Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

NEGARA DAN RELASINYA DENGAN AGAMA

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

"Pancasila dan Kewarganegaraan"

Dosen Pengampu :

M. Maulana Asegaf, Lc,.M.H.I.

Kelompok 5 :

1. Huwaida Dwi Cahyani (08010120009)

2. Muhammad Fahza Rahmadi Rega (08010120017)

3. Bella Dahniar Arianti (08020120034)

PROGAM STUDI ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Bismillahirrahmanirrahim ...

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Negara dan
Relasinya dengan Agama”. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada Bapak M. Maulana Asegaf, Lc,.M.H.I. Selaku dosen Pancasila
dan Kewarganegaraan yang sudah memberikan kepercayaan kepada kami untuk
menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak


kekurangan dan jauh dari kata sempurna .Oleh sebab itu kami mengharapkan
adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan kami buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun

Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat di pahami oleh semua orang


khususnya bagi para pembaca. Kami mohon maaf yang sebesar besarnya jika
terdapat kata-kata yang kurang berkenan.

Nganjuk, 27 Maret 2021

i
(Kelompok 5)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A. Konsep Dasar tentang Negara................................................................................3
1. Pengertian Negara..............................................................................................3
B. Tujuan Negara........................................................................................................5
C. Unsur-unsur Negara...............................................................................................6
1. Rakyat (masyarakat/warga negara).....................................................................7
2. Wilayah..............................................................................................................7
3. Pemerintah.........................................................................................................8
4. Pengakuan negara lain........................................................................................9
D. Teori Tebentuknya Negara...................................................................................10
1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract)............................................................10
2. Teori Ketuhanan (Teokrasi)..............................................................................11
3. Teori Kekuatan.................................................................................................12
E. Teori Agama dan Negara.....................................................................................13
F. Hubungan atau Relasi antara Agama dan Negara.................................................15
BAB III PENUTUP..........................................................................................................20
A. KESIMPULAN....................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam
sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Hubungan antara keduanya telah
melahirkan kemajuan besar dan menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada
bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika
negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari
agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini). Dalam ronde
ini bisebut dengan ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah,
dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi,
negara untuk urusan publik.

Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara


merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa
memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula
negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa. Akan
tetapi persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan
sekularistik pada mulanya merupakan “wisdom” yang didapat oleh masyarakat
Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat
Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar
salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah tapi juga bisa sebaliknya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep dasar tentang negara?

2. Apa tujuan negara?

3. Apa saja unsur-unsur negara?

4. Teori apa saja yang membentuk negara?

5. Teori apa saja yang terdapat pada hubungan agama dan negara?

1
6. Bagaimana relasi agama dan negara dalam prespektif Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep dasar tentang negara.

2. Untuk mengetahui tujuan negara.

3. Untuk mengetahui unsur-unsur negara.

4. Untuk mengetahui teori terbentuk negara.

5. Untuk mengetahui teori hubungan agama dan negara.

6. Untuk mengetahui relasi agama dan negara dalam prespektif islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar tentang Negara

1. Pengertian Negara
Sebelum memahami secara detail mengenai negara, terlebih dulu akan
diawali dengan penelusuran kata negara tersebut. Secara literal istilah negara
merupakan terjemahan dari kata-kata asing: state (bahasa Inggris), staat
(bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis).1 Kata staat, state,
dan etat, diambil dari bahasa Latin, status atau statum, yang berarti keadaan
yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan
tetap.2

Kata status atau statum lazim diartikan sebagai standing atau station
(kedudukan). Istilah ini ditempatkan dengan situasi persekutuan hidup
manusia, yang juga sama dengan istilah status di mana alamat sekolah berada.
Dari sitem yang terakhir inilah, status kata pada abad ke-16 ditempatkan
dengan kata negara. Secara terminologi, negara diartikan dengan organisasi
tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk
bersatu, hidup di daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang
berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara
yang terdiri atas tiga unsur: adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah
(daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat.

Menurut Roger F. Soltau, negara didefinisikan sebagai alat (agency)


atau yang berwenang (othority) yang mengatur atau mengendalikan masalah-
masalah bersama, atas nama masyarakat. Lain halnya dengan yang
dikemukakan Harold J. Laski, menurutnya, suatu negara merupakan suatu
masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai kewenangan yang
1
A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarga[negara]an (Civic Education), Jakarta:
Kencana) 2012), hlm., 120

2
Sulaiman Asep, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (Bandung: Cv Arvino Raya,
2015) hal 73

3
dimaksud oleh individu atau kelompok yang merupakan bagian dari
masyarakat itu. Masyarakat merupakan suatu kelompok yang hidup dan
bekerja sama untuk mencapai terwujudnya keinginan-keinginan mereka
bersama.

