PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, pembahasan mengenai agama dan negara merupakan hal yang menjadi
topik tersendiri bagi berbagai pihak. Dalam suatu negara kehidupan beragama menjadi
pilihan bagi warganya karena hal tersebut merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Namun
dalam menjalankan kehidupan bernegara, menghubungkan antara agama dan negara menjadi
polemik di antara berbagai pihak yang lain.
Dalam sejarah peradaban dunia, hubungan agama dan negara telah mempengaruhi
berjalannya sistem politik sekarang ini. Pada masa abad pra pertengahan negara berjalan di
bawah otoritas agama dan pada abad pertengahan telah terjadi pemisahan antara agama dan
negara.
Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim juga mengalami permasalahan
mengenai hubungan agama dan negara. Munculnya kaum – kaum yang menuntut
pemerintahan Islam juga menjadi hal yang harus dapat ditangani oleh bangsa ini.
Berdasarkan hal tersebut, maka kami memilih judul ”Hubungan Agama dan Negara”.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi negara dan agama?
2. Bagaimana hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Islam?
3. Bagaimana hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Barat?
4. Bagaimana hubungan negara dan agama di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
1[1] Djalaludin H., Psikologi Agama, (jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm. 15
institusional menjadikan agama semakin kuat, semakin berkuasa, dengan demikian, maka
agama akan mudah sekali terjebak dalam sindrom mayoritas maupun minoritas.2[2]
R.R. Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi dan
pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan
juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi emosionilnya walaupun idenya
kabur.
J. G. Frazer, megatakan agama adalah suatu ketundukan atau penyerahan diri
kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai mengatur dan
mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.
Eden Sheffield Brigtman, memberikan definisi dan pengertian agama, yaitu bahwa
agama merupakan suatu unsur pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai
yang tinggi; pengabdian kepada suatu kekuasaan-kekuasaan yang dipercayai sebagai sesuatu
yang menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini; dan sejumlah
ungkapan yang sesuai tentang urusan serta pengabdian tersebut baik dengan cara melakukan
upacaraupacara yang simbolis maupun melaui perbuatan-perbuatan yang lain yang bersifat
perseorangan serta yang bersifat kemasyarakatan.
Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang
terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi kepada
Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama
merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Beberapa definisi dan pengertian agama, memperlihatkan betapa luasnya cakupan
agama dan sekaligus menunjukkan betapa pengertian agama itu cukup banyak. Hal ini di
samping menunjukkan adanya perhatian besar dari para ahli terhadap agama, juga
menunjukkan bahwa merumuskan pengertian agama itu sangat sulit sehingga tidak cukup
satu pengertian saja.3[3]
2. Definisi Negara
a. Pengertian dan Tujuan Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing, yakni state (Inggris),
staat (Belanda dan Jerman), dan etat (Perancis). Kata – kata tersebut berasal dari bahasa latin
status atau statum yang memiliki pengertian tentang keadaan yang tegak dan tetap.
2[2] Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi, dalam Agama
dan demokrasi, (Jakarta: P3M, 1994, hlm. 58-59)
3[3] Chan 7
Pengertian status atau station (kedudukan). Istilah ini sering pula dihubungkan dengan
kedudukan persekutuan hidup antar manusia yang disebut dengan istilah status republicae.
Dari pengertian yang terakhir inilah kata status selanjutnya dikaitkan dengan kata negara.
Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara
suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita cita – cita untuk bersatu, hidup di suatu
kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai
konstitutif dari sebuah negara yang pada hakikatnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat,
yaitu masyarakat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.4[4]
Beberapa tokoh mendefinisikan pengertian negara sebagai berikut :
1) Roger H. Soultau: negara didefinisikan sebagai agency (alat) atau authority (wewenang)
yang mengatur atau mengendalikan persoalan – persoalan bersama, atas nama masyarakat.
2) Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara merupakan suatu masyarakat yang
diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah
lebih agung daripada individu atau manusia yang hidup bekerjasama untuk mencapai
terkabulnya keinginan – keinginan mereka bersama.
3) Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang memiliki monopoli
dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.5[5]
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu
daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari
warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang – undangan melalui penguasaan
monopolistis dari kekuasaan yang sah.6[6] Dalam konsep ajaran Plato, tujuan adanya negara
adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan dan sebagai makhluk
sosial.
b. Bentuk – Bentuk Negara
1) Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal. Tidak ada negara dalam negara.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang tertinggi dalam pemerintahan atau mengatur seluruh
daerah. Ciri – ciri dari negara kesatuan antara lain :
4[4] Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006), hlm.
24
5[5] Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987), hlm. 39-
40
6[6] Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 111-114
Satu UUD / konstitusi
Satu kepala negara
Satu dewan menteri/kabinet
Satu lemabga perwakilan7[7]
2) Negara Serikat
Negara serikat adalah negara yang tersusun dari beberapa negara yang semula berdiri sendiri.
Negara – negara itu mengadakan kerjasama yang efektif. Sebagian urusan diserahkan kepada
pemerintah federal, sebagian urusan ditangani negara bagian masing – masing. Ciri – ciri
negara serikat antara lain :
Ada negara dalam negara
Ada beberapa UUD/konstitusi
Ada beberapa kepala negara
Ada beberapa dewan dan lembaga perwakilan
c. Bentuk – Bentuk Pemerintahan
1) Ajaran Klasik
Ajaran klasik yang diwakili oleh Plato, Aristoteles, dan Polybius menyebutkan bahwa bentuk
– bentuk pemerintahan antara lain :
Monarki : pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dam dijalankan untuk kepentingan
umum.
Tirani : pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dan dijalankan untuk kepentingan diri
sendiri.
Aristokrasi : pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan dijalankan untuk
kepentingan umum.
Oligarki : pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan dijalankan untuk kepentingan
diri sendiri.
Demokrasi pemerintahan yang dipegang oleh rakyat dan untuk kepentingan umum.
Anarkhi : pemerintahan yang dipegang oleh banyak orang yang tidak berhasil menjalankan
kekuasaan dan kepentingan umum.
2) Ajaran Modern
Monarki (Kerajaan) yang mempunyai ciri – ciri :
Kepala negara disebut raja
Kepala negara menjabat secara turun temurun
7[7] Farih Utami, BKS Pendidikan Kewarganegaraa, (Kediri: Tim MGMP), hlm. 6
Masa jabatan kepala negara seumur hidup
Republik dengan ciri – ciri :
Kepala negara disebut presiden
Pengangkatan kepala negara berdasarkan hasil pemilu
Masa jabatan kepala negara terbatas sesuai dengan undang – undang.
9[9] Husein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad Suaedy,
Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 88
10[10] Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2007), hlm. 190-193
diterapkan. Dari segi pemikiran politik, Romawi membrikan pemahaman kepada Barat
tentang teori imperium. Berupa kekuasaan dan otoritas negara, equal rights (hak persamaan
politik), governmental contract (kontrak pemerintah).11[11]
D. Hubungan Negara dan Agama di Indonesia
Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan
yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas
islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan
beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan
negara dapat digolongkan menjadi 2 :
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik . Maksud hubungan
antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antar negara dengan
islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah
Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai
pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut
membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan
domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade
1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan
nasionalis.
Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang
bersekolah di Belanda.Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa
terkesan dengan kemajuan teknis di Barat. Pada waktu itu pengetahuan agama sangat dangkal
sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu menyelesaikan
berbagai persoalan. Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan tengah
dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan
dan agama individu. Akibatnya, aktivis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai
ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut
sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat
dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal
hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit
13[13] Heri herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara,
(Jakarta: Erlangga, 2010), hlm.168
BAB II
PENUTUP
1. Negara adalah suatu wilayah dimana didalamnya terdapat kumpulan masyarakat yang
memiliki kekuasaan politik, ekonomi, militer, dan budaya. Sebuah Negara biasanya dipimpin
oleh yang namanya pemerintah. Pemerintah merupakan penguasa tertinggi dalam suatu
2. Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada
dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta hidup
berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat
berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling