Anda di halaman 1dari 13

HUBUNGAN NEGARA DENGAN AGAMA

(QS. Al-QASHASH: 85)

Adly Rifky Bariqy, Laud Pulungan, dan Marzuki, M.Sos

Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UIN Sumatera Utara


Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate

ABSTRACT
The discourse on the relationship between religion and the state is not new in political
discourse or action. But now, the actuality seems to be back, especially after the phenomenon
of Islamic fundamentalism is rampant. The reappearance of this symptom of religious
fundamentalism is a form of refutation of the concept of secularism which was previously
believed to be universally true, along with the continuation of modernity which has run
rampant throughout the world. Modern sociologist Peter L. Berger states that modernization
does produce a secularization effect, but at the same time, modernization also rejects what he
calls secularization, or religious fundamentalism. The question of state-religion relations
arose during a series of controversies and debates during the first decades of this century.
This debate seems to have started in the 1920s with the Turkish youth revolution led by
Mustafa Kemal Pasha. The culmination is the abolition of the caliphate system in Turkey, the
liberation of Islam as the state religion, and the abolition of Sharia as the highest source of
state law. Turkey was born as a secular republic with strict separation of religious and
national issues.
Keywords: Relationship between state and religion.

ABSTRAK
Wacana tentang hubungan agama dan negara bukanlah hal baru dalam wacana atau aksi
politik. Namun kini, tampaknya kembali aktualitasnya, terutama setelah fenomena
fundamentalisme Islam merajalela. Kemunculan kembali gejala fundamentalisme agama ini
merupakan bentuk sanggahan terhadap konsep sekularisme yang sebelumnya diyakini benar
secara universal, seiring dengan keberlangsungan modernitas yang telah merajalela di seluruh
penjuru dunia. Sosiolog modern Peter L. Berger menyatakan bahwa modernisasi memang
menghasilkan efek sekularisasi, tetapi pada saat yang sama, modernisasi juga menolak apa
yang disebutnya sekularisasi, atau fundamentalisme agama. Pertanyaan tentang hubungan
agama-negara muncul selama serangkaian kontroversi dan perdebatan selama dekade pertama
abad ini. Perdebatan ini tampaknya telah dimulai pada 1920-an dengan revolusi pemuda Turki
yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha. Puncaknya adalah penghapusan sistem khilafah di
Turki, pembebasan Islam sebagai agama negara, dan penghapusan Syariah sebagai sumber
hukum tertinggi negara. Turki lahir sebagai republik sekuler yang memisahkan secara tegas
masalah agama dan nasional.
Kata kunci: Hubungan negara dengan agama.

1
PENDAHULUAN

Di kalangan kaum muslimin, terdapat kesepakatan bahwa eksistensi negara ada-lah


suatu keniscayaan bagi berlangsungnyakehidupan bermasyarakat. Menurut Hussein
Muhammad, negara diperlukan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan masyarakat
manusia secara bersama-sama. Negara dengan otoritasnya mengatur hubungan yang
diperlukan antara masyarakat. Sedangkan agama mempunyai otoritas untuk mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya. 1

Hubungan antara negara dan agama menimbulkan perdebatan yang terus berkelanjutan
di kalangan para ahli. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam
menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau negara merupakan bagian dari
dogma agama. Pada hakekatnya, negara secara umum diartikan sebagai suatu per-sekutuan
hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk in-dividu dan
makhluk sosial.

Oleh karena itu menurut Kaelani, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat
dasar negara pula, sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horisontal
dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan
demikian, negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah
pendiri negara itu sendiri. 2

Menurut Azra, perdebatan di antara para pakar Islam tentang hubungan negara dan
agama telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. Lebih
lanjut Azra mengatakan, bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan ne-gara dan
agama tersebut diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama
(din) dan negara (dawlah). Berbagai eksprimen dilakukan dalam menyela- raskan antara din
dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim, dan eksprimen tersebut dalam banyak
hal sangat beragam. 3

Perdebatan hubungan antara negara dan agama dimulai dengan revolusi pemuda Turki
yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha, yang mengarah pada penghapusan sistem
Khalifah, diikuti dengan penghapusan Islam sebagai agama resmi negara dan hukum
tertinggi negara. informasi. Pada akhirnya, Turki lahir sebagai republik sekuler dengan
pemisahan ketat urusan agama dan nasional.

