Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KELOMPOK 2

Konsep Negara Islam, Negara Muslim dan Tujuannya

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Siyasah
Lanjutan

Dosen Pengampu :

Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si

Disusun Oleh :

Muhammad Meivaldy Hardiawan (11220453000023)

Firdaus Muhammad Akmal Tsaqaufi (112204530000035)

Muhammad Agung Mujiburrahman (11220453000034)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah


SWT. Yang telah memberikan ilmu – ilmu-Nya mengenai Al-Qur’an Yang Mulia
untuk membantu dalam menafsirkan tanda – tanda-Nya agar kita senantiasa
bertambah keimanan serta kecintaan kepada-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi
SAW, yang telah membantu dalam menafsirkan ayat – ayat Al-Qur’an melalui
Asbabun – Nuzul yang telah disusun oleh para ulama sejak Nabi SAW wafat.
Adapun makalah ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin
dan tentunya dengan kerjasama tim yang baik. Kami sebagai penulis
mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Fiqih Siyasah
Lanjutan , Ibu Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si. yang telah memberikan kami
pengalaman dalam kepenulisan tugas ini. Semoga ilmu yang telah bapak berikan
bisa bermanfaat bagi kehidupan kami dikemudian hari dan juga bisa berguna bagi
orang – orang sekitar.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna
sehingga penulis menerima saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Ciputat, 15 Maret 2024

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................3

BAB I.......................................................................................................................4

PENDAHULUAN...................................................................................................4

A. Latar Belakang..............................................................................................4

B. Rumusan Masalah.........................................................................................5

C. Tujuan............................................................................................................5

BAB II......................................................................................................................6

PEMBAHASAN......................................................................................................6

A. Konsep Negara Islam dan Negara Muslim...................................................6

B. Tiga Paradigma/ Pola Hubungan Agama dan Negara.................................10

C. Tujuan Didirikannya Negara Islam.............................................................13

BAB III..................................................................................................................17

PENUTUP.............................................................................................................17

A. Kesimpulan..................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Islam menjadi salah satu tema penting dalam studi-studi
ilmu sosial dan ilmu politik. Negara Islam atau disebut Islamic State
(Dawlah Islamiyyah) oleh sebagian pakar memunculkan banyak
persoalan, terutama mengenai eksistensinya di abad modern.
Permasalahan yang timbul mulai dari pemaknaan serta pemakaian
peristilahan Negara Islam dalam studi-studi ilmu politik, hingga hubungan
agama (Islam) dengan politik sebagaimana yang dibangun gagasannya
oleh banyak pakar Islam.
Negara Islam dalam beberapa rumusan dimaknai sebagai suatu
negara atau wilayah hukum yang sistem operasionalnya berdasarkan
syariat Islam.1 Nurcholish Madjid, seperti dikutip oleh Bahtiar Effendy,
istilah negara Islam atau dawlah al-Islamiyyah) tidak memiliki dasar
berpijak dalam sejarah politik Islam. 2. Maknanya bahwa konsep negara
Islam hanya merupakan gagasan-gagasan dan ide yang belum terkonsep
secara matang, atau sekurang-kurangnya, konsep negara Islam hanyalah
bentukan dari gagasan masyarakat Islam tanpa ada dasar rujukannya
yang tegas dan jelas di dalam Alquran maupun hadis. Oleh sebab itu,
kesimpulan mengenai negara Islam ini muncul dari ide dan gagasan
pemikir Islam.
Membicarakan negara Islam, tidak dapat dilepaskan dari
keterkaitan antara agama dan negara/politik, yang merupakan dua
variabel dan secara parsial memiliki minimal empat kemungkinan
hubungan, yaitu hubungan konflik, independensi, dan dialog, serta
hubungan integrasi. Hubungan konflik bermakna di antara agama dan
politik merupakan dua kutub berbeda, saling menafikan. Hubungan
independensi bermakna keduanya memiliki kemandirian masing-masing

1
Abdul Manan, Perbandingan Politik Hukum Islam dan Barat, Cet. 2, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 42
2
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm. 214.

4
dan tidak bisa disatukan atau sekurang-kurangnya mempunyai wilayah
pengaturan yang berbeda. Hubungan dialog merupakan ada
kemungkinan antara keduanya untuk dapat menyelesaikan permasalahan
yang sedang dihadapi. Sementara hubungan integrasi bermakna pada
keduanya terdapat hubungan yang tidak dapat dipisahkan, setidak-
tidaknya mampu dikatakan antara satu sama lain saling mendukung.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Negara Islam dan Negara Muslim?
2. Bagaimana Hubungan antara agama dan negara?
3. Apa tujuannya didirikan Negara Islam?

