Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“Hubungan Agama dengan Negara”

TUGAS INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH

“Pendidikan Kewarganegaraan”

Dosen Pengampu : Kholilullah, S.Pd.I., M.Pd

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK : XI

1. YENI BETRI (21.23.1071)


2. SHOLIHUDDIN (21.23.1007)

EKONOMI SYARI’AH (ESY)

Semester II (D)

Sekolah Tinggi Agama Islam An-Nadwah Kuala Tungkal

Jalan Kapten Pierre Tendean telp (0742)22190

Tahun Ajaran 2022


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Kami juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada
kami sehingga kami dapat mengumpulkan bahan – bahan materi makalah ini dari
internet dan perpustakaan. Kami telah berusaha semampunya untuk
mengumpulkan berbagaimacam bahan tentang  “Hubungan Agama dengan
Negara”

Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna,
karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami
mohon bantuan dari para pembaca.

Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam


penulisan, kami mohon maaf yang sebesarnya dan sebelumnya kami
mengucapkan terima kasih.

Wassallamualaikum Wr.Wb

Kuala Tungkal, Juni 2022

KELOMPOK XI

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I.............................................................................................................................1

PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A.Latar Belakang.....................................................................................................................1
B.Rumusan masalah................................................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................2

PEMBAHASAN............................................................................................................2

A.Definisi Agama dan Negara.................................................................................................2


B.Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Islam...............................................8
C.Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Barat...............................................9
D.Hubungan Negara dan Agama di Indonesia.......................................................................10
PENUTUP.....................................................................................................................1

A.Kesimpulan..........................................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................2

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, pembahasan mengenai agama dan negara merupakan hal yang
menjadi topik tersendiri bagi berbagai pihak. Dalam suatu negara kehidupan
beragama menjadi pilihan bagi warganya karena hal tersebut merupakan hak asasi
bagi setiap manusia. Namun dalam menjalankan kehidupan bernegara,
menghubungkan antara agama dan negara menjadi polemik di antara berbagai
pihak yang lain.

Dalam sejarah peradaban dunia, hubungan agama dan negara telah


mempengaruhi berjalannya sistem politik sekarang ini. Pada masa abad pra
pertengahan negara berjalan di bawah otoritas agama dan pada abad pertengahan
telah terjadi pemisahan antara agama dan negara.

Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim juga mengalami


permasalahan mengenai hubungan agama dan negara. Munculnya kaum – kaum
yang menuntut pemerintahan Islam juga menjadi hal yang harus dapat ditangani
oleh bangsa ini. Berdasarkan hal tersebut, maka kami memilih judul ”Hubungan
Agama dan Negara”.

B. Rumusan masalah
1. Apa definisi negara dan agama ?

2. Bagaimana hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Islam?

3. Bagaimana hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Barat?

4. Bagaimana hubungan negara dan agama di Indonesia?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Agama dan Negara


1. Definisi Agama

Menurut Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang


linguis, mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa
Sansekerta; a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama
adalah bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-cara
berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan.

Selain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama
dalam bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa
disebut Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.

Dari pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki perbedaan-


perbedaan pokok dan luas antara maksud-maksud agama pada kata ‘agama’ dalam
bahasa Sansekerta, dengan kata ‘religio’ bahasa latin, dan kata ‘din’ dalam bahasa
Arab. Namun secara terminologis, ketiganya memiliki inti yang sama, yaitu suatu
gerakan di segala bidang menurut kepercayaan kepada Tuhan dan suatu rasa
tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan keyakinan, untuk
mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas manusia, untuk menegakkan
hubungan baik antar anggota masyarakat serta melenyapkan setiap bentuk
diskriminasi buruk.

Agama adalah kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan


manusia didorong oleh kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat
akan pertolongan dengan cara menjaga dan membina hubungan baik dengan

2
kekuatan ghaib tersebut. Sebagai realisasinya adalah sikap patuh terhadap perintah
dan larangan kekuatan ghaib tersebut.1

Eka Darmaputera mendefinisikan negara sebagai realitas sosial dan sebuah


kenyataan manusiawi yang dapat difungsikan sebagai ideal type. Ketika agama
terperangkap kepada institusionalisme, yakni terjadinya penekanan dan pemusatan
kepada dimensi kelembagaan atau institusional suatu agama, sehingga upaya
penguatan dan pengembangan institusional menjadikan agama semakin kuat,
semakin berkuasa, dengan demikian, maka agama akan mudah sekali terjebak
dalam sindrom mayoritas maupun minoritas.2

R.R. Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi


dan pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu
perasaan dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-
segi emosionilnya walaupun idenya kabur.

