Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Hubungan Agama dengan Negara menurut Islam

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu : Dr.H.Muhammad Abdul wahid, M.Th.I

Oleh:

Kelompok 7

1. Safaruddin (30300120016)
2. Khairun Muslimin Saputra (30300120017)

JURUSAN ILMU AL QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2020
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Atas izin dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu. Tak
lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah
Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.

Penulisan makalah berjudul ‘Hubungan Agama dengan Negara menurut


Islam’ bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan. Pada makalah diuraikan Hubungan Negara dan Agama, islam
dan Negara Orde baru, Islam dan Negara Pasca-Orde Baru.Kami juga
mengucapkan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini.

Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Besar harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan
balik berupa kritik dan saran. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi
berbagai pihak. Aamiin.

Bima, 12 November 2020

Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1

A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan masalah ................................................................................... 1
C. Tujuan .................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 2

A. Pengertian Negara .................................................................................. 2


B. Pengertian Agama .................................................................................. 2
C. Hubungan Negara dan Agama: Kasus Islam ......................................... 3
D. Hubungan Negara dan Agama: Pengalaman Islam Indonesia................ 6
E. Islam dan Negara Pasca-Orde Baru: Bersama Membangun Demokrasi
dan Mencegah Disintegrasi.....................................................................
9
F. Bangsa Islam dan Negara Orde Baru: Dari Antagonistis ke Akomodatif 10

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 13

A. Kesimpulan ............................................................................................ 13
B. Saran ....................................................................................................... 13

Daftar Pustaka .................................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perbincangan mengenai hubungan antara agama dan negara merupakan


persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan yang terus berkepanjangan
dikalangan para ahli. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam
menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau negara merupakan
bagian dari dogma agama.

Perdebatan dan diskusi mengenai ini sesungguhnya lebih terletak pada


tataran konseptualisasi dan pola-pola hubungan antara keduanya. Agama dan
negara seringkali dikesankan sebagai dua wilayah yang berhadapan. Misalnya,
hubungan dunia akhirat atau al-dunya wa al-din. Baik al Qur’an maupun hadits
banyak menyebut dua hal tersebut. Bahkan sering dijumpai ungkapan al-Islam
huwa al-din wa al-dawlah. Kesan berhadap-hadapan seperti itulah yang
kemudian memunculkan kontroversi yang tajam dan keras di sekitar konsep
hubungan agama dan negara. Ketegangan perbedaan hubungan agama dan
negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai
agama (din) dan negara (dawlah)

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Negara?
2. Apa pengertian Agama?
3. Bagaimana hubungan Negara dan Agama di Indonesia?
C. Tujuan
1. Mengetahui Apa pengertian Negara
2. Mengetahui Apa pengertian Agama
3. Mengetahui Bagaimana hubungan Negara dan Agama di Indonesia

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Negara

Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing: state


(Inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis). Dari ketiga kata
tersebut staat, state, dan etat diambil dari bahasa latin yaitu “status” atau
“statum” yang artinya keadaan tegak dan tetap atau bisa juga sesuatu yang
mempunyai sifat yang tetap dan tegak.
Sedangkan menurut terminologi, negara dapat diartikan sebagai
organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang hidup di dalam
suatu kawasan dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat serta yang
memiliki cita-cita dan tujuan yang sama. Pengertian negara demikian ini
mengandung nilai konstitutif pada umumnya dimiliki oleh suatu negara yang
berdaulat: masyarakat sebagai (rakyat), wilayah sebagai kekuasaan, dan
pemerintahan yang berdaulat sebagai aturan yang harus ditaati.