C. Tujuan
1. Mengetahui Konsep Negara Islam dan Negara Muslim
2. Mengetahui Hubungan antara agama dan Negara
3. Mengetahui tujuan didirikannya Negara Islam
4.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Negara Islam dan Negara Muslim


1. Pengertian Negara Islam
Frasa “negara Islam”, dibentuk dari dua kata, yaitu negara dan
Islam. Kata negara secara umum dimaknai sebagai suatu lembaga,
atau organisasi dalam suatu wilayah, memiliki kekuasaan tertinggi
yang sah secara hukum, ditaati oleh rakyat. Dalam makna lain, negara
adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu
yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan yang
efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak
menentukan tujuan nasionalnya3.Dapat dipahami, negara adalah
sebuah organisasi besar, kelompok sosial yang melembaga,
mempunyai tujuan politik dan kekuasaan.

Menurut istilah, terdapat beragam rumusan para ahli. Inu Kencana


Syafiie mengutip dua puluh pendapat para ahli terkait definisi negara.
Empat di antaranya yaitu sebagai berikut4 :
1. Menurut Aristoteles, negara adalah persekutuan dari keluarga
dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.
2. Menurut Jean Bodin, negara ialah suatu persekutuan dari
keluarga-keluarga dengan kepentingan yang dipimpin oleh akal dari
satu kuasa yang berdaulat.
3. Menurut Sumantri, negara adalah suatu oraganisasi kekuasaan
karenanya di dalam setiap organisasi yang bernama negara selalu
dijumpai adanya organ atau alat perlengkapan yang mempunyai
kemampuan untuk memaksakan kehendaknya ke siapa pun yang
bertempat tinggal di wilayah kekuasaannya.

3
Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Pustaka Phoenix,
2009), hlm. 371.
4
Inu Kencana Syafiie, Alquran dan Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, t.t), hlm. 141-
144.

6
4. Menurut Djokosoetono, negara adalah suatu oraganisasi
manusia, atau kompulan manusia-manusia yang berada di bawah
suatu pemerintah yang sama.

Kata kedua yaitu Islam. Kata Islam merupakan istilah yang diserap
dari bahasa Arab. Asal kata Islam yaitu aslama-yuslimu-islaman, yang
akarnya dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk maṣdar, dari
kata aslama. Secara etimologi berarti penyerahan total pada Allah,
bersih dan suci, selamat dan sejahtera, berserah diri, tunduk dan
patuh. Islam juga lazim dinisbatkan kepada nama sebuah agama.

Secara terminologi, Islam berarti pengakuan dengan lisan,


meyakini dengan hati dan berserah diri pada Allah atas semua yang
telah ditentukan dan ditakdirkan. Dalam rumusan lain, Islam ialah
berserah diri pada Allah dengan mentauhidkannya, tunduk dan patuh
dengan ketaatan, dan berlepas diri dari perbuatan syirik serta
pelakunya5. Jadi Islam merupakan ajaran yang mengajarkan berserah
diri kepada Allah dan hanya mentauhidkan Allah Swt.

Sedangkan frasa “negara Islam”, memiliki makna tersendiri.


Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Negara Islam merupakan negara
yang setiap perilaku politiknya didasarkan atas nilai-nilai atau ajaran
agama Islam yang bersumber pada al-Quran dan hadis Nabi
Muhammad saw.

Dalam bahasa Arab, negara Islam pertama kali disebutkan


sebagai sebagai amr, kemudian beralih pada sebutah sultan, kemudian
nama kesultanan berkembang dan dimutlakkan dengan nama
mamlakah, hingga pada akhirnya menelurkan istilah daulah, terutama
pada masa kerajaan dinasti Abbasiyah. Adapun istilah daulah juga
berasal dari bahasa Arab artinya beredar, berputar, berubah, berganti
dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Dalam makna lain berarti

5
Deni Irawan, “Islam dan Peace Building”. Jurnal Religi. Vol. X, No. 2, Juli 2014, hlm.
160.

7
“sesuatu yang ada ditangan yang satu dan kelihatan di tangan yang
lain”
Menurut Qamaruddin Khan, dikutip oleh Dawam Rahardjo,
mengemukakan dengan singkat bahwa negara Islam atau daulah
adalah sebuah kedaulatan ataupun pemerintahan.16

Menurut Setiawan, daulah adalah perkumpulan sejumlah orang


untuk merealisasikan kekuasaan atas kawasan tertentu yang memiliki
batsan dan penduduk sehingga terbentuklah pucuk pimpinan dalam
bentuk seorang penguasa atau khalifah.

