Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“KONSEP ISLAM TENTANG NEGARA DAN PEMERINTAHAN”

DOSEN PENGAMPU : Drs. Chakam Failasuf, M.Pd.

Disusun oleh:

Edies Rizqi Adelia 1402623007

Hana Naf'atun Sholihah 1410623057

Mohamad Arif Firmansyah 1405623066

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME, bahwa tim penulis telah menyelesaikan
tugas makalah kelompok “Konsep Islam Tentang Negara dan Pemerintahan”

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun
penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat hasil
diskusi kelompok yang telah menuai berbagai masukan dari dalam maupun dari luar kelompok,
serta informasi dan referensi dari berbagai sumber kepustakaan. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan YME akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi para pembaca
yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Terima kasih.

TIM PENULIS
ABSTRAK

Negara merupakan suatu organisasi yang terbentuk dari suatu perjanjian masyarakat, dan hal
ini berlaku bagi sebagian besar Negara yang terbentuk di dunia menurut sejarahnya. Suatu
negara mempunyai banyak sekali aspek yang harus dipertimbangkan agar susunan serta
pelaksanaan dari kegiatan-kegiatan negara berjalan dengan baik dan lancar. Aspek-aspek inilah
yang dipermasalahkan oleh banyak sekali ahli dalam sejarah dunia, karena memang
kompleksitas daripadanya sangatlah tajam. Dalam hal ini, yang dipertimbangkan pertama
sekali tentunya adalah “konsep” dari suatu negara. Kemudian di samping daripada hal tersebut,
Islam merupakan agama yang “sempurna” yang mengajarkan berbagai hal mengenai
kehidupan manusia sebagai “khalifah” di muka bumi, dan hal mengenai ajaran Islam berbasis
pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Termasuk diantaranya, ajaran mengenai bagaimana meregulasi
suatu koloni manusia dengan tatanan yang baik dalam rangka mencapai Ridha Allah SWT.
Maka dalam hal ini, Islam memperkenalkan berbagai ajaran yang bersifat umum maupun
khusus atau spesifik mengenai hal pengaturan atau regulasi dalam membentuk, mengolah, dan
melaksanakan kegiatan bernegara.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sesungguhnya tidak dapat hidup sendiri, dan memerlukan bantuan manusia
lain, maka dari itu manusia disebut pula zoon politicon, dan dalam hal memenuhi
kebutuhan manusia di muka bumi ini, manusia membentuk suatu koloni untuk bahu-
membahu dalam menyelesaikan segala urusan, dan di antaranya, membentuk Negara.

Salah satu pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan spiritual atau rohani, yang
berlandaskan kepada suatu kepercayaan akan kekuatan yang berada di luar kuasa
manusia. Kepercayaan ini menjadi pedoman dalam manusia menjalani hidupnya, dan
sebagian kepercayaan menjadi pedoman pula akan kematiannya. Dalam hal kaitannya
dengan makalah ini, ialah agama Islam yang merupakan agama samawi, yaitu agama
yang diturunkan dari langit dan berasal dari Allah SWT. Agama islam, sesuai dengan
ajarannya, merupakan agama “penyempurna” dari agama-agama samawi sebelumnya.
Islam senantiasa memandu umatnya untuk berbuat kebajikan dan menjauhi keburukan.
Dalam pengertiannya, Islam artinya adalah “selamat”, maka muslim adalah orang-
orang yang terselamatkan.

Latar belakang dari penulisan makalah ini, berdasarkan pada Hukum Islam yang
merupakan salah satu Mata Kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan
berbagai ilmu pengetahuan lain dari berbagai sumber. Penulisan makalah ini membahas
mengenai kaitan antara Hukum Islam dengan Konsep Negara yang dihubungkan
dengan keadaan di Indonesia. Peran serta kedudukan Hukum Islam akan dibahas dan
langsung dikaitkan dengan Konsep Negara dan berlanjut kepada keadaannya di
Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dari makalah ini, maka masalah yang diangkat ialah:
1. Apa saja Konsep Negara dalam perkembangan sejarah dunia?
2. Apa pengertian Hukum Islam secara luas?
3. Hubungan kedua poin di atas dengan Indonesia
C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah dari makalah ini, maka tujuannya ialah:


1. Mengetahui Konsep Negara dan Hukum Islam,
2. Mengetahui hubungan antara Konsep Negara dan Hukum Islam dengan Indonesia.

D. Metode Penulisan

Sesuai dengan masalah yang akan ditulis oleh penulis, metode yang dilakukan oleh
penulis adalah tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka yang dimaksud adalah dengan
membaca sumber-sumber, seperti buku, teks bacaan, dan internet.

E. Sistematika Penyajian
Sistematikan penulisan makalah ini adalah
 Bab I Pendahuluan, terdiri dari:
a. Latar Belakang
b. Perumusan Masalah
c. Tujuan Penulisan
d. Metode Penulisan

 Bab II Isi, terdiri dari:


a. Definisi negara menurut para ahli
b. Konsep Negara menurut pendekatan Barat
c. Tujuan Negara
d. Pengertian Hukum Islam
e. Negara dan pemerintahan dalam Islam dalam konteks metodologi
f. Hukum Islam di Indonesia
g. Universalitas nilai politik dengan lokalitas dan temporalitas praktik politik
h. Variasi pandangan umat Islam dalam melihat relasi Islam dan negara
i. Rekontruksi konsep politik nasionalis-religius

 Bab III Penutup, terdiri dari :


a. Kesimpulan
b. Saran

 Daftar Pustaka
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi negara menurut para ahli:


1. Roger H. Soltau:
"Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau
mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat" (The state is
agency or authority managing and controlling these (common) affairs on behalf of and
in the name of the community).

2. Harold J. Laski:
"Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang
yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau
kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu
kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya
keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup
yang harus ditaati baik oleh individu-individu maupun asosiasi-asosiasi ditentukan oleh
suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat". (The state is society which is
integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or
group which is part of the society. A society is a group of human beings living together
and working together for the satisfactions of their mutual wants. Such a society is a
state when the way of life to which both inviduals and associations must conform is
difined by coercive authority binding upon them all).

3. Max Weber:
"Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan
kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah" (The state is human society that
(successfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a
given territory).

4. Rober M. MacIver:
"Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat
dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang
diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan
memaksa" (The state is an association which, acting through law as promulgated by a
government endowed to this end with coercive power, maintains within a community
territorially demarcated the external conditions of order).

