidak terdapat konsep pemisah anatara agama (din) dan
politik (dawlah). Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad di
Madinah. Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad berperan ganda, sebagai seorang
pemimpin agama sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem
pemerintahan islam, yang dinilai kebanyakan pakar sangat modern di masanya.
Posisi ganda Nabi Muhammad di Kota Madinah disikapi beragam oleh kalngan ahli.
Secaraa garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada islam identik dengan negara
atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk negara,
mengingat sepeninggal Nabi Muhammad tak seorang pun dapat menggantikan peran
ganda Beliau, sebagai pemimpin dunia yang sekuler dan si penerima wahyu Allah
sekaligus.
Menyikapi realitas perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi
Nabi saat itu adalah sebgai Rasul yang bertugas meyampaikan ajaran (Al-kitab) bukan
sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah
sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri.
Dengan ungkapan lain politik atau negara dalam islam hanyalah sebagai alat bagi agama,
bukan eksistensi dari agama Islam.pendapat Ibnu Taimiyah ini bersumber pada ayat Al-
Qur’an (QS.57:25) yang artinya. “sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kami
yang disertai keterangan-keterangan. Dan kami turunkan bersama mereka kitab dan
timbangan, agar manusia berlaku adil dan kami turunkan besi, padanya ada kekuatan
dan manfaat-manfaat bagi manusia, agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya
dan (menolong) Rasul-Nya yang gaib (dari padanya)”. Bersandar pada ayat ini, Ibnu
Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan
“pedang” penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan
dnegan pandangan menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu
bukanlah agama itu sendiri. Adapun politik sebatas alat untuk mencapai tujuan-tujuan
luhur agama.1
2. Hubungan islam dan negara modern secara teritis dapat diklasifikasikan kedalam tiga
pandangan:
a. Paradigma Integralistik
Paradigma intgralistik hampir smaa persis dengan pandangan negara demokrasi islam.
Paradigma ini mneganut paham dan konsep agama dan negara merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang
menyatu. Paham ini juga memberikan penegasan bahwa negara merupakam suatu
lembaga polotik sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa
islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah).
b. Paradigma Simbiotik
menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara berada pada, posisi
saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbios mutualita). Dalam pandangan
ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan
mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama
sebagai sumber moral, etika, dan spiritualtas warga negaranya.
sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbanga dan bernegara.
Model pemerintahan negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan kepada
kelompok paradigma ini.
c. Paradigma Sekularistik

Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara


agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu
sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus
dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah

1
A. Ubaedillah. Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (cet: 10, Jakarta,
Kencana, 2013), h. 130-132.
urusan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga
negara.

Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku
adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contrac yang
tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (syariat). Konsep sekularistik dapat
ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah
kenabian Rasulullah SAW pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muham mad untuk
mendirikan negara Islam. Negara Turki modern dapat digolongkan ke dalam
paradigma ini.2

