Dosen Pengampu :
Kelompok 5 :
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Bismillahirrahmanirrahim ...
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Negara dan
Relasinya dengan Agama”. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada Bapak M. Maulana Asegaf, Lc,.M.H.I. Selaku dosen Pancasila
dan Kewarganegaraan yang sudah memberikan kepercayaan kepada kami untuk
menyelesaikan tugas ini.
i
(Kelompok 5)
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A. Konsep Dasar tentang Negara................................................................................3
1. Pengertian Negara..............................................................................................3
B. Tujuan Negara........................................................................................................5
C. Unsur-unsur Negara...............................................................................................6
1. Rakyat (masyarakat/warga negara).....................................................................7
2. Wilayah..............................................................................................................7
3. Pemerintah.........................................................................................................8
4. Pengakuan negara lain........................................................................................9
D. Teori Tebentuknya Negara...................................................................................10
1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract)............................................................10
2. Teori Ketuhanan (Teokrasi)..............................................................................11
3. Teori Kekuatan.................................................................................................12
E. Teori Agama dan Negara.....................................................................................13
F. Hubungan atau Relasi antara Agama dan Negara.................................................15
BAB III PENUTUP..........................................................................................................20
A. KESIMPULAN....................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam
sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Hubungan antara keduanya telah
melahirkan kemajuan besar dan menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada
bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika
negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari
agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini). Dalam ronde
ini bisebut dengan ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah,
dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi,
negara untuk urusan publik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep dasar tentang negara?
5. Teori apa saja yang terdapat pada hubungan agama dan negara?
1
6. Bagaimana relasi agama dan negara dalam prespektif Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep dasar tentang negara.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Negara
Sebelum memahami secara detail mengenai negara, terlebih dulu akan
diawali dengan penelusuran kata negara tersebut. Secara literal istilah negara
merupakan terjemahan dari kata-kata asing: state (bahasa Inggris), staat
(bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis).1 Kata staat, state,
dan etat, diambil dari bahasa Latin, status atau statum, yang berarti keadaan
yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan
tetap.2
Kata status atau statum lazim diartikan sebagai standing atau station
(kedudukan). Istilah ini ditempatkan dengan situasi persekutuan hidup
manusia, yang juga sama dengan istilah status di mana alamat sekolah berada.
Dari sitem yang terakhir inilah, status kata pada abad ke-16 ditempatkan
dengan kata negara. Secara terminologi, negara diartikan dengan organisasi
tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk
bersatu, hidup di daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang
berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara
yang terdiri atas tiga unsur: adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah
(daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat.
2
Sulaiman Asep, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (Bandung: Cv Arvino Raya,
2015) hal 73
3
dimaksud oleh individu atau kelompok yang merupakan bagian dari
masyarakat itu. Masyarakat merupakan suatu kelompok yang hidup dan
bekerja sama untuk mencapai terwujudnya keinginan-keinginan mereka
bersama.
b. Paradigma yang bersumbet pada teori Imamah dalam paham Islam Syi'ah.
4
Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dilaksanakan dengan sederhana
bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh
sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada
peraturan peraturan-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari
kekuasaan yang sah.
B. Tujuan Negara
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang-orang yang
mendiaminya, negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama. Tujuan
sebuah negara dapat bermacam-macam, antara lain:3
Dalam konsep dan ajaran Plato, tujuan adanya negara untuk mengajukan
kesusilaan manusia, baik sebagai perseorangan maupun sebagai makhluk sosial.
Menurut Roger F. Soltau, tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya
berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin
(pengembangan dan ekspresi diri kreatif anggotanya yang sebebas mungkin).
Dalam ajaran dan konsep Teokratis (yang diwakili oleh Thomas Aquinas
dan Agustinus), tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan
aman dan tenteram dengan taat kepada dan di bawah pimpinan Tuhan. Pemimpin
negara menjalankan kekuasaannya hanya berdasarkan kekuasaan Tuhan yang
diberikan kepadanya.
Dalam Islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan tujuan
agar manusia dapat menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa
negara dan intervensi pihak-pihak asing. Paradigma ini didasarkan pada konsep
sosio- hitoris bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan watak dan
kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat, yang membawa dampak antara
3
Sulaiman Asep, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (Bandung: Cv Arvino Raya,
2015) hal 74
5
individu satu sama lain yang membutuhkan bantuan. Adapun menurut Ibnu
Khaldun, tujua n negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan
dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat. Sementara itu, dalam konsep dan
ajaran negara hukum, tujuan negara adalah menyelenggarakan ketertiban hukum,
dengan berdasarkan dan berpedoman pada hukum. Dalam negara hukum, segala
kekuasaan dari alat- alat pemerintahannya berdasarkan hukum. Semua orang
tanpa kecuali harus tunduk dan taat pada hukum, hanya hukumlah yang berlaku
dalam negara itu (goverment not by man but by law = the rule of law).