Al Mawdudi, seorang pemikir Islam modern, menyatakan bahwa Islam adalah agama
yang sangat lengkap, termasuk prinsip-prinsip dalam semua aspek kehidupan, termasuk
etika, moralitas, politik, masalah sosial dan ekonomi. Islam dipahami bukan hanya sebagai

1
HusseinMuhammad,“IslamdanMasalahKenegaraan:TinjauanPolitik,”dalamAhmadSuae-
dy,PergulatanPesantendanDemokrasi(Yogyakarta:LKIS,2000),h.88.

2
Kaelani, Pendidikan Pancasila, Yuridis Kenegaraan (Yogyakarta: Paradigma, 1999), h. 91-93.
3
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996), h. 1.
2
suatu keyakinan tetapi sebagai suatu sistem yang utuh dan berisi seperangkat jawaban atas
persoalan-persoalan kemanusiaan. 4 Di sisi lain, Ibnu Khaldn menganggap peran agama
dalam memelihara bangsa sangat penting. Agama berperan dalam upaya menciptakan rasa
persatuan yang menjauhkan masyarakat dari solidaritas dan persaingan tidak sehat. Semua
perhatiannya terfokus pada apa yang baik dan benar. Agama juga merupakan tujuan
solidaritas untuk menjadi satu. Mereka berjuang bersama untuk semua warga negara, dan
semua orang rela mengorbankan hidup mereka untuk mencapai tujuan mereka. Di sisi lain,
Mushthâfa Kemal al-Tattr mengatakan bahwa ada korelasi antara agama dan negara, tetapi
agama dan administrasi negara perlu memisahkannya. Oleh karena itu, ia menjadikan Turki
sebagai negara sekuler yang memisahkan urusan dunia dan nasional. 5

Kendatiagamatelahmengalamikebangkitanbersaingdenganideologisekuler lain sebagai


penjelas realitas, namun hubungan agama dan negara ini
tetaprumitdibandingmempertautkankapitalismedengandemokrasi,misalnya.Kesulitanininamp
akjelasterutamaketikaagamadannegaradilihatsebagaidua entitas yang berbeda. Agama
sebagai entitas yang trensenden tentu sangat berbedadengan negara sebagai lembaga profan
ciptaan manusia.6 Agama didefinisikansebagai keyakinan pada yang trensenden dengan
berbagai laku spritualitas yangmengikutinya harus dikaitkan dengan negara yang merupakan
sebuah organisasikemasyarakatan yangberdiri di atas kesepakatan-kesepakatan
daribermacam-macamgolonganuntukbersama-
samabernaungdalamlingkunganorganisasimasyarakatyangmerekadirikangunamenujusatutuju
anbersama.7 Negaraadalah lembaga ciptaan manusia yang memiliki kekuasaan dan secara
absah untukmenggunakanalatrepresif kepadawarganya.Kekuasaannegaraini
diperolehkarenanegaralahlembagayangdiciptakanuntukkebaikanmasyarakatdanwarganya
secaraumum.

Dari uraian berikut dapat di ambil beberapa-berapa rumusan masalah yang akan di
bahas pada penelitian ini, adapun ia adalah : (1)Apa pengertian dari negara? (2)Apa yang
dimaksud dengan agama? (3)Bagaimana hubungan negara dengan agama? (4)Apa
pandangan Alquran terhadap sikap nasionalisme?.

DEFENISI NEGARA

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah, yang memiliki kekuasaan tertinggi
yang sah dan di taati oleh rakyatnya. Istilah Negara diterjemahkan dari kata-kata asing Staat
(bahasa Belanda dan Jerman); State (bahasa Inggris); Etat (bahasa Prancis). Istilah Staat
mempunyai sejarah sendiri.Istilah itu mula-mula dipergunakan dalam abad ke-15 di Eropa

4
Muhammad Azhar, Filsafat Politik Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1996), h. 135.
5
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. X; Jakarta: Bulan Bintang,
1994), h. 142.
6
PeterConnoly(ed.),AnekaPendekatanStudiAgama,terj.ImamKhoiri,(Yogyakarta:LKiS.2002),h.10.
7
MiriamBudiarjo, Dasar-dasarIlmuPolitik,cet.xx,(Jakarta:Gramedia,1999),h.38.
3
Barat.Anggapan umum yang diterima bahwa kata staat (state, etat) itu dialihkandari kata
bahasa Latin status atau statum.8

Secara etimologis kata statusdi dalam bahasa latin klasik adalah suatu istilah abstrak
yang menunjukan keadaan yang tegak dan tetap, atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang
tegak dan tetap.