3. Hubungan Negara Dan Agama (Pengalaman Islam Indonesia)


Indonesia dikenal sebagai negeri Muslim terbesar di dunia. Uniknya, Indonesia
bukanlah sebuah negara Islam. Dari keunikan ini perdebatan pola hubungan Islam dan
negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tidak kunjung selesai.
Perdebatan soal pola hubungan Islam dan negara ini telah muncul dalam perdebatan
publik sebelum Indonesia merdeka. Perdebatan tentang Islam dan nasionalisme
Indonesia antara tokoh nasionalis Muslim dan nasionalis sekuler pada 1920-an
merupakan babak awal pergumulan Islam dan negara pada kurun-kurun sekanjtunya.
Tulisan-tulisan tentang Islam dan watak nasionalisme Indonesia menghiasi surat kabar
pergerakan nasional pada waktu itu, menanggapi pandang selanjutnya. dan paham
sekuler yang dilontarkan kalangan tokoh nasionalis sekuler. Perdebatan Islam dan
nasionalisme dan konsep negara sekuler diwakili masing-masing ach tokoh nasionalis
Muslim Mohammad Natsir dan Soekarno dari kelompok sionalis sekuler.
Perdebatan Islam dan konsep-konsep ideologi sekuler menemukan titik klimaksnya
pada persidangan formal dalam sidang-sidang majelis Badan Penyelidik saha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerintah Jepang pada 1945.
Para tokoh nasionalis Muslim seperti H. Agus Salim, K.H. Mas Mansur, dan K.H.
Wachid Hasyim, menyuarakan suara aspirasi Islam dengan mengajukan usul konsep
negara Islam dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara bagi Indonesia merdeka.
Usulan menjadikan Islam sebagai konsep negara dari kelompok nasionalis Muslim
bersandar pada alasan sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk Islam
sebagai agama dan keyakinannya.
2
A. Ubaedillah. Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (cet: 10, Jakarta,
Kencana, 2013), h. 132-134.
Klimaks dari perdebatan di sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan
nasionalis Muslim untuk tidak memaksakan kehendak mereka menjadikan Islam sebagai
dasar negara Indonesia. Demi persatuan dan kesatuan serta terselenggarakannya
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah, mereka menerima
konsep negara yang diajukan kalangan nasionalis sekuler, dengan catatan negara
menjamin dijalankannya syariat Islam bagi pemeluk Islam di Indonesia. Hasil dari
kompromi antara kelompok nasionalis Muslim dengan nasionalis sekuler dikenal dengan
nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter)
yang menyebutkan bahwa negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Setelah Indonesia merdeka, hubungan Islam dan negara di bawah kepemimpinan
Presiden Soekarno kembali mengalami ketegangan. Sumber ketegangan itu berpusat
pada perdebatan seputar tafsir klausul Sila Pertama Pancasila, "dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya." Alotnya perdebatan terse but berakhir pada
kesepahaman di kalangan tokoh nasional bahwa NKRI adalah bukan negara agama
(Islam) dan juga bukan negara sekuler.
Berikut catatan singkat pergumulan Islam dan negara di Indonesia: Pada kurun antara
1950-1959, ketika Indonesia menjalankan prinsip Demokrasi Parlementer, ketegangan
Islam dan negara kembali terulang dalam bentuk perseteruan sengit antara kelompok
partai politik Islam, seperti Partai Masyumi dan Partai NU, dengan partai politik sekuler:
Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasio nalis Indonesia (PNI), dan sebagainya.
Perseteruan ideologis Islam versus ideologi sekuler kembali terjadi dalam persidangan
Konstituante hasil pemilu demokratis yang pertama pada 1955.
Pemilu 1955 yang dinilai banyak ahli sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah
politik nasional Indonesia ternyata tak menjamin terselenggarakannya proses pembuatan
konstitusi dengan baik. Sekalipun Majelis Konstituante hampir rampung menyelesaikan
konstitusionalnya, ketidak stabilan politik dan ancaman disintegrasi dianggap oleh
presiden soekarno sebagai dampak langsung dari parlementer yang diadopsi dari barat.
Menurut Soekarno demokrasi ala Barat tidak sesuai dengan iklim politik Indonesia.
Perseteruan sengit antara partai-partai politik harus diakhiri dengan memberlakukan
kembali. UUD 1945 di bawah sistem Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy)
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak saat itu Presiden Soekarno memiliki
kekuasaan yang tak terbatas, bahkan dinobatkan sebagai presiden seumur hidup.
Kekuasaan Presiden Soekarno yang tidak terbatas di bawah Demokrasi Terpimpin
masih tetap mengakomodasi kekuatan Islam. Hubungan Islam dan negara cermin pada
kepemimpinannya Presiden Soekarno yang menjalankan prinsip for politik ciptaannya,
Nasakom (nasionalis, agama, komunis). Nasakom terdiri atas tiga komponen dominan
dari hasil Pemilu 1955: PNI, Islam (diwakili NU), dan PKI. Keberadaan PKI sangat
penting bagi pemerintahan Soekarno karena perolehan suaranya yang signifikan dalam
pemilu. Model kepemimpinan “tiga kaki" Presiden Soekarno ini menimbulkan
kecemburuan politik di kalangan kelompok militer di bawah Jenderal A.H. Nasution.
Perseteruan politik dan ideologi antara TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan PKI
berdampak pada perse natuan politik antara kelompok Islam dan militer untuk
menghadapi PKI yang tengah dekat dengan Presiden Soekarno. Seperti perseteruan
ideologi sebelumnya, deologi sosialis komunis menjadi alasan utama kelompok Islam
untuk berkoalisi dengan TNI melawan paham komunis.

