Anda di halaman 1dari 15

Hubungan Agama Dan Negara

Disusun Oleh :

Kelompok 6

1.Poppy Devina Eka Putri (2130203147)

2.Nur Indah Dita Wahyuningsih(2130203151)

Dosen Pengampu :

H. Mawardi

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG 2022


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik. Makalah ini disusun agar kami dan pembaca dapat mengetahui
tentang materi Motivasi dan Dorongan Islam Untuk Mempelajari, Memahami, dan Menyebarkan
Ilmi Pengetahuan. Makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan, baik itu yang
datang dari penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga Makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca dan dapat
memahami materi yang telah kami susun. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan
kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya, terima kasih.

Palembang, 05 April 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI .............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan masalah ......................................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3


A. Pengertian agama dan Negara ...................................................................... 3
B. Hubungan Negara dan agama dalam tinjauan politik islam ......................... 6
C. Hubungan Negara dan agama dalam tinjauan politik barat ......................... 7
D. Hubungan Negara dan agama di Indonesia .................................................. 7

BAB III ..................................................................................................... 10


A. Kesimpulan .................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 11

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Membicarakan masalah hubungan Agama dan Negara adalah sesuatu yang menarik,
mengapa? Kita tahu Agama dan Negara bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi,
tidak bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama terhadap
kehidupan sosial bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau
individu yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya. Sehingga, peranan
agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari kehidupan manusia.
Sebaliknya, Negara (pemerintah) sangat menentukan terhadap perkembangan suatu
Agama di wilayahnya. Kebijakan-kebijakan terhadap hal yang berbau keagamaan sangat
mempengaruhi terhadap terciptanya masyarakat madani (civil society) seperti yang menjadi cita-
cita kedua belah pihak. Bila kebijakan Negara cenderung berpihak kepada salah satu agama
tertentu, tak ayal jika Negara atau keadaan Negara tidak akan kondusif, timbul konflik yang
mengarah ke unsur SARA.
Norma-norma agama dipandang sebagai hukum yang efektif untuk membentuk tatanan
masyarakat yang beradab karena keberadaan agama bagi setiap individu sangat vital. Hal ini
dikarenakan agama mengajarkan atau menghubungkan makhluk dengan kholiknya. Selain itu
dalam agama terdapat berita gembira, ancaman, janji dan sebagainya yang ditujukan pada
pemeluknya. Hal inilah sebetulnya yang diinginkan setiap Negara terhadap keadaan masyarakat
yakni masyarakat yang berketuhanan atau boleh dikatakan sebagai manusia yang “pancasilais”.
Hubungan antara Agama Islam dan Negara selalu menarik untuk dikaji. Hal ini karena
dua alasan: pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki dua aspek yang selalu kait-mengkait,
yakni agama dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur masyarakat berdasarkan Islam, di
tempat dan waktu, telah sering terjadi dan mengalami pasang surut. Dari sekian percobaan dapat
disimpulkan bahwa kesemuanya dalam taraf coba-coa dan belum ada yang sepenuhnya berhasil,
termasuk di Indonesia.
Poin kedua dari alasan tersebut yang sering menimbulkan sikap arogan dari pemerintah.
Sebetulnya sikap preventif terhadap usaha penerapan syariat sebagai landasan hukum tidak
hanya pemerintah melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah yang kami sebut hubungan
agama dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita tidak setuju jika masalah agama di
bawa ke wilayah Negara. Bagi mereka, agama adalah urusan pribadi antara dia dengan DIA.
Atau mereka ingin menjaga bubungan suci dan sarral ini, tidak dicampuri urusan dunia yang
kotor. Apakah sikap mereka bisa digolongkan liberal? Jawabannya, bisa tetapi dengan catatan
kita harus menilai “liberal” dari kacamata budaya bangsa Indonesia.

1
Menurut Masdar F. Mas’udi, hubungan agama dan Indonesia akan masih menjadi
masalah. Menurutnya ada anggapan umum bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim
yang baik sekaligus menjadi warga Negara Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga apalagi
pemuka bangsa yang sejati seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui (mengaburkan)
batas-batas keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat dari agama mayoritas seperti
Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin.

B.Rumusan Masalah :

1.Pengertian Agama dan negara


2.Hubungan Agama dan negara dalam tinjauan politik islam
3.Hubungan agama dan negara dalam tinjauan politik barat
4.Hubungan agama dan negara di Indonesia

C.Tujuan Penulisan

1.  mengetahui apa itu agama dan negara.