Kata “Negara” mempunyai dua arti.Pertama, Negara adalah masyarakat atau wilayah
yang merupakan suatu kesatuan politis.Dalam arti ini India, Korea Selatan, atau Brazilia
merupakan Negara.Kedua, Negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis itu,
yang menata dan dengan demikian menguasai wilayah itu. Sementara itu dalam ilmu politik,
istilah “Negara” adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk
mengatur hubunganhubungan manusia dalam masyarakat dan menerbitkan gejala-gejala
kekuasaan dalam masyarakat.

Jika merujuk kepada kamus bahasa Arab, anda akan menemukan bahwa kata Ad-
Daulah merupakan derivasi dari materi “Dal Wau Lam” “Daulun” yang memiliki banyak
arti, diantaranya:

Dengan harakat dhammah berarti perubahan masa dan kesuhan. Dengan harakat fathah
berarti kemenangan dalam perang atau sama keduanya atau penggabungan di akhirat, dan
kemenangan didunia. AdDaulah artinya tembolok (Al-Haushalah), Asy-Syaqsyaqah (kulit di
leher unta), sesuatu seperti kantong kulit yang berlumut sempit, dan tembolok (Al-Qanishah)
Al-Idalah artinya kemenangan. Dalat AlAyyam artinya berputar (Darat), dan Allah
menggilirkannya diantara manusia.

Ad-Daul secara bahasa berarti Ad-Dalwu (ember) dan pergantian masa dari satu
keadaan ke keadaan lain. Dan dengan harakat, Ad-Duwal artinya anak panah yang
berputar.Dalam AshShihah karya Al-Jauhari, “kata Ad-Daulah dalam perang berarti satu
kelompok mengalahkan kelompok lainnya.Ad Daulah dengan harakat dhammah artinya
tempat kembali, dan bentuk jamaknya (plural) Dulat dan Duwal.

Dengan ini, kita perhatikan bahwa lafal Ad-Daulah dalam bahasa ditujukan kepada hal-
hal berikut ini :

1. Perubahan zaman, perputarannya, dan pergantiannya dari satu kondisi kepada


kondisi yang lainnya.
2. Kesudahan suatu hal , tempat kembali, dan penghujungnya.
3. Keberhasilan dan kemenangannya terhadap musuh.
4. Nama beberapa hal yang bergulir diantara manusia seperti kantong kulit yang
berlumut sempit, tembolok, tepi perut, ember, anak panah, dan lain sebagainya. 9

Masalah negara memang ada dalilnya dalam Alquran. Namun, dari dalil-dalil tersebut
tidak ditemukan pengertian negara secara akurat. Karena itu, Muhammad Izzat Darwazah

8
Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 1.
9
Muhammad Ali Ash –Shallabi, Negara Islam Modern, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2017) h. 34.
4
ketika mengelompokkan ayat-ayat tentang negara, ia berkesimpulan bahwa di dalam
Alquran tidak terdapat ayat yang menyebut sistem dan bentuk negara dalam Islam. 10
Berdasar pada kesimpulan tersebut, dan untuk menemukan pengertian negara dalam
perspektif Islam, terlebih dahulu harus merujuk pada unsur-unsur negara itu sendiri. Dalam
hal ini, al-Mawardi menyebutkan unsur-unsur negara sebagai berikut:

1. Di dalam negara ada agama yang dihayati. Agama yang diperlukan sebagai
pengendali hawa nafsu dan pengawas melekat atas hati manusia, karenaya
merupakan sendi sekaligus unsur yang terkuat bagi kesejahteraan dan
ketenangan negara.
2. Di dalam negara, ada penguasa yang berwibawa. Dengan wibawanya dia dapat
mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda, dan membina negara untuk
mencapai sasaran-sasarannya yang luhur.
3. Di dalam negara, harus ada keadilan yang menyeluruh. Terwujudnya keadilan
akan menciptakan persatuan, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan
negara yang akhirnya mengamankan kedudukan penguasa serta menjamin
stabilitas dalam negeri.
4. Di dalam negara, harus tercipta keamanan yang merata. Dengan meratanya
keamanan, rakyat dapat menikmati ketenangan batin, inisiatif dan daya kreasi
akan berkembang di kalangan rakyat.
5. Di dalam negara, terwujud kesuburan tanah. Dengan kesuburan tanah,
kebutuhan rakyat akan bahan makanan dan kebutuhan materi yang lain dapat
terpenuhi, dan dengan demikian dapat dihindarkan perebutan dengan segala
akibat buruknya.
6. Di dalam negara, ada generasi. Generasi sekarang punya kaitan erat dengan
generasi yang akan datang, maka generasi sekarang pewaris generasi yang lalu.
Karenanya harus dipersiapkan generasi yang bersikap optimisme.