2. Konsep Negara Islam


Sebagian pemikir berpendapat bahwa Islam dan negara
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedudukan
negara dalam Islam sangat penting, karena menegakkan hukum Islam
dalam kehidupan masyarakat secara sempurna dan efektif melalui
negara. Al-Mawardi mengatakan, “Kekuasaan dengan dibarengi
agama akan kekal, dan agama dibarengi dengan kekuasaan akan
kuat”.

Adanya persoalan bersama itu menunjukkan bahwa manusia


merupakan makhluk sosial yang saling bekerja sama dan membantu
satu sama lain. Bagi al-Mawardi, Allah menciptakan manusia sebagai
makhluk yang memiliki kelemahan, yaitu tidak mampu memenuhi
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain, sehingga
mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu, juga agar
manusia tidak sombong dan arogan. Kelemahan ini mendorong
manusia untuk hidup berkelompok, bersatu, saling membantu, dan
berusaha, sehingga akhirnya akan mendorong manusia untuk
membentuk suatu negara (a state). Artinya, lahirnya sebuah negara
berawal dari keinginan manusia untuk mempertemukan
kebutuhankebutuhan umum mereka, dan juga berasal dari tuntutan
akal sehat mereka yang memberi inspirasi untuk hidup saling
membantu dan mengelola kelompoknya.6

6
Munawir Sjadzali, Islam and Govermental System, (Jakarta: INIS, 1991), 43

8
Dalam pandangan al-Mawardi, untuk negara bisa berdiri
memerlukan 6 Unsur7:

1. Menjadikan Agama sebagai pedoman. Agama dibutuhkan


sebagai pengontrol nafsu dan penuntun hati nurani manusia. Agama
merupakan fondasi yang kokoh untuk menciptakan kemakmuran dan
kedamaian negara Agama yang dihayati sebagai pengendali hawa
nafsu atau sebagai pengontol diri, karena Kontrol diri yang baik
tentunya akan menghasilkan kekuatan karakter, memerlukan
pengendalian diri.

2. Penguasa yang kharismatik, berwibawa dan dapat dijadikan


teladan. Dengan begitu ia bisa mempersatukan aspirasi-aspirasi yang
berbeda-beda (heterogen); membina negara untuk mencapai tujuan
luhur, menjaga agar agama dihayati serta diamalkan, dan melindungi
rakyat, kekayaan, serta kehormatan mereka. Dalam kondisi konteks ini
penguasa adalah imam atau khalifah.

3. Keadilan yang menyeluruh. Dengan menyeluruhnya keadilan


akan tercipta keakraban antara sesama warga negara, menimbulkan
rasa hormat dan ketaatan kepada pimpinan, menyemarakkan
kehidupan rakyat dan membangunkan minat rakyat untuk berkarya dan
berprestasi. Keadilan dalam arti luas, keadilan terhadap bawahan,
atasan, dan mereka yang setingkat, karena dengan adanya sikap adil
dapat berfungsi menegakkan sesuatu yang salah, meluruskan sesuatu
yang bengkok , memperbaiki semua yang rusak, Sebagai Pilar
kekuatan bagi yang lemah.Keadilan juga akan menciptakan persatuan,
membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negeri yang akhirnya
mengamankan kedudukan penguasa. Keadilan harus dimulai dari diri
sendiri yang tercermin pada melakukan kebaikan dan meninggalkan
perbuatan buruk, kemudian berlaku adil pada orang lain.

4. Keamanan universal. Karena dengan kemanan menyeluruh


akan memberikan kedamaian batin bagi masyarakat, dan pada
akhirnya mendorong masyarakat untuk berinisiatif dan berkreasi dalam
membangun negara.Stabilitas keamanan, dengan begitu dapat

7
Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, Cet. 4, 1999), 227

9
mengalokasikan dengan cara terkendali dan merata, guna agar
tercapainya pembangunan Negara dengan baik.