B. Pengertian Agama

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata agama mempunyai artikan


sebagai ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yg berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Menurut Harun Nasution dan Muh. Said kata agama berasal dari bahasa
sanskerta. Kata agama tersusun dari dua kata yaitu “A” yang mempunyai arti
“tidak” dan Gama yang bermakna berubah atau berjalan. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa agama merupakan tidak pergi atau diam pada
tempatnya

Agama secara terminologi dalam ensiklopedia Nasional diartikan sebagai


peraturan yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan sekaligus
sesama manusia. Sedangkan agama dalam Al Qur‟an disebut dengan din.
Istilah din merupakan bawaan dari ajaran Islam dan secara makna bersifat
universal, artinya konsep din seharusnya dapat mengakomodir dari seluruh
makna agama dan religi itu sendiri.

2
C. Hubungan Agama dan Negara: Kasus Islam

Hal penting dari pembicaraan tentang negara adalah hubungan negara


dengan agama. Wacana ini mendiskusikan bagaimana posisi agama dalam
konteks Negara modern (nation state). Hubungan agama dan negara dalarn
konteks dunia Islam masih menjadi perdebatan yang intensif di kalangan para
pakar Muslim hingga kini. Menurut Azyumardi Azra, perdebatan itu telah
berlangsung sejak hamper satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini.
Menurut Azra, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara
dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai
agama (din) dan negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk
menyelaraskan antara din dan dawlah dengan konsep dan kultur politik
masyarakat Muslim. Seperti halnya percobaan demokrasi di sejumlah negara di
dunia, penyelarasan din dan dawlah di banyak negara-negara Muslim telah
berkembang secara beragam. Perkembangan wacana demokrasi di kalangan
negara-negara Muslim dewasa ini semakin menambah maraknya perdebatan
Islam dan negara.

Perdebatan Islam dan negara berangkat dari pandangan dominan Islam


sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur
semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandangan Islam
sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya dalam Islam tidak
terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah).
Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad di Madinah.
Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad berperan ganda, sebagai seorang
pemimpin agama sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah
sistem pemerintahan awal Islam yang, oleh kebanyakan pakar, dinilai sangat
modern di masanya.

Posisi ganda Nabi Muhammad di Kota Madinah disikapi beragam oleh


kalangan ahli. Secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada
apakah Islam identik dengan negara atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan
konsep yang tegas tentang bentuk negara, mengingat sepeninggal Nabi
Muhammad tak seorang pun dapat menggantikan peran ganda Beliau, sebagai
pemimpin dunia yang sekuler dan si penerima wahyu Allah sekaligus.

Menyikapi realitas perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan


bahwa posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan
ajaran (Al-Kitab) bukan sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun
ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan
kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain, politik atau
negara dalam Islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari
agama Islam. Pendapat Ibnu Taimiyah ini bersumber pada ayat Al-Qur‘an (QS.

3
57: 25) yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami
yang disertai keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka
Kitab dan timbangan, agar manusia berlaku adil, dan Kami turunkan besi,
padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar
Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan (menolong) Rasul-Nya yang
gaib (daripadanya).” Bersandar pada ayat ini, Ibnu Taimiyah menyimpulkan
bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan “pedang”
penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan
dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu
bukanlah agama itu sendiri. Adapun, politik tidak lain sebatas alat untuk
mencapai tujuan-tujuan luhur agama.

Mengelaborasi pandangan Ibnu Taimiyah di atas, Ahmad Syafi'i Maarif


menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam
Al-Qur'an. Istilah dawlah memang ada dalam Al-Qur’an pada surat al-Hasyr
(QS. 59:7), tetapi ia tidak bermakna negara. Istilah tersebut dipakai secara
figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.

Pandangan sejenis pernah juga dikemukakan oleh beberapa modernis


Mesir, antara lain Ali Abdul Raziq dan Mohammad Husein Haikal. Menurut
Haikal,prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh
Al-Qur'an dan Al-Sunah tidak ada yang langsung berkaitan dengan
ketatanegaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam Islam tidak terdapat
suatu sistem pemerintahan yang baku. Umat Islam bebas menganut sistem
pemerintahan apa pun asalkan sistem tersebut menjamin persamaan antara para
warga negaranya, baik hak maupun kewajiban dan persamaan di hadapan
hukum, dan pelaksanaan urusan negara diselenggarakan atas dasar
musyawarah (syura) dengan berpegang kepada tata nilai moral dan etika yang
diajarkan Islam.

