Disusun oleh:
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME, bahwa tim penulis telah menyelesaikan
tugas makalah kelompok “Konsep Islam Tentang Negara dan Pemerintahan”
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun
penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat hasil
diskusi kelompok yang telah menuai berbagai masukan dari dalam maupun dari luar kelompok,
serta informasi dan referensi dari berbagai sumber kepustakaan. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan YME akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi para pembaca
yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Terima kasih.
TIM PENULIS
ABSTRAK
Negara merupakan suatu organisasi yang terbentuk dari suatu perjanjian masyarakat, dan hal
ini berlaku bagi sebagian besar Negara yang terbentuk di dunia menurut sejarahnya. Suatu
negara mempunyai banyak sekali aspek yang harus dipertimbangkan agar susunan serta
pelaksanaan dari kegiatan-kegiatan negara berjalan dengan baik dan lancar. Aspek-aspek inilah
yang dipermasalahkan oleh banyak sekali ahli dalam sejarah dunia, karena memang
kompleksitas daripadanya sangatlah tajam. Dalam hal ini, yang dipertimbangkan pertama
sekali tentunya adalah “konsep” dari suatu negara. Kemudian di samping daripada hal tersebut,
Islam merupakan agama yang “sempurna” yang mengajarkan berbagai hal mengenai
kehidupan manusia sebagai “khalifah” di muka bumi, dan hal mengenai ajaran Islam berbasis
pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Termasuk diantaranya, ajaran mengenai bagaimana meregulasi
suatu koloni manusia dengan tatanan yang baik dalam rangka mencapai Ridha Allah SWT.
Maka dalam hal ini, Islam memperkenalkan berbagai ajaran yang bersifat umum maupun
khusus atau spesifik mengenai hal pengaturan atau regulasi dalam membentuk, mengolah, dan
melaksanakan kegiatan bernegara.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sesungguhnya tidak dapat hidup sendiri, dan memerlukan bantuan manusia
lain, maka dari itu manusia disebut pula zoon politicon, dan dalam hal memenuhi
kebutuhan manusia di muka bumi ini, manusia membentuk suatu koloni untuk bahu-
membahu dalam menyelesaikan segala urusan, dan di antaranya, membentuk Negara.
Salah satu pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan spiritual atau rohani, yang
berlandaskan kepada suatu kepercayaan akan kekuatan yang berada di luar kuasa
manusia. Kepercayaan ini menjadi pedoman dalam manusia menjalani hidupnya, dan
sebagian kepercayaan menjadi pedoman pula akan kematiannya. Dalam hal kaitannya
dengan makalah ini, ialah agama Islam yang merupakan agama samawi, yaitu agama
yang diturunkan dari langit dan berasal dari Allah SWT. Agama islam, sesuai dengan
ajarannya, merupakan agama “penyempurna” dari agama-agama samawi sebelumnya.
Islam senantiasa memandu umatnya untuk berbuat kebajikan dan menjauhi keburukan.
Dalam pengertiannya, Islam artinya adalah “selamat”, maka muslim adalah orang-
orang yang terselamatkan.
Latar belakang dari penulisan makalah ini, berdasarkan pada Hukum Islam yang
merupakan salah satu Mata Kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan
berbagai ilmu pengetahuan lain dari berbagai sumber. Penulisan makalah ini membahas
mengenai kaitan antara Hukum Islam dengan Konsep Negara yang dihubungkan
dengan keadaan di Indonesia. Peran serta kedudukan Hukum Islam akan dibahas dan
langsung dikaitkan dengan Konsep Negara dan berlanjut kepada keadaannya di
Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dari makalah ini, maka masalah yang diangkat ialah:
1. Apa saja Konsep Negara dalam perkembangan sejarah dunia?
2. Apa pengertian Hukum Islam secara luas?
3. Hubungan kedua poin di atas dengan Indonesia
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penulisan
Sesuai dengan masalah yang akan ditulis oleh penulis, metode yang dilakukan oleh
penulis adalah tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka yang dimaksud adalah dengan
membaca sumber-sumber, seperti buku, teks bacaan, dan internet.