2.  Menjelaskan hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Islam.
3.  Menjelaskan hubungan negara dan agama dalam tinjauan politik Barat.
4.  Menjelaskan hubungan negara dan agama di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Agama Dan Negara

1.Pengertian Agama

Menurut Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang linguis,


mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta; a-ga-ma. A
(panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan gama adalah bahasa Indo Germania; bahasa
Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan.
Selain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam
Bahasa latin disebut Religion,dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa
disebut Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din atau juga.
Dari pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki perbedaan-perbedaan
pokok dan luas antara maksud-maksud agama pada kata ‘agama’ dalam bahasa Sansekerta,
dengan kata ‘religio’ bahasa latin, dan kata ‘din’ dalam bahasa Arab. Namun secara
terminologis, ketiganya memiliki inti yang sama, yaitu suatu gerakan di segala bidang menurut
kepercayaan kepada Tuhan dan suatu rasa tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan
keyakinan, untuk mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas manusia, untuk menegakkan
hubungan baik antar anggota masyarakat serta melenyapkan setiap bentuk diskriminasi buruk.
Agama adalah kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan manusia didorong
oleh kelemahan dan keterbatasannya. Manusia merasa berhajat akan pertolongan dengan cara
menjaga dan membina hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Sebagai realisasinya
adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan ghaib tersebut.
Eka Darmaputera mendefinisikan negara sebagai realitas sosial dan sebuah kenyataan
manusiawi yang dapat difungsikan sebagai ideal type. Ketika agama terperangkap kepada
institusionalisme, yakni terjadinya penekanan dan pemusatan kepada dimensi kelembagaan atau
institusional suatu agama, sehingga upaya penguatan dan pengembangan institusional
menjadikan agama semakin kuat, semakin berkuasa, dengan demikian, maka agama akan mudah
sekali terjebak dalam sindrom mayoritas maupun minoritas.
R.R. Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa definisi dan
pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya pikiran, yaitu perasaan dan kemauan
juga, dan dapat memanifestasikan dirinya menurut segi-segi emosionilnya walaupun idenya
kabur.
J. G. Frazer, megatakan agama adalah suatu ketundukan atau penyerahan diri kepada
kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai mengatur dan mengendalikan
jalannya alam dan kehidupan manusia.

3
Eden Sheffield Brigtman, memberikan definisi dan pengertian agama, yaitu bahwa
agama merupakan suatu unsur pengalaman-pengalaman yang dipandang mempunyai nilai yang
tinggi; pengabdian kepada suatu kekuasaan-kekuasaan yang dipercayai sebagai sesuatu yang
menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai ini; dan sejumlah ungkapan
yang sesuai tentang urusan serta pengabdian tersebut baik dengan cara melakukan
upacaraupacara yang simbolis maupun melaui perbuatan-perbuatan yang lain yang bersifat
perseorangan serta yang bersifat kemasyarakatan.
Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi yang
terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara mengabdi kepada Tuhan
yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama merupakan suatu
ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Beberapa definisi dan pengertian agama, memperlihatkan betapa luasnya cakupan
agama dan sekaligus menunjukkan betapa pengertian agama itu cukup banyak. Hal ini di
samping menunjukkan adanya perhatian besar dari para ahli terhadap agama, juga menunjukkan
bahwa merumuskan pengertian agama itu sangat sulit sehingga tidak cukup satu pengertian saja.

2. Pengertian Negara

a.  Pengertian dan Tujuan Negara


Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing,
yakni state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), dan etat (Perancis). Kata – kata tersebut
berasal dari bahasa latin status atau statum  yang memiliki pengertian tentang keadaan yang
tegak dan tetap. Pengertian status atau station (kedudukan). Istilah ini sering pula dihubungkan
dengan kedudukan persekutuan hidup antar manusia yang disebut dengan istilah status
republicae. Dari pengertian yang terakhir inilah kata status selanjutnya dikaitkan dengan kata
negara.
Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara
suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita cita – cita untuk bersatu, hidup di suatu
kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai
konstitutif dari sebuah negara yang pada hakikatnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat, yaitu
masyarakat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.

Beberapa tokoh mendefinisikan pengertian negara sebagai berikut :

4
1. Roger H. Soultau: negara didefinisikan sebagai agency (alat) atau  authority (wewenang) yang
mengatur atau mengendalikan persoalan – persoalan bersama, atas nama masyarakat.
2. Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara merupakan suatu masyarakat yang
diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih
agung daripada individu atau manusia yang hidup bekerjasama untuk mencapai terkabulnya
keinginan – keinginan mereka bersama.
3. Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang memiliki monopoli
dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara adalah suatu daerah
teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga
negaranya untuk taat  pada peraturan perundang – undangan melalui penguasaan monopolistis
dari kekuasaan yang sah. Dalam konsep ajaran Plato, tujuan adanya negara adalah untuk
memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan dan sebagai makhluk sosial.

b.      Bentuk – Bentuk Negara

1. Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah negara yang bersusunan tunggal. Tidak ada negara dalam negara.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang tertinggi dalam pemerintahan atau mengatur seluruh
daerah. Ciri – ciri dari negara kesatuan antara lain :
  Satu UUD / konstitusi
  Satu kepala negara
  Satu dewan menteri/kabinet
  Satu lemabga perwakilan.

2. Negara Serikat
Negara serikat adalah negara yang tersusun dari beberapa negara yang semula berdiri
sendiri. Negara – negara itu mengadakan kerjasama yang efektif. Sebagian urusan diserahkan
kepada pemerintah federal, sebagian urusan ditangani negara bagian masing – masing. Ciri – ciri
negara serikat antara lain :
  Ada negara dalam negara
  Ada beberapa UUD/konstitusi
  Ada beberapa kepala negara
  Ada beberapa dewan dan lembaga perwakilan

5
B. Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Islam

Pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat
dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma
sekularistik:
a. Paradigma Integralistik
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini
memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga
agama. Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan
politik (negara). Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam Syi’ah.
b. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan
bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan
mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga
membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.
c. Paradigma sekularistik
dan negara merupakan dua (2) bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan
bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama
lain melakukan intervensi (campur tangan).
Dalam Islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup panjang di
antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan menurut Azyumardi Azra, perdebatan ini telah
belangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. lebih lanjut Azra
mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara diilhami oleh
hubungan yang agak canggung dalam Islam sebagai agama dan negara. Berbagai eksperimen
dilakukan dalam menyelaraskan antara din dan konsep kultur politik masyarakat muslm, dan
eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.
Samir Amin mengungkapkan bahwa selayaknya dunia Islam melakukan diferensiasi antara
utopia – utopia yang muncul di masa lalai dan mengekspresikan konflik sosial antarkalangan
yang dieksploitir, penguasa yang dizalimi, dan kalangan yang menyeru pada gerakan – gerakan
kontemporer untuk mendirikan Negara Islam. Hanya saja menurut Amir, sejarah yang benar
membukktikan bahwa penyatuan agama dan kekuasaan tidak terwujud kecuali pada masa – masa
belakangan dari perkembangan masyarakat Islam.
C.     Hubungan Negara dan Agama dalam Tinjauan Politik Barat

6
Politik bangsa barat tidak terlepas dari peradaban Kristiani. Sebelumnya, peradaban
bangsa barat mengalami fase kelam. Fase ini dikenal dengan abad kegelapan di Eropa yang
dipenuhi pertumpahan darah karena perang saudara-agama, pengekangan kebebasan, anti-
intelektualisme, daan maraknya takhayul serta paham itasionalisme. Namun demikian, berkat
para pemuka agama kristen yang reformis, keadaan menjadi berbalik arah, dan masa pencerahan
segera tiba.
Puncak sumbangan Kristiani terhadap peradaban Barat adalah peranan agama ini dalam
melahirkan gerakan reformasi protestan. Dengan tokohnya antara lain Luther, Zwingli, dan
calvin. Reformasi iini kemudian menjadi tonggok penting sejara pemikiran dan peradaban
Barat.  Sejarah membuktikan doktrin reformasi Protestan ini berdampak pada perilaku ekonomi
orang – orang kristen di barat. 
Peradaban romawi juga mempengaruhi perkembangan politik barat. Gagasan barat
mengenai negara, kekuasaan politik, keadilan dan demokrasi secara intelektual bisa dilacak dari
tradisi politik Yunani Klasik yang dinamakan polis atau city states. Sumbangan terbesar
peradaban Romawi terhadap Barat yaitu pada bidang hukum dan lembaga-lembaga politik.
Tradisi keilmuan Yunani-Romawi telah memberikan Barat metode-metode eksperimental dan
spekulatif yang peranannya sangat fundamental empirisme dan rasionalisme. Ada tiga bentuk
pemikiran hukum Romawi yang mempengaruhi pemikiran hukum Barat Ius Civile, Ius Gentium
dan Ius Naturale. Romawi membuat pemikiran spekulatif Yunani yang bisa diterapkan. Dari segi
pemikiran politik, Romawi membrikan pemahaman kepada Barat tentang teori imperium. Berupa
kekuasaan dan otoritas negara, equal rights (hak persamaan politik), governmental contract
(kontrak pemerintah).