Hubungan Islam dan negara modern secara teoretis dapat diklasifikasikan


kedalam tiga pandangan: integralistik, simbiotik, dan sekularistik.

1. Paradigma Integralistik

Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara


teokrasi islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan
dua lembaga yang menyatu (integrated). Paham ini juga memberikan
penegasan bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus
lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal
pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah).

4
Dalam pergulatan Islam dan negara modern, pola hubungan integratif ini
kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa
kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip
keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik identik dengan
paham Islam ad-Din wa dawlah (Islam sebagai agama dan negara), yang
sumber hukum positifnya adalah hukum Islam (syariat Islam). Paradigma
integralistik ini antara lain dianut oleh negara Kerajaan Saudi Arabia dan
penganut paham Syiah di Iran. Kelompok pencinta Ali ra. ini menggunakan
istilah Imamah sebagaimana dimaksud dengan istilah dawlah yang banyak
dirujuk kalangan Sunni.

2. Paradigma Simbiotik

Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara berada pada


posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita).
Dalam pandangan ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam
melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga
memerlukan agama sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas warga
negaranya.Paradigma simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan
Ibnu Taimiyah tentang negara sebagai alat agama di atas. Dalam kerangka ini,
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur
kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena
tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu
Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara agama dan negara merupakan
dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya,
konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya
kontrak sosial (social contract), tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama
(syariat). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi kehidupan bernegara,
sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Model pemerintahan negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan kepada
kelompok paradigma ini.

3. Paradigma Sekularistik

Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas


antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang
berbeda dan satu sama Jain memiliki garapan masing-masing, sehingga
keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan
intervensi, Negara adalah urusan publik, sementara agama merupakan wilayah
pribadi masing-masing warga negara.

Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang
berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social
contract yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (syariat). Konsep

5
sekularistik dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq yang
menyutakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak
ditemukan keinginan Nabi Muhammad untuk mendirikan negara Islam. Negara
Turki modern dapat digolongkan kedalam paradigma ini.

D. Hubungan Negara dan Agama: Pengalaman Islam Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negeri Muslim terbesar di dunia. Uniknya,


Indonesia bukanlah sebuah negara Islam. Dari keunikan ini perdebatan pola
hubungan Islam dan negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang
tidak kunjung selesai. Perdebatan soal pola hubungan Islam dan negara ini
telah muncul dalam perdebatan publik sebelum Indonesia merdeka. Perdebatan
tentang Islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh nasionalis Muslim dan
nasionalis sekuler pada 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan
negara pada kurun-kurun selanjutnya. Tulisan-tulisan tentang Islam dan watak
nasionalisme Indonesia menghiasi surat kabar pergerakan nasional pada waktu
itu, menanggapi pandangan dan paham sekuler yang dilontarkan kalangan
tokoh nasionalis sekuler. Perdebatan Islam dan nasionalisme dan konsep
negara sekuler diwakili masing-masing tokoh nasionalis Muslim Mohammad
Natsir dan Soekarno dari kelompok nasionalis sekuler.