E. Sistematika Penyajian
Sistematikan penulisan makalah ini adalah
Bab I Pendahuluan, terdiri dari:
a. Latar Belakang
b. Perumusan Masalah
c. Tujuan Penulisan
d. Metode Penulisan
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
2. Harold J. Laski:
"Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang
yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau
kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu
kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya
keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup
yang harus ditaati baik oleh individu-individu maupun asosiasi-asosiasi ditentukan oleh
suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat". (The state is society which is
integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or
group which is part of the society. A society is a group of human beings living together
and working together for the satisfactions of their mutual wants. Such a society is a
state when the way of life to which both inviduals and associations must conform is
difined by coercive authority binding upon them all).
3. Max Weber:
"Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan
kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah" (The state is human society that
(successfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a
given territory).
4. Rober M. MacIver:
"Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat
dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang
diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan
memaksa" (The state is an association which, acting through law as promulgated by a
government endowed to this end with coercive power, maintains within a community
territorially demarcated the external conditions of order).
4. Abad Kedelapanbelas
Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu memang berpendapat bahwa asas-asas hukum terletak di dalam alam,
akan tetapi hal ini belum berarti bahwa asas-asas itu dapat ditemukan dengan jalan
mengamati dan mengusut kejadian-kejadian tersebut. Jadinya ia tidak menyukai suatu
hukum alam yang mencoba menemukan hukum yang sempurna dengan melalui jalan
abstrak. Menurut Montesquieu, fungsi negara hukum harus dipisahkan dalam 3
kekuasaan lembaga negara, yaitu:
a. Kekuasaan legislatif, yang membentuk undang-undang
b. Kekuasaan yudikatif, yang menjatuhkan hukuman atas kejahatan dan yang
memberikan putusan apabila terjadi perselisihan antara para warga
c. Kekuasaan eksekutif, yang melaksanakan undang-undang, memaklumkan perang,
mengadakan perdamaian dengan negara-negara lain, menjaga tata tertib, menindas
pemberontakan dan lain-lain.
C. Tujuan Negara
Suatu negara ialah berarti suatu organisasi, yang mana tentunya suatu organisasi haruslah
mempunyai patokan yang hendak dituju, sehingga adanya kejelasan dan tidak adanya
simpang siur dalam menjalani kegiatan kenegaraan. Tujuan negara dapat berbeda-beda
pada tiap negara, hal ini tergantung dari sudut mana seseorang memandang kehidupan.
Perbedaan filosofi, sosiologis, dan historis dapat menyebabkan perbedaan dalam
mengkonstruksi dan menjalankan negara, termasuk cara mengkonstruksi sistim hukumnya
(aspek yuridis). Adapun perlunya pembedaan antara tujuan negara dengan fungsi negara
dikarenakan fungsi ialah pelaksanaan lebih lanjut dari tujuan. George Wilhelm Friedrich
Hegel menyatakan bahwa tujuan negara adalah negara itu sendiri, negara adalah “person”
yang mempunyai kemampuan sendiri dalam melaksanakan “ide” umum, negara dapat
menyempurnakan dirinya sendiri, maka kewajiban tertinggi manusia adalah menjadi warga
suatu negara dengan baik.1
Pendapat dari Hegel banyak ditentang, negara tetap harus memilik suatu tujuan yang nyata,
karena negara merupakan suatu alat/organisasi manusia untuk mencapai tujuan tertinggi.
Secara umum tujuan negara dapat digolongkan kedalam tiga tujuan:
1
Ilmu Negara FHUI 2010, hal 68
duniawi dipergunakan untuk mencapai tujuan utama manusida yaitu cinta kepada Allah.
Kemudian ada pula Ibnu Taimiyah, seorang filosof dan teolog Islam menegaskan bahwa
negara adalah sarana untuk mewujudkan syari’ah atau hukum-hukum Tuhan. Ia mengutip
dari ajaran agama Islam dan dapat diambil kesimpulan bahwa negara yang dituju oleh
ajaran Islam adalah negara yang adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah Yang Maha
Kuasa (Baldatun Thoyibatun Warobbun Ghofur).2 Sebagai kesimpulan dari poin ini, tujuan
negara ialah untuk menjadi suatu fasilitas untuk para rakyatnya melakukan penyembahan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan senantiasa menyelaraskan segala sesuatu dengan
keagamaan.