5. Kesuburan tanah air yang berkelanjutan. Dengan tanah yang


subur akan memperkuat inisiatif masyarakat untuk menyediakan
pangan dan kebutuhan ekonomi lainnya sehingga konflik antar warga
dapat dikurangi dan karena dengan Kesuburan tanah (lahan) yang
berkesinambungan, agar menunjang perekonomian Masyarakatnya
tetap dalam keadaan Baik. (Syam, 2017: 490)

6. Harapan bertahan dan mengembangkan kehidupan.


Kehidupan manusia melahirkan generasi-generasi masa depan.
Generasi sekarang harus mempersiapkan sarana dan prasarana,
struktur dan infrastruktur bagi generasi mendatang. Orang yang tidak
mempunyai harapan bertahan (hope of survival) maka ia tidak
mempunyai semangat dan usaha untuk hidup mapan, Harapan
kelangsungan hidup, karena salah satu cara mengukur kemajuan
suatu negara, tidak hanya bergantung pada indikator ekonomi saja,
namun juga berdasarkan demensi pengembangan manusiannya,
manusia yang berumur panjang pengetahuan,dengan tujuan hidup
yang tinggi.

Melalui enam sendi di atas diharapkan negara benar-benar


mengupayakan segala cara untuk menjaga persatuan umat dan saling
tolong menolong sesama mereka, memperbanyak sarana kehidupan
yang baik bagi setiap warga, sehingga seluruh rakyat dapat menjadi
laksana bangunan yang kokoh. Pada waktu yang sama memikul
kewajiban dan memperoleh hak tanpa adanya perbedaan antara
penguasa dan rakyat, antara yang kuat dan yang lemah, dan antara
kawan dan lawan8.

B. Tiga Paradigma/ Pola Hubungan Agama dan Negara


Hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah
peradaban umat manusia. Hubungan antara keduanya telah melahirkan
kemajuan besar dan menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya,
baik ketika negara ber-tahta di atas agama pra abad pertengahan, ketika
negara di bawah agama di abad pertengahan atau ketika negara terpisah
dari agama setelah abad pertengahan, atau di abad modern sekarang
ini.Secara garis besar para sosiolog teoretisi politik Islam me-rumuskan

8
Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, Cet. 2, 1997), 83

10
teori-teori tentang hubungan agama dan negara serta membedakannya
menjadi tiga paradigma yaitu paradigma integralistik, paradigma
simbiotik, dan paradigma sekularistik.
1. Paradigma Integralistik
Dalam pengertian ini, paham integralistik memberikan suatu
prinsip bahwa negara adalah suatu kesatuan yang integral dari unsur-
unsur yang menyusunnya, negara mengatasi semua golongan bagian-
bagian yang membentuk negara, negara tidak memihak pada suatu
golongan betapapun golongan tersebut sebagai golongan terbesar.
Negara dan bangsa adalah untuk semua unsur yang membentuk
kesatuan tersebut.
Paradigma integralistik dalam konteks kajian toleransi umat
beragama, dimaknai sebagai paham dan konsep hubungan antar umat
beragama yang toleran. Dalam paradigma integralistik, upaya
mewujudkan toleransi umat beragama memerlukan kerjasama dan
peran dari semua pihak, termasuk pemerintah dan tokoh agama. Hal
ini karena, agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak
dapat tidak dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang
menyatu (interated). Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara
merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal
pemisahan antara agama dan politik atau Negara. Konsep seperti ini
sama dengan konsep teokrasi.
Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-
negara. Yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan
menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian
paradigma integralistik dikenal juga dengan paham Islam: din wa
dawlah. Yang sumber positifnya adalah hukum agama. Paradigma
integralistik ini anatara lain dianut oleh kelompok Islam Syi’ah. Hanya
saja Syi’ah tidak menggunakan term dawlah tetapi dengan term
imamah.9
2. Paradigma Simbiotik

9
Muhammad Noupal dan Erina Pane, Paradigma Integralistik dan Toleransi Umat
Beragama di Kota Palembang, Intizar, Volume 23, Nomor 1, 2017