Perdebatan Islam dan konsep-konsep ideologi sekuler menemukan titik


klimaksnya pada persidangan formal dalam sidang-sidang majelis Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
bentukan pemerintah Jepang pada 1945. Para tokoh nasionalis Muslim seperti
H. Agus Salim, KH.Mas Mansur, dan K.H. Wachid Hasyim, menyuarakan
suara aspirasi Islam dengan mengajukan usul konsep negara Islam dengan
menjadikan Islam sebagai dasar negara bagi Indonesia merdeka. Usulan
menjadikan Islam sebagai konsep Negara dari kelompok nasionalis Muslim
bersandar pada alasan sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk
Islam sebagai agama dan keyakinannya

Alasan kelompok nasionalis Muslim ini ditentang oleh kalangan


nasionalis sekuler yang mengajukan konsep negara sckuler. Menurut para
nasionalis sekuler,kemajemukan Indonesia dan perasaan senasib melawan
penjajah mendasari alasan mereka menolak konsep negara agama (Islam) yang
diajukan oleh kalangan nasionalis Muslim. Bagi mereka, Indonesia yang
majemuk baik agama, suku, dan bahasa harus melandasi berdirinya negara
nonagama (sekuler). Pada kesempatan perhelatan konstitusional ini, tokoh
nasionalis sekuler Soekarno merujuk pengalaman Turki Modern di bawah
Kemal Attaturk dengan konsep negara sekulernya. Lebih lanjut, Soekarno
kembali menyuarakan konsep sekulernya tentang lima dasar negara Indonesia,
yang kemudian dikenal dengan Pancasila.

6
Tentu saja paham kebangsaan Pancasila tidak mudah diterima kelompok
nasionalis Muslim. Bagi mereka, selain alasan mayoritas penduduk Indonesia
memeluk Islam, Islam sebagai agama ciptaan Allah yang bersifat universal dan
lengkap harus dijadikan dasar dalam tata kehidupan kenegaraan dan
kebangsaan Indonesia. Akhir dari perdebatan konstitusional BPUPKI
menghasilkan kekhawatiran bagi kelompok nasionalis dari kawasan Indonesia
Timur. Kekhawatiran mereka diwujudkan melalui keinginan mereka
mendirikan negara sendiri dengan memisahkan diri dari konsep Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ancaman pemisahan diri dari konsep
NKRI melahirkan kekhawatiran dari semua kelompok nasionalis yang tengah
berdebat tentang masa depan Indonesia. Namun demikian, di balik sengitnya
perdebatan tentang dasar dan bentuk negara, terjadi kesepakatan atau
kompromi politik di kalangan tokoh-tokoh nasionalis baik Muslim maupun
sekuler.

Klimaks dari perdebatan di sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan


kalangan nasionalis Muslim untuk tidak memaksakan kehendak mereka
menjadikan sebagai dasar negara Indonesia. Demi persatuan dan kesatuan serta
terselenggarakannya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dari cengkeraman
penjajah, mereka menerima konsep negara yang diajukan kalangan nasionalis
sekuler, dengan catatan negara menjamin diaankannya syariat Islam bagi
pemeluk Islam di Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis
Muslim dan dengan nasionalis sekuler dikenal dengan nama the gentlemen
agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang
menyebutkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

Setelah Indonesia merdeka, hubungan Islam dan Negara di bawah


kepemimpinan Presiden Soekarno kembali mengalami keteganan. Sumber
ketegangan itu berpusat pada perdebatan seputar tafsir klausul Sila Pertama
Pancasila, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.”
Alotnya perdebatan tersebut berakhir pada kesepahaman di kalangan tokoh
nasioanal bahwa NKRI adalah bukan Negara agama (Islam) dan juga Negara
sekuler.

Berikut catatan singkat pergumulan Islam dan Negara di Indonesia. Pada


kurun antara 1950 – 1959, ketika Indonesia menjalankan prinsip Demokrasi
Parlementer, ketegangan Islam da Negara kembali terulang dalam bentuk
perseteruan sengit antara kelompok partai politik Islam, seperti Partai Masyumi
dan Partai NU, dengan partai politik sekuler: Partai Komunis Indonesia (PKI),
Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan sebagainya. Perseteruan ideologis Islam
versus ideology sekuler kembali terjadi dalam persidangan Konstituante hasil
pemilu demokratis yang pertama pada 1955.