Sejalan dengan Harold J. Laski, Max Weber menegaskan bahwa


negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam
penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Konsep Robert
M. Mac Iver, negara diartikan sebagai asosiasi yang menyelenggarakan
penertiban masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum yang
diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang dimaksud dengan pemberian
kewenangan.

Dalam konsepsi Islam, dengan mengacu pada Al-Qur'an dan Al-


Sunnah, tidak ditemukan rumusan tentang negara secara eksplisit, hanya
terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selain itu, konsep Islam tentang negara juga berasal dari tiga paradigma, yaitu:

a. Paradigma tentang teori khilafah yang dipraktikan sesudah Rasulullah


saw., terutama mengacu pada masa Khulafa al Rasyidun.

b. Paradigma yang bersumbet pada teori Imamah dalam paham Islam Syi'ah.

c. Paradigma yang bersumber dari teori Imamah atau Pemerintahan.

Teori tentang khilafah menurut Amien Rais, diimplementasikan


sebagai misi kaum muslimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini sesuai
dengan petunjuk Allah Swt., dan rasul-Nya. Mengenai cara pelaksanaannya,
Al-Qur'an tidak jelas, tetapi dalam bentuk global saja. Adapun teori imamah,
Amien lebih lanjut mengatakan bahwa imamah dalam pengertian dalam Al-
Qur'an tidak tertulis. Akan tetapi, jika dimaksud imamah itu adalah
kepemimpinan yang harus diikuti oleh umat Islam, hal itu jelas ada dalam Al-
Qur'an. Artinya, Al-Qur'an memerintahkan kaum muslimin untuk mengikuti
pemimpin yang benar, yang terdiri atas manusia-manusia atau pemimpin yang
menggunakan Islam sebagai patokan kepemimpinannya.

4
Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dilaksanakan dengan sederhana
bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh
sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada
peraturan peraturan-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari
kekuasaan yang sah.

B. Tujuan Negara
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang-orang yang
mendiaminya, negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama. Tujuan
sebuah negara dapat bermacam-macam, antara lain:3

1. Memperluas kekuasaan sendiri-mata.

2. Menyelenggarakan ketertiban hukum.

3. Mencapai kesejahteraan umum.

Dalam konsep dan ajaran Plato, tujuan adanya negara untuk mengajukan
kesusilaan manusia, baik sebagai perseorangan maupun sebagai makhluk sosial.
Menurut Roger F. Soltau, tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya
berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin
(pengembangan dan ekspresi diri kreatif anggotanya yang sebebas mungkin).

Dalam ajaran dan konsep Teokratis (yang diwakili oleh Thomas Aquinas
dan Agustinus), tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan
aman dan tenteram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Pemimpin
negara menjalankan kekuasaannya hanya berdasarkan kekuasaan Tuhan yang
diberikan kepadanya.

Dalam Islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan tujuan
agar manusia dapat menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa
negara dan intervensi pihak-pihak asing. Paradigma ini didasarkan pada konsep
sosio- hitoris bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan watak dan
kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat, yang membawa dampak antara

3
Sulaiman Asep, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (Bandung: Cv Arvino Raya,
2015) hal 74

5
individu satu sama lain yang membutuhkan bantuan. Adapun menurut Ibnu
Khaldun, tujua n negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan
dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat. Sementara itu, dalam konsep dan
ajaran negara hukum, tujuan negara adalah menyelenggarakan ketertiban hukum,
dengan berdasarkan dan berpedoman pada hukum. Dalam negara hukum, segala
kekuasaan dari alat- alat pemerintahannya berdasarkan hukum. Semua orang
tanpa kecuali harus tunduk dan taat pada hukum, hanya hukumlah yang berlaku
dalam negara itu (goverment not by man but by law = the rule of law).

Dalam konteks Negara Indonesia, tujuan negara (sesuai dengan


pembukaan UUD 1945) untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Selain itu, dalam penjelasan
UUD 1945 ditetapkan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Dari pembukaan
dan penjelasan UUD 1945 tersebut, dapat dikatakan Indonesia merupakan suatu
negara hukum yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk
masyarakat yang adil dan makmur.