B. Konsep Negara menurut pendekatan Barat:


1. Zaman Pertengahan
 Augustinus (354-430)
Augustinus, seorang Kristiani, mengemukakakn suatu ajaran yang sifatnya sangat
teokratis. Dalam bukunya De Civitas Dei, Agustinus menyebutkan adanya dua macam
negara, yaitu:
a. Civitas Dei, atau negara Tuhan, merupakan negara yang terpuji karena merupakan
negara yang dicita-citakan oleh agama. Civitas Dei akan membawa keamanan dan
kesejahteraan bagi umat manusia karena mendapatkan bimbingan serta pimpinan
dari Tuhan.
b. Civitas Terena, atau Civitas Diabolis/Negara Iblis, merupakan negara duniawi yang
sangat dikecam oleh Agustinus. Civitas Terena akan membawa kelaliman,
kekacauan, serta kesengsaraan bagi manusia karena berada di luar pimpinan Tuhan.
Menurut Agustinus, agama memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari negara dan
saling terkait, tetapi negara hanya sebagai alat bagi Gereja untuk melenyapkan musuh-
musuhnya.
 Thomas Van Aquino (1225-1274)
Sedangkan Thomas Van Aquino mengemukakan teori Dua Pedang, yaitu Pedang
Rohaniah berada pada organisasi gereja yang dipimpin oleh Paus, dan Pedang
Duniawiah, yang diserahkan oleh Paus pada organisasi negara yang dipimpin oleh
raja/kaisar. Dalam teorinya, Thomas Van Aquino berusaha memisahkan soal-soal
duniawi dan soal-soal agama, sehingga menimbulkan ajaran sekularisme.
 Marsilius Padua (1270-1340) dan Willian Occam (1280-1317)
Negara itu ialah suatu badan yang hidup dan bebas, yang mempunyai sebagai tujuan
tertinggi ialah mempertahankan perdamaian. Tujuan itu dulu-dulunya juga sudah
dipikirkan, akan tetapi tidak sebagai tujuan pertama dan tertinggi, melainkan untuk
kepentingan gereja dan cita-citanya, yakni cita-cita yang lebih tinggi lagi. Negara itu
seharusnya memajukan kemakmuran dan memberi kesempatan pada anggota-
anggotanya untuk mengembangkan dirinya secara bebas. Gereja dibawahkan pada
negara. Menurut Marsilius kedudukan negara lebih tinggi daripada kedudukan Gereja
dan terdapat pemisahan yang tegas antara negara dan Gereja.
2. Abad Keenambelas (Renaissance)
 Niccolo Machiavelli (1469-1527)
Ajaran Niccolo Machiavelli, pada hakekatnya merupakan pencerminan dari apa yang
dikenalnya dalam praktek sebagai ahli negara dan apa yang telah dijalankannya, karena
dianggapnya perlu sekali untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan negara,
diangkatnya menjadi teori umum mengenai praktek ketatanegaraan dengan cara yang
gagah berani. Dengan berbuat demikian, ia menganjurkan pada ahli negara suatu sikap
yang menolak sama sekali ajaran kesusilaan dari pandangan hidup Kristen.

3. Abad Ketujuhbelas (Natural Law)


 Hugo de Groot (1583-1645)
Dalam menetapkan dasar-dasar modern untuk pikiran tentang negara dan hukum, Hugo
de Groot berpokok pangkal pada pendapat Aristoteles yang terkenal, ialah bahwa
manusia dalah makhluk sosial sehingga karena itu ingin hidup bersama-sama dengan
orang lain. Negara lahir karena adanya perjanjian, tetapi perjanjian itu tidak diilhami
oleh Tuhan, melainkan karena dorongan rasio manusia sebagai dasar hukum alam.
Natural law adalah suatu peraturan dari akal murni yang berdiri sendiri tanpa ada kaitan
sama sekali dengan Sang Pencipta sebagai sumber dari hukum alam dan rasio manusia

4. Abad Kedelapanbelas
 Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu memang berpendapat bahwa asas-asas hukum terletak di dalam alam,
akan tetapi hal ini belum berarti bahwa asas-asas itu dapat ditemukan dengan jalan
mengamati dan mengusut kejadian-kejadian tersebut. Jadinya ia tidak menyukai suatu
hukum alam yang mencoba menemukan hukum yang sempurna dengan melalui jalan
abstrak. Menurut Montesquieu, fungsi negara hukum harus dipisahkan dalam 3
kekuasaan lembaga negara, yaitu:
a. Kekuasaan legislatif, yang membentuk undang-undang
b. Kekuasaan yudikatif, yang menjatuhkan hukuman atas kejahatan dan yang
memberikan putusan apabila terjadi perselisihan antara para warga
c. Kekuasaan eksekutif, yang melaksanakan undang-undang, memaklumkan perang,
mengadakan perdamaian dengan negara-negara lain, menjaga tata tertib, menindas
pemberontakan dan lain-lain.

C. Tujuan Negara
Suatu negara ialah berarti suatu organisasi, yang mana tentunya suatu organisasi haruslah
mempunyai patokan yang hendak dituju, sehingga adanya kejelasan dan tidak adanya
simpang siur dalam menjalani kegiatan kenegaraan. Tujuan negara dapat berbeda-beda
pada tiap negara, hal ini tergantung dari sudut mana seseorang memandang kehidupan.
Perbedaan filosofi, sosiologis, dan historis dapat menyebabkan perbedaan dalam
mengkonstruksi dan menjalankan negara, termasuk cara mengkonstruksi sistim hukumnya
(aspek yuridis). Adapun perlunya pembedaan antara tujuan negara dengan fungsi negara
dikarenakan fungsi ialah pelaksanaan lebih lanjut dari tujuan. George Wilhelm Friedrich
Hegel menyatakan bahwa tujuan negara adalah negara itu sendiri, negara adalah “person”
yang mempunyai kemampuan sendiri dalam melaksanakan “ide” umum, negara dapat
menyempurnakan dirinya sendiri, maka kewajiban tertinggi manusia adalah menjadi warga
suatu negara dengan baik.1
Pendapat dari Hegel banyak ditentang, negara tetap harus memilik suatu tujuan yang nyata,
karena negara merupakan suatu alat/organisasi manusia untuk mencapai tujuan tertinggi.
Secara umum tujuan negara dapat digolongkan kedalam tiga tujuan:

1. Tujuan negara yang dihubungkan dengan tujuan akhir hidup manusia


Dalam hal ini, tujuan negara sangatlah erat kaitannya dengan hal-hal yang bersifat teologis
atau keagamaan. Banyak sekali unsur-unsur kerohanian, spiritual, dan eskatologis atau
keakhiratan yang terkandung dalam setiap elemen-elemen suatu negara. Hal ini
dikarenakan dalam setiap agama pastinya membahas mengenai, apa itu tujuan sebenarnya
dari hidup seorang manusia, yang mana setiap agama mempunyai hakikatnya masing-
masing. Augustinus seorang tokoh filsafat dan teolog Kristen memperkenalkan teorinya
Civitas Dei (unsur Tuhan) dan Civitas Terrena (unsur dunia). Nilai-nilai

1
Ilmu Negara FHUI 2010, hal 68
duniawi dipergunakan untuk mencapai tujuan utama manusida yaitu cinta kepada Allah.
Kemudian ada pula Ibnu Taimiyah, seorang filosof dan teolog Islam menegaskan bahwa
negara adalah sarana untuk mewujudkan syari’ah atau hukum-hukum Tuhan. Ia mengutip
dari ajaran agama Islam dan dapat diambil kesimpulan bahwa negara yang dituju oleh
ajaran Islam adalah negara yang adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah Yang Maha
Kuasa (Baldatun Thoyibatun Warobbun Ghofur).2 Sebagai kesimpulan dari poin ini, tujuan
negara ialah untuk menjadi suatu fasilitas untuk para rakyatnya melakukan penyembahan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan senantiasa menyelaraskan segala sesuatu dengan
keagamaan.

2. Tujuan negara yang dihubungkan dengan pencapaian kekuasaan


Dalam teori ini ada 2 teori khusus dan 1 teori umum yang dapat dijadikan pembahasan,
yaitu [1] teori dari Lord Shang Yang, yang mencari kekuasaan semata, menganggap bahwa
penguasa haruslah kuat dan rakyat haruslah lemah dan bodoh. Ia berpendapat bahwa
dengan menghancurkan kebudayaan maka raja akan dapat mengendalikan rakyat dengan
lebih mudah dan negara akan menjadi kuat. [2] teori dari Nicolo Machiavelli yang mencari
kekuasaan untuk mempersatukan italia yang saat itu terpecah belah. Ia berpendapat bahwa
penguasa harus memiliki sifat seperti serigala dan singa, ia juga tidak menghendaki adanya
kebudayaan, agama, moral, dan sebagainya, karena hal tersebut akan melemahkan raja
dalam memerintah negaranya. Machiavelli sangat mengusahakan terselenggaranya
ketertiban, keamanan dan ketentraman. [3] negara kekuasaan, suatu negara kekuasaan
biasanya hanya dilandaskan pada kepentingan politik kekuasaan. Pengumpulan kekuasaan
yang sebesar-besarnya biasanya dilakukan oleh elit-elit politik kekuasaan untuk
mempertahankan kekuasaan demi kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Pendekatan
yang dilakukanpun biasanya dengan pendekatan kekuasaan, yang artinya lebih dekat pada
politik kekerasan, pemaksaan, monopoli pendapat dan berlanjut pada pola-pola penguasaan
ekonomi yang sentralistik dan pemerintahan yang oligarkis.

3. Tujuan negara yang dihubungkan dengan kemakmuran rakyat


“Kepentingan umum mengatasi segala-galanya”, hal inilah yang mendasarkan teori pada
poin ini, dan yang menentukan kepentingan umum ini ialah penguasa. Terdapat beberapa
tipe negara yang mengkonsentrasikan tujuannya pada kemakmuran rakyat, yaitu: [1] tipe

2
Ilmu Negara FHUi 2010, hal 70
negara kekuasaan absolute atau polizei staat (tujuan kemakmuran negara), menganut
prinsip prince legibus solutes est (raja membuat undang-undang untuk negara), artinya raja
membuat undang-undang yang diartikan sebagai kepentingan umum yang ditafsirkan
sepihak oleh penguasa. Tipe negara ini sangatlah memakmurkan negara dan rakyat berikap
pasif dalam masalah kemakmuran, hanya menunggu piring kemakmuran raja penuh, lalu
tumpah menjadi bagian rakyat. [2] tipe negara hukum liberal (tujuan kemakmuran
individu), merupakan reaksi dari kondisi yang dialami suatu negara kekuasaan absolute
atau polizei staat. Dalam polizei staat peran penguasa sangatn besar. Status yang
mendudukkan pemerintah negara secara dominan menyelenggarakan kebutuhan-
kebutuhan rakyat adalah status positif. Sementara itu golongan pengusaha kaya mendesak
raja dan golongan bangsawan untuk tidak ikut campur terlalu banyak dalam urusan bisnis
mereka dalam ikut berupaya memakmurkan rakyat. Desakan yang menginginkan status
negative bagi negara itu diprakarsai oleh orang-orang yang berpikiran bebas atau beraliran
liberal, disebut kelompok borjuis dan merupakan kelompok yang besar dalam negara. Akan
tetapi kelompok borjuis tetap tidak dapat masuk dalam kelompok penguasa negara, karena
sudah dikuasai oleh kelompok bangsawan dan gereja. Mereka kemudian menuntut
pemeruntah agar tidak turut campur dalam masalah kebebasan rakyat untuk mencari
kemakmuran. Kebebasan dalam mencari kemakmuran harus dijamin dengan hukum
sebagai bentuk perlindungan hak asasi. Paham liberal ini bisa dikaitkan dengan teori Kant
menimbulkan tipe negara hukum liberal dengan pola perekonomian kapitalisme. Menurut
Kant, tujuan negara adalah membentuk dan mempertahankan hukum sedang tujuan hukum
adalah menjamin dan melindungi kebebasan rakyat. [3] tipe negara hukum formil,
perkembangan dari negara liberalis. Negara hukum telah menjadi istilah tehnis kenegaraan
yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Pandangan liberal yang ingin mendudukkan negara
hanya sebagai pemegang tata tertib saja tentu menimbulkan konsekuensi bahwa negara
membutuhkan biaya untuk menjalankan tugasnya. Pendapatan negara yang terbesar dapat
diraih dari penarikan pajak. Penarikan pajak memerlukan persetujuan dari rakyat. Untuk
resminya, penguasa kemudian mengadakan peraturan-peraturan tentang pajak, peraturan
peraturan itu tertulis, dan lama-kelamaan menimbulkan undang-undang atau hukum tertulis
secara formil. Kemudian lahirlah negara hukum formil karena dalam segala tindakan-
tindakannya penguasa itu memerlukan bentuk hukum tertentu, dan formalitasnya ini adalah
bentuk undang-undang. [4] negara hukum materiil (negara kesejahteraan/kemakmuran),
pada tipe negara ini tidak lagi dipentingkan bentuk dari suatu peraturan, melainkan
isinya, yaitu
kemakmuran rakyat. Penguasa tidak harus terpaku pada suatu aturan formil untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakannya, melainkan hanya memperhatikan materinya untuk
memakmurkan rakyat saja sudah cukup.3

D. Pengertian Hukum Islam

Pengertian hukum islam adalah hukum yang bersumber kepada nilai – nilai keislaman.
Yang dibentuk dari sumber dalil – dalil agama islam. Hukum itu bisa berarti ketetapan,
kesepakatan, anjuran, larangan, dan sebagainya.

