Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, pembahasan mengenai agama dan negara merupakan hal yang menjadi
topik tersendiri bagi berbagai pihak. Dalam suatu negara kehidupan beragama menjadi
pilihan bagi warganya karena hal tersebut merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Namun
dalam menjalankan kehidupan bernegara, menghubungkan antara agama dan negara menjadi
polemik di antara berbagai pihak yang lain.
Dalam sejarah peradaban dunia, hubungan agama dan negara telah mempengaruhi
berjalannya sistem politik sekarang ini. Pada masa abad pra pertengahan negara berjalan di
bawah otoritas agama dan pada abad pertengahan telah terjadi pemisahan antara agama dan
negara.
Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim juga mengalami permasalahan
mengenai hubungan agama dan negara. Munculnya kaum – kaum yang menuntut
pemerintahan Islam juga menjadi hal yang harus dapat ditangani oleh bangsa ini.
Berdasarkan hal tersebut, maka kami memilih judul ”Hubungan Agama dan Negara”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi negara dan agama?
2. Bagaimana hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Islam?
3. Bagaimana hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Barat?
4. Bagaimana hubungan negara dan agama di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Agama dan Negara


1. Definisi Agama
Menurut Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang linguis,
mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta; a-ga-ma. A
(panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama adalah bahasa Indo Germania;
bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan
kepada Tuhan.
Selain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam
bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa disebut Religion dan
Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.
Dari pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki perbedaan-
perbedaan pokok dan luas antara maksud-maksud agama pada kata ‘agama’ dalam bahasa
Sansekerta, dengan kata ‘religio’ bahasa latin, dan kata ‘din’ dalam bahasa Arab. Namun
secara terminologis, ketiganya memiliki inti yang sama, yaitu suatu gerakan di segala bidang
menurut kepercayaan kepada Tuhan dan suatu rasa tanggung jawab batin untuk perbaikan
pemikiran dan keyakinan, untuk mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas manusia, untuk
menegakkan hubungan baik antar anggota masyarakat serta melenyapkan setiap bentuk
diskriminasi buruk.
Agama adalah kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan manusia
didorong oleh kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat akan pertolongan
dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Sebagai
realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan ghaib tersebut.1[1]
Eka Darmaputera mendefinisikan negara sebagai realitas sosial dan sebuah
kenyataan manusiawi yang dapat difungsikan sebagai ideal type. Ketika agama terperangkap
kepada institusionalisme, yakni terjadinya penekanan dan pemusatan kepada dimensi
kelembagaan atau institusional suatu agama, sehingga upaya penguatan dan pengembangan

1[1] Djalaludin H., Psikologi Agama, (jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm. 15
institusional menjadikan agama semakin kuat, semakin berkuasa, dengan demikian, maka
agama akan mudah sekali terjebak dalam sindrom mayoritas maupun minoritas.2[2]
R.R. Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi dan
pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan
juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi emosionilnya walaupun idenya
kabur.
J. G. Frazer, megatakan agama adalah suatu ketundukan atau penyerahan diri
kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai mengatur dan
mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.
Eden Sheffield Brigtman, memberikan definisi dan pengertian agama, yaitu bahwa
agama merupakan suatu unsur pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai
yang tinggi; pengabdian kepada suatu kekuasaan-kekuasaan yang dipercayai sebagai sesuatu
yang menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini; dan sejumlah
ungkapan yang sesuai tentang urusan serta pengabdian tersebut baik dengan cara melakukan
upacaraupacara yang simbolis maupun melaui perbuatan-perbuatan yang lain yang bersifat
perseorangan serta yang bersifat kemasyarakatan.
Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang
terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi kepada
Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama
merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Beberapa definisi dan pengertian agama, memperlihatkan betapa luasnya cakupan
agama dan sekaligus menunjukkan betapa pengertian agama itu cukup banyak. Hal ini di
samping menunjukkan adanya perhatian besar dari para ahli terhadap agama, juga
menunjukkan bahwa merumuskan pengertian agama itu sangat sulit sehingga tidak cukup
satu pengertian saja.3[3]
2. Definisi Negara
a. Pengertian dan Tujuan Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing, yakni state (Inggris),
staat (Belanda dan Jerman), dan etat (Perancis). Kata – kata tersebut berasal dari bahasa latin
status atau statum yang memiliki pengertian tentang keadaan yang tegak dan tetap.