Sistem Demokrasi ala Presiden Soekarno berakhir dengan peristiwa politik yang
tragis, Gerakan 30 September 1965. Gerakan makar ini menurut beberapa ahli merupakan
buah dari perseteruan ideologis panjang antara PKI dengan TNI, khususnya Angkatan
Darat, yang berujung pada pembunuhan sejum elite pimpinan TNI di Lubang Buaya,
Halim, Jakarta. Peristiwa ini sekaligus rupakan awal kejatuhan politik Presiden Soekarno
dan awal naiknya kiprah politik Presiden Soeharto. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar), Panglima Kostrad (Komando Strategis AD) Letnan Jenderal Soeharto kala
itu memimpin pemulihan keamanan nasional dengan melakukan penumpasan terhap
semua unsur komunis di Indonesia. Akhir masa pemulihan keamanan berhasil menaikkan
Panglima Kostrad Letnan nan Jenderal Soeharto ke tampuk kepemimpinan nasional yang
disahkan oleh sidang Umum MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) di
bawah pimpinan Jenderal A.H. Nasution pada 1968. Dengan slogan kembali ke Pancasila
secara murni dan konsekuen, Presiden Soeharto memulai kiprah kepemimpinan
nasionalnya dengan sebutan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama yang dianggap
telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.3

4. Islam Dan Negara Orde Baru: (Dari Antagonistis Ke Akomodatif)


Naiknya Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan Islam dan negara di
Indonesia. Menurut Imam Aziz, pola hubungan antara keduanya secara umum dapat
3
A. Ubaedillah. Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (cet: 10, Jakarta,
Kencana, 2013), h. 134-138.
digolongkan ke dalam dua pola: antagonistis dan akomodatif. Hubungan antagonistis
merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara Islam dan negara
Orde Baru; sedangkan akomodatif menunjukkan kecenderungan saling membutuhkan
antara kelompok Islam dan negara Orde Baru, bahkan terdapat kesamaan untuk
mengurangi konflik antara keduanya. Namun demikian, sebelum mencapai pola
akomodatif, menurut Abdul Aziz Thaba, telah terjadi hubungan agama dan negara Orde
Baru yang bersifat resiprokal-kritis, yakni awal dimulainya penurunan ketegangan antara
agama dan negara di Indonesia.

Hubungan antagonis antara negara Orde Baru dengan kelompok Islam dapat dilihat
dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan Islam yang berlebihan yang di lakukan
Presiden Soeharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis
sekuler terhadap kelompok Islam, khususnya di era 1950-an.

Menurut Effendy, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan Negara
tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan Islam
yang berbeda. Kecenderungan menggunakan Islam sebagai simbol polik di kalangan
aktivis Muslim di awal kekuasaan Orde Baru telah melahirkan kecurigan dari pihak
penguasa yang berakibat pada peminggiran Islam dari arena politik nasional.
Kebijakan politik kontrol dan represif terhadap kekuatan kecurigaan potik Islam
mewarnai arah dan kecenderungan politik Orde Baru. Kecenderung pendekatan
politik keamanan (security approaches) yang dilakukan Orde Baru dapat ditengarai
pada sejumlah peristiwa kekerasan negara atas kelompok Islam di era 1980-an yang
dianggap sebagai penentang Asas Tunggal Pancasila ciptaan Orde Baru. Kekerasan
politik dan peminggiran Islam dari pentas politik nasional yang dilakukan rezim Orde
Baru atas kekuatan Islam melahirkan kesimpulan di kalangn ahli akan sifat
antagonistis hubungan Islam dan negara Orde Baru. Sejak awal berdirinya Orde Baru
hingga awal 1980-an Islam dianggap sebagai ancaman dangan serius bagi
keberlangsungan kekuasaan Orde Baru.

Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan penduluan hubungan Islam dan


rezim Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan litik Presiden
Soeharto yang dinilai positif bagi umat Islam. Menurut Effendi, kebijakan-kebijakan
Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik am selanjutnya baik
struktural maupun kultural.
Kecenderungan akomodasi negara terhadap Islam juga-menurut Affan Gaffar
ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan an
keagamaan serta kondisi dan kecenderungan akomodasionis umat Islam sendiri.
Pemerintah mulai menyadari akan potensi umat Islam sebagai kekuatan litik yang
potensial. Adapun menurut Thaba, sikap akomodatif negara terhadap isam lebih
disebabkan oleh pemahaman negara terhadap perubahan sikap politik umat Islam
terhadap kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan
asas tunggal Pancasila. Perubahan sikap umat Islam pada paruh kedua 1980-an, dari
menentang menjadi menerima Pancasila sebagai satu-satunya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara bersinergi dengan sejumlah kebijan Orde Baru yang
menguntungkan umat Islam pada masa selanjutnya.
Pengesahan RUU Pendidikan Nasional, pengesahan RUU Peradilan Agama,
Pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi Muslim di sekolah umum. kemunculan
organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan lahirnya Yayasan
Amal Bakti Muslim Pancasila yang langsung dipimpin oleh Presiden Soeharto
merupakan indikator adanya hubungan akomodatif yang dilakukan elite pengua Orde
Baru terhadap Islam.4
5. Islam Dan Negara Pasca-Orde Baru (Bersama Membangun Demokrasi Dan
Mencegah Disintegrasi Bangsa)
Peran agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sangat
strategis bagi proses transformasi demokrasi saat ini. Pada saat yang sama Islam bisa
berperan mencegah ancaman disintegrasi bangsa sepanjang pemeluknya mampu
bersikap inklusif dan toleran terhadap kodrat kemajemukan Indonesia Sebaliknya, jika
umat Islam bersikap eksklusif dan cenderung memaksakan kehendak, dengan alasan
mayoritas, tidak mustahil kemayoritasan umat Islam akan lebih berpotensi menjelma
sebagai ancaman disintegrasi daripada kekuatan integratif bangsa.

Dalam konteks konsolidasi demokrasi setelah lengsernya Orde Baru yang otoriter,
umat Islam seyogianya memandang dan menjadikan kesepakatan (agre ment) di
antara kalangan nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim untuk menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara NKRI sebagai komitmen kebangsa yang harus tetap dijaga
dipertahankan sampai kapan pun. Kesepakatan tersebut harus dipandang sebagai