Hukum Islam hanya ditujukkan kepada orang – orang yang beragama Islam dan tidak
ditunjukkan kepada orang yang non-Islam. Jika ada orang Islam yang melanggar hukum
Islam, orang itu harus diadili sesuai dengan ketentuan dalil-dalil agama Islam. Ada
beberapa sumber yang menjadi landasan dalam membuat ketetapan hukum Islam. Sumber-
sember tersebut adalah sebagai berikut.

1. Al Quran
Al quran adalah kitab suci umat Islam. Kitab tersebut diturunkan kepada nabi terakhir,
yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Al quran memuat banyak sekali
kandungan. Kandungan-kandungan tersebut berisi perintah, larangan, anjuran,
ketentuan dan sebagainya. Al quran menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya
manusia menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat yang madani. Maka dari itu,
ayat-ayat Al quran inilah yang menjadi landasan utama untuk menetapkan suatu hukum.

2. Hadis
Hadis adalah segala sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik berupa
perkataan, perilaku, persetujuan, dan sifat beliau. Hadis menjadi landasan sumber yang
paling kuat setelah Al quran. Nabi Muhammad menjadi sosok yang paling sentral bagi
umat Islam karena umat Islam meyakini bahwa segala perbuatan Rasulullah tidak
sedikit pun yang bertentangan dengan Al quran dan beliau terbebas dari kesalahan.

3
Ilmu Negara FHUI 2010, hal 76-78
3. Ijma' Ulama
Ijma' ulama adalah kesepakatan para ulama yang mengambil simpulan berdasarkan
dalil-dalil Al quran atau hadis. Para ulama mengambil ijma' karena dalam Al quran
ataupun hadis tidak dijelaskan secara teperinci sebuah ketetapan yang terjadi pada masa
itu atau kini. Dengan demikian, para ulama mengadakan rapat dan membuat
kesepakatan sehingga hasil rapat atau kesepakatan tersebut menjadi ketetapan hukum.
Ijma ulama tidak boleh bertentangn dengan al-Qur'an ataupun hadist.

4. Qiyas
Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al quran ataupun
hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak
diketahui hukumnya tersebut. Misalnya, dalam Al quran dijelaskan bahwa segala
sesuatu yang memabukkan adalah haram hukumnya. Al quran tidak menjelaskan bahwa
arak haram, sedangkan arak adalah sesuatu yang memabukkan. Dengan demikian, kita
akan mengambil qiyas bahwa arak haram hukumnya karena memabukkan. Itulah
sumber-sumber utama yang menjadi landasan untuk menetapkan hukum Islam.

E. Negara dan pemerintahan dalam Islam dalam konteks metodologi:


1. Ajaran normatif: prinsip-prinsip dasar
Sebuah definisi sederhana tentang negara mengatakan bahwa negara adalah semacam
bentuk ikatan antarmanusia, semacam bentuk kumpulan yang pada akhirnya dapat
menggunakan paksaan terhadap anggota-anggotanya. Lembaga pengelolaan negara
tersebut bisa disebut sebagai pemerintahan (al-hukm), yang sehari-hari dijalankan oleh
pemerintah yang menurut al-Quran adalah segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Tujuan
dasar dari terwujudnya negara adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup yang
sempurna yang di dalam al-Quran disebut dengan baldah thayyibah wa rabbun ghafur.
Secara normatif,al-Quran telah menggariskan sejumlah prinsip, dan prinsip yang utama
adalah ajaran tauhid yang menetapkan pentingnya prinsip kesatuan yang disimbolkan
melalui kalimat syahadah la ilaha illa Allah. Pada dasarnya ajaran Islam bagaikan
piramid dengan satu titik di atas yaitu Allah. Hal ini terlihat pada konsep umat yang
menurut al-Quran merupakan satu kesatuan bagaikan bangunan yang kokoh. Prinsip ini
juga terefleksi pada ajaran Islam tentang negara dan pemerintahan
yang oleh Abd Razzaq al-Sanhuri disebut dengan sulthah markaziyyah islamiyyah,
yakni satu kekuasaan yang bersifat sentralistik, yang tersimbolkan melalui figur
pemimpin negara dan pemerintahan yang dikenal dengan imam, amir, sulthan, atau
khalifah. Agar prinsip tauhid dalam Islam dapat berjalan dengan baik, maka perlu
ditegakkan prinsip-prinsip lain, di antaranya:
a. Antara warga negara dan pemerintah
Al-Quran menegaskan bahwa hubungan warga negara dengan pengelola negara
harus didasarkan pada prinsip ketaatan pada Allah,Nabi, dan penguasa (ulil amri).
Hal ini paling tidak mempunyai tiga implikasi. Pertama, pentingnya penegakan
ajaran Allah dan mereka yang berpaling darinya akan mendapat hukuman bahkan
dipandang keluar dari Islam (kafir). Kedua, ketaatan seorang muslimbukan hanya
kepada Allah dan Nabi tetapi juga kepada penguasa negara dan pemerintah. Namun,
seperti diingatkan dalam hadits Nabi, ketaatan itu berlangsung sejauh mereka tidak
menentukan peraturan yang justru menyalahi syariah Islam. Ketiga, karena ajaran-
ajaran al-Quran dan al-Hadis sangat terbatas maka umat Islam dituntut untuk
mampu merumuskan aturan-aturan lebih rinci sesuai dengan tuntutan masa dan
tempat.
b. Lembaga Musyawarah
Agara negara dan pemerintahan berjalan menurut yang semestinya maka al-Quran
menggariskan prinsip kedua berupa pentingnya lembaga musyawarah (majlis
syura). Anggota lembaga ini merupakan hasil pemilihan rakyat melalui proses
pemilihan umum dan mereka bisa disebut sebagai ahlal-syura, yakni satu lembaga
yang bertanggung jawab penuh atas segala proses berlangsungnya negara dan
pemerintahan. Pimpinan majlis syura dipilih dari anggota-anggota majlis dan dalam
sejarah antara lain dikenal dengan imam, amir, sulthan, atau khalifah.
c. Supremasi Hukum
Al-Quran menggariskan bahwa salah satu ciri pokok dari seorang muslim dan/atau
masyarakat Islam adalah kesiapan untuk menjalankan hukum Allah (syariah).
Mengingat begitu pentingnya posisi hukum ini, maka bisa dipahami ketika Sam’ani
dalam kitabnya Qawati’ al-Adillah menegaskan bahwa ilmu hukum Islam adalah
ilmu yang paling penting dalam Islam, sebab ilmu tersebut membahas peristiwa-
peristiwa yang selalu muncul, berubah, berkembang, dan tidak pernah berhenti serta
tidak ada batasnya. Konsekuensinya, pengetahuan yang dituntut untuk menangani
persoalan tersebut juga tidak terbatas dan selalu
menuntut pengembangan. Ada konsekuensi lain dari prinsip di atas. Hukum seperti
terelaborasi pada sumber pokok Islam, al-Quran, menuntut ketundukan dari semua
pihak baik rakyat, penguasa, bahkan Nabi Muhammad sekalipun. Walaupun sunnah
Nabi pada masa berikutnya menjadi sumber pokok, tetapi kedudukannya
menempati posisi kedua setelah al-Quran. Dengan demikian, Nabi Muhammad
yang secara sosial dan politik dapat dikatakan sebagai pemimpin tertinggi dalam
negara dan pemerintahan Islam, juga harus tunduk dan patuh atas ketentuan-
ketentuan hukum al-Quran. Ini berarti bahwa supremasi hukum merupakan sifat
alami yang melekat dalam ajaran Islam dan harus ditegakkan untuk siapa saja
termasuk penguasa, bahkan Nabi sekalipun.