J. G. Frazer, megatakan agama adalah suatu ketundukan atau penyerahan


diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai
mengatur dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia.

Eden Sheffield Brigtman, memberikan definisi dan pengertian agama, yaitu


bahwa agama merupakan suatu unsur pengalaman-pengalaman yang dipandang
mempunyai nilai yang tinggi; pengabdian kepada suatu kekuasaan-kekuasaan
yang dipercayai sebagai sesuatu yang menjadi asal mula, yang menambah dan
melestarikan nilai-nilai ini; dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan
serta pengabdian tersebut baik dengan cara melakukan upacaraupacara yang
simbolis maupun melaui perbuatan-perbuatan yang lain yang bersifat
perseorangan serta yang bersifat kemasyarakatan.

Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi
yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara
1
Djalaludin H., Psikologi Agama, (jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm. 15
2
Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi,
dalam Agama dan demokrasi, (Jakarta: P3M, 1994, hlm. 58-59)

3
mengabdi kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau
mengatakan bahwa agama merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan
dipatuhi.

Beberapa definisi dan pengertian agama, memperlihatkan betapa luasnya


cakupan agama dan sekaligus menunjukkan betapa pengertian agama itu cukup
banyak. Hal ini di samping menunjukkan adanya perhatian besar dari para ahli
terhadap agama, juga menunjukkan bahwa merumuskan pengertian agama itu
sangat sulit sehingga tidak cukup satu pengertian saja.3

2. Definisi Negara

a. Pengertian dan Tujuan Negara

Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing, yakni state
(Inggris), staat (Belanda dan Jerman), dan etat (Perancis). Kata – kata tersebut
berasal dari bahasa latin status atau statum yang memiliki pengertian tentang
keadaan yang tegak dan tetap. Pengertian status atau station (kedudukan). Istilah
ini sering pula dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup antar manusia
yang disebut dengan istilah status republicae. Dari pengertian yang terakhir inilah
kata status selanjutnya dikaitkan dengan kata negara.

Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi


di antara suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita cita – cita untuk
bersatu, hidup di suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang pada
hakikatnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat, yaitu masyarakat, wilayah, dan
pemerintahan yang berdaulat.4
3
Chan 7
4
Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2006), hlm. 24

4
Beberapa tokoh mendefinisikan pengertian negara sebagai berikut :

1. Roger H. Soultau: negara didefinisikan sebagai agency (alat) atau


authority (wewenang) yang mengatur atau mengendalikan persoalan – persoalan
bersama, atas nama masyarakat.

2. Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara merupakan suatu


masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat
memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau manusia yang
hidup bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan – keinginan mereka
bersama.

3. Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat


yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam
suatu wilayah.5

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara adalah


suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang
berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang –
undangan melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah. 6
Dalam
konsep ajaran Plato, tujuan adanya negara adalah untuk memajukan kesusilaan
manusia, sebagai perseorangan dan sebagai makhluk sosial.

b. Bentuk – Bentuk Negara

1. Negara Kesatuan

Negara kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal. Tidak ada negara
dalam negara. Pemerintah pusat mempunyai wewenang tertinggi dalam
pemerintahan atau mengatur seluruh daerah. Ciri – ciri dari negara kesatuan antara
lain :
Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka
5

Media, 1987), hlm. 39-40


6
Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999),
hlm. 111-114

5
· Satu UUD / konstitusi

· Satu kepala negara

· Satu dewan menteri/kabinet

· Satu lemabga perwakilan7

2. Negara Serikat

Negara serikat adalah negara yang tersusun dari beberapa negara yang
semula berdiri sendiri. Negara – negara itu mengadakan kerjasama yang efektif.
Sebagian urusan diserahkan kepada pemerintah federal, sebagian urusan ditangani
negara bagian masing – masing. Ciri – ciri negara serikat antara lain :

· Ada negara dalam negara

· Ada beberapa UUD/konstitusi

· Ada beberapa kepala negara

· Ada beberapa dewan dan lembaga perwakilan

c. Bentuk – Bentuk Pemerintahan

1. Ajaran Klasik

Ajaran klasik yang diwakili oleh Plato, Aristoteles, dan Polybius


menyebutkan bahwa bentuk – bentuk pemerintahan antara lain :

· Monarki : pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dam


dijalankan untuk kepentingan umum.

· Tirani : pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dan dijalankan


untuk kepentingan diri sendiri.

· Aristokrasi : pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan


dijalankan untuk kepentingan umum.
7
Farih Utami, BKS Pendidikan Kewarganegaraa, (Kediri: Tim MGMP), hlm. 6

6
· Oligarki : pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang dan
dijalankan untuk kepentingan diri sendiri

· Demokrasi pemerintahan yang dipegang oleh rakyat dan untuk


kepentingan umum.