2
Ilmu Negara FHUi 2010, hal 70
negara kekuasaan absolute atau polizei staat (tujuan kemakmuran negara), menganut
prinsip prince legibus solutes est (raja membuat undang-undang untuk negara), artinya raja
membuat undang-undang yang diartikan sebagai kepentingan umum yang ditafsirkan
sepihak oleh penguasa. Tipe negara ini sangatlah memakmurkan negara dan rakyat berikap
pasif dalam masalah kemakmuran, hanya menunggu piring kemakmuran raja penuh, lalu
tumpah menjadi bagian rakyat. [2] tipe negara hukum liberal (tujuan kemakmuran
individu), merupakan reaksi dari kondisi yang dialami suatu negara kekuasaan absolute
atau polizei staat. Dalam polizei staat peran penguasa sangatn besar. Status yang
mendudukkan pemerintah negara secara dominan menyelenggarakan kebutuhan-
kebutuhan rakyat adalah status positif. Sementara itu golongan pengusaha kaya mendesak
raja dan golongan bangsawan untuk tidak ikut campur terlalu banyak dalam urusan bisnis
mereka dalam ikut berupaya memakmurkan rakyat. Desakan yang menginginkan status
negative bagi negara itu diprakarsai oleh orang-orang yang berpikiran bebas atau beraliran
liberal, disebut kelompok borjuis dan merupakan kelompok yang besar dalam negara. Akan
tetapi kelompok borjuis tetap tidak dapat masuk dalam kelompok penguasa negara, karena
sudah dikuasai oleh kelompok bangsawan dan gereja. Mereka kemudian menuntut
pemeruntah agar tidak turut campur dalam masalah kebebasan rakyat untuk mencari
kemakmuran. Kebebasan dalam mencari kemakmuran harus dijamin dengan hukum
sebagai bentuk perlindungan hak asasi. Paham liberal ini bisa dikaitkan dengan teori Kant
menimbulkan tipe negara hukum liberal dengan pola perekonomian kapitalisme. Menurut
Kant, tujuan negara adalah membentuk dan mempertahankan hukum sedang tujuan hukum
adalah menjamin dan melindungi kebebasan rakyat. [3] tipe negara hukum formil,
perkembangan dari negara liberalis. Negara hukum telah menjadi istilah tehnis kenegaraan
yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Pandangan liberal yang ingin mendudukkan negara
hanya sebagai pemegang tata tertib saja tentu menimbulkan konsekuensi bahwa negara
membutuhkan biaya untuk menjalankan tugasnya. Pendapatan negara yang terbesar dapat
diraih dari penarikan pajak. Penarikan pajak memerlukan persetujuan dari rakyat. Untuk
resminya, penguasa kemudian mengadakan peraturan-peraturan tentang pajak, peraturan
peraturan itu tertulis, dan lama-kelamaan menimbulkan undang-undang atau hukum tertulis
secara formil. Kemudian lahirlah negara hukum formil karena dalam segala tindakan-
tindakannya penguasa itu memerlukan bentuk hukum tertentu, dan formalitasnya ini adalah
bentuk undang-undang. [4] negara hukum materiil (negara kesejahteraan/kemakmuran),
pada tipe negara ini tidak lagi dipentingkan bentuk dari suatu peraturan, melainkan
isinya, yaitu
kemakmuran rakyat. Penguasa tidak harus terpaku pada suatu aturan formil untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakannya, melainkan hanya memperhatikan materinya untuk
memakmurkan rakyat saja sudah cukup.3
Pengertian hukum islam adalah hukum yang bersumber kepada nilai – nilai keislaman.
Yang dibentuk dari sumber dalil – dalil agama islam. Hukum itu bisa berarti ketetapan,
kesepakatan, anjuran, larangan, dan sebagainya.