2. Studi Empiris
a. Fiqh Siyasah
Secara umum, istilah siyasa dipahami sebagai politik dan juga ilmu tata
pemerintahan (statecraft), atau satu istilah yang lebih mengarah kepada keahlian
atau kecakapan dan bukan sebuah doktrin atau filsafat. Fauzi M. Najjar mengatakan
bahwa siyasah adalah satu kebijakan atau satu organisasi yang dengan rakyatnya
diorganisasi atau diarahkan dengan cara-cara tertentu untuk kehidupan yang baik.
Jika dikaitkan dengan orang atau kota, siyasah menjadi sesuatu yang terkait dengan
seni memerintah yang digunakan untuk kepentingan orang banyak baik
menyangkut fisik, spiritual, maupun intelektual. Juga bisa dikatakan sebagai seni
mengurus sebuah kota berdasarkan prinsip-prinsip atau tujuan-tujuan tertentu. Fiqh
siyasah merupakan upaya pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam yang
terkait dengan negara dan pemerintahan dan segala sesuatu yang terkait dengannya.
Penjelasan tentang siyasah ini sekaligus menggambarkan bahwa persoalan negara,
politik, pemerintahan, dan segala yang terkait dengannya sudah menjadi bagian
penting dan tidak terpisahkan dengan Islam sebagai sebuah agama. Data sejarah
tentang fiqh siyasah seringkali tidak mendapat perhatian kalangan sekuler yang
menganut paham pemisahan agama dari negara.
b. Antara ulama’ (agama) dan umara’ (negara)
Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dari negara
didukung pula oleh pengalaman umat Islam di Madinah di bawah kepemimpinan
Nabi Muhammad. Hal ini berlangsung terus hingga masa al-Khulafa’ al-
Rashidun. Sebagaimana pada masa Nabi, para khalifah memegang kekuasaan baik
menyangkut kekuasaan agama (ulama’) ataupun politik (umara’). Pada saat itu,
kekuasaan untuk mendefinisikan hal-hal yang dianggap benar menyangkut ajaran
syariah (sebagai ulama’) berada di tangan para khalifah. Begitu pula, kekuasaan
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada, untuk menjamin kesejahteraan
masyarakat, dan juga untuk melanjutkan misi Islam yang telah dilakukan oleh Nabi
(sebagai umara’), semuanya berada di tangan khalifah.

Pada masa modern terlihat ketegangan antara ulama’ dan umara’, misalnya, pada
pemikiran Rasyid Ridha yang dikenal sebagai salafiyah yang konservatif dan
pemikiran Ahmad Safwat dan Ali Abd Raziq yang liberal. Pada dasarnya, Rasyid
Ridha berpendapat bahwa sistem khilafah yang telah dihancurkan dan diganti
dengan sistem republik oleh penguasa Turki harus dihidupkan kembali. Hal ini
penting untuk menyatukan kembali umat Islam dalam satu kepemimpinan khalifah.
Rasyid Ridha menolak secara tegas pemisahan agama (ulama’) dan negara
(umara’).
Pandangan Ali Abd Raziq amat berbeda dengan pikiran Rasyid Ridha. Berdasarkan
semangat ajaran Abduh, Raziq menformulasikan pikiran kenegaraannya melalui
karyanya yang kontroversial al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-dasar
Pemerintahan). Ia, antara lain, menegaskan bahwa masalah negara tidak termasuk
bahkan harus dipisahkan dari agama. Ulama’ dan umara’ secara tegas berbeda
misinya. Karena pendapatnya ini, ia dipandang sebagai penganut paham sekuler. Di
antara alasan penting yang dijadikan argumen pemikir sekuler untuk menolak
kehadiran negara Islam adalah tidak adanya ayat al-Quran tentang hal itu. Namun,
Muhammad al-Ghazali setuju dengan pemikiran Rasyid Ridha. Ia melanjutkan
pemikiran Rasyid Ridha tentang pentingnya penyatuan kekuasaan agama (ulama’)
dan politik (umara’) di tangan pemimpin umat (khalifah). Pemisahan antara
keduanya, tegas al-Ghazali, adalah bid’ah. Ia menolak pendapat bahwa Islam adalah
din la dawlah (agama dan bukan negara) dan menegaskan tentang perlunya
ditegakkan hukm islami la qawmi, pemerintahan Islam dan bukan pemerintahan
nasionalis.