· Anarkhi : pemerintahan yang dipegang oleh banyak orang yang tidak


berhasil menjalankan kekuasaan dan kepentingan umum.

2. Ajaran Modern

· Monarki (Kerajaan) yang mempunyai ciri – ciri :

o Kepala negara disebut raja

o Kepala negara menjabat secara turun temurun

o Masa jabatan kepala negara seumur hidup

· Republik dengan ciri – ciri :

o Kepala negara disebut presiden

o Pengangkatan kepala negara berdasarkan hasil pemilu

o Masa jabatan kepala negara terbatas sesuai dengan undang – undang.

B. Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Islam


Pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam
dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, paradigma
simbiotik, dan paradigma sekularistik:

a. Paradigma Integralistik

7
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua
lembaga yang menyatu (integrated). Ini memberikan pengertian bahwa negara
merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini
menegaskan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik
(negara). Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam Syi’ah.

b. Paradigma Simbiotik

Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami saling


membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai
instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga
sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara
dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.

c. Paradigma sekularistik

Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara agama


dan negara. Agama dan negara merupakan dua (2) bentuk yang berbeda dan satu
sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya
harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur
tangan).8

Dalam Islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup
panjang di antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan menurut Azyumardi Azra,
perdebatan ini telah belangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga
dewasa ini. lebih lanjut Azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang
hubungan agama dan negara diilhami oleh hubungan yang agak canggung dalam
Islam sebagai agama dan negara. Berbagai eksperimen dilakukan dalam
menyelaraskan antara din dan konsep kultur politik masyarakat muslm, dan
eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.

8
Alfian Suhendrasah, Hubungan Agama dan Negara

8
Samir Amin mengungkapkan bahwa selayaknya dunia Islam melakukan
diferensiasi antara utopia – utopia yang muncul di masa lalai dan
mengekspresikan konflik sosial antarkalangan yang dieksploitir, penguasa yang
dizalimi, dan kalangan yang menyeru pada gerakan – gerakan kontemporer untuk
mendirikan Negara Islam. Hanya saja menurut Amir, sejarah yang benar
membukktikan bahwa penyatuan agama dan kekuasaan tidak terwujud kecuali
pada masa – masa belakangan dari perkembangan masyarakat Islam.9

C. Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Barat


Politik bangsa barat tidak terlepas dari peradaban Kristiani. Sebelumnya,
peradaban bangsa barat mengalami fase kelam. Fase ini dikenal dengan abad
kegelapan di Eropa yang dipenuhi pertumpahan darah karena perang saudara-
agama, pengekangan kebebasan, anti-intelektualisme, daan maraknya takhayul
serta paham itasionalisme. Namun demikian, berkat para pemuka agama kristen
yang reformis, keadaan menjadi berbalik arah, dan masa pencerahan segera tiba.

Puncak sumbangan Kristiani terhadap peradaban Barat adalah peranan


agama ini dalam melahirkan gerakan reformasi protestan. Dengan tokohnya antara
lain Luther, Zwingli, dan calvin. Reformasi iini kemudian menjadi tonggok
penting sejara pemikiran dan peradaban Barat. Sejarah membuktikan doktrin
reformasi Protestan ini berdampak pada perilaku ekonomi orang – orang kristen di
barat. 10

9
Husein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam
Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000),
hlm. 88

10
Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2007), hlm. 190-193

9
Peradaban romawi juga mempengaruhi perkembangan politik barat.
Gagasan barat mengenai negara, kekuasaan politik, keadilan dan demokrasi secara
intelektual bisa dilacak dari tradisi politik Yunani Klasik yang dinamakan polis
atau city states. Sumbangan terbesar peradaban Romawi terhadap Barat yaitu pada
bidang hukum dan lembaga-lembaga politik. Tradisi keilmuan Yunani-Romawi
telah memberikan Barat metode-metode eksperimental dan spekulatif yang
peranannya sangat fundamental empirisme dan rasionalisme. Ada tiga bentuk
pemikiran hukum Romawi yang mempengaruhi pemikiran hukum Barat Ius
Civile, Ius Gentium dan Ius Naturale. Romawi membuat pemikiran spekulatif
Yunani yang bisa diterapkan. Dari segi pemikiran politik, Romawi membrikan
pemahaman kepada Barat tentang teori imperium. Berupa kekuasaan dan otoritas
negara, equal rights (hak persamaan politik), governmental contract (kontrak
pemerintah).11

D. Hubungan Negara dan Agama di Indonesia


Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan
persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk
Indonesia mayoritas islam tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi
perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal
tersebut maka hubungan agama dan negara dapat digolongkan menjadi 2 :

Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik . Maksud


hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan
antar negara dengan islam sebagai sebuah agama. Sebagai contohnya adalah

Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi politik islam pernah
dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan
negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk

11
Nahid Fadaq, Pemikiran Politik Barat,
http://nahidfadaq.blogspot.com/2013/04/pemikiran-politik-barat.html, 16 April
2013, diakses tanggal 4 Maret 2014

10
berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam.
Hail itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi
yang memperebutka Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis.

Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok


belajar yang bersekolah di Belanda.Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat
berbakat dan merasa terkesan dengan kemajuan teknis di Barat.Pada waktu itu
pengetahuan agama sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap
bahwa agama tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan.Sehingga untuk
menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren
sekuler barat dan membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama
individu.Akibatnya, aktivispolitik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai
ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga
sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider.”

Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara


tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang
berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa
pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan
tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.

Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam


dan negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi.
Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini
pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik
itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama
pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-1987). Hubungan agama dan
negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-betul
mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara.
Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang
tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan
pemerintahan

11
Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif

Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan


agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki
kesamaan untuk mengurangi konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah
menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial,
sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika islam ditempatkan sebagai out-side
Negara maka konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi
NKRI.

Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara


Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini
ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta
dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar)
masyarakat Islam.Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat:

1. Struktura, yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para


aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam Negara.

2. Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang


dinilai akomodatif terhadap kepentingan Islam.

3. Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-


infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan “tugas-tugas”
keagamaan.

4. Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam


yaitu menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis
maupun politik negara.

Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik
mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui
Pak Harto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak
hubungan negara dan Islam politik di Indonesia.

12
Alasan Negara berakomodasi dengan islam pertama, karena Islam
merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan jika hal ini dilakukan akan
menumbulkan masalah politik yang cukup rumit. Kedua, di kalangan
pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia terhadap
Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari
latar belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik
di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alasan yang dikemukakan menurut
Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami
proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti dan ditambah adanya
transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam.

Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang


lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika
umat Islam Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan
negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila.12

Dewasa ini sering muncul konflik yang mengatasnamakan agama. Untuk


dapat mengakhiri hal tersebut, kewajiban kita adalah menciptakan kehidupan
beragama yang penuh dengan perdamaian, saling menghargai, menghormati, dan
mencintai sebagai umat manusia yang beradab.

Pancasila telah memberikan dasar – dasar nilai yang fundamental bagi umat
bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama. Dalam
hal ini, negara memberikan jaminan kebebasan bagi setiap warga negara untuk
memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu.

Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain,
namun pada dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati,
menghargai, serta hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang
lain. Maka, negara dan masyarakat berkewajiban mengembangkan kehidupan

12
Hainur Rahman, dkk, Relasi Agama dan Negara, http://mku-pkn-
utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-negara.html, diakses
tanggal 4 Maret 2014

13
beragama yang penuh dengan toleransi dan saling menghargai berdasarkan nilai
kemanusiaan yang beradab.13

Heri herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif


13

Berwarganegara, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm.168

14
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan
Negara adalah suatu wilayah dimana didalamnya terdapat kumpulan
masyarakat yang memiliki kekuasaan politik, ekonomi, militer, dan budaya.
Sebuah Negara biasanya dipimpin oleh yang namanya pemerintah.
Pemerintah merupakan penguasa tertinggi dalam suatu wilayah yang disebut
negara.

Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama
lain, namun pada dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling
menghormati, menghargai, serta hidup berdampingan secara damai dengan
pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat berkewajiban
mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan
saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab

1
DAFTAR PUSTAKA

Djalaludin H., Psikologi Agama, (jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm.


15

Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses


Demokratisasi, dalam Agama dan demokrasi,

Chan 7

Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif


Hidayatullah, 2006).

Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka


Media, 1987).

Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS,


1999),

Farih Utami, BKS Pendidikan Kewarganegaraa, (Kediri: Tim MGMP), hlm.


6

Alfian Suhendrasah, Hubungan Agama dan Negara,

Husein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam


Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000).

Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, (Bandung: CV


Pustaka Setia, 2007).

2
Nahid Fadaq, Pemikiran Politik Barat,
http://nahidfadaq.blogspot.com/2013/04/pemikiran-politik-barat.html, 16 April
2013,

Hainur Rahman, dkk, Relasi Agama dan Negara, http://mku-pkn-


utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-negara.html,

Heri herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif


Berwarganegara, (Jakarta: Erlangga, 2010).

Anda mungkin juga menyukai