11
Menurut Syafi’i Maarif agama dan negara adalah sebuah
konsepsi Simbiosis Mutualisme.Islam membutuhkan instrumen yang
disebut negara. Negara dibutuhkan guna menyokong agama. Bagi
Ahmad Syafi’i Maarif,negara merupakanalat yang penting bagi
agama.Namun demikian, agama (Islam) tidak harus atau dijadikan
dasar negara. Aspirasi politik hendaknya bukan menjadikan Islam
sebagai dasar negara dan memformalisasikan Syariat Islam, akan
tetapi menjalankan kehidupan atas dasar kebersamaan dan
musyawarah (syûrâ). Hal ini sejalan dengan pesan Al-Qur’an yang
menghendaki terciptanya masyarakatyang egaliter dengan
10
menjalankan mekanisme syûrâ(mutual consultation).
3. Paradigma Sekuleristik
Paradigma ini memisahkan agama atas negara dan memisahkan negara
dari agama. Dengan pengertian ini secara tidak langsung akan
menjelaskan bahwa paradigma ini menolak kedua paradigma
sebelumnya. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran
negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam pada
bentuk negara tertentu. 11Lebih jelasnya, negara dan agama terpisah masing-
masing mempunyai fungsi sendiri dan wilayah sendiri. Agama di wilayah privat
(pribadi), sedang-kan negara di wilayah publik (sosial).
Hubungan antara Agama Dan Negara
Pada era kontemporer, anggapan para pemikir politik Islam mengenai
pemerintahan, paling tidak mengerucut kedalam tiga ke-lompok. Pertama,
kelompok konservatif, yang berasumsi bahwa Islam adalah entitas yang
serba lengkap (perfect), seluruh umatnya hanya tinggal mempraktikkan
secara konsekuen dan bertanggungjawab, kapan dan dimanapun mereka
berada. Sistem pemerintahan dan politik yang digariskan Islam tak lain hanya
sistem yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw.dan empat
al-khulafā’ ur-rasyidun. Kelompok ini secara spesifik terbagi lagi kedalam
dua aliran yakni tradisionalisme danfundamentalisme. 12 Agama dan negara
10
Muhammad Wahdini, PARADIGMA SIMBIOTIK AGAMA DAN NEGARA(STUDI
PEMIKIRAN AHMAD SYAFI’I MAARIF), Journal of Islamic Law and StudiesVol. 4 No.
1 Juni 2020
11
Marzuki Wahid & Rumaidi, Fiqh Madzhab Negara:Kritik Atas Politik Hukum
Islam Di Indonesia(Yogyakarta: LkiS, 2001), hal 2
12
Kalangan tradisionalis, adalah mereka yang tetap ingin mempertahankan tradisi
pemerintahan ala Nabi dan keempat khalifah, dan tokoh sentral dari kalangan
ini adalah Muhammad Rasyid Ridha. Kalangan fundamentalis, adalah mereka yang
ingin melakukan reformasi sistem sosial, sistem pemerintahan dan negara untuk

12
ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya.
Kedua, kelompok modernis. Kelompok ini memandang bahwa Islam
mengatur masalah keduniaan (termasuk pemerintahan dan ne-gara) hanya
pada tataran nilai dan dasar-dasarnya saja dan secara teknis umat bisa
mengambil sistem lain yang dirasa bernilai dan bermanfaat. Diantara
tokoh kelompok ini adalah Muhammad „Abduh, Muhammad Husain Haikal dan
Muhammad As‟ad.13Negara dan agama tidak sa-ling mengatasi atau
membawahi, tetapi tidak dipisahkan secara mutlak. Ketiga, kelompok sekuler.
Yang memisahkan Islam dengan urusan pemerintahan, karena mereka
berkeyakinan bahwa Islam tidak mengatur masalah keduniawian termasuk
pemerintahan dan negara. Tokoh aliran ini yang paling terkenal adalah
„Ali „Abd ar-Raziq.14 Negara dan agama terpisah,masing-masing mempunyai
fungsi sendiri dan wilayah sendiri. Agama di wilayah privat (pribadi),
sedangkan ne-gara di wilayah publik (sosial).
Terlepas dari segala perbedaannya, ketiga kelompok ini sama-sama
berusaha merespon tantangan sistem politik dan pemerintahan barat,
seperti nasionalisme, demokrasi, liberalisme dan sebagainya, serta nilai-nilai
dasar yang melatarinya seperti persamaan, kebebasan, pluralisme dan
sebagainya. Respons mereka bisa berupa penolakan total, penerimaan
seratus persen atau penerimaan dengan penyesuaian di sana-sini
C. Tujuan negara pemerintah Islam
Yusuf al-Qaradhawi menyatakan bahwa ada empat tujuan
pemerintahan Islam15 yaitu :
Pertama, Pemerintahan Islam tidak bertujuan untuk menguasai
lahir bathin tetapi untuk memelihara dan melindungi rakyat seperti dalam
hadist
“Dari Ibnu Umar r.a, telah bersabda Nabi SAW., setiap kamu itu adalah
pemimpin dan setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas yang
dipimpinnya. Seorang imam yang mempin rakyat bertanggung jawab