Hukum Islam hanya ditujukkan kepada orang – orang yang beragama Islam dan tidak
ditunjukkan kepada orang yang non-Islam. Jika ada orang Islam yang melanggar hukum
Islam, orang itu harus diadili sesuai dengan ketentuan dalil-dalil agama Islam. Ada
beberapa sumber yang menjadi landasan dalam membuat ketetapan hukum Islam. Sumber-
sember tersebut adalah sebagai berikut.
1. Al Quran
Al quran adalah kitab suci umat Islam. Kitab tersebut diturunkan kepada nabi terakhir,
yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Al quran memuat banyak sekali
kandungan. Kandungan-kandungan tersebut berisi perintah, larangan, anjuran,
ketentuan dan sebagainya. Al quran menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya
manusia menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat yang madani. Maka dari itu,
ayat-ayat Al quran inilah yang menjadi landasan utama untuk menetapkan suatu hukum.
2. Hadis
Hadis adalah segala sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik berupa
perkataan, perilaku, persetujuan, dan sifat beliau. Hadis menjadi landasan sumber yang
paling kuat setelah Al quran. Nabi Muhammad menjadi sosok yang paling sentral bagi
umat Islam karena umat Islam meyakini bahwa segala perbuatan Rasulullah tidak
sedikit pun yang bertentangan dengan Al quran dan beliau terbebas dari kesalahan.
3
Ilmu Negara FHUI 2010, hal 76-78
3. Ijma' Ulama
Ijma' ulama adalah kesepakatan para ulama yang mengambil simpulan berdasarkan
dalil-dalil Al quran atau hadis. Para ulama mengambil ijma' karena dalam Al quran
ataupun hadis tidak dijelaskan secara teperinci sebuah ketetapan yang terjadi pada masa
itu atau kini. Dengan demikian, para ulama mengadakan rapat dan membuat
kesepakatan sehingga hasil rapat atau kesepakatan tersebut menjadi ketetapan hukum.
Ijma ulama tidak boleh bertentangn dengan al-Qur'an ataupun hadist.
4. Qiyas
Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al quran ataupun
hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak
diketahui hukumnya tersebut. Misalnya, dalam Al quran dijelaskan bahwa segala
sesuatu yang memabukkan adalah haram hukumnya. Al quran tidak menjelaskan bahwa
arak haram, sedangkan arak adalah sesuatu yang memabukkan. Dengan demikian, kita
akan mengambil qiyas bahwa arak haram hukumnya karena memabukkan. Itulah
sumber-sumber utama yang menjadi landasan untuk menetapkan hukum Islam.
2. Studi Empiris
a. Fiqh Siyasah
Secara umum, istilah siyasa dipahami sebagai politik dan juga ilmu tata
pemerintahan (statecraft), atau satu istilah yang lebih mengarah kepada keahlian
atau kecakapan dan bukan sebuah doktrin atau filsafat. Fauzi M. Najjar mengatakan
bahwa siyasah adalah satu kebijakan atau satu organisasi yang dengan rakyatnya
diorganisasi atau diarahkan dengan cara-cara tertentu untuk kehidupan yang baik.
Jika dikaitkan dengan orang atau kota, siyasah menjadi sesuatu yang terkait dengan
seni memerintah yang digunakan untuk kepentingan orang banyak baik
menyangkut fisik, spiritual, maupun intelektual. Juga bisa dikatakan sebagai seni
mengurus sebuah kota berdasarkan prinsip-prinsip atau tujuan-tujuan tertentu. Fiqh
siyasah merupakan upaya pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam yang
terkait dengan negara dan pemerintahan dan segala sesuatu yang terkait dengannya.