4
A. Ubaedillah. Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (cet: 10, Jakarta,
Kencana, 2013), h. 138-140.
komitmen suci (sacred commitment) para pendiri bangsa (founding fathers) yang
harus dilestarikan sepanjang masa oleh semua warga bangsa. Komitmen untuk
menjaga kesepakatan para pendiri bangsa inilah masa depan demokrasi Indonesia
harus diletakkan dalam tataran Indonesia yang plural dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Karenanya, bersandar pada komitmen kebangsaan ini
adalah sangat tidak relevan, bahkan ahistoris jika dijumpai segelintir individu maupun
kelompok dalam umat Islam yang hendak mengusung gagasan atau ide negara agama.
Hal ini selain tidak sejalan denga prinsip kebinekaan dan demokrasi, tetapi juga
mengkhianati kesepakatan para pendiri bangsa yang di antara mereka adalah para
tokoh umat Islam yang disebutkan di atas. Dengan ungkapan lain, konsep NKRI dan
Pancasila dengan kebinekaannya adalah tidak bisa dilepaskan dari ijtihad kelompok
Islam Indonesia yang harus dijaga, dilestarikan, dan diaktualisasikan dengan
pengembanga ajaran-ajaran Islam yang berwawasan inklusif, kemanusiaan, keadilan,
dan keindonesiaan. Hal serupa berlaku pula bagi negara. la memiliki kewajiban
konstitusional untuk menjamin kemajemukan dan demokrasi di Indonesia.
Penyelenggara negara (pemerintah) harus tetap menjaga dan mengawal sunnatullah
kebinekaan Indonesia yang telah dijamin oleh konstitusi negara, dengan menindak
tegas segala anasir yang mereduksi kebinekaan Indonesia dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk mewujudkan pola hubungan yang dinamis antara agama dan negara di
Indonesia, kedua komponen Indonesia tersebut seyogianya mengedepankan cara-cara
dialogis manakala terjadi perselisihan pandangan antara kelompok masyarakat sipil
atau antara warga negara dengan negara. Untuk menopang tumbuhnya budaya dialog
negara sebagai komponen penting di dalamnya harus menyediakan fasilitas-fasilitas
demokrasi, seperti kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, ke bebasan berbicara dan
mengeluarkan pendapat, serta peningkatan fasilitas umum upun kawasan publik bebas
(free public sphere) untuk memfasilitasi beragam opini warga negara.
Pada saat yang bersamaan, unsur-unsur masyarakat sipil di atas dituntut untuk
bertanggung jawab dalam menggunakan hak-hak kebebasannya secara santun dan
beradab. Perilaku santun dalam berdemokrasi dapat diwujudkan melalui sikap
menghindarkan diri dari tindakan main hakim sendiri, lebih-lebih dengan
mengatasnamakan agama, kelompok, maupun partai politik tertentu, untuk
melaksakan kehendak individu maupun kelompok. Searah dengan prinsip dialogis
dalam mengungkapkan pendapat, peranan pers dan kelompok intelektual
(cendekiawan, dosen, guru, dan mahasiswa) dalam menyuarakan pendapat publik
secara santun dan tertib adalah mutlak dalam rangka praktik berdemokrasi di negara
Pancasila.
Tindakan main hakim sendiri sangatlah berlawanan dengan prinsip demokrasi
yang lebih mengedepankan cara-cara musyawarah atau menyerahkan segala sengketa
hukum antarwarga negara maupun antara warga negara dengan negara kepada
lembaga hukum. Sikap mengancam atau merusak fasilitas umum dalam mengeluarkan
pendapat, lebih-lebih menggantikan peran penegak hukum atau melakukan tindakan
teror terhadap aparat hukum dalam mengungkapkan pandangan dan keinginan, sama
sekali bertentangan dengan semangat demokrasi dan keseimbangan hak dan
kewajiban warga negara Tentu saja, sikap destruktif juga sangat bertentangan dengan
ajaran semua agama dan ideologi Pancasila. dalam negara demokrasi.
Dengan ungkapan lain, negara dan agama, melalui kekuatan masyarakat sipil.
nya, adalah dua komponen utama dalam proses membangun demokrasi di Indonesia
yang berkeadaban. Dua komponen ini memiliki peluang yang sama untuk menjadi
komponen strategis dalam pembangunan masa depan Indonesia, pembangunan masa
depan demokrasi Indonesia. Membangun demokrasi adalah proses membangun
kepercayaan (trust) di antara sesama warga negara maupun antara warga negara dan
negara. Demokrasi yang dicita-citakan para pendiri bangsa Indonesia adalah tidak
sekadar kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab. Agama,
seperti diyakini oleh pemeluknya, banyak mengandung ajaran moral tentang tanggung
jawab individu dan sosial.5
6. Kebangsaan Islam Dan Negara
Masdar F.Mas'udi

Hubungan Islam (juga agama pada umumnya) dan keindonesiaan (nasionalitas)


tampaknya masih akan terus menjadi masalah. Ada anggapan umum bahwa seseorang
tidak mungkin menjadi muslim yang baik sekaligus menjadi warga bangsa Indonesia
yang baik. Untuk menjadi warga dan apalagi pemuka bangsa yang sejati seorang muslim
mesti terlebih dahulu melampaui (mengaburkan?) batas-batas keislamannya. Sulit rasanya

5
A. Ubaedillah. Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (cet: 10, Jakarta,
Kencana, 2013), h. 140-142.
seorang pemimpin umat, umat dari agama mayoritas seperti Islam di Indonesia, dapat
tampil secara mulus sebagai pemimpin bangsa.

"Islam" sebagai sistem ajaran yang kita pahami dan yakini serta kita pakai untuk
menangani negara adalah keislaman yang sebenarnya tidak ada urusan apa pun dengan
negara. Yaitu keislaman individual-personal, dan paling jauh Islam untuk urusan rumah
tangga. Sementara Islam publik, Islam sebagai basis moral dan etik bagi kehidupan
publik, telah lama lepas dari wacana kita.