D.    Hubungan Negara dan Agama di Indonesia

Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang
menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas islam tetapi
karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk
mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan negara dapat
digolongkan menjadi 2 :
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik . Maksud hubungan
antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antar negara dengan
islam sebagai sebuah agama.Sebagaicontohnyaadalah Pada masa kemedekaan dan sampai pada
masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik
basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara untuk
berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu

7
disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka
Negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis.
Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar yang
bersekolah di Belanda.Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat dan merasa terkesan
dengan kemajuan teknis di Barat.Pada waktu itu pengetahuan agama sangat dangkal sehingga
mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu menyelesaikan berbagai
persoalan.Sehingga untuk menuju kemerdekaan, nasionalis mengambil jalan tengah dengan
mengikuti tren sekuler barat dan membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama
individu.Akibatnya, aktivispolitik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau
agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai
kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat
dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan
yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik
nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.
Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara
terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya
untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan
legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada
dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih pada 1967-1987). Hubungan
agama dan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik, di mana negara betul-betul
mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain,
umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan
Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan
Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain
saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik( M.
imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan
politik yang potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika islam ditempatkan sebagai
out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara
mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin
dilonggarkannya wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap
positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam.Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada
yang bersifat:
1.      Struktura, yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk
terintegrasikan ke dalam Negara.

8
2.      Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap
kepentingan Islam.
3.      Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan
umat Islam dalam menjalankan “tugas-tugas” keagamaan.
4.      Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu menggunakan idiom-
idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik mengalami
dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun, harus diakui Pak Harto dan
kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak hubungan negara dan Islam politik di
Indonesia.
Alasan Negara berakomodasi dengan islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan
yang tidak dapat diabaikan jika hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah politik yang cukup
rumit. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia
terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar
belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam
itu sendiri. Sedangkan alasan yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh
lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti
dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam.
Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi
akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam Indonesia ketika itu dinilai
telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila.
Dewasa ini sering muncul konflik yang mengatasnamakan agama. Untuk dapat mengakhiri
hal tersebut, kewajiban kita adalah menciptakan kehidupan beragama yang penuh dengan
perdamaian, saling menghargai, menghormati, dan mencintai sebagai umat manusia yang
beradab.
Pancasila telah memberikan dasar – dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa
Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama. Dalam hal ini, negara
memberikan jaminan kebebasan bagi setiap warga negara untuk memeluk suatu agama dan
menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu.
Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada
dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta hidup
berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat
berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling
menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1        Negara adalah suatu wilayah dimana didalamnya terdapat kumpulan masyarakat yang
memiliki kekuasaan politik, ekonomi, militer, dan budaya. Sebuah Negara biasanya dipimpin oleh
yang namanya pemerintah. Pemerintah merupakan penguasa tertinggi dalam suatu wilayah yang disebut
negara.
2        Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu sama lain, namun pada
dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling menghormati, menghargai, serta hidup
berdampingan secara damai dengan pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat
berkewajiban mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan saling
menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab

10
DAFTAR PUSTAKA

Djalaludin H., Psikologi Agama, (jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm. 15


Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi, dalam Agama dan
demokrasi,
Chan 7
Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006).
Miriam Budiarjo,  Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987).
Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999),
Farih Utami, BKS Pendidikan Kewarganegaraa, (Kediri: Tim MGMP), hlm. 6
Alfian Suhendrasah, Hubungan Agama dan Negara,
Husein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad Suaedy,
Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000).
Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007).
Nahid Fadaq, Pemikiran Politik Barat, http://nahidfadaq.blogspot.com/2013/04/pemikiran-politik-
barat.html, 16 April 2013,
Hainur Rahman, dkk, Relasi Agama dan Negara, http://mku-pkn-utm.blogspot.com/2013/04/makalah-
ketuhanan-relasi-agama-negara.html,
Heri herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara, (Jakarta:
Erlangga, 2010).

[1][1] Djalaludin H., Psikologi Agama, (jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm. 15


[2]Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi, dalam Agama dan
demokrasi, (Jakarta: P3M, 1994, hlm. 58-59)
[3][3] Chan 7
[4][4] Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006),
hlm. 24
[5][5] Miriam Budiarjo,  Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987), hlm.
39-40
[6][6] Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 111-114
[7][7] Farih Utami, BKS Pendidikan Kewarganegaraa, (Kediri: Tim MGMP), hlm. 6
[8] Alfian Suhendrasah, Hubungan Agama dan Negara,
[9] Husein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad Suaedy,
Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 88
[10][10] Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2007), hlm. 190-193
[11][11] Nahid Fadaq, Pemikiran Politik Barat, http://nahidfadaq.blogspot.com/2013/04/pemikiran-
politik-barat.html, 16 April 2013, diakses tanggal 4 Maret 2014

11
[12][12] Hainur Rahman, dkk, Relasi Agama dan
Negara, http://mku-pkn-utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-
negara.html, diakses tanggal 4 Maret 2014
[13][13] Heri herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara,
(Jakarta: Erlangga, 2010), hlm.168

12

Anda mungkin juga menyukai