C. Unsur-unsur Negara
Dalam rumusan Konvensi Montevideo tahun 1933 alasan bahwa negara
harus memiliki tiga unsur penting: rakyat, wilayah, dan pemerintah.  Sejalan
dengan itu, Mac Iver merumuskan bahwa suatu negara harus memenuhi tiga unsur
pokok: pemerintahan, komunitas atau rakyat, dan wilayah tertentu.  Ketiga unsur
ini oleh Mahfud M.D. disebut sebagai unsur konstitutif.  Tiga unsur ini perlu
ditunjang dengan unsur lainnya, seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia
internasional yang oleh Mahfud disebut dengan unsur deklaratif. Dari beberapa
pendapat tentang unsur negara tersebut, maka global suatu negara membutuhkan
tiga pokok, yakni masyarakat / warga negara, wilayah, dan pemerintah.  Untuk
lebih jelas memahami unsure-unsur negara, akan mengupayakan uraian berikut.4

4
Sulaiman Asep, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (Bandung: Cv Arvino Raya,
2015) hal 75

6
1. Rakyat (masyarakat/warga negara)
Setiap negara tidak mungkin ada tanpa kehadiran warga atau
rakyatnya.  Unsur rakyat sangat penting dalam sebuah negara yang konkret
memiliki kepentingan agar negara itu dapat berjalan dengan baik.  Selain itu,
bagaimanapun manusialah yang akan menentukan dan menentukan sebuah
organisasi (negara). 

2. Wilayah
Wilayah dalam sebuah negara merupakan unsur yang harus ada.  Tidak
mungkin ada negara jika tanpa ada batas-batas teritorial yang jelas.  Sebagai
contoh, pada tahun 1860, Kursi Suci (Tahta Suci, Kepausan) adalah sebuah
negara, karena menguasai sebagian wilayah Italia dari pantai barat hingga
bagian timur jazirah Italia.  Ketika pada tahun 1800–1861 Italia menjadi
kerajaan yang disatukan, maka Kursi Suci diinkorporter ke dalam wilayah
kerajaan baru itu, kecuali wilayah di sekitar Kota Roma yang tetap
dikuasainya.  Akan tetapi pada 1870, wilayah sekitar Kota Roma itu tidak
dapat dilepaskan dari kekuasaan Kursi Suci.  Secara otomatis kemudian Kursi
Suci lenyap sebagai negara.  Baru dalam tahun 1929 dengan Traktat Lateran
persetujuan antara Mussolini dan Paus tentang hubungan gereja dan negara. 
Dengan Traktat Lateran itu, diciptakan kembali Negara Vatikan yang
mencakup luas wilayah 109 ha di tengah-tengah Kota Roma.  Secara
mendasar, wilayah sebuah negara mencakup wilayah daratan, perairan, dan
udara (wilayah udara).

a) Daratan (wilayah darat)

Daratan suatu negara membangun wilayah darat dan atau laut


(perairan) negara lain.  Perbatasan wilayah sebuah negara biasanya
ditentukan berdasarkan perjanjian.  Perjanjian internasional yang dibuat
antara dua negara disebut perjanjian bilateral (bi = dua);  perjanjian yang
dibuat antara banyak negara disebut perjanjian multilateral (multi =
banyak).  Perbatasan antar dua negara dapat berupa:

1) perbatasan alam, seperti sungai, danau, pegunungan, atau lembah.

7
2) perbatasan buatan, seperti pagar tembok, pagar kawat, atau tiang
tembok.

3) perbatasan menurut ilmu pasti, yakni menggunakan ukuran garis


lintang atau bujur pada peta bumi. 

b) Perairan (wilayah laut)

Perairan atau laut yang menjadi bagian atau termasuk wilayah


suatu negara disebut perairan atau wilayah teritorial dari negara yang
bersangkutan.  Adapun batas dari perairan perairan itu pada umumnya 3
mil laut (5,555 km) yang dihitung dari pantai ketika air surut.  Laut yang
berada di luar perairan teritorial disebut lautan (mare liberum).

c) Udara (wilayah udara)

Udara yang berada di atas wilayah darat (daratan) dan wilayah laut
suatu negara merupakan bagian dari wilayah udara sebuah negara. 
Mengenai batas ketinggian sebuah wilayah negara tidak memiliki batas
yang pasti, asalkan negara yang berwenang dapat mempertahankannya.

3. Pemerintah

Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang mengelola organisasi


negara untuk mencapai tujuan negara.  Itulah syarat, pemerintah sering
menjadi personifikasi sebuah negara.  Pemerintah menegakkan hukum dan
anggota yang melakukan kekacauan, mengadakan perdamaian, serta
menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang bertentangan.  Pemerintah yang
menyatakan, menyatakan, dan menjalankan kemauan individu-individu yang
tergabung dalam organisasi politik yang disebut negara. Pemerintah sangat
diperlukan dalam berdirinya suatu negara, tidak mungkin jika negara muncul
tanpa kemudian diikuti oleh berdirinya pemerintah. Sistem pemerintahan
setiap negara berbeda-beda. Adapun pengelompokan sistem pemerintahan
tersebut, yaitu:

8
a) Sistem pemerintahan parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di
mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam
hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana
menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu
dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
b) Sistem pemerintahan presidensiil. Dalam sistem presidensil ini, presiden
memiliki kekuasaan yang kuat karena selain sebagai kepala negara, juga
sebagai kepala pemerintahan yang mengetuai kabinet (Dewan Menteri).

c) Sistem Pemerintahan Campuran. Sistem pemerintahan ini, selain


memiliki presiden sebagai kepala negara, juga memiliki perdana menteri
sebagai kepala pemerintahan untuk memimpin kabinet yang bertanggung
jawab kepada parlemen.

d) Sistem Pemerintahan Proletariat. Dalam sistem ini, usaha pertama


pemerintah sebenarnya juga ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak
(kaum proletar), rakyat banyak tersebut kemudian dihimpun dalam suatu
organisasi kepartaian tunggal (tani, buruh, pemuda, dan wanita) yang
akhirnya menjadi dominasi partai tunggal. Partai tunggal tersebut adalah
partai komunis.

4. Pengakuan negara lain


Pengakuan oleh negara lain berdasarkan hukum internasional,
pengakuan itu bersifat deklaratif, bukan bersifat konstitutif.  Adanya
pengakuan dari negara lain menjadi tanda bahwa suatu negara baru yang
memenuhi persyaratan konstitutif diterima sebagai anggota dalam
pergaulan antarnegara.  Keberadaan negara sebagai peningkatan fisik
(pengakuan de facto) secara formal dapat ditingkatkan menjadi suatu fakta
yudical (pengakuan de jure).

D. Teori Tebentuknya Negara


Bentuk-bentuk negara yang telah disebutkan di atas ada teori tentang
pembentukannya. Di antara teori-teori terbentuknya sebuah negara, yaitu 5:
5
Ibid, hlm. 123-126

9
1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract)

Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan


bahwa negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dalam
tradisi sosial masyarakat. Teori ini meletakkan negara untuk tidak berpotensi
menjadi negara tirani, karena keberlangsungannya bersandar pada kontrak-
kontrak sosial antara warga negara dengan lembaga negara. Penganut mazhab
pemikiran ini antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Roussae.

Menurut Hobbes, kehidupan manusia terpisah dalam dua zaman, yakni


keadaan selama belum ada negara, atau keadaan alamiah (status naturalis,
state of nature), dan keadaan setelah ada negara. Bagi Hobbes, keadaan
alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman dan sejahtera, tetapi
sebaliknya, keadaan alamiah merupakan suatu keadaan sosial yang kacau,
tanpa hukum, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar-individu
di dalamnya. Karenanya, menurut Hobbes, dibutuhkan kontrak atau perjanjian
bersama individu-individu yang tadinya hidup dalam keadaan alamiah berjanji
akan menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang
atau sebuah badan yang disebut negara.

Berbeda dengan Hobbes yang melihat keadaan alamiah sebagai suatu


keadaan yang kacau, John Locke melihatnya sebagai suatu keadaan yang
damai, penuh komitmen baik, saling menolong antar individuindividu di
dalam sebuah kelompok masyarakat. Sekalipun keadaan alamiah dalam
pandangan Locke merupakan suatu yang ideal, ia berpendapat bahwa keadaan
ideal tersebut memiliki potensial terjadinya kekacauan lantaran tidak adanya
organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka. Di sini,
unsur pimpinan atau negara menjadi sangat penting demi menghindari konflik
di antara warga negara bersandar pada alasan inilah negara mutlak didirikan.

Namun demikian, menurut Locke, penyelenggara negara atau


pimpinan negara harus dibatasi melalui suatu kontrak sosial. Dasar pemikiran
kontrak sosial antar negara dan warga negara dalam pandangan Locke ini
merupakan suatu peringatan bahwa kekuasaan pemimpin (penguasa) tidak

10
pernah mutlak, tetapi selalu terbatas. Hal ini disebabkan karena dalam
melakukan perjanjian individu-individu warga negara tersebut tidak
menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka. Menurut Locke, terdapat hak-
hak alamiah yang merupakan hak-hak asasi warga negara yang tidak dapat
dilepaskan, sekalipun oleh masing-masing individu.

Berbeda dengan Hobbes dan Locke, menurut Roussaeu keberadaan


suatu negara bersandar pada perjanjian warga negara untuk meningkatkan diri
dengan suatu pemerintah yang dilakukan melalui organisasi politik.
Menurutnya, pemerintah tidak memiliki dasar kontraktual, melainkan hanya
organisasi politiklah yang dibentuk melalui kontrak. Pemerintah sebagai
pimpinan organisasi negara dan ditentukan oleh yang berdaulat dan
merupakan wakil-wakil dari warga negara. Yang berdaulat adalah rakyat
seluruhnya melalui kemauan umumnya. Pemerintah tidak lebih dari sebuah
komisi atau pekerja yang melaksanakan mandat bersama tersebut.