PENGERTIAN AGAMA BESERTA FUNGSI NYA

Agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal, dalam arti
bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan polapola perilaku yang
memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Ellis, tokoh terapi kognitif behavioral
menulis dalam Journal of Counseling and Clinical Psychology terbitan 1980. Agama yang
dogmatis, ortodoks dan taat (yang mungkin kita sebut sebagai kesalehan) bertoleransi sangat
signifikan dengan gangguan emosional orang umumnya menyusahkan dirinya dengan sangat
mempercayai kemestian, keharusan dan kewajiban yang absolut. Orang sehat secara
emosional bersifat lunak, terbuka, toleran dan bersedia berubah, sedang orang yang sangat

10
J.Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Piagam Madinah (Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 10.
5
relegius cenderung kaku, tertutup, tidak toleran dan tidak mau berubah, karena itu kesalehan
dalam berbagai hal sama dengan pemikiran tidak rasional dan gangguan emosional. 11

Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam superstruktur, agama terdiri atas
tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia
menginterpretasikan eksistensi mereka, akan tetapi karena agama juga mengandung
komponen ritual maka sebagian agama tergolong juga dalam struktur sosial. 12

Ensiklopedi Islam Indonesia menyebutkan, bahwa agama berasal dari kata Sansekerta,
yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan Hindu Syiwa
(kitab suci mereka bernama “Agama‟). Kata itu kemudian menjadi dikenal luas dalam
masyarakat Indonesia, akan tetapi dalam penggunaannya sekarang, ia tidak mengacu kepada
kitab suci tersebut tetapi dipahami sebagai nama jenis bagi keyakinan hidup tertentu yang
dianut oleh masyarakat, sebagaimana kata dharma (juga berasal dari bahasa Sansekerta).
Lepas dari masalah pendapat mana yang benar, masyarakat beragama pada umumnya
memang memandang agama itu sebagai jalan hidup yang dipegang dan diwarisi turun-
temurun oleh masyarakat, agar hidup mereka menjadi tertib, damai dan tidak kacau.

Kata “Agama” berasal dari bahasa Sansekerta yang secara umum berarti suatu tradisi,
dimana “A” artinya tidak dan “Gama” artinya kacau. Sehingga bila dilihat dari asal katanya,
definisi agama adalah suatu peraturan yang dapat menghindarkan manusia dari kekacauan,
serta mengarahkan manusia menjadi lebih teratur dan tertib.

Pengertian agama bila ditinjau secara deskriptif sebagaimana yang telah diungkapkan
oleh George Galloway adalah sebagai keyakinan manusia terhadap kekuatan yang melampui
dirinya kemana ia mencari pemuas kebutuhan emosional dan mendapat ketergantungan
hidup yang diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian. 13

Kehadiran agama memiliki peran dan fungsi yang cukup banyak dalam kehidupan
manusia. Adapun beberapa fungsi agama adalah sebagai berikut:

1) Sebagai pedoman hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu
maupun kelompok.
2) Sebagai pedoman hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu
maupun kelompok.
3) Sebagai pedoman hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu
maupun kelompok.
4) Sebagai pedoman hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu
maupun kelompok.
5) Sebagai pedoman hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu
maupun kelompok.

11
Jalaludin Rakhmad, Psikologi Agama (Jakarta : Rajawali, 1996), h. 154-155.
12
Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta : Ghalia Indonesia & UMM Press, 2002), h. 29.
13
Ahmad Norman P. (ed.), Metodologi Studi Agama (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), h. 9.
6
6) Sebagai pedoman hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu
maupun kelompok.

Agama merupakan sebuah kebutuhan fitrah manusia, fitrah keagamaan yang ada dalam
diri manusia. Naluri beragama merupakan fitrah sejak lahir di samping naluri-naluri lainnya,
seperti: untuk mempertahankan diri dan mengembangkan keturunan, maka agama
merupakan naluri (fitrah) manusia yang dibawa sejak lahir. 14

Agama Islam adalah agama terakhir, agama keseimbangan dunia akhirat, agama yang
tidak mempertentangkan iman dan ilmu, bahkan menurut sunnah Rasulullah, agama yang
mewajibkan manusia baik pria maupun wanita. Allah SWT telah mewahyukan agama ini
dalam nilai kesempurnaan yang tinggi, kesempurnaan yang mana meliputi segi-segi
fundamental tentang duniawi dan ukhrowi guna menghantarkan manusia kepada
kebahagiaan lahir dan batin serta dunia dan akhirat.15 Setiap manusia pasti ada dorongan
untuk beragama. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang mempunyai
landasan alamiah, dalam watak kejadian manusia dalam relung jiwanya, manusia merasakan
adanya suatu dorongan yang mendorong untuk mencari dan memikirkan Sang Pencipta. 16