C. Unsur-unsur Negara
Dalam rumusan Konvensi Montevideo tahun 1933 alasan bahwa negara
harus memiliki tiga unsur penting: rakyat, wilayah, dan pemerintah. Sejalan
dengan itu, Mac Iver merumuskan bahwa suatu negara harus memenuhi tiga unsur
pokok: pemerintahan, komunitas atau rakyat, dan wilayah tertentu. Ketiga unsur
ini oleh Mahfud M.D. disebut sebagai unsur konstitutif. Tiga unsur ini perlu
ditunjang dengan unsur lainnya, seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia
internasional yang oleh Mahfud disebut dengan unsur deklaratif. Dari beberapa
pendapat tentang unsur negara tersebut, maka global suatu negara membutuhkan
tiga pokok, yakni masyarakat / warga negara, wilayah, dan pemerintah. Untuk
lebih jelas memahami unsure-unsur negara, akan mengupayakan uraian berikut.4
4
Sulaiman Asep, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (Bandung: Cv Arvino Raya,
2015) hal 75
6
1. Rakyat (masyarakat/warga negara)
Setiap negara tidak mungkin ada tanpa kehadiran warga atau
rakyatnya. Unsur rakyat sangat penting dalam sebuah negara yang konkret
memiliki kepentingan agar negara itu dapat berjalan dengan baik. Selain itu,
bagaimanapun manusialah yang akan menentukan dan menentukan sebuah
organisasi (negara).
2. Wilayah
Wilayah dalam sebuah negara merupakan unsur yang harus ada. Tidak
mungkin ada negara jika tanpa ada batas-batas teritorial yang jelas. Sebagai
contoh, pada tahun 1860, Kursi Suci (Tahta Suci, Kepausan) adalah sebuah
negara, karena menguasai sebagian wilayah Italia dari pantai barat hingga
bagian timur jazirah Italia. Ketika pada tahun 1800–1861 Italia menjadi
kerajaan yang disatukan, maka Kursi Suci diinkorporter ke dalam wilayah
kerajaan baru itu, kecuali wilayah di sekitar Kota Roma yang tetap
dikuasainya. Akan tetapi pada 1870, wilayah sekitar Kota Roma itu tidak
dapat dilepaskan dari kekuasaan Kursi Suci. Secara otomatis kemudian Kursi
Suci lenyap sebagai negara. Baru dalam tahun 1929 dengan Traktat Lateran
persetujuan antara Mussolini dan Paus tentang hubungan gereja dan negara.
Dengan Traktat Lateran itu, diciptakan kembali Negara Vatikan yang
mencakup luas wilayah 109 ha di tengah-tengah Kota Roma. Secara
mendasar, wilayah sebuah negara mencakup wilayah daratan, perairan, dan
udara (wilayah udara).
7
2) perbatasan buatan, seperti pagar tembok, pagar kawat, atau tiang
tembok.
Udara yang berada di atas wilayah darat (daratan) dan wilayah laut
suatu negara merupakan bagian dari wilayah udara sebuah negara.
Mengenai batas ketinggian sebuah wilayah negara tidak memiliki batas
yang pasti, asalkan negara yang berwenang dapat mempertahankannya.
3. Pemerintah
8
a) Sistem pemerintahan parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di
mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam
hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana
menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu
dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
b) Sistem pemerintahan presidensiil. Dalam sistem presidensil ini, presiden
memiliki kekuasaan yang kuat karena selain sebagai kepala negara, juga
sebagai kepala pemerintahan yang mengetuai kabinet (Dewan Menteri).
9
1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract)
10
pernah mutlak, tetapi selalu terbatas. Hal ini disebabkan karena dalam
melakukan perjanjian individu-individu warga negara tersebut tidak
menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka. Menurut Locke, terdapat hak-
hak alamiah yang merupakan hak-hak asasi warga negara yang tidak dapat
dilepaskan, sekalipun oleh masing-masing individu.
Teori ketuhanan dikenal juga dengan istilah dokrin teokritis. Teori ini
ditemukan di Timur maupun di belahan dunia Barat. Teori ketuhanan ini
memperoleh bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan para sarjana
Eropa pada Abad Pertengahan yang menggunakan teori ini untuk
membenarkan kekuasaan mutlak para raja.
11
mempertanggungjawabkan kekuasaannya hanya kepada Tuhan, bukan kepada
manusia. Praktik kekuasaan model ini ditentang oleh kalangan monarchomach
(penentang raja). Menurut mereka, raja tiran dapat diturunkan dari
mahkotanya, bahkan dapat dibunuh. Mereka beranggapan bahwa sumber
kekuasaan adalah rakyat.
3. Teori Kekuatan
12
bangsa Timur. Setelah masa penjajahan berakhir di awal abad ke-20, dijumpai
banyak negara-negara baru yang kemerdekaannya banyak ditentukan oleh
penguasa kolonial. Negara Malaysia dan Brunei Darussalam bisa
dikategorikan ke dalam jenis ini.