Dari pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara


normatif maupun empiris, pemikiran maupun praktek menyangkut negara, pemerintahan,
maupun politik pada umumnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari Islam
itu sendiri sebagai satu agama sejak awal Islam hingga kini. Realitas sejarah yang
menunjukkan konflik atau pemisahan antara ulama’ (agama) dan umara’ (negara) lebih
menggambarkan penyimpangan dari ajaran yang seharusnya. Dengan kata lain, pemisahan
tersebut terjadi justru karena penguasa politik cenderung otoriter dan korup yang kemudian
mendapat tantangan keras dari para ulama’ yang menginginkan umat tetap berada pada
jalur ajaran syariah.

Agama dan negara memiliki pertalian yang erat. Pertalian ini didasarkan pada prinsip
hablun min Allah wa hablun min al nas. Sehingga sesungguhnya agama dan negara adalah
dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan begitu saja.

F. Hukum Islam di Indonesia


Pembicaraan mengenai kedudukan Hukum Islam di Indonesia sangat memerlukan kajian
mengenai sistem hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini, yang mana bersifat
majemuk. Hal ini dikarenakan ada tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu
Hukum dari Eropa Kontinental, Hukum Adat, dan Hukum Islam. Ketiga sistem hukum
tersebut telah berlaku di Indonesia walaupun keadaan dan saat mulai berlakunya tidaklah
sama. Hukum Adat merupakan yang paling pertama berlaku di Indonesia, disusul dengan
Hukum Islam dan kemudian Hukum Eropa Kontinental. Hukum Islam baru dikenal di
Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air kita. Waktu persis kedatangannya
belum diketahui sampai sekarang, banyak perbedaan pendapat tentang masalah ini, namun
yang pasti ialah Hukum Islam berlaku dan mengikat bagi semua pemeluk agama Islam di
manapun ia berada. Setelah Belanda menjajah Indonesia, perkembangan hukum Islam
“dikendalikan” dan sesudah tahun 1927, tatkala teori resepsi mendapat landasan peraturan
perundang-undangan (IS 1925, 1929), menurut Prof. Hazairin, perkembangan Hukum
Islam dihambat di tanah air kita4.

Pengkaitan antara Hukum Islam dengan konsep Negara Indonesia tentunya berlandaskan
kepada pertama yaitu Grund Norm atau norma dasar yang berlaku di Indonesia, yaitu
Pancasila. Mengingat sila kesatu dari Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sudah jelas bahwa disini dapat ditafsirkan bahwa segi-segi teologis sangatlah

4
Hukum Islam, M. Daud Ali, hal 210
dikedepankan dalam menjalani kegiatan kenegaraan. Konsep negara menurut ajaran agama
Islam haruslah bertujuan baldah thayyibah wa rabbun ghafur yang artinya negara yang adil
dan makmur yang diridhoi oleh Allah Yang Maha Kuasa, dan tentunya dengan didasarkan
pada hukum Islam-lah hal ini dapat terwujud.

Mengilas balik kepada bahasan “negara dan pemerintahan dalam islam dalam konteks
metodologi” dan menjadikannya sebagai salah satu bahan acuan pada penerapan hukum
islam pada suatu konsep bernegara, tentunya sangat banyak yang dapat diambil untuk
menghias konspe negara Indonesia, karena tentunya agama Islam menjungjung tinggi
segala kebajikan untuk seluruh umat. Poin pertama berbicara mengenai ajaran normatif,
yaitu prinsip-prinsip dasar daripada suatu negara, konsep yang diajarkan berdasarkan
kepada tauhid yang bersandar pada kalimat syahadat. Negara Republik Indonesia, pada saat
penyusunan Pancasila, pada awal mulanya sila pertama berbicara secara langsung tentang
negara yang didasarkan pada syari’at Islam, namun tentunya hal ini dipandang tidak
memungkinkan untuk terwujud, mengingat keberagaman dan kemajemukan keyakinan
serta kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia. Maka dari itu, tentunya konsep
negara Indonesia tidak dapat berlangsung dengan sistem teokrasi yang secara terang
menegaskan prinsip-prinsip ketuhanan dalam bernegara. Namun hal ini bukan menjadi
alasan untuk mengenyampingkan hukum Islam dan membiarkannya hanya sekedar menjadi
kiasan belaka dalam kehidupan, karena nyatanya banyak sekali yang dapat dipandang perlu
karena member manfaat yang sangat baik, misalnya prinsip-prinsip ketauhidan, kerukunan
antar umat, supremasi hukum yang selalu ditekankan dan dijunjung tingginya keadilan.
Tentunya banyak sekali hal yang tidak disadari maupun dikesampingkan oleh manusia
mengenai fakta bahwa ajaran agama Islam mempunyai keunggulan yang luar biasa dalam
berbagai bidang. Poin kedua, studi empiris mengisahkan betapa disayangkannya apabila
terjadi instabilitas dalam negara yaitu instabilitas antara politik dengan pemerintahannya,
penyimpangan-penyimpangan dan perseteruan antara ulama’ dan umara’ menimbulkan
berbagai “penyakit” dan hal ini disebabkan kurangnya perhatian terhadap ajaran agama
Islam yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Dalam penerapannya, hal ini terlihat pada
pemerintahan Indonesia yang cenderung korup dan sudah sangat menyimpang dari sesuatu
yang dikehendaki oleh Allah SWT, kemakmuran rakyat tidak lagi menjadi tujuan utama
dari kebijakan pemerintah, melainkan kemakmuran individual atau kelompoknya sendiri.
Semakin jauhnya “kedudukan” hukum Islam di Indonesia dari peringkat prioritas, kini
menjadi sangat memprihatinkan, konsep negara Indonesia yang memang semula bertujuan
untuk menjunjung tinggi keagamaan dalam mengendalikan arah negara kea rah yang lebih
baik, tampaknya diabaikan dan hanya dijadikan kiasan belaka. Hukum Islam sudah
seharusnya mendapat posisi prioritas dalam menentukan segala kebijakan dan peraturan
yang dibuat oleh pemerintah, dan mengingat kemajemukan yang ada dalam masyarakat
Indonesia, hal ini harus disusun dengan se-adil mungkin dan menghindari cacat sekecil
mungkin, agar tidak terjadi prasangka dan perpecahan antar umat beragama di Indonesia,
serta tidak menjadikan suatu peraturan bagai “pisau bermata dua” alias dapat merugikan
pihak pemerintah pada akhirnya.