Penjelasan tentang siyasah ini sekaligus menggambarkan bahwa persoalan negara,
politik, pemerintahan, dan segala yang terkait dengannya sudah menjadi bagian
penting dan tidak terpisahkan dengan Islam sebagai sebuah agama. Data sejarah
tentang fiqh siyasah seringkali tidak mendapat perhatian kalangan sekuler yang
menganut paham pemisahan agama dari negara.
b. Antara ulama’ (agama) dan umara’ (negara)
Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dari negara
didukung pula oleh pengalaman umat Islam di Madinah di bawah kepemimpinan
Nabi Muhammad. Hal ini berlangsung terus hingga masa al-Khulafa’ al-
Rashidun. Sebagaimana pada masa Nabi, para khalifah memegang kekuasaan baik
menyangkut kekuasaan agama (ulama’) ataupun politik (umara’). Pada saat itu,
kekuasaan untuk mendefinisikan hal-hal yang dianggap benar menyangkut ajaran
syariah (sebagai ulama’) berada di tangan para khalifah. Begitu pula, kekuasaan
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada, untuk menjamin kesejahteraan
masyarakat, dan juga untuk melanjutkan misi Islam yang telah dilakukan oleh Nabi
(sebagai umara’), semuanya berada di tangan khalifah.
Pada masa modern terlihat ketegangan antara ulama’ dan umara’, misalnya, pada
pemikiran Rasyid Ridha yang dikenal sebagai salafiyah yang konservatif dan
pemikiran Ahmad Safwat dan Ali Abd Raziq yang liberal. Pada dasarnya, Rasyid
Ridha berpendapat bahwa sistem khilafah yang telah dihancurkan dan diganti
dengan sistem republik oleh penguasa Turki harus dihidupkan kembali. Hal ini
penting untuk menyatukan kembali umat Islam dalam satu kepemimpinan khalifah.
Rasyid Ridha menolak secara tegas pemisahan agama (ulama’) dan negara
(umara’).
Pandangan Ali Abd Raziq amat berbeda dengan pikiran Rasyid Ridha. Berdasarkan
semangat ajaran Abduh, Raziq menformulasikan pikiran kenegaraannya melalui
karyanya yang kontroversial al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-dasar
Pemerintahan). Ia, antara lain, menegaskan bahwa masalah negara tidak termasuk
bahkan harus dipisahkan dari agama. Ulama’ dan umara’ secara tegas berbeda
misinya. Karena pendapatnya ini, ia dipandang sebagai penganut paham sekuler. Di
antara alasan penting yang dijadikan argumen pemikir sekuler untuk menolak
kehadiran negara Islam adalah tidak adanya ayat al-Quran tentang hal itu. Namun,
Muhammad al-Ghazali setuju dengan pemikiran Rasyid Ridha. Ia melanjutkan
pemikiran Rasyid Ridha tentang pentingnya penyatuan kekuasaan agama (ulama’)
dan politik (umara’) di tangan pemimpin umat (khalifah). Pemisahan antara
keduanya, tegas al-Ghazali, adalah bid’ah. Ia menolak pendapat bahwa Islam adalah
din la dawlah (agama dan bukan negara) dan menegaskan tentang perlunya
ditegakkan hukm islami la qawmi, pemerintahan Islam dan bukan pemerintahan
nasionalis.
Agama dan negara memiliki pertalian yang erat. Pertalian ini didasarkan pada prinsip
hablun min Allah wa hablun min al nas. Sehingga sesungguhnya agama dan negara adalah
dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan begitu saja.
Pengkaitan antara Hukum Islam dengan konsep Negara Indonesia tentunya berlandaskan
kepada pertama yaitu Grund Norm atau norma dasar yang berlaku di Indonesia, yaitu
Pancasila. Mengingat sila kesatu dari Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sudah jelas bahwa disini dapat ditafsirkan bahwa segi-segi teologis sangatlah
4
Hukum Islam, M. Daud Ali, hal 210
dikedepankan dalam menjalani kegiatan kenegaraan. Konsep negara menurut ajaran agama
Islam haruslah bertujuan baldah thayyibah wa rabbun ghafur yang artinya negara yang adil
dan makmur yang diridhoi oleh Allah Yang Maha Kuasa, dan tentunya dengan didasarkan
pada hukum Islam-lah hal ini dapat terwujud.