Dalam konteks ini, sebenarnya kita telah berbuat zalim karena meletakkan sesuatu
tidak pada tem- patnya. Islam domain personal yang subjektif dan tertutup, kita jadikan
acuan (framework) untuk me- nangani masalah negara yang pada hakikatnya bersifat
publik, objektif rasional dan terbuka. Ini tampak dari standar yang kita pakai dalam
meng- hukumi (membenarkan atau me- nolak) suatu konsep dan realitas kehidupan
bernegara berdasarkan kenyataan, "apakah para pejabatnya bersedia mengurus upacara-
upacara keagamaan dan akrab dengan sim- bol-simbol keagamaan, atau tidak".

Agama personal ini pada dasarnya independen terhadap negara. Tidak ada korelasi
positif antara kegemaran pejabat negara mengenakan simbol-simbol keaga- maan dengan
tingkat kapabilitas dan kredibilitasnya mengurus masalah- masalah kenegaraan. Juga
belum terbukti bahwa kadar aktivitas yang tinggi dari suatu birokrasi negara dalam
urusan pembangunan masjid, haji, dan zakat serta hari-hari besar keagamaan (Islam)
dapat disimpul kan bahwa hal itu menunjukkan tingkat efektivitas dan kebersihan
birokrasi yang bersangkutan. Seba liknya bahkan ada indikasi simbol simbol kesalehan
pribadi yang ditunjukkan oleh kalangan aparat negara justru dimaksudkan untuk
mengompensasikan inefisiensi dan kekurangberesan yang melibatkan.