kembali kepada konsep Islam secara total dan menolak konsep lainnya, dan
Abu al-A‟la al-Maududi adalah salah satu tokoh utamanya. Lihat, Masykuri
Abdilah, Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif Sejarah
danDemokrasi Modern (tk: tp, 2000), 103.
13
Ibid
14
Ibid
15
Yusuf al-Qaradhawi, at-Tathorruf al-Ilmani fi Muwajahati al-Islam, (Kairo: Dar al-
Syuruq, 2008), hlm. 86.

13
terhadap rakyatnya dan setiap suami bertanggun jawab atas rumah
tangganya.”
Kedua, menunaikan amanat kepada pemiliknya 16:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.
Dalam beberapa riwayat hadits disebutkan, bahwa barang siapa
yang menyerahkan suatu tugas kepada orang lain padahal ada orang
yang lebih layak dari padanya berarti aia mengkhianati Allah, Rasul dan
kaum muslimin.
Ketiga, menegakkan keadilan bagi ummat manusia 17, firman Allah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.
Keempat, mengokohkan agama di muka bumi sebagai tujuan yang
paling utama, dengan menanamkan akidah, menegakkan hudud dan
mengaplikasikan hukum dan pesan-pesannya, sebagaimana diisyaratkan
oleh sebuah ayat saat mensifati orang yang berhak mendapatkan
pertolongan sebagaimana firman Allah SWT : “(yaitu) orang-orang yang
jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf
dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah
kembali segala urusan.(Al-Hajj :41)”. Empat perkara inilah yang
merupakan tujuan pokok pemerintahan Islam di mana Rasul pernah
mempraktekannya ketika berada di Madinah18.
Untuk merealisasikan tujuannya, Yusuf al-Qaradhawi
menegaskan bahwa pemerintahan Islam hanya melakukan cara
manusiawi dan tetap memegang teguh moral, dengan menghormati
harga diri manusia, kedudukan dan kemerdekaannya, cara-cara itu yaitu
dakwah dan pencerdasan, Tarbiyah (pendidikan dan pembinaan),
penyiapan dan pelatihan, pemeliharaan dan penyucian, pembuatan
undang-undang, penataan dan pengorganisasian, memberi imbalan
kepada orang yang telah berbuat baik, memberi peringatan kepada yang
16
Ibid
17
Ibid, hal 87
18
Ibid, Hal 86-87

14
berbuat salah (dalam batas-batas syari`at), memelihara mashalahat
dengan kaidah-kaidahnya, membasmi berbagai macam kerusakan
dengan memperhatikan syarat-syaratnya, Saadu al-Dzari`ah (menutup
celah) yang menuju kepada kerusakan dan kejahatan19. Hal ini memiliki
kesamaan gagasan dengan paham konstitusi negara hukum yaitu
adanya, pembatasan atas kekuasaan dan jaminan hak dasar warga
negara.
Allah telah menjelaskan beberapa maksud dan tujuan dari pemerintahan
islam, yakni :
1. Memelihara agama Negara, terutama khalifah, bertanggungjawab untuk
memelihara akidah islam. Dalam hal ini dilakukan dengan
mengoptimalkan wewenang yang telah diberikan oleh syara kepadanya.
2. Mengatur urusan masyarakat dengan cara menerapkan hukum syara
kepada mereka tanpa membeda-bedakan antara satu individu dengan
yang lainnya.
3. Menjaga negara dan umat dari orang- orang yang merongsong(negara).
Caranya dengan melindungi batas-batas negara mempersiapkan
pasukan militer yang kuat dan senjata canggih untuk melawan musuh,
sebagaimana yang telah di lakukan oleh Rasul saw
4. Menyebarkan dakwah islam kepada segenap manusia di luar wilayah
Daulah, yaitu dengan cara menjalankan jihad sebagaimana yang
dilakukan Rosulullah pada beberapa peperangan; misalnya penaklukan
Makkah dan perang Tabuk
5. Menghilangkan pertentangan dan perselisihan di antara anggota
masyarakat dengan penuh keadilan

Tugas negara
Tugas Negara dalam Islam memiliki tiga tugas utama yang harus dijelaskan,
yaitu:
1. Menegakkan dan memastikan pelaksanaan zakat supaya
tersampaikan pada mustahiq.