7
Pemilu 1955 yang dinilai banyak ahli sebagai pemilu paling demokratis
dalam sejarah politik nasional Indonesia ternyata tak menjamin
terselenggarakannya proses pembuatan konstitusi dengan baik. Sekalipun
Majelis Konstituante hampir rampung menyelesaikan tugas tugas
konstitusional nya, ketidakstabilan politik dan ancaman disintegrasi dianggap
oleh Presiden Soekarno sebagai dampak langsung dari Demokrasi Parlementer
yang diadopsi dari Barat. Menurut Soekarno, demokrasi ala Barat tidak sesuai
dengan iklim politik Indonesia. Perseteruan sengit antara partai-partai politik
harus diakhiri dengan memberlakukan kembali UUD 1945 di bawah sistem
Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Sejak saat itu Presiden Soekarno memiliki kekuasaan yang tak terbatas,
bahkan dinobatkan sebagai presiden seumur hidup.

Kekuasaan Presiden Soekarno yang tak terbatas di bawah Demokrasi


Terpimpin masih tetap mengakomodasi kekuatan Islam. Hubungan Islam dan
negara tercermin pada kepemimpinannya Presiden Soekarno yang menjalankan
prinsip fusi politik ciptaannya, Nasakom (nasionalis, agama, komunis).
Nasakom terdiri atas tiga komponen dominan dari hasil Pemilu 1955PNI, islam
(dakwah NU), dan PKI. Keberadaan PKI sangat penting bagi pemerintahan
Soekarno karena perolehan suaranya yang sangat signifikan dalam pemilu.
Model kepemimpinan “tiga kaki” Presiden Soekarno ini menimbulkan
kecemburuan politik di kalangan kelompok militer di bawah Jenderal A.H.
Nasution. Perseteruan politik dan ideology antara TNI (Tentara nasional
Indonesia) dengan PKI berdampak pada persekutuan politik antara kelompok
Islam dan militer untuk menghadapi PKI yang tengah dekat dengan Presiden
Soekarno. Seperti perseteruan ideologi sebelumnya, ideologi sosialis komunis
menjadi alasan utama kelompok Islam untuk berkoalisi dengan TNI melawan
paham komunis.

Sistem Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno berakhir dengan


peristiwa politik yang tragis, Gerakan 30 September 1965. Gerakan makar ini
menurut beberapa ahli merupakan buah dari perseteruan ideologis paniang
antara PKI dengan TNI, khusus nya Angkatan Darat, vang berujung pada pemb
unuhan sejumlah elite pimpinan TNI di Lubang Buaya, Halim, Jakarta.
Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan politik Presiden Soekarno
dan awal naiknya kiprah politik Presiden Soeharto. Melalui Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar},Pangiima Kostrad (Komando Strategis AD)
Letnan Jenderal Sceharto kala itu meMimpin pemulihan keamanan nasional
dengan melakukan penumpasan terhadap semua unsur komunis di Indonesia.

Akhir masa pemulihan keamanan berhasil menaikkan Panglima Kostrad


Letnan Jenderal Soeharto ke tampuk kepemimpinan nasional yang disahkan
oleh sidang Umum MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementera) di

8
bawah pimpinan Jenderal A.H. Nasution pada 1968. Dengan slogan kembali ke
Pancasila secara murni dan konsekuen, Presiden Soeharto memulai kiprah
kepemimpinan nasionalnya dengan sebutan Orde Baru, sebagai pengganti Orde
Lama yang dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.

E. Islam dan Negara Orde Baru: Dari Antagonistis ke Akomodatif

Naiknya Presiden Socharto melahirkan babak baru hubungan Islam dan


Negara di Indonesia. Menurut Imam Aziz, pola hubungan antara keduanya
secara umum dapat digolongkan ke dalam dua pola: antagonistis dan
akomodatif. Hubungan antagonistis merupakan sifat hubungan yang
mencirikan adanya ketegangan antara Islam dan negara Orde Baru; sedangkan
akomodatif menunjukkan kecenderungan saling membutuhkan antara
kelompok Islam dan negara Orde Baru,bahkan terdapat kesamaan untuk
mengurangi konflik antara keduanya. Namun demikian, sebelum mencapai
pola akomodatif, menurut Abdul Aziz Thaba, telah terjadi hubungan agama
dan negara Orde Baru yang bersifat resiprokal-kritis, yakni awal dimulainya
penurunan ketegangan antara agama dan negara di Indonesia.