Mengilas balik kepada bahasan “negara dan pemerintahan dalam islam dalam konteks
metodologi” dan menjadikannya sebagai salah satu bahan acuan pada penerapan hukum
islam pada suatu konsep bernegara, tentunya sangat banyak yang dapat diambil untuk
menghias konspe negara Indonesia, karena tentunya agama Islam menjungjung tinggi
segala kebajikan untuk seluruh umat. Poin pertama berbicara mengenai ajaran normatif,
yaitu prinsip-prinsip dasar daripada suatu negara, konsep yang diajarkan berdasarkan
kepada tauhid yang bersandar pada kalimat syahadat. Negara Republik Indonesia, pada saat
penyusunan Pancasila, pada awal mulanya sila pertama berbicara secara langsung tentang
negara yang didasarkan pada syari’at Islam, namun tentunya hal ini dipandang tidak
memungkinkan untuk terwujud, mengingat keberagaman dan kemajemukan keyakinan
serta kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia. Maka dari itu, tentunya konsep
negara Indonesia tidak dapat berlangsung dengan sistem teokrasi yang secara terang
menegaskan prinsip-prinsip ketuhanan dalam bernegara. Namun hal ini bukan menjadi
alasan untuk mengenyampingkan hukum Islam dan membiarkannya hanya sekedar menjadi
kiasan belaka dalam kehidupan, karena nyatanya banyak sekali yang dapat dipandang perlu
karena member manfaat yang sangat baik, misalnya prinsip-prinsip ketauhidan, kerukunan
antar umat, supremasi hukum yang selalu ditekankan dan dijunjung tingginya keadilan.
Tentunya banyak sekali hal yang tidak disadari maupun dikesampingkan oleh manusia
mengenai fakta bahwa ajaran agama Islam mempunyai keunggulan yang luar biasa dalam
berbagai bidang. Poin kedua, studi empiris mengisahkan betapa disayangkannya apabila
terjadi instabilitas dalam negara yaitu instabilitas antara politik dengan pemerintahannya,
penyimpangan-penyimpangan dan perseteruan antara ulama’ dan umara’ menimbulkan
berbagai “penyakit” dan hal ini disebabkan kurangnya perhatian terhadap ajaran agama
Islam yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Dalam penerapannya, hal ini terlihat pada
pemerintahan Indonesia yang cenderung korup dan sudah sangat menyimpang dari sesuatu
yang dikehendaki oleh Allah SWT, kemakmuran rakyat tidak lagi menjadi tujuan utama
dari kebijakan pemerintah, melainkan kemakmuran individual atau kelompoknya sendiri.
Semakin jauhnya “kedudukan” hukum Islam di Indonesia dari peringkat prioritas, kini
menjadi sangat memprihatinkan, konsep negara Indonesia yang memang semula bertujuan
untuk menjunjung tinggi keagamaan dalam mengendalikan arah negara kea rah yang lebih
baik, tampaknya diabaikan dan hanya dijadikan kiasan belaka. Hukum Islam sudah
seharusnya mendapat posisi prioritas dalam menentukan segala kebijakan dan peraturan
yang dibuat oleh pemerintah, dan mengingat kemajemukan yang ada dalam masyarakat
Indonesia, hal ini harus disusun dengan se-adil mungkin dan menghindari cacat sekecil
mungkin, agar tidak terjadi prasangka dan perpecahan antar umat beragama di Indonesia,
serta tidak menjadikan suatu peraturan bagai “pisau bermata dua” alias dapat merugikan
pihak pemerintah pada akhirnya.
Universalitas secara etimologi berasal dari bahasa inggris universal yang berarti: Semesta
dunia dan universally, yaitu: Disukai di seluruh dunia atau Universe berarti seluruh bidang.
Dalam kamus, Al-Munjid As-syamlah universalitas adalah sesuatu yang luas.
Dalam Pandangan Islam, politik dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Dalam
kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha
(mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya
dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Pelaku urusan tersebut disebut politikus
(siyasiyun). Dalam bahasa Arab dikatakan ulil amri mengurusi (yasûsu).