Kerancuan itulah yang telah membikin kita tersentak tidak habis pikir, ketika sebuah
temuan (hasil survei lembaga riset independen luar negeri) memperlihatkan kepada kita
dan dunia sesuatu yang sangat ironik. Yakni, bahwa negara dengan penduduk muslim
terbesar di dunia, di mana para pejabatnya kebanyakan telah menunaikan ibadah haji dan
setiap kantor ada masjid/mushala, ternyata menduduki peringkat ke tiga di antara negara-
negara paling korup di dunia. Bagaimana hal ini bisa dijelaskan? Di mana peranan
keberagamaan para pejabat dalam memengaruhi tingkah laku birokrasi dan politik
mereka?
Keterlibatan negara dalam urusan keagamaan pribadi ini mungkin ada manfaat. Akan
tetapi selain kegunaannya terbatas bagi kalangan tertentu, mafsadah nya cenderung
selalu lebih besar. Pertama, mafsadah yang bersifat ke dalam, membikin independensi
keagamaan menjadi hilang. Keagamaan yang semula bertumpu pada kebebasan iman,
lalu tereduksikan menjadi urusan pegawai yang bisa dipaksakan. Kedua, mirip dengan
mafsadah pertama, komunitas ke agamaan pun terpaksa ikut ditundukkan pada
kepentingan elit negara. Ketiga, mafsadah yang ber sifat ke luar, campur tangan negara
pada domain keagamaan ini cen derung mendiskriminasikan paham keagamaan yang
satu atas paham keagamaan lain, menganak- emaskan kelompok keagamaan yang satu
sambil menganaktirikan ke- kelompok keagamaan yang lain. Lalu agama terseret ke
derajat yang rendah, menjadi faktor pemecah belah. Agama yang semestinya men- jadi
rahmat berubah menjadi sumber fitnah.
BAGAIMANA ironi ini dipecah- kan? Pertama, kita perlu sepakat terlebih dahulu
bahwa urusan negara adalah urusan publik, yang bersifat objektif, rasional, dan terbuka.
Di dalamnya semua warga negara harus diperlakukan sama di depan hukum, tanpa
membeda-bedakan warna kulit, kesukuan, maupun keyakinan nya. Kedua, kita perlu
melakukan distingsi (pemilahan) yang jelas mana ajaran agama untuk domain personal
dan mana yang untuk domain publik. Pemilahan ini penting karena watak dan pendekat
an dari masing-masing berbeda, demikian pula patrap (sasaran)-nya.
Sebenarnya distingsi antara ajaran keagamaan (Islam) yang berdimensi personal dan
publik ini sudah dilakukan dalam tradisi pemikiran umat Islam, atas jasa para fukaha
khususnya, ketika mereka membuat pembedaan antara ajaran ubudiah dan muamalah.
Akan tetapi harus diakui bahwa distingsi itu masih diliputi kerancuan yang besar.
Demikianlah ajaran Islam tentang negara sebagai domain publik, yang menjadi
pertaruhan adalah isinya, tujuannya, untuk apa negara dengan klaim kekuasaannya yang
begitu luas didirikan. Bagi Islam tujuan bernegara sangat jelas, yakni menegakkan
keadilan dalam kehi- dupan bersama, keadilan sosial. Oleh sebab itu, bagi Islam negara
adalah instrumen bagi segenap warganya untuk merealisasikan cita-cita ke adilan
sosialnya.
Maka, apa pun label, simbol dan bentuk yang dipakai oleh sebuah negara, sejauh
berguna bagi ter wujudnya cita-cita keadilan adalah islami, dan wajib bagi kita untuk
mendukungnya. Sebaliknya, suatu negara dengan label, simbol dan bentuk apa pun, yang
cenderung melecehkan cita keadilan dan kepentingan rakyat adalah batal dan secara
syar'iy wajib bagi kita untuk meluruskannya. Bukan berarti bentuk
kenegaraan/pemerintahan dengan segala simbol dan ornamen- nya tidak penting. Akan
tetapi semuanya itu bersifat subordinatif terhadap cita-cita keadilan dan kesejahteraan
yang meramut semua pihak, terutama yang paling lemah. Dalam konteks kehidupan ber
negara, sepenuhnya kita bisa mengatakan bahwa Islam maknanya adalah adil. Yang
disebut dengan corrupt. harus dipakai, maknanya adalah "Negara Berkeadilan". Dan ke
islaman bagi manusia warga Negara adalah komitmen pada cita-cita keadilan.
Itulah sebabnya tidak ada satu bentuk kenegaraan/pemerintahan yang dipatok oleh
Islam sebagai pilihan yang bersifat abadi, menga tasi ruang dan waktu. Dari sejarah
Rasulullah SAW dan Khulafa Rasyidin ra. tidak ada satu bentuk
kenegaraan/pemerintahan yang mutlak harus diikuti. Soal bentuk, sistem serta
mekanismenya adalah tanggung jawab manusia sendiri untuk memikirkannya,
mengijtihad kannya, dari waktu ke waktu, dengan acuan keadilan tadi. Di sinilah mutlak
perlunya forum publi (majlis syura) yang anggota-nya benar-benar mewakili suara dan
aspirasi rakyat.
Maka, sikap dasar islm terhadap Negara, bukan membenci atau mengingkari, tapi
mewasdai dan mengkritisi. Apa boleh buat tak seorang manusia bisa eksis tanpa badan.
Demikian pula manusia kolektif (masyarakat), tidak bisa eksis tanpa badan bersama,
yaitu pemerintahan/negara. Namun, karena di dalam badan ada kecen derungan-
kecenderungan koruptif, kesadaran manusia perlu selalu mewaspadainya; bukan
sebaliknya seperti yang terjadi selama ini, di mana negara yang justru mewaspadai dan
mencurigai manusia-rakyatnya. Amar makruf nahi mungkar (mendu kung langkah
negara yang lurus (adil) dan meluruskan yang bengkok (tidak adil) adalah prinsip umat
beragama terhadap negara.
Saya kira jika pandangan keislaman publik ini yang kita pakai dalam berurusan
dengan negara, kesulitan dalam hubungan Keislam an dan Keindonesiaan akan bisa.
diatasi. Karena keislaman adalah komitmen kerohanian untuk tegak nya keadilan, sedang
negara adalah persoalan badan, sarana atau instru men untuk tegaknya roh itu. Bahwa
realitas hari ini negara justru cenderung menjadi wahana dari kepentingan yang melawan
keadilan, itulah karena roh yang dimaksud selama ini tidak ada di sana, kita sendiri yang
mengalienasikannya. Tugas keagamaan kita adalah mengembalikan roh itu pada tempat
nya, di dalam badan kita, badan kecil kita dan badan besar kita, negara. Berat, tetapi kita
tidak bisa lari darinya.6

6
Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga Negaraan, (cet. 1, Jakarta, Prenadamedia Group, 2013), h.23-27.

Anda mungkin juga menyukai