Hubungan antagonis antara negara Orde Baru dengan kelompok Islam


dapat dilihat dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan Islam yang berlebihan
yang dilakukan Presiden Socharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari
sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok Islam, khususnya di era
1950-an.

Sikap curiga dan kekhawatiran terhadap kekuatan Islam membawa


implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan
melakukan domestikasi (pendangkalan dan penyempitan) gerak politik Islam,
baik semasa Orde Lama maupun Orde Baru. Sebagai hasil dari kebijakan
semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktivis politik Islam gagal untuk
menjadikan Islam sebagai ideologi dan/atau agama negara (pada 1945 dan
dekade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang
secara politik “minoritas” atau “outsider”. Lebih dari itu, bahkan politik Islam,
menurut Bahtiar Effendy, sering dicurigai oleh negara sebagai anti-ideologi
negara Pancasila.

Menurut Effendy, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan


negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman
keagamaan umat Islam yang berbeda. Kecenderungan menggunakan Islam
sebagai simbol politik di kalangan aktivis Muslim di awal kekuasaan Orde
Baru telah melahirkan kecurigaan dari pihak penguasa yang berakibat pada
peminggiran Islam dari arena politik nasional. Kebijakan politik kontrol dan
represif terhadap kekuatan politik Islam mewarnai arah dan kecenderungan
politik Orde Baru. Kecenderungan pendekatan pouils keamanan (sec urity

9
approaches) yang, dilakukan Orde Baru dapat ditengarai pada sejumlah
peristiwa kekerasan negara atas kelompok Islam di era 1980-an yang dianggap
sebagai penentang Asas Tunggal Pancasila ciptaan orde Baru. Kekerasan
politik dan peminggiran Islam dari pentas politik nasional yang dilakukan
rezim Orde Baru atas kekuatan Islam melahirkan kesimpulan di kalangan ahli
akan sifat antagonistis hubungan Islam dan negara Orde Baru. Sejak awal
berdirinya Orde Baru hingga awal 1980-an Islam dianggap sebagai ancaman
serius bagi keberlangsungan kekuasaan Orde Baru.

Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulum hubungan


Islam dan rezim Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-
kebijakan politik Presiden Soeharto yang dinilai positif bagi umat Islam.
Menurut Effendi,kebijakan-kebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi
perkembangan politik Islam selanjutnya baik struktural maupun kultural.

Kecenderungan akomodasi negara terhadap Islam juga—menurut Affan


Gaffar—ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang
pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan akomodasionis
umat Islam sendiri. Pemerintah mulai menyadari akan potensi umat Islam
sebagai kekuatan politik yang potensial. Adapun menurut Thaba, sikap
akomodatif negara ter hadap Islam lebih disebabkan oleh pemahaman negara
terhadap perubahan sikap politik umat Islam te: hadap kebijakan negara,
terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal Pancasila.
Perubahan sikap umat Islam pada paruh kedua 1980-an, dari ineneniang
menjadi menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara bersinergi dengan sejumlah kebijakan Orde Baru
yang menguntungkan umat Islam pada masa selanjutnya.

Pengesahan RUU Pendidikan Nasional, pengesahan RUU Peradilan


Agama,pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi Muslim di sekolah umum,
kemunculan Organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan
lahirnya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang langsung dipimp in oleh
Presiden Soeharto merupakan indikator adanya hubungan akomodatif yang
dilakukan elite penguasa Orde Baru terhadap Islam.