Islam diturunkan ke bumi oleh Dzat Yang Maha Adil melalui para rasul-Nya, risalah
Islam datang sebagai akumulasi dari ajaran-ajaran yang telah ada yang disampaikan oleh
para rasul sebelum Muhammad SAW. Salah satu ajaran yang fundamental dalam Islam
adalah prinsip keadilan. Prinsip keadilan dinyatakan secara tegas dalam banyak ayat
Alquran, seperti prinsip keadilan dalam kehidupan keluarga berupa perintah menegakkan
keadilan, kebaikan, berbuat baik kepada keluarga.

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

Secara umum, keterkaitan antara agama dan negara, di masa lalu dan pada zaman
sekarang, bukanlah hal yang baru, apalagi hanya ada pada Islam. Salah satu hal yang tidak
bisa dipungkiri dari Islam ialah pertumbuhan dan perkembangan agama itu bersama dengan
pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya. Geneologi keterkaitan
Islam dan politik telah dimulai Nabi, terutama sejak periode Madinah.

Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh Nabi
s.a.w. sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Madinah. Dari nama yang dipilih oleh Nabi
s.a.w. bagi kota hijrahnya itu menunjukkan rencana Nabi dalam rangka mengemban misi
sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian
menghasilkan suatu entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara. Negara Madinah pimpinan
Nabi itu, adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Dalam
pandangan kaum kaum Muslim kekuasaan Nabi di Madinah tidak hanya dibimbing oleh
kebijaksanaan manusiawi tapi juga oleh Wahyu Tuhan. Berpegang pada prinsip tersebut

14
M. Amin Syukur, Studi Islam, (Semarang: CV. Bima Sejati, 2000), Cet. IV, h. 19.
15
Nasrudin Razaq, Dienul Islam, (Bandung : PT. al-Ma'arif, 1987), Cet. VII, h. 7.
16
M. Utsman Najati, Alquran dan Ilmu Jiwa, (Bandung : Pustaka, 1985), h. 39.
7
umat Islam pada masa berikutnya menjadikan periode Madinah ini sebagai tipe ideal
pelaksanaan praktik politik karena di sanalah terdapat bukti konkret bagaimana ajaran Islam
teraktualisasikan dalam sejarah.17

Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, maka hubungan agama dan negara
dapat digolongkan menjadi dua:

1) Hubungan agama dan negara yang bersifat antagonistik


Hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya
ketegangan antara negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Contohnya pada
masa kemerdekaan sampai pada masa revolusi politik Islam pernah dianggap
sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara.
Sehingga persepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha
menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik Islam. Hal ini
disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada dua kubu idiologi yang
memperebutkan negara Indonesia, yaitu gerakan Islam dan nasionalis.
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara
tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang
berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa
pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan
tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Upaya untuk menciptakan
sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara terus bergulir
hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya
untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal 1970-an,
kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang
pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan orde baru
(kurang lebih pada 1967-1987).
Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di
mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam
menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu
memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untukmewujudkan Islam sebagai
sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan.
2) Hubungan akomodatif
Hubungan akomodatif adalah sifat hubungan di mana negara dan agama
satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan
untuk mengurangi konflik. Pemerintah menyadari bahwa umat Islam merupakan
kekuatan politik yang potensial, sehingga negara mengakomodasi Islam. Jika
Islam ditempatkan sebagai out side negara maka konflik akan sulit dihindari
yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI. Sejak pertengahan tahun 1980-an,
ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi
lebih akomodatif dan integratif.

17
Mahmoud M. Ayoub,“Pendahuluan” buku The Crisis of Muslim History ,Akar-akar Krisis Politik dalam
Sejarah Muslim. Terj. Munir A. Mu’in, (Bandung: Mizan, 2003),h.11.
8
Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta
dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar)
masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat:
a) Struktural, yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para
aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam negara.
b) Legislatif, misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang
dinilai akomodatif terhadap kepentingan Islam.
c) Infrastruktural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-
infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan tugas-
tugas keagamaan.
d) Kultural, misalnya menyangkut akomodasi negara terhadap Islam
yaitu menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata
ideologis maupun politik negara.

Negara dalam perspektif Islam menurut rumusan penulis adalah suatu daerah kekuasaan
yang memiliki batas-batas wilayah, di dalam wilayah tersebut ada kelompok, persekutuan
manusia yang beragama, ada penguasa, ada keadilan dan tercipta suasana yang aman,
kesuburan tanah, serta ada generasi pelanjut.

Agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek
kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, para penganut aliran ini pada umumnya
berpendirian bahwa:

1. Islam adalah suatu agama yang serba lengkap, di dalamnya terdapat pula antara
lain sistem kenegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam
hendaknyakembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau
bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat.
2. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem
yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw, dan oleh empat al-Khulafâ
al-Rasyidîn

Terungkap bahwa sesuai uraian di atas salah satu unsur terpenting dalam suatu negara
adalah agama itu sendiri. Dengan adanya agama, maka tercipta keadilan dan suasana yang
aman. Ajaran agama juga memotivasi penganutnya untuk menjadikan negara yang
dihuninya menjadi subur, dan mereka yang ditugasi dalam pengelolaan negara adalah para
generasi sekarang dan mendatang. Jadi, kelihatan bahwa agama merupakan unsur terpenting
dalam sebuah negara menurut perspektif Islam.

SIKAP NASIONALISME DALAM PERPEKSTIF ALQURAN (Q.S AL-QASHASH :


85)

Konsep hubb al-wathan atau sikap nasionalisme merupakan salah satu upaya preventif
terhadap fenomena disintegrasi nasional. Pola yang dikembangkan tidak jauh berbeda
dengan konsep nasionalisme, karena pada dasarnya kedua konsep ini adalah sama, hanya
9
saja konsep pertama dengan balutan format yang lebih Islami. Konsep awal dari
nasionalisme sendiri menjadi sebuah tarik-ulur yang dalam implementasinya menimbulkan
ketegangan di kalangan tokoh Islam. Seperti yang kita ketahui, nasionalisme merupakan
konsep yang digagas Eropa dengan bumbu-bumbu imperialnya dalam rangka pemecah-
belahan umat Islam, namun nyatanya bagi umat Islam spirit nasionalisme Barat menjadi
sebuah pemantik dalam menjaga persatuan dan kesatuan terhadap sesama muslim masa itu.1
Penolakan bermuncul seiring dengan stereotip terhadap segala macam persoalan yang terkait
dengan Eropa yang dianggap musuh Islam. Begitupun terhadap segala macam ideologi serta
pola pengembangan terhadap pemikiran Eropa termasuk di dalamnya gagasan nasionalisme.

Secara umum, pemaknaan Al-Qashash: 85 merujuk pada janji Allah yang akan
mengembalikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada tempat asalnya. Terlepas dari
pemahaman lain yang menyatakan makna ‫ معاد‬selain tanah air, maka secara berani penulis
maknai asbab al-nuzul surat Al-Qashash 85 ini mengandung tersirat spirit hub al-wathan.
Perwujudan dari penemuan makna ini merujuk metode signifikansi makna sebagaimana
yang diusung Gracia sebagai sebuah solusi pemaknaan kontemporer sehingga problema
masa kini lebih mudah terbaca sebagai kasus yang relevan dengan interpretasi ayat Alquran.
Dalam Al-Qashash 85 tersebut ditekankan maksud diturunkan ayat sebagai respon terhadap
perasaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kala itu. Dengan metode subjektivis mutlak
akan didapat hasil yang menyatakan bahwa dari ayat tersebut tidak mengandung makna
apapun sehingga tidak bisa ditarik apapun dari sana. Dalam objektivis mutlak pun
menghasilkan pernyataan bahwa teks tersebut hanya bermakna di masa lalu saja, sehingga di
masa kini penafsiranpenafsiran yang dilakukan bisa oleh siapapun. Sebagai sebuah
pengingat akan beberapa hal yang menurut penulis mengandung urgensi yakni sebagai
berikut.

1. Mengingat Tuhan
Makna pertama dalam ayat ini jika kita gunakan teori signifikansi makna dengan
analisis kebahasaan maka perlu menguraikan makna dalam dua bagian. Makna masa
lalu sebagai pondasi memahami maksud teks. Lalu makna masa kini sebagai upaya
menyelaraskan masa dengan makna teks tadi. Kata yang ditekankan adalah pada
kalimat:

‫ض ٰلَل ُّمبِين‬
َ ‫ي أ َ ۡعلَ ُم َمن َجا ٓ َء بِ ۡٱل ُهدَ ٰى َو َم ۡن ه َُو فِي‬ ۡ
ٓ ِ‫علَ ۡيكَ ٱلقُ ۡر َءانَ لَ َرآدُّكَ إِلَ ٰى َمعَ ٖۚاد قُل َّرب‬ َ ‫إِ َّن ٱلَّذِي فَ َر‬
َ ‫ض‬
Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al
Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah:
"Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam
kesesatan yang nyata".