G. Universalitas nilai politik dengan lokalitas dan temporalitas praktik politik

Universalitas secara etimologi berasal dari bahasa inggris universal yang berarti: Semesta
dunia dan universally, yaitu: Disukai di seluruh dunia atau Universe berarti seluruh bidang.
Dalam kamus, Al-Munjid As-syamlah universalitas adalah sesuatu yang luas.

Dalam Pandangan Islam, politik dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Dalam
kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha
(mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya
dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Pelaku urusan tersebut disebut politikus
(siyasiyun). Dalam bahasa Arab dikatakan ulil amri mengurusi (yasûsu).

Universalitas Islam dalam pengertian istilah menurut Yasuf Al-Qardhawi adalah:


“Bahwa risalah Islam meliputi seluruh dimensi waktu, tempat dan kemanusiaan, yang secara
realitas mencakup tiga karakteristik yaitu: Keabadian, internasionalitas dan aktualisasi.
Kalam Allah yang bersifat universal dan abadi di Lauh al-Mahfuz, ketika diwahyukan,
kemudian diucapkan dan dituliskan dengan menggunakan bahasa Arab oleh utusan Allah
SWT. Rasulullah SAW pula menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya: “Adalah
Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang
nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada
banyak para khalifah;” (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan demikian sudah jelas bahwa
politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat.

Dalam praktik politik demokrasi yang ada di Indonesia salah satunya terdapat konsep
musyawarah yang sesuai dengan konsep politik islam. Musyawarah berasal dari kata
syawarayusyawiru yang artinya saling memberi dan meminta nasihat atau saran. Imam at-
Tabrasi mendefinisikan term as-syura sebagai diskusi untuk menemukan hak. Sedangkan
Raqib al-Asfahani menegaskan bahwa syura adalah upaya menemukan pemikiran yang
selaras dengan pendapat orang banyak. Ibnu Arabi dalam bukunya Ahkam Al-Qur’an
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan as-syura adalah pertemuan yang mendiskusikan
silang pendapat untuk menemukan pemikiran terbaik

Bukti universalitas ajaran agama Islam yaitu dengan adanya konsep politik yang memiliki
keistimewaan dari sistem politik. Politik Islam adalah politik yang mensinergikan antara
negara dan agama, sehingga politik Islam ini sangat menjujung tinggi nilai-nilai agama
dalam sebuah pemerintahan yang memuliakan manusia dan memakmurkan dunia.
Musyawarah berasal dari kata syawarayusyawiru yang artinya saling memberi dan meminta
nasihat atau saran. Sebagai contoh Rasulullah Saw tidak pernah malu meminta nasihat atau
saran kepada sahabatnya tentang suatu masalah. Bahkan musyawarah adalah salah satu
kunci sukses kepemimpinan beliau. Dengan demikian musyawarah yang dilakukan oleh
Rasulullah saw tersebut merupakan suatu pembuktian dan kunci keberhasilan dari suatu
kepemimpinan, dengan melibatkan dan mendengarkan saran orang lain untuk mendapatkan
keputusan yang terbaik.

H. Nilai politik dengan lokalitas dan temporalitas praktik politik


Politik Islam adalah politik yang mensinergikan antara negara dan agama, sehingga politik
Islam ini sangat menjujung tinggi nilai-nilai agama dalam sebuah pemerintahan yang
memuliakan manusia dan memakmurkan dunia. Dalam politik islam nilai-nilai yang
digunakan tentunya berpegangan teguh dengan ajaran agama islam, namun Negara
Indonesia yang beranekaragam agama yang ada di dalamnya menerapkan praktik politik
demokrasi. Politik dan agama tak bisa di pisahakan.

Dalam praktik politik demokrasi yang ada di Indonesia salah satunya terdapat konsep
musyawarah yang sesuai dengan konsep politik islam. Musyawarah berasal dari kata
syawarayusyawiru yang artinya saling memberi dan meminta nasihat atau saran. Imam at-
Tabrasi mendefinisikan term as-syura sebagai diskusi untuk menemukan hak. Sedangkan
Raqib al-Asfahani menegaskan bahwa syura adalah upaya menemukan pemikiran yang
selaras dengan pendapat orang banyak. Ibnu Arabi dalam bukunya Ahkam Al-Qur’an
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan as-syura adalah pertemuan yang mendiskusikan
silang pendapat untuk menemukan pemikiran terbaik.
I. Variasi pandangan umat Islam dalam melihat relasi Islam dan negara
Persoalan mengenai hubungan islam dengan berbagai gagasan yang sekaligus membuat
banyak perbedaan, di antara mereka adalah al-Farabi, al-Baqillani, al-Ghazali, Ibnu
Khaldun, Ibnu Taimiyah, Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, dan lain-lain. Perbedaan
pandangan tersebut terjadi selain karena sejarah masa lalu, juga disebabkan karena tidak
adanya keterangan tegas mengenai negara dan pemerintahan pada sumber islam seperti
dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

Menurut Zaprulkhan (2014:105) menyatakan secara garis besar paling tidak ada tiga
paradigma pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Pertama, paradigma sekularistik,
kedua, paradigm formalistic, ketiga, paradigma substansialistik.