F. Islam dan Negara Pasca-Orde Baru : Bersama Membangun Demokrasi dan


Mencegah Disintegrasi Bangsa

Peran agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia


sangat strategis bagi proses transformasi demokrasi saat ini. Pada saat yang
sama Islam bisa berperan mencegah ancaman disintegrasi bangsa sepanjang
pemeluknya mampu bersikap inklusif dan toleran terhadap kodrat
kemajemukan Indonessia.Sebaliknya, jika umat Islam bersikap eksklusif dan
cenderung memaksakan kehendak, dengan alasan mayoritas, tidak mustahil

10
kemayoritasan umat Islam akan lebih berpotensi menjelma sebagai ancaman
disintegrasi daripada kekuatan integrative bangsa.

Dalam konteks konsolidasi demokrasi setelah lengsernya Orde


Baru yang otoriter, umat Islam seyogianya memandang dan menjadikan
kesepakatan (agreement) di antara kalangan nasionalis sekuler dan nasionalis
Muslim untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara NKRI sebagai
komitmen kebangsaan yang harus tetap dijaga dipertahankan sampai kapan
pun. Kesepakatan tersebut harus dipandang sebagai komitmen suci (sacred
commitment) para pendiri bangsa (founding fathers) yang harus dilestarikan
sepanjang masa oleh semua warga bangsa. Komitmen untuk menjaga
kesepakatan para pendiri bangsa inilah masa depan demokrasi Indonesi harus
diletakkan dalam tataran Indonesia yang plural dalam bingkai Negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Karenanya, bersandar pada komitmen kebangsaan
ini adalah sangat tidak relevan, bahkan ahistoris, jika dijumpai segelintir
individu maupun kelompok dalam umat Islam yang hendak mengusung
gagasan atau ide Negara agama. Hal ini selain tidak sejalan dengan prinsip
kebinekaan dan demokrasi, tetapi juga mengkhianati kesepakatan para pendiri
bangsa yang di antara mereka adalah para tokoh umat Islam yang telah
disebutkan di atas. Dengan ungkapan lain, konsep NKRI dan pancasila dengan
kebinekaannya adalah tidak bisa dilepaskan dari ijtihad kelompok Islam
Indonesia yang harus dijaga, dilestarikan, dan diaktualisasikan dengan
pengembangan ajaran-ajaran Islam yang berwawasan inklusif, kemanusiaan,
keadilan, dan keindonesiaan. Hal serupa berlaku pula bagi Negara. Ia memiliki
kewajiban konstitusional untuk menjamin kemajemukan dan demokrasi di
Indonesia. Penyelenggara Negara (pemerintah) harus tetap menjaga dan
mengawal sunnatullah kebinekaan Indonesia yang telah dijamin oleh
konstitusi Negara, dengan menindak tegas segala anasir yang mereduksi
kebinekaan Indonesia dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun demikian, Negara pun berpotensi menjadi ancaman bagi


proses demokrasi jika ia tampil sebagai kekuasaan represif dan mendominasi
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana terjadi di
masa yang lalu. Lahirnya kekuatan demokrasi yang diperankan oleh berbagai
komponen Masyarakat Madani di Indonesia, seperti LSM, ormas social
keagamaan, partai politik, mahasiswa, pers, asosiasi profesi, dan sebagainya,
harus disikapi oleh Negara sebagai instrument penting dalam sebuah Negara
demokrasi Indonesia. Keberadaan elemen-elemen demokrasi tersebut harus
didorong menjadi kekuatan vital bagi proses demokratisasi di Indonesia dan
penjaga empat consensus kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika.