Dalam praktik politik demokrasi yang ada di Indonesia salah satunya terdapat konsep
musyawarah yang sesuai dengan konsep politik islam. Musyawarah berasal dari kata
syawarayusyawiru yang artinya saling memberi dan meminta nasihat atau saran. Imam at-
Tabrasi mendefinisikan term as-syura sebagai diskusi untuk menemukan hak. Sedangkan
Raqib al-Asfahani menegaskan bahwa syura adalah upaya menemukan pemikiran yang
selaras dengan pendapat orang banyak. Ibnu Arabi dalam bukunya Ahkam Al-Qur’an
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan as-syura adalah pertemuan yang mendiskusikan
silang pendapat untuk menemukan pemikiran terbaik
Bukti universalitas ajaran agama Islam yaitu dengan adanya konsep politik yang memiliki
keistimewaan dari sistem politik. Politik Islam adalah politik yang mensinergikan antara
negara dan agama, sehingga politik Islam ini sangat menjujung tinggi nilai-nilai agama
dalam sebuah pemerintahan yang memuliakan manusia dan memakmurkan dunia.
Musyawarah berasal dari kata syawarayusyawiru yang artinya saling memberi dan meminta
nasihat atau saran. Sebagai contoh Rasulullah Saw tidak pernah malu meminta nasihat atau
saran kepada sahabatnya tentang suatu masalah. Bahkan musyawarah adalah salah satu
kunci sukses kepemimpinan beliau. Dengan demikian musyawarah yang dilakukan oleh
Rasulullah saw tersebut merupakan suatu pembuktian dan kunci keberhasilan dari suatu
kepemimpinan, dengan melibatkan dan mendengarkan saran orang lain untuk mendapatkan
keputusan yang terbaik.
Dalam praktik politik demokrasi yang ada di Indonesia salah satunya terdapat konsep
musyawarah yang sesuai dengan konsep politik islam. Musyawarah berasal dari kata
syawarayusyawiru yang artinya saling memberi dan meminta nasihat atau saran. Imam at-
Tabrasi mendefinisikan term as-syura sebagai diskusi untuk menemukan hak. Sedangkan
Raqib al-Asfahani menegaskan bahwa syura adalah upaya menemukan pemikiran yang
selaras dengan pendapat orang banyak. Ibnu Arabi dalam bukunya Ahkam Al-Qur’an
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan as-syura adalah pertemuan yang mendiskusikan
silang pendapat untuk menemukan pemikiran terbaik.
I. Variasi pandangan umat Islam dalam melihat relasi Islam dan negara
Persoalan mengenai hubungan islam dengan berbagai gagasan yang sekaligus membuat
banyak perbedaan, di antara mereka adalah al-Farabi, al-Baqillani, al-Ghazali, Ibnu
Khaldun, Ibnu Taimiyah, Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, dan lain-lain. Perbedaan
pandangan tersebut terjadi selain karena sejarah masa lalu, juga disebabkan karena tidak
adanya keterangan tegas mengenai negara dan pemerintahan pada sumber islam seperti
dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
Menurut Zaprulkhan (2014:105) menyatakan secara garis besar paling tidak ada tiga
paradigma pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Pertama, paradigma sekularistik,
kedua, paradigm formalistic, ketiga, paradigma substansialistik.
Nasionalisme berasal dari dua kata yakni “nasional” dan “isme” yaitu paham kebangsaan
yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air. Selain itu
Nasionalisme berasal dari kata “nation” yang dipadankan dengan bangsa. Terdapat dua
pengertian dari bangsa, yaitu pengertian antropologis dan sosiologis, dan dalam
pengertian politis. Dalam pengertian antropologis dansosiologis, bangsa adalah suatu
masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-
masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama,
sejarah, dan adat istiadat. Sedangkan bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat
dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk pada kedaulatan negaranya segabai
suatu kekuasaan tertinggi.
Terdapat berbagai bentuk dari nasionalisme salah satunya nasionalisme religius, yaitu
suatu nasionalisme yang menunjukkan negara memperoleh legitimasi politik dari
persamaan agama. Walaupun begitu, biasanya nasionalisme relegius ini merupakan
campuran dengan nasionalisme etnis.