Dari sini didapat jawaban bahwa Allah telah memberikan hukum-hukum yang
telah dituangkan dalam AlQur’an. Dari sini, expecting behavior yang bisa diterapkan
dari penggalian makna tersebut adalah manusia sebagai audience setelah menyimak
interpretasin dariuser yang menyatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan af’al Allah
maka audience perlu mematuhi dua hal. Pertama, meengingat Allah sebagai pembuat
10
hukum, sehingga dari rasa ingat ini melahirkan kembali sikap selanjutnya, yakni
kedua, patuh pada hukum tersebut. Dari sini digali expecting behavior sebagai
sebuah bentuk pengembangan behavior dari author dengan sarana user.

2. Adanya Hari Akhir


Meskipun pemaknaan ‫ معاد‬tidak hanya berfokus pada hari akhir, namun makna
terelevan dengan urgensi sebelumnya. Secara kebahasaan –kembali digali makna ‫معاد‬
tadi sebagai sebuah tempat pengembalian yang mana objek dialog ayat ini adalah
yang pernah menempati tempat tersebut. Jika demikian, maka dapat dimaknai bahwa
tempat kembali ini adalah hari akhir yang mana seluruh manusia akan merasakannya
–karena ayat ini bermakna universal. Hari akhir sebagai tempat kembali berarti hari
akhir menjadi bentuk tujuan di mana setelah manusia “singgah” di dunia ini maka
akan dikembalikan pada hari akhir kelak.
3. Cinta Tanah Air
Urgensi terakhir dan sangat tersirat adalah cinta tanah air atau hubb alwathan.
Penulis mengutip kembali analisis historis terhadap ayat ini di mana Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam merasa jauh dan merindukan Makkah sebagai kota
kelahiran sehingga Allah merespon ungkapan kerinduan Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam tersebut dengan hiburan bahwa akan dikembalikan Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam suatu waktu nanti ke tempat yang dirindukan tersebut.
Kecintaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap tanah airnya tentulah
tidak serta merta timbul karena fanatisme semata. Rasa cinta terhadap tanah air
perlulah dilandasi dengan ajaran agama, mengikuti Alquran sebagai pedoman yang
menyetir hendak dibawa ke mana arah tujuan bangsa, serta tidak terbawa agresivitas
yang menodai spirit cinta tanah air tersebut. Dalam ayat Q.S Al-Qashash memiliki
pemaknaan yang bisa bersambung dengan haluan hub al-wathan yang mana
mencintai tanah air tidak sekedar mencintainya secara “buta” namun juga
mencintainya dengan laku positif yang sesuai dengan nilai kesalehan serta moralitas.
Konsepsi hub al-wathan jika ditinjau lebih jauh lagi bukanlah diberhalakan sehingga
mengatas namakan konsepsinya sebagai dasar tindakan arogan namun lebih pada
penyerapan spirit yang dikandungnya sebagai paradigma laku nyata. Dalam
menerapkan hubb al wathan, dapat dimulai sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam menjadikan tanah airnya sebagai prioritas. Dari priorotas inilah kemudian
lahir pembuktian-pembuktian rasa cinta yang lain.
Selanjutnya dalam mencaintai tanah air dibuktikan dengan mencintai segala
komponennya. Yakni mencintai bangsanya, sumber dayanya, menjaga kelangsungan
negaranya, mencintai sejarahnya, turut menjalankan roda pemerintahan, dan
seterusnya. Jika dipahami kembali tipologi masyarakat Indonesia yang cenderung
ketimuran, bisa kita teladani bagaimana Rasulullahmenjadikan Makkah sebagai situs
sejarah keislaman yang begitu berharga mengingat perannya sebagai seorang Nabi
dan Rasul yang berdakwah di Makkah. Kedekatan batinnya dengan Makkah sudah
bukan rahasia umum lagi. 18 Dalam konteks keindonesiaan, bagaimana menumpas