11
Untuk mewujudkan pola hubungan yang dinamis antara agama dan
negara di Indonesia, kedua komponen Indonesia tersebut seyogianya
mengedepankan cara-cara dialogis manakala terjadi perselisihan pandangan
antara kelompok masyarakat Sipil atau antara warga negara dengan negara.
Untuk menopang tumbuhnya budaya dialog negara sebagai komponen penting
di dalamnya harus menyediakan fasilitas-fasilitas demokrasi, seperti kebebasan
pers, kebebasan berorganisasi,bebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat,
serta peningkatan fasilitas umum maupun kawasan publik bebas (free public
sphere) untuk memfasilitasi beragam opini warga negara.

Pada saat yang bersamaan, unsur-unsur masyarakat sipil di atas dituntut


untuk bertanggung jawab dalam menggunakan hak-hak kebebasannya secara
santun dan beradab. Perilaku santun dalam berdemokrasj dapat diwujudkan
melalui sikap menghindarkan diri dari tindakan main hakim sendiri, lebih-lebih
dengan mengatasnamakan agama, kelompok, maupun partai politik tertentu,
untuk memaksakan kehendak individu maupun kelompok. Searah dengan
prinsip dialogis dalam mengungkapkan pendapat, peranan pers dan kelompok
intelektual (cendekiawan, dosen, guru, dan mahasiswa) dalam menyuarakan
pendapat publik secara santun dan tertib adalah mutlak dalam rangka praktik
berdemokrasi di Negara Pancasila.

Tindakan main hakim sendiri ‘sangatlah berlawanan dengan Prinsip


demokrasi yang lebih mengedepankan cara-cara musyawarah atau
menyerahkan segala sengketa hukum antarwarga negara maupun antara warga
negara dengan negara kepada lembaga hukum. Sikap mengancam atau merusak
fasilitas umum dalam mengeluarkan pendapat, lebih-lebih menggantikan peran
penegak hokum atau melakukan tindakan teror terhadap aparat hukum dalam
mengungkapkan pandangan dan keinginan, sama sekali bertentangan dengan
semangat demokrasi dan keseimbangan hak dan kewajiban warga negara
dalam negara demokrasi. Tentu saja, sikap destruktif juga sangat bertentangan
dengan ajaran semua agama dan ideology Pancasila.

Dengan ungkapan lain, negara dan agama, melalui kekuatan masyarakat


sipil adalah dua komponen utama dalam proses membangun demokrasi di
Indonesia yang berkeadaban. Dua kompouen ini memiliki peluang yang sama
untuk menjadi komponen strategis dalam pembangunan masa depan Indonesia,
pembangunan masa depan demokrasi Indonesia. Membangun demokrasi
adalah proses membangun kepercayaan (trust) di antara sesama warga negara
maupun antara warga negara dan negara. Demokrasi yang dicita-citakan para
pendiri bangsa Indonesia adalah tidak sekadar kebebasan tanpa batas, tetapi
kebebasan yang bertanggung jawab. Agama, seperti diyakini oleh pemeluknya,
banyak mengandung ajaran moral tentang tanggung jawab individu dan sosial.

12
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Hubungan agama dan Negara di Indonesia lebih menganut pada asas


keseimbangan yang dinamis, jalan tengah antara sekulerisme dan teokrasi.
Keseimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan agama dan politik, namun
masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannya. Agama tetap
memiliki daya krisis terhadap Negara dan Negara di Indonesia membantu apa
yang disebut oleh banyak kalangan sebagai hubungan simbiotil-mutualita.

B. Saran

Penulis berharap dengan makalah ini bisa menambah wawasan dan


ilmu pengetahuan tentang apa itu dan bagaimana hubungan antara agama dan
Negara.Sebagai penganut agama dan warga negara diharapkan kita bisa
berpegang teguh terhadap tata nilai yang ada dalam ajaran agama dan aturan
dalam menjalin hubungan dengan individu yang lain dalam masyarakat
mewujudkan tujuan bersama.

13
Daftar Pustaka

Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi,


Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Rev. Ed). Jakarta: ICCE
UIN Syarif Hidayatullah, 2006.

14

Anda mungkin juga menyukai