Nasionalisme religius merupakan bentuk lain dari nasionalisme, yang mana negara
memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Keberagaman juga terjadi pada
agama di Indonesia, yang kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia, membawa
pada perubahan bagi bangsa Indonesia. Karena agama dan kesadaran tentang
kesejahteraan bersama inilah yang menjadikan faktor terpenting dari nasionalisme.
Nasionalisme atas keberagaman agama inilah, yang menjadikan Indonesia memiliki
kekuatan dalam melawan penjajahan.
Umat Islam sebagai warga bangsa terbesar di negeri ini memiliki kesempatan dan
peluang yang terbuka lebar untuk berjihad (bersungguh-sungguh) mengisi Pancasila
dengan nilai agama (atau nilai syariat Islam), dan begitu juga dengan kandungan nilai
agama dalam penafsiran dan penerapan UUD 1945. Dengan peran umat islam dalam
mengamalkan Pancasila akan dapat menjadikan Indonesia menjadi Muslim dalam arti
etika atau substansial, bukan dalam pengertian formal atau simbolik sebagaimana
keinginan masa lalu menjadi Negara Islam. Untuk menyebut contoh pengisian Pancasila
dengan nilai Islam dimaksud adalah perintah Al-Qur`an tentang musyawarah dalam QS
Ali Imrān/3:159.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengumpulan sumber dan hasil pembahasan dari sumber, maka
kesimpulan yang dapat ditarik untuk makalah ini ialah: [1] bahwa Konsep Negara
terkait dengan Hukum Islam, adalah suatu ikatan yang dapat dikatakan hampir
sempurna. Hal ini dikarenakan oleh susunan dari pemikiran para ahli yang digabungkan
dengan ajaran Islam yang sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan
bertujuan untuk mensejahterakan ummat, Baldatun Thoyibatun Warobbun Ghofur.
Dalam kesimpulan ini, terkait pula dengan tujuan negara, dan negara dan pemerintahan
dengan konteks metodologi Islam; [2] Hubungan antara hal tersebut dengan Indonesia
adalah, ketika Hukum Islam dikaitkan dengan Konsep Negara yang dianut oleh
Indonesia, maka sesungguhnya kestabilan bernegara sangatlah memungkinkan untuk
terjadi. Terkait dengan Pancasila, yang menjunjung tinggi ketuhanan Yang Maha Esa,
maka Hukum Islam seharusnya mendapat prioritas tinggi dalam pengkaitan dengan
Konsep Negara Indonesia, yang mana akan membawa kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang penulis tarik dari makalah ini, maka saran yang dapat
disampaikan adalah, [1] Kepada seluruh rakyat Indonesia agar senantiasa mengamalkan
isi dari Pancasila sebagai dasar dari kehidupan bernegara; [2] Kepada seluruh umat
muslim di Indonesia, agar senantiasa mematuhi dan mengamalkan apa- apa yang
menjadi ajaran agama Islam, karena pada asasnya keimanan merupakan nikmat
tertinggi dari Allah SWT, dan ingatlah bahwa janji Allah akan datang. Negara Indonesia
adalah Negara dengan kekayaan alam yang berlimpah, dan merupakan karunia Allah
SWT, dan menjadi tugas seluruh rakyat Indonesia untuk mengolah dan
melestarikannya, berdasarkan apa-apa yang menjadi dasar kehidupan bernegara dan
beragama, yaitu tentunya hal ini terkait dengan kesimpulan dari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi, Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan
Syariah, Mizan, Jakarta, 2001
Azhary, Tahir, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya,
Universitas Indonesia, Jakarta, 1995
Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1978
Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2011
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Yayasan
Indonesiatera, Jakarta, 2001
Schmid, Von, Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, PT Pembangunan, Jakarta,
1988
Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara, Ilmu Negara, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, 2010
Dr Andy Hadiyanto MA, M. Ridwan Effendi M.Ud, Sari Narulita, Lc M.Si, Firdaus
Wajdi, PhD, PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK PERGURUAN TINGGI.
Fikra Publika. Hal 151-159, Prodi Pendidikan Agama Islam, Universitas Negeri
Jakarta, Jakarta, 2020