At-Taubah: 103
‫ُخ ْذ ِمْن َأْم َٰو ِلِه ْم َص َد َقًة ُتَط ِّهُرُه ْم َو ُتَز ِّك يِه م ِبَه ا َو َص ِّل َع َلْي ِه ْم ۖ ِإَّن َص َلٰو َت َك َس َك ٌن َّلُهْم ۗ َو ٱُهَّلل َس ِم يٌع َع ِليٌم‬
Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
2. Melaksanakan ajaran jihad atau pertahanan.

19
Undang Hidayat, Negara Hukum dan Politik Hukum Islam di Indonesia : Catatan
Kritis atas Pemikiran Nurcholish Majid, Jurnal Asy-Syari’ah, Volume 17 No. 3
Desember 2015, hlm. 262

15
Al-Anfal: 60.
‫َو َأِع ُّدو۟ا َلُهم َّما ٱْس َت َط ْع ُتم ِّمن ُقَّو ٍة َو ِمن ِّر َباِط ٱْلَخ ْي ِل ُتْر ِهُبوَن ِبِهۦ َع ُد َّو ٱِهَّلل َو َع ُد َّو ُك ْم َو َء اَخ ِر يَن ِمن ُد وِنِه ْم اَل َت ْع َلُم وَن ُهُم‬
‫ٱُهَّلل َي ْع َلُمُهْم ۚ َو َم ا ُتنِفُقو۟ا ِمن َش ْى ٍء ِفى َس ِبيِل ٱِهَّلل ُيَو َّف ِإَلْي ُك ْم َو َأنُتْم اَل ُتْظ َلُموَن‬
Artinya:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang
orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Tugas kedua ini, merupakan petunjuk untuk menyelenggarakan pertahanan
dan menjamin kelangsungan eksistensi negara.
3. Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar

Ali Imaran: 103


‫َٰٓل‬
‫َو ْلَت ُك ن ِّمنُك ْم ُأَّم ٌة َي ْد ُعوَن ِإَلى ٱْلَخ ْي ِر َو َي ْأُمُروَن ِبٱْلَم ْع ُروِف َو َي ْن َه ْو َن َع ِن ٱْلُمنَك ِر ۚ َو ُأ۟و ِئَك ُه ُم ٱْلُم ْف ِلُحوَن‬
Artinya:
Dan mustilah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.
‫ «َم ْن َر َأى ِم ْنُك ْم ُم ْن َك رًا َف ْلُيَغ ِّي ْر ُه‬:‫ َس ِمْع ُت َر ُس وَل ِهللا ﷺ َي ُق ْو ُل‬: ‫ َق اَل‬،‫َع ْن َأِبي َس ِعْيٍد الُخ ْد ِر ِّي َر ِض َي ُهللا َع ْن ُه‬
‫ َف ِإْن َلْم َي سَت ِط ْع َف ِبَقْلِبِه َو َذ ِلَك َأْض َع ُف اِإلْي َم اِن » َر َو اُه ُمْس ِلٌم‬،‫ َف ِإْن َلْم َي سَت ِط ْع َفِبِلَس اِنِه‬،‫ِبَي ِدِه‬
Artinya:
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian
melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah
dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan
selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Sedangkan tugas ketiga ini merupakan hakikat tertib hukum civil dalam Islam.
Tanpa tertib hukum civil, keamanan dan kedamaian tidak akan tercapai
dengan baik.20