Melalui pandangannya ini, Roussaeu dikenal sebagai peletak dasar


bentuk negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat melalui perwakilan
organisasi politik mereka. Dengan kata lain, ia juga sealigus dikenal sebagai
penggagas paham negara demokrasi yang bersumberkan pada kedaulatan
rakyat, yakni rakyat berdaulat dan penguasa-penguasa negara hanyalah
merupakan wakil-wakil rakyat pelaksana mandat mereka.

2. Teori Ketuhanan (Teokrasi)

Teori ketuhanan dikenal juga dengan istilah dokrin teokritis. Teori ini
ditemukan di Timur maupun di belahan dunia Barat. Teori ketuhanan ini
memperoleh bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan para sarjana
Eropa pada Abad Pertengahan yang menggunakan teori ini untuk
membenarkan kekuasaan mutlak para raja.

Doktrin ini memiliki pandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki


para raja berasal dari Tuhan. Mereka mendapat mandat Tuhan untuk bertakhta
sebagai penguasa. Para raja mengklaim sebagai wakil Tuhan di dunia yang

11
mempertanggungjawabkan kekuasaannya hanya kepada Tuhan, bukan kepada
manusia. Praktik kekuasaan model ini ditentang oleh kalangan monarchomach
(penentang raja). Menurut mereka, raja tiran dapat diturunkan dari
mahkotanya, bahkan dapat dibunuh. Mereka beranggapan bahwa sumber
kekuasaan adalah rakyat.

Dalam sejarah tata negara Islam, pandangan teokritis serupa pernah


dijalankan raja-raja Muslim sepeninggal Nabi Muhammad saw. Dengan
mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan atau bayang-bayang Allah di
dunia (khalifatullah fi al-ard, dzilullah fi al-ard), raja-raja Muslim tersebut
umumnya menjalankan kekuasaannya secara tiran. Serupa dengan para raja-
raja di Eropa Abad Pertengahan, raja-raja Muslim merasa tidak harus
mempertanggung jawabkan kekuasaannya kepada rakyat, tetapi langsung
kepada Allah. Paham teokrasi Islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin
politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan (dien wa dawlah).
Pandangan ini berkembang menjadi paham dominan bahwa Islam tidak ada
pemisahan antara agama dan negara. Sama halnya dengan pengalaman
teokrasi di Barat, penguasa teokrasi Islam menghadapi perlawanan dari
kelompok-kelompok anti-kerajaan.

3. Teori Kekuatan

Secara sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara terbentuk


karena adanya dominasi negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini,
kekuatan menjadi pembenaran (raison d’etre) dari terbentuknya sebuah
negara. Melalui proses penaklukan dan pendudukan oleh suatu kelompok
(etnis) atas kelompok tertentu dimulailah proses pembentukan suatu negara.
Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara karena pertarungan kekuatan di
mana sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah negara.

Teori ini berawal dari kajian antropologis atas pertikaian di kalangan


suku-suku primitif, di mana sang pemenang pertikaian menjadi penentu utama
kehidupan suku yang dikalahkan. Bentuk penaklukan yang paling nyata di
masa modern adalah penaklukan dalam bentuk penjajahan Barat atas bangsa-

12
bangsa Timur. Setelah masa penjajahan berakhir di awal abad ke-20, dijumpai
banyak negara-negara baru yang kemerdekaannya banyak ditentukan oleh
penguasa kolonial. Negara Malaysia dan Brunei Darussalam bisa
dikategorikan ke dalam jenis ini.

E. Teori Agama dan Negara

Negara dan Agama sejatinya dua entitas yang berbeda. Negara adalah
organisasi kekuasaan yang memiliki kewibawaan yang dapat memaksakan
kehendaknya kepada semua orang yang menjadi warga dari organisasi kekuasaan
itu (Abu daud Busroh, 2001: 24-25). Sedangkan Agama adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha
kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia
serta lingkungannya ( Balai Pustaka,1991: 10). Negara dan Agama mempunyai
peran dan domain pengaturan yang berbeda. Negara mengatur hubungan antara
warga negara dengan pemerintah, sedangkan Agama mengatur hubungan antar
manusia dengan Tuhannya. Agama juga diyakini tidak hanya berbicara soal ritual
semata, melainkan juga berbicara tentang nilai-nilai yang harus dikonkretkan
dalam kehidupan ketatanegaraan, yang memunculkan tuntutan agar nilai-nilai
agama diterapkan dalam kehidupan bernegara.Masing-masing penganut agama
meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya harus ditegakkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Anshari Thayib, 1997: v).