1. Paradigma sekularistik, yang mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya


dengan negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan.
‘Ali ‘Abd alRaziq menjelaskan pandangannya dengan beberapa prinsip. Prinsip
pertama, tidak ada sistem khilāfah dalam al-Qur’an dan Sunnah. (Zaprulkhan 2014:
107). Bagi umat muslim, posisi seorang khalifah ada di dalam posisi Rasul SAW.
Tidak hanya menangani kasus agama, tetapi juga kasus dunia. Prinsip kedua,
Muhammad seorang Rasul bukan penguasa negara. menyatakan sosok pejabat
negara juga bukan seorang Nabi. Menurutnya, umat muslim cenderung
berpandangan jika islam merupakan himpunan politik dan agama yang dasarnya
dibangun oleh Rasul SAW. Padahal seorang Nabi memiliki tugasnya tersendiri, yaitu
tidak mengurusi keperluan kehidupan duniawi dan tidak mempunyai ihwal mengenai
kekuasaan politik, melainkan Nabi bertugas untuk menuntun manusia menuju jalan
Allah SWT. Prinsip ketiga, perpolitikan dalam islam adalah murni diberikan oleh
Allah SWT kepada manusia, agar manusia dapat mengembangkan pemerintahan
melalui akal dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dengan caranya sendiri,
manusia dipercayai oleh Allah SWT untuk mengatur negaranya masing-masing,
bukan lagi seorang khalifah atau nabi yang dianggap sebagai pemimpin
pemerintahan di dunia ini
2. Paradigma formalistic, yang menganggap bahwa Islam adalah agama yang
paripurna, yang mencakup segala-galanya, termasuk masalah negara atau sistem
politik. Menurut Zaprulkhan (2014:114) menyatakan aspek politik yang hendak
menjadikan Islam sebagai pondasi pemerintahan dalam segala dimensinya inilah
yang ditampilkan oleh gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan mempunyai
pengaruh yang cukup luas bagi umat Islam diberbagai belahan negara.
3. Paradigma substansialistik, yang menolak pendapat bahwa Islam mencakup
segalagalanya dan juga menolak pandangan bahwa Islam hanya mengatur hubungan
antara manusia dan Penciptanya semata. Menurut paradigma ini seperangkat asas
dan nilai mengenai kehidupan masyarakat termasuk system pemerintahan, telah
dimiliki agama islam. Menurut Zaprulkhan (2014:120) menyatakan dalam perspektif
Muhammad ‘Abduh, hakikat pemerintahan Islam tidak bersifat keagamaan tetapi
betul-betul bersifat keduniawian. Pemerintahan Islam bersifat keduniawian, karena
pemerintahannya didasarkan atas demokrasi kedaulatan manusia yang dijunjung
tinggi.

J. Rekontruksi konsepm politik nasionalis-religius

Nasionalisme berasal dari dua kata yakni “nasional” dan “isme” yaitu paham kebangsaan
yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air. Selain itu
Nasionalisme berasal dari kata “nation” yang dipadankan dengan bangsa. Terdapat dua
pengertian dari bangsa, yaitu pengertian antropologis dan sosiologis, dan dalam
pengertian politis. Dalam pengertian antropologis dansosiologis, bangsa adalah suatu
masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-
masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama,
sejarah, dan adat istiadat. Sedangkan bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat
dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk pada kedaulatan negaranya segabai
suatu kekuasaan tertinggi.

Terdapat berbagai bentuk dari nasionalisme salah satunya nasionalisme religius, yaitu
suatu nasionalisme yang menunjukkan negara memperoleh legitimasi politik dari
persamaan agama. Walaupun begitu, biasanya nasionalisme relegius ini merupakan
campuran dengan nasionalisme etnis.

Nasionalisme religius merupakan bentuk lain dari nasionalisme, yang mana negara
memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Keberagaman juga terjadi pada
agama di Indonesia, yang kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia, membawa
pada perubahan bagi bangsa Indonesia. Karena agama dan kesadaran tentang
kesejahteraan bersama inilah yang menjadikan faktor terpenting dari nasionalisme.
Nasionalisme atas keberagaman agama inilah, yang menjadikan Indonesia memiliki
kekuatan dalam melawan penjajahan.

Umat Islam sebagai warga bangsa terbesar di negeri ini memiliki kesempatan dan
peluang yang terbuka lebar untuk berjihad (bersungguh-sungguh) mengisi Pancasila
dengan nilai agama (atau nilai syariat Islam), dan begitu juga dengan kandungan nilai
agama dalam penafsiran dan penerapan UUD 1945. Dengan peran umat islam dalam
mengamalkan Pancasila akan dapat menjadikan Indonesia menjadi Muslim dalam arti
etika atau substansial, bukan dalam pengertian formal atau simbolik sebagaimana
keinginan masa lalu menjadi Negara Islam. Untuk menyebut contoh pengisian Pancasila
dengan nilai Islam dimaksud adalah perintah Al-Qur`an tentang musyawarah dalam QS
Ali Imrān/3:159.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengumpulan sumber dan hasil pembahasan dari sumber, maka
kesimpulan yang dapat ditarik untuk makalah ini ialah: [1] bahwa Konsep Negara
terkait dengan Hukum Islam, adalah suatu ikatan yang dapat dikatakan hampir
sempurna. Hal ini dikarenakan oleh susunan dari pemikiran para ahli yang digabungkan
dengan ajaran Islam yang sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan
bertujuan untuk mensejahterakan ummat, Baldatun Thoyibatun Warobbun Ghofur.
Dalam kesimpulan ini, terkait pula dengan tujuan negara, dan negara dan pemerintahan
dengan konteks metodologi Islam; [2] Hubungan antara hal tersebut dengan Indonesia
adalah, ketika Hukum Islam dikaitkan dengan Konsep Negara yang dianut oleh
Indonesia, maka sesungguhnya kestabilan bernegara sangatlah memungkinkan untuk
terjadi. Terkait dengan Pancasila, yang menjunjung tinggi ketuhanan Yang Maha Esa,
maka Hukum Islam seharusnya mendapat prioritas tinggi dalam pengkaitan dengan
Konsep Negara Indonesia, yang mana akan membawa kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang penulis tarik dari makalah ini, maka saran yang dapat
disampaikan adalah, [1] Kepada seluruh rakyat Indonesia agar senantiasa mengamalkan
isi dari Pancasila sebagai dasar dari kehidupan bernegara; [2] Kepada seluruh umat
muslim di Indonesia, agar senantiasa mematuhi dan mengamalkan apa- apa yang
menjadi ajaran agama Islam, karena pada asasnya keimanan merupakan nikmat
tertinggi dari Allah SWT, dan ingatlah bahwa janji Allah akan datang. Negara Indonesia
adalah Negara dengan kekayaan alam yang berlimpah, dan merupakan karunia Allah
SWT, dan menjadi tugas seluruh rakyat Indonesia untuk mengolah dan
melestarikannya, berdasarkan apa-apa yang menjadi dasar kehidupan bernegara dan
beragama, yaitu tentunya hal ini terkait dengan kesimpulan dari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi, Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan
Syariah, Mizan, Jakarta, 2001
Azhary, Tahir, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya,
Universitas Indonesia, Jakarta, 1995
Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1978
Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2011
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Yayasan
Indonesiatera, Jakarta, 2001
Schmid, Von, Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, PT Pembangunan, Jakarta,
1988
Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara, Ilmu Negara, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, 2010
Dr Andy Hadiyanto MA, M. Ridwan Effendi M.Ud, Sari Narulita, Lc M.Si, Firdaus
Wajdi, PhD, PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK PERGURUAN TINGGI.
Fikra Publika. Hal 151-159, Prodi Pendidikan Agama Islam, Universitas Negeri
Jakarta, Jakarta, 2020

Anda mungkin juga menyukai