20
https://www.lintasparlemen.com/tiga-tugas-negara-dalam-islam/

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Negara Islam merupakan negara yang setiap perilaku politiknya
didasarkan atas nilai-nilai atau ajaran agama Islam yang bersumber pada al-
Quran dan hadis Nabi Muhammad saw.
Dalam pandangan al-Mawardi, untuk negara bisa berdiri memerlukan 6
Unsur: Pertama, Menjadikan Agama sebagai pedoman, Kedua, Penguasa
yang kharismatik, berwibawa dan dapat dijadikan teladan, Ketiga, Keadilan
yang menyeluruh, Keempat, Keamanan universal, Kelima, Kesuburan tanah
air yang berkelanjutan, Keenam, Harapan bertahan dan mengembangkan
kehidupan. Kehidupan manusia melahirkan generasi-generasi masa depan.
Melalui enam sendi di atas diharapkan negara benar-benar
mengupayakan segala cara untuk menjaga persatuan umat dan saling tolong
menolong sesama mereka, memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi
setiap warga, sehingga seluruh rakyat dapat menjadi laksana bangunan yang
kokoh. Pada waktu yang sama memikul kewajiban dan memperoleh hak
tanpa adanya perbedaan antara penguasa dan rakyat, antara yang kuat dan
yang lemah, dan antara kawan dan lawan.
Secara garis besar para sosiolog teoretisi politik Islam me-rumuskan
teori-teori tentang hubungan agama dan negara serta membedakannya
menjadi tiga paradigma yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik,
dan paradigma sekularistik. Pertama, paradigma integralistik. Paradigma
ini menerangkan bahwa agama dan negara menyatu (integrated), negara
merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus, politik atau negara
ada dalam wilayah agama.
Kedua, paradigma simbiotik. Dalam paradigma ini agama dan negara
berhubungan secara simbiotik, yaitu suatu hubungan yang ber-sifat timbal
balik dan saling memerlukan.
Ketiga, paradigma sekularistik. Paradigma ini memisahkan agama
atas negara dan memisahkan negara dari agama. Dengan pe-ngertian ini
secara tidak langsung akan menjelaskan bahwa paradigma ini menolak
kedua paradigma sebelumnya.

17
Yusuf al-Qaradhawi menyatakan bahwa ada empat tujuan
pemerintahan Islam yaitu :
Pertama, Pemerintahan Islam tidak bertujuan untuk menguasai lahir
bathin tetapi untuk memelihara dan melindungi rakyat seperti dalam hadist
“Dari Ibnu Umar r.a, telah bersabda Nabi SAW., setiap kamu itu adalah
pemimpin dan setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.
Seorang imam yang mempin rakyat bertanggung jawab terhadap rakyatnya
dan setiap suami bertanggun jawab atas rumah tangganya.”
Kedua, menunaikan amanat kepada pemiliknya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Ketiga, menegakkan keadilan bagi ummat manusia 21, firman Allah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
Keempat, mengokohkan agama di muka bumi sebagai tujuan yang
paling utama, dengan menanamkan akidah, menegakkan hudud dan
mengaplikasikan hukum dan pesan-pesannya, sebagaimana diisyaratkan oleh
sebuah ayat saat mensifati orang yang berhak mendapatkan pertolongan
sebagaimana firman Allah SWT : “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan
yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.(Al-Hajj :41)”.
Empat perkara inilah yang merupakan tujuan pokok pemerintahan Islam di
mana Rasul pernah mempraktekannya ketika berada di Madinah

21

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Perbandingan Politik Hukum Islam dan Barat, Cet. 2, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 42
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, (Jakarta: Democracy Project, 2011), hlm. 214.
Deni Irawan, “Islam dan Peace Building”. Jurnal Religi. Vol. X, No. 2, Juli
2014, hlm. 160.
Inu Kencana Syafiie, Alquran dan Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, t.t), hlm.
141-144.
Munawir Sjadzali, Islam and Govermental System, (Jakarta: INIS, 1991), 43
Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Pustaka
Phoenix, 2009), hlm. 371.
Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, Cet. 4, 1999), 227
Muhammad Noupal dan Erina Pane, Paradigma Integralistik dan
Toleransi Umat Beragama di Kota Palembang, Intizar, Volume 23, Nomor 1,
2017
Muhammad Wahdini, PARADIGMA SIMBIOTIK AGAMA DAN NEGARA
(STUDI PEMIKIRAN AHMAD SYAFI’I MAARIF), Journal of Islamic Law and
StudiesVol. 4 No. 1 Juni 2020
Marzuki Wahid & Rumaidi, Fiqh Madzhab Negara:Kritik Atas Politik
Hukum Islam Di Indonesia(Yogyakarta: LkiS, 2001)
Yusuf al-Qaradhawi, at-Tathorruf al-Ilmani fi Muwajahati al-Islam, (Kairo: Dar
al-Syuruq, 2008)
Undang Hidayat, Negara Hukum dan Politik Hukum Islam di Indonesia :
Catatan Kritis atas Pemikiran Nurcholish Majid, Jurnal Asy-Syari’ah, Volume 17
No. 3 Desember 2015
https://www.lintasparlemen.com/tiga-tugas-negara-dalam-islam/

19

Anda mungkin juga menyukai