Oleh sebab itu, negara bangsa dapat dipahami sebagai suatu kelompok
warga negara yang memiliki kesamaan cita-cita untuk membangun suatu sistem
pemerintahan dengan mentaati peraturan perundang-undangan yang diberlakukan,
termasuk di dalamnya membangun hubungan antara negara dengan agama yang
dianut oleh warganya dalam suatu wilayah. Adapun kata Islam berarti masuk ke
dalam kedamaian, sedangkan secara istilah, Islam berarti agama yang
mengajarkan kepasrahan kepada Allah, bertauhid dan tunduk kepada-Nya, dan
kedamaian, sehingga kata ad-din menurut Ibn Abbas mencakup akidah, hukum,
etika dan ibadah yang dijelaskan secara rinci, sedangkan masalah interaksi sosial
(mu’amalat) hanya dijelaskan secara global. Adapun Islam yang dimaksud di sini
adalah norma agama Islam mengajarkan kedamaian atau kemasahatan sosial

13
masalih al-‘amm yang berada dalam lingkup mu’amalat walaupun aspek lainnya
masih terkait. Islam sebagai agama yang sempurna selalu mengakui sifat alami
perkembangan manusia dan tidak menghalanginya.6

Terdapat tiga teori dasar dinamika hubungan antara Negara dan Agama:

1. Teori Integralistik (Unified Theory) Dalam kaitan relasi Negara dan


Agama, menurut teori integralistik bahwa antara Negara dan Agama
menyatu (integrated). Negara selain sebagai lembaga politik juga
merupakan lembaga keagamaan. Menurut teori Integralistik, kepala negara
adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik.
Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi” (divine
sovereignty), karena pendukung teori ini meyakini bahwa kedaulatan
berasal dan berada di ”tangan Tuhan”. (Marzuki Wahid dan Rumadi,
2001: 24)Teori integralistik ini melahirkan paham negara agama
(teokrasi). Dalam paham negara agama (teokrasi), hubungan Negara dan
Agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara
menyatu dengan agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan
firman-firman Tuhan, dan segala tata kehidupan dalam masyarakat,
bangsa, dan negara dilakukan atas “titah Tuhan”. Dengan demikian,
urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi diyakini sebagai
manifestasi firman Tuhan, sehingga tidak terpisahkan dengan urusan
agama.
2. Teori Simbiotik (Symbiotic Theory) Menurut teori simbiotik hubungan
antara negara dan agama saling berkelindan dan membutuhkan satu sama
lain. Agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat
berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan
agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-
spiritual (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 24)

3. Teori Sekularistik (Secularistic Theory) Teori Sekularistik ini menolak


paham teokrasi dan simbiotik. Sebagai gantinya, teori sekularistik
6
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid (1), terj. Agus Hasan Basori (Jakarta:
Darul Haq, 1998), h. 87; Mu’in Sirry, Polemik Kitab Suci, hal. 146 dan 157

14
mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan
negara atas agama (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 28). Negara dan
Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki
garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus
dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar
pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku
adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui
social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama (Agus
Thohir, 2009: 4).

F. Hubungan atau Relasi antara Agama dan Negara

Di Indonesia dalam sejarah Islam, ada tiga tipologi hubungan antara


agama dan negara. Din Syamsudin membaginya sebagai berikut: Pertama,
golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan
secara integral. Domain agama juga menjadi domain negara, demikian sebaliknya,
sehingga hubungan antara agama dan negara tidak ada jarak dan berjalan menjadi
satu kesatuan. Tokoh pendukungan gerakan ini adalah al-Maududi. Kedua,
golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan
secara simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung, sehingga
kedua wilayah masih ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan
negara berjalan berdampingan. Keduanya bertemu untuk kepentingan pemenuhan
kepentingan masing-masing, agama memerlukan lembaga negara untuk
melakukan akselerasi pengembangannya, demikian juga lembaga negara
memerlukan agama untuk membangun negara yang adil dan sesuai dengan spirit
ketuhanan.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, hubungan antara agama (Islam) dan


negara berkembang menjadi empat golongan. Pertama, golongan yang
mengintegrasikan antara agama dan negara sebagai dua hal yang tidak
terpisahkan. Sejarah integrasi agama dan negara berjalan dengan intensif pada
masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Islam Perelak,
Kerajaan Islam Samudera dan Pasai di Aceh. Dalam sistem ketatanegaraan
tersebut, hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi

15
hukum negara. Relasi agama dan negara tersebut berjalan aman dan damai tanpa
adanya konflik. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara
berjalan dalam pusaran konflik dan saling menafikan di antara keduanya
sebagaimana terjadi di Sumatera Barat. Konflik kaum agamawan memiliki
kehendak untuk menerapkan norma-norma agama/Islam secara totalitas,
sedangkan warga masyarakat lokal menolak pemberlakuan norma agama tersebut.
Kejadian tersebut menimbulkan perang terbuka yang dikenal dengan perang
Paderi (perang para pemuka agama). Dari kejadian itu kemudian muncul
semboyan “adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitābullah” yang artinya;
eksistensi hukum adat diakui selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariat
agama Islam. 7

Dari segi gerakan politik, hubungan antara agama dan negara di Indonesia
mengalami perkembangan dalam bentuk oposisi, alienasi dan integrasi. Tiga
tipologi gerakan agama tersebut telah mengalami dinamika yang progresif dan
silih berganti. Islam sebagai agama memainkan peran politik oposisi terhadap
pemerintahan Majapahit, sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Demak.
Sedangkan pada masa pemerintahan kerajaan Islam Demak, Islam dan politik
kenegaraan terbangun secara terintegrasi,

Pada masa awal kemerdekaan, agama dan neara mengalami masa-masa


krusial, mengingat persepsi hubungan agama dan negara masih belum tuntas di
kalangan tokoh agama pejuang kemerdekaan. Mereka memiliki tafsir berbeda-
beda mengenai hubungan agama dan negara yang ideal, sehingga sebagian
kelompok menganggap bahwa yang dimaksud hubungan agama dan negara yang
ideal adalah Piagam Jakarta, tetapi hal itu setelah melalui perdebatan dan diskusi
yang serius, maka KH A Wahid Hasyim sebagai salah satu tim mengakomodir
dan menerima penghapusan tujuh kata dengan hasil sebagaimana termaktub dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD-NRI) Tahun 1945
dengan ideologi Pancasila.8 Dalam rumusan ideologi dan konstitusi tersebut,

7
Sofyan Hadi, “Relasi dan Reposisi Agama dan Negara: Tatapan Masa Depan Keberagamaan di
Indonesia”, Jurnal Millah, hal. 228-229
8
Ismail, Islam dan Pancasila, hal. 21

16
substansi negara Indonesia adalah berbentuk negara yang religius (religious nation
state). Negara tidak menafikan peran agama, dan agama juga tidak menolak
eksistensi negara. Antara agama dan negara memiliki peran penting dalam
menyukseskan cita-cita kemerdekaan RI, yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial
dan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keputusan KH Wahid Hasyim tersebut
telah melampaui pemahaman keagamaan pada masanya, dimana ia telah berhasil
mencari nilai-nilai transendental yang bisa menjadi dasar pijak semua agama dan
golongan.

Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi bukti bahwa NKRI
merupakan negara yang secara substansial memiliki kesamaan dengan negara
bentukan Nabi saw sebagai negara religius (religious nation state). Nabi saw
memerangi orang–orang ateis (kafir) dan pemerontak, tetapi Nabi saw menjaga
dan melindungi kaum non-Muslim.9 Demikian juga NKRI melarang adanya sikap
anti Ketuhanan dan anti Keagamaan, tetapi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya”. Pasal 1 ayat (1) UUD-NRI Tahun 1945
yang merupakan naskah asli mengandung prinsip bahwa “Negara Indonesia
adalah Negara Kesatuan”, yang berbentuk Republik. Pasal yang dirumuskan PPKI
tersebut menjadi tekad bulat bangsa Indonesia dalam Sumpah Pemuda tahun
1928, yaitu satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan, satu tanah air, yaitu
Indonesia.Para ulama yang menjadi pendiri negara (KH Abdul Wahid Hasyim,
Abdul Kahar Muzakkir, H Agus Salim dan Abikusno Tjokrosurojo) menyadari
bahwa pendirian negara bukanlah tujuan bagi dirinya sendiri, tetapi sebagai sarana
untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia. Demikian juga tujuan norma agama
Islam (maqasid asy-syari’ah) adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup
manusia secara keseluruhan tanpa membedakan ras, agama ataupun golongan.
Pluralitas beragama ini disadari oleh para ulama yang menjadi pendiri negara,
sehingga mereka mengambil kebijakan dengan merumuskan ideologi Pancasila
dan UUD-NRI 1945 yang mengakomodir aspirasi seluruh golongan dan agama.
Dengan demikian, jika NKRI dengan ideologi Pancasila sudah dianggap final,
9
Ibid., hal. 171-172

17
maka hal itu wajar karena gagasan tersebut lahir dari tradisi dan spirit keagamaan
warganya.

Pancasila yang terdiri dari lima sila dapat dicari titik temunya dengan
norma agama, tidak hanya sesuai dengan norma agama Islam, tetapi juga dengan
norma agama lainnya. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
mengambarkan bahwa Tuhan adalah Dzat Yang Esa.

Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab menggambarkan bahwa


setiap tindakan manusia harus berasal dari akal sehat dan hati nuraninya. Melalui
pendidikan diharapkan akan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta
pembinaan akhlakul karimah sebagaimana dinyatakan pada Pasal 31 ayat (3) dan
Nabi saw juga diutus untuk membina akhlakul karimah, disamping menegakkan
hukum secara adil. Sila ketiga, Persatuan Indonesia menjadi faktor penentu dalam
melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi sebagaimana
juga telah dipraktikkan Nabi saw di Madinah ketika membangun negara Madinah.
Nabi saw membangun persatuan dan kesatuan dalam masyarakat yang majemuk.
Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Prinsip sila ini hendak mengembangkan kearifan
dan kebijaksanaan dalam bermusyawarah. Dalam sistem musyawarah tersebut,
ada empat prinsip yang hendak dikembangkan, yaitu rasionalisme, kepentingan
umum, kepentingan jangka panjang dan memperhatikan semua golongan. Salah
satu contohnya adalah penyusunan naskah Perjanjian Hudaibiyah, dimana Nabi
saw menyusunnya melalui proses musyawarah dengan melibatkan kelompok non-
Muslim. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini
merupakan perwujudan nyata dari semua sila. Prinsip keadilan sosial dapat
menjadi pelindung bagi seluruh warga negara. Nabi saw juga diperintahkan oleh
Allah swt untuk berbuat adil dan mewujudkan kemaslahatan umum. Sebagai
staats fundamental norm, Pancasila dalam pandangan Hans Nawiasky- menjadi
landasan bagi berlakunya Undang-Undang di bawahnya. Semua peraturan harus
merujuk kepada Pancasila, UUD-NRI 1945 dan begitu seterusnya secara
berurutan. Dengan merujuk kepada nilai-nilai dasar hidup bernegara, para ulama

18
melahirkan pendekatan fungsional yang menekankan pandangan hidup yang
menebarkan kesejahteraan bagi alam semesta (rahmatan lil ’alamin) (Q.S. al-
Baqarah: 177 dan QS 2: 32). Dari spirit tersebut, tujuan politik dalam norma
agama Islam adalah untuk melindungi hak-hak dasar manusia Ketika fungsi
norma agama Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat maka negara
menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut.

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Secara terminologi, negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara
satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di
daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini
mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang terdiri atas tiga unsur:
adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah
yang berdaulat.

Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang-orang yang


mendiaminya, negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama tujuan
negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan
daya ciptanya sebebas mungkin. Indonesia merupakan suatu negara hukum yang
bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk masyarakat yang adil
dan makmur. negara harus memiliki tiga unsur penting: rakyat, wilayah,
pemerintah, pengakuan dari negara lain . teori-teori terbentuknya sebuah negara,
yaitu teori kontrak sosial, teori ketuhanan, teori kekuatan.

Negara dan Agama mempunyai peran dan domain pengaturan yang


berbeda. Negara mengatur hubungan antara warga negara dengan pemerintah,
sedangkan Agama mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhannya. Agama
juga diyakini tidak hanya berbicara soal ritual semata, melainkan juga berbicara
tentang nilai-nilai yang harus dikonkretkan dalam kehidupan ketatanegaraan, yang
memunculkan tuntutan agar nilai-nilai agama diterapkan dalam kehidupan
bernegara. NKRI dengan ideologi Pancasila sudah dianggap final, maka hal itu
wajar karena gagasan tersebut lahir dari tradisi dan spirit keagamaan warganya.
Pancasila yang terdiri dari lima sila dapat dicari titik temunya dengan norma
agama.

20
DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman Asep. 2015. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Bandung: CV
Arvino Raya.

A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan. 2012. Pendidikan


Kewarga[negara]an. Jakarta: Civic Educarion.

Rofi, Aang Witarsa. 2007. Pemerintahan Kewarganegaraan untuk umum. Bogor:


Regina.

Ibid, hlm. 123-126

Agus Thohir. ”Relasi Agama dan Negara”. Makalah Diskusi Kajian Spiritual yang
diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang,
tanggal 4 Novem- ber 2009.

Anshari Thayib. 1997. HAM dan Pluralisme Agama. Surabaya: Pusat Kajian
Strategis dan Kebijakan.

Marzuki Wahid & Rumaidi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum
Islam Di Indonesia. L.KiS, Yogyakarta, 2001.

(https://ressay.wordpress.com/ 2011/04/02/relasi-negara-dan- agama, oleh Yasser


Arafat, SH.)

21

Anda mungkin juga menyukai