18
Zuhairi Misrawi, Mekkah : Kota Suci, Kekuasaan dan Teladan Ibrahim, (Jakarta : Kompas, 2009), h. 123.
11
patologi ahistoris yang menjangkiti bangsa ini dengan munguatkan konsepsi hub al-
wathan dapat menjadi salah satu implementasi makna Al-Qashash 85 ini.
Sebagai umat beragama pula, bangsa Indonesia memiliki peluang besar dalam
mengembangkan nasionalisme menjadi pilar preventif terhadap hilangnya keutuhan
atau persatuan yang menyebabkan perpecahan itu sendiri. Al-Qashash 85 akan lebih
tepat dengan tidak dijadikan dasar meninggalkan rasa keindonesiaan, jika menilik
bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mencintai Makkah lalu hal ini
dijadikan dasar untuk meninggalkan identitas bangsa sendiri. Sebagaimana
signifikansi makna dalam tafsir tahlili kemenag serta pada waktu yang sama
mencintai pula Makkah sebagai kota yang menyimpan kesejarahan Islam begitu
banyak yang tentunya menjadi bagian dari umat Islam sendiri. Selain itu kecintaan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap Makkah selain sebagai tanah
kelahirannya juga karena keutamaan Makkah sendiri, di mana kota yang penuh
berkah ini memiliki prioritas yang tinggi dalam ranah ekastologi. 19

KESIMPULAN

Kata “Negara” mempunyai dua arti.Pertama, Negara adalah masyarakat atau wilayah
yang merupakan suatu kesatuan politis.Dalam arti ini India, Korea Selatan, atau Brazilia
merupakan Negara.Kedua, Negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis itu,
yang menata dan dengan demikian menguasai wilayah itu. Sementara itu dalam ilmu politik,
istilah “Negara” adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk
mengatur hubunganhubungan manusia dalam masyarakat dan menerbitkan gejala-gejala
kekuasaan dalam masyarakat.

Pengertian agama bila ditinjau secara deskriptif sebagaimana yang telah diungkapkan
oleh George Galloway adalah sebagai keyakinan manusia terhadap kekuatan yang melampui
dirinya kemana ia mencari pemuas kebutuhan emosional dan mendapat ketergantungan
hidup yang diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian.

Hubungan negara dapat di bagi menjadi dua, adapun ia:

a) Hubungan agama dan negara yang bersifat antagonistik


b) Hubungan agama dan negara yang bersifat akomodatif

Melalui sebuah ayat Q.S Al-Qashash: 85, Allah memperintahkan kita untuk memiliki
sikap nasionalis terhadap negeri tempat kita berasal, sebagaimana Rasulullah mencintai
negerinya. Maka dari rasa nasionalis itu muncullah rasa cinta dan peduli terhadap tanah air
kita sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

19
Atiq bin Ghaits Al-Biladi, Mukjizat Mekah dan Madinah, (Yogyakarta : Pustaka Albana, 2011), h. 127-132.
12
Muhammad,Hussein. 2000.“Islam dan Masalah Kenegaraan: Tinjauan Politik,” dalam
AhmadSuae-dy, Pergulatan Pesanten dan Demokrasi, Yogyakarta: LKIS.

Kaelani, Pendidikan Pancasila, Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Paradigma.

Azra,Azyumardi. 1996.Pergolakan Politik Islam,Cet. I; Jakarta: Paramadina.

Azhar,Muhammad. 1996.Filsafat Politik Perbandingan antara Islam dan Barat, Jakarta:


PT. RajaGrafindo Persada.

Nasution,Harun. 1994.Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet.


X; Jakarta: Bulan Bintang.

Connoly, Peter, (ed.). 2002.Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri,
Yogyakarta: LKiS.

Budiarjo,Miriam. 1999.Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. xx, Jakarta : Gramedia.

Huda, Ni’matul. 2013.Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Pers.

Ali Ash –Shallabi,Muhammad. 2017.Negara Islam Modern, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.

Pulungan,J.Suyuthi. 1996.Prinisip-prinsip Piagam Madinah, Cet. II; Jakarta: PT.


RajaGrafindo Persada.

Rakhmad,Jalaludin. 1996.Psikologi Agama, Jakarta : Rajawali.

Ishomuddin. 2002.Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta : Ghalia Indonesia & UMM Press.

Norman P, Ahmad, (ed.). 2000.Metodologi Studi Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Syukur,M. Amin. 2000.Studi Islam, Semarang: CV. Bima Sejati.

Razaq,Nasrudin. 1987.Dienul Islam, Bandung : PT. al-Ma'arif.

Najati,M. Utsman. 1985.Alquran dan Ilmu Jiwa, Bandung : Pustaka.

M. Ayoub,Mahmoud. 2003.“Pendahuluan” buku The Crisis of Muslim History , Akar-akar


Krisis Politik dalam Sejarah Muslim. Terj. Munir A. Mu’in, Bandung: Mizan.

Misrawi,Zuhairi. 2009.Mekkah : Kota Suci, Kekuasaan dan Teladan Ibrahim, Jakarta :


Kompas.

bin Ghaits Al-Biladi,Atiq. 2011.Mukjizat Mekah dan Madinah, Yogyakarta : Pustaka


Albana.

13

Anda mungkin juga menyukai