2[2] Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi, dalam Agama
dan demokrasi, (Jakarta: P3M, 1994, hlm. 58-59)

3[3] Chan 7
Pengertian status atau station (kedudukan). Istilah ini sering pula dihubungkan dengan
kedudukan persekutuan hidup antar manusia yang disebut dengan istilah status republicae.
Dari pengertian yang terakhir inilah kata status selanjutnya dikaitkan dengan kata negara.
Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara
suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita cita – cita untuk bersatu, hidup di suatu
kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai
konstitutif dari sebuah negara yang pada hakikatnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat,
yaitu masyarakat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.4[4]
Beberapa tokoh mendefinisikan pengertian negara sebagai berikut :
1) Roger H. Soultau: negara didefinisikan sebagai agency (alat) atau authority (wewenang)
yang mengatur atau mengendalikan persoalan – persoalan bersama, atas nama masyarakat.
2) Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara merupakan suatu masyarakat yang
diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah
lebih agung daripada individu atau manusia yang hidup bekerjasama untuk mencapai
terkabulnya keinginan – keinginan mereka bersama.
3) Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang memiliki monopoli
dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.5[5]
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu
daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari
warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang – undangan melalui penguasaan
monopolistis dari kekuasaan yang sah.6[6] Dalam konsep ajaran Plato, tujuan adanya negara
adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan dan sebagai makhluk
sosial.
b. Bentuk – Bentuk Negara
1) Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal. Tidak ada negara dalam negara.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang tertinggi dalam pemerintahan atau mengatur seluruh
daerah. Ciri – ciri dari negara kesatuan antara lain :

4[4] Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006), hlm.
24

5[5] Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987), hlm. 39-
40

6[6] Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 111-114
 Satu UUD / konstitusi
 Satu kepala negara
 Satu dewan menteri/kabinet
 Satu lemabga perwakilan7[7]
2) Negara Serikat
Negara serikat adalah negara yang tersusun dari beberapa negara yang semula berdiri sendiri.
Negara – negara itu mengadakan kerjasama yang efektif. Sebagian urusan diserahkan kepada
pemerintah federal, sebagian urusan ditangani negara bagian masing – masing. Ciri – ciri
negara serikat antara lain :
 Ada negara dalam negara
 Ada beberapa UUD/konstitusi
 Ada beberapa kepala negara
 Ada beberapa dewan dan lembaga perwakilan
c. Bentuk – Bentuk Pemerintahan
1) Ajaran Klasik
Ajaran klasik yang diwakili oleh Plato, Aristoteles, dan Polybius menyebutkan bahwa bentuk
– bentuk pemerintahan antara lain :
 Monarki : pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dam dijalankan untuk kepentingan
umum.
 Tirani : pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dan dijalankan untuk kepentingan diri
sendiri.
 Aristokrasi : pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan dijalankan untuk
kepentingan umum.
 Oligarki : pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan dijalankan untuk kepentingan
diri sendiri.
 Demokrasi pemerintahan yang dipegang oleh rakyat dan untuk kepentingan umum.
 Anarkhi : pemerintahan yang dipegang oleh banyak orang yang tidak berhasil menjalankan
kekuasaan dan kepentingan umum.
2) Ajaran Modern
 Monarki (Kerajaan) yang mempunyai ciri – ciri :
 Kepala negara disebut raja
 Kepala negara menjabat secara turun temurun

7[7] Farih Utami, BKS Pendidikan Kewarganegaraa, (Kediri: Tim MGMP), hlm. 6
 Masa jabatan kepala negara seumur hidup
 Republik dengan ciri – ciri :
 Kepala negara disebut presiden
 Pengangkatan kepala negara berdasarkan hasil pemilu
 Masa jabatan kepala negara terbatas sesuai dengan undang – undang.

B. Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Islam


Pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat
dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma
sekularistik:
a. Paradigma Integralistik
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu
(integrated). Ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan
sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan
antara agama dan politik (negara). Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam
Syi’ah.
b. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan
dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan
dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan agama, karena
agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.
c. Paradigma sekularistik
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara agama dan negara. Agama
dan negara merupakan dua (2) bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan
bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu
sama lain melakukan intervensi (campur tangan).8[8]
Dalam Islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup panjang
di antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan menurut Azyumardi Azra, perdebatan ini
telah belangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. lebih lanjut
Azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara
diilhami oleh hubungan yang agak canggung dalam Islam sebagai agama dan negara.

8[8] Alfian Suhendrasah, Hubungan Agama dan Negara,


Berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dan konsep kultur politik
masyarakat muslm, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.
Samir Amin mengungkapkan bahwa selayaknya dunia Islam melakukan diferensiasi
antara utopia – utopia yang muncul di masa lalai dan mengekspresikan konflik sosial
antarkalangan yang dieksploitir, penguasa yang dizalimi, dan kalangan yang menyeru pada
gerakan – gerakan kontemporer untuk mendirikan Negara Islam. Hanya saja menurut Amir,
sejarah yang benar membukktikan bahwa penyatuan agama dan kekuasaan tidak terwujud
kecuali pada masa – masa belakangan dari perkembangan masyarakat Islam.9[9]

C. Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Barat


Politik bangsa barat tidak terlepas dari peradaban Kristiani. Sebelumnya, peradaban
bangsa barat mengalami fase kelam. Fase ini dikenal dengan abad kegelapan di Eropa yang
dipenuhi pertumpahan darah karena perang saudara-agama, pengekangan kebebasan, anti-
intelektualisme, daan maraknya takhayul serta paham itasionalisme. Namun demikian, berkat
para pemuka agama kristen yang reformis, keadaan menjadi berbalik arah, dan masa
pencerahan segera tiba.
Puncak sumbangan Kristiani terhadap peradaban Barat adalah peranan agama ini dalam
melahirkan gerakan reformasi protestan. Dengan tokohnya antara lain Luther, Zwingli, dan
calvin. Reformasi iini kemudian menjadi tonggok penting sejara pemikiran dan peradaban
Barat. Sejarah membuktikan doktrin reformasi Protestan ini berdampak pada perilaku
ekonomi orang – orang kristen di barat. 10[10]
Peradaban romawi juga mempengaruhi perkembangan politik barat. Gagasan barat
mengenai negara, kekuasaan politik, keadilan dan demokrasi secara intelektual bisa dilacak
dari tradisi politik Yunani Klasik yang dinamakan polis atau city states. Sumbangan terbesar
peradaban Romawi terhadap Barat yaitu pada bidang hukum dan lembaga-lembaga politik.
Tradisi keilmuan Yunani-Romawi telah memberikan Barat metode-metode eksperimental dan
spekulatif yang peranannya sangat fundamental empirisme dan rasionalisme. Ada tiga bentuk
pemikiran hukum Romawi yang mempengaruhi pemikiran hukum Barat Ius Civile, Ius
Gentium dan Ius Naturale. Romawi membuat pemikiran spekulatif Yunani yang bisa

9[9] Husein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad Suaedy,
Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 88

10[10] Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2007), hlm. 190-193
diterapkan. Dari segi pemikiran politik, Romawi membrikan pemahaman kepada Barat
tentang teori imperium. Berupa kekuasaan dan otoritas negara, equal rights (hak persamaan
politik), governmental contract (kontrak pemerintah).11[11]
D. Hubungan Negara dan Agama di Indonesia
Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan
yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas
islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan
beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan
negara dapat digolongkan menjadi 2 :
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik . Maksud hubungan
antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antar negara dengan
islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah
Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai
pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut
membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan
domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade
1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan
nasionalis.
Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang
bersekolah di Belanda.Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa
terkesan dengan kemajuan teknis di Barat. Pada waktu itu pengetahuan agama sangat dangkal
sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu menyelesaikan
berbagai persoalan. Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan tengah
dengan mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan
dan agama individu. Akibatnya, aktivis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai
ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut
sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat
dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal
hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit

11[11] Nahid Fadaq, Pemikiran Politik Barat, http://nahidfadaq.blogspot.com/2013/04/pemikiran-


politik-barat.html, 16 April 2013, diakses tanggal 4 Maret 2014
politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia
merdeka.
Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan
negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-
upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an,
kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian
aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-
1987). Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di mana
negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi
negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang
tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan
Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama
lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi
konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam
merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika
islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang akhirnya
akan mempengaruhi NKRI.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan
negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan
semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan
yang dianggap positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam.Kebijakan-kebijakan itu
berspektrum luas, ada yang bersifat:
1) Struktura, yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk
terintegrasikan ke dalam Negara.
2) Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif
terhadap kepentingan Islam.
3) Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang
diperlukan umat Islam dalam menjalankan “tugas-tugas” keagamaan.
4) Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu menggunakan
idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami
dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto dan
kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan Islam
politik di Indonesia.
Alasan Negara berakomodasi dengan islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan
yang tidak dapat diabaikan jika hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang
cukup rumit. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak
terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai
akibat dari latar belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik
di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alasan yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah
selama dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-
ekonomi-politik yang berarti dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik
generasi baru Islam.
Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun
menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia ketika
itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi
Pancasila.12[12]
Dewasa ini sering muncul konflik yang mengatasnamakan agama. Untuk dapat
mengakhiri hal tersebut, kewajiban kita adalah menciptakan kehidupan beragama yang penuh
dengan perdamaian, saling menghargai, menghormati, dan mencintai sebagai umat manusia
yang beradab.
Pancasila telah memberikan dasar – dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa
Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama. Dalam hal ini, negara
memberikan jaminan kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk suatu agama dan
menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu.
Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada
dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta hidup
berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat
berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling
menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab.13[13]

12[12] Hainur Rahman, dkk, Relasi Agama dan Negara, http://mku-pkn-utm.blogspot.com/2013/04/makalah-


ketuhanan-relasi-agama-negara.html, diakses tanggal 4 Maret 2014

13[13] Heri herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara,
(Jakarta: Erlangga, 2010), hlm.168
BAB II
PENUTUP
1. Negara adalah suatu wilayah dimana didalamnya terdapat kumpulan masyarakat yang

memiliki kekuasaan politik, ekonomi, militer, dan budaya. Sebuah Negara biasanya dipimpin

oleh yang namanya pemerintah. Pemerintah merupakan penguasa tertinggi dalam suatu

wilayah yang disebut negara.

2. Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada

dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta hidup

berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat

berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling

menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab.

Anda mungkin juga menyukai