Negara dan Agama sejatinya dua entitas yang berbeda. Negara adalah
organisasi kekuasaan yang memiliki kewibawaan yang dapat memaksakan
kehendaknya kepada semua orang yang menjadi warga dari organisasi kekuasaan
itu (Abu daud Busroh, 2001: 24-25). Sedangkan Agama adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha
kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia
serta lingkungannya ( Balai Pustaka,1991: 10). Negara dan Agama mempunyai
peran dan domain pengaturan yang berbeda. Negara mengatur hubungan antara
warga negara dengan pemerintah, sedangkan Agama mengatur hubungan antar
manusia dengan Tuhannya. Agama juga diyakini tidak hanya berbicara soal ritual
semata, melainkan juga berbicara tentang nilai-nilai yang harus dikonkretkan
dalam kehidupan ketatanegaraan, yang memunculkan tuntutan agar nilai-nilai
agama diterapkan dalam kehidupan bernegara.Masing-masing penganut agama
meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya harus ditegakkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Anshari Thayib, 1997: v).
Oleh sebab itu, negara bangsa dapat dipahami sebagai suatu kelompok
warga negara yang memiliki kesamaan cita-cita untuk membangun suatu sistem
pemerintahan dengan mentaati peraturan perundang-undangan yang diberlakukan,
termasuk di dalamnya membangun hubungan antara negara dengan agama yang
dianut oleh warganya dalam suatu wilayah. Adapun kata Islam berarti masuk ke
dalam kedamaian, sedangkan secara istilah, Islam berarti agama yang
mengajarkan kepasrahan kepada Allah, bertauhid dan tunduk kepada-Nya, dan
kedamaian, sehingga kata ad-din menurut Ibn Abbas mencakup akidah, hukum,
etika dan ibadah yang dijelaskan secara rinci, sedangkan masalah interaksi sosial
(mu’amalat) hanya dijelaskan secara global. Adapun Islam yang dimaksud di sini
adalah norma agama Islam mengajarkan kedamaian atau kemasahatan sosial
13
masalih al-‘amm yang berada dalam lingkup mu’amalat walaupun aspek lainnya
masih terkait. Islam sebagai agama yang sempurna selalu mengakui sifat alami
perkembangan manusia dan tidak menghalanginya.6
Terdapat tiga teori dasar dinamika hubungan antara Negara dan Agama:
14
mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan
negara atas agama (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 28). Negara dan
Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki
garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus
dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar
pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku
adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui
social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama (Agus
Thohir, 2009: 4).
15
hukum negara. Relasi agama dan negara tersebut berjalan aman dan damai tanpa
adanya konflik. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara
berjalan dalam pusaran konflik dan saling menafikan di antara keduanya
sebagaimana terjadi di Sumatera Barat. Konflik kaum agamawan memiliki
kehendak untuk menerapkan norma-norma agama/Islam secara totalitas,
sedangkan warga masyarakat lokal menolak pemberlakuan norma agama tersebut.
Kejadian tersebut menimbulkan perang terbuka yang dikenal dengan perang
Paderi (perang para pemuka agama). Dari kejadian itu kemudian muncul
semboyan “adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitābullah” yang artinya;
eksistensi hukum adat diakui selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariat
agama Islam. 7
Dari segi gerakan politik, hubungan antara agama dan negara di Indonesia
mengalami perkembangan dalam bentuk oposisi, alienasi dan integrasi. Tiga
tipologi gerakan agama tersebut telah mengalami dinamika yang progresif dan
silih berganti. Islam sebagai agama memainkan peran politik oposisi terhadap
pemerintahan Majapahit, sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Demak.
Sedangkan pada masa pemerintahan kerajaan Islam Demak, Islam dan politik
kenegaraan terbangun secara terintegrasi,
7
Sofyan Hadi, “Relasi dan Reposisi Agama dan Negara: Tatapan Masa Depan Keberagamaan di
Indonesia”, Jurnal Millah, hal. 228-229
8
Ismail, Islam dan Pancasila, hal. 21
16
substansi negara Indonesia adalah berbentuk negara yang religius (religious nation
state). Negara tidak menafikan peran agama, dan agama juga tidak menolak
eksistensi negara. Antara agama dan negara memiliki peran penting dalam
menyukseskan cita-cita kemerdekaan RI, yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial
dan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keputusan KH Wahid Hasyim tersebut
telah melampaui pemahaman keagamaan pada masanya, dimana ia telah berhasil
mencari nilai-nilai transendental yang bisa menjadi dasar pijak semua agama dan
golongan.
Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi bukti bahwa NKRI
merupakan negara yang secara substansial memiliki kesamaan dengan negara
bentukan Nabi saw sebagai negara religius (religious nation state). Nabi saw
memerangi orang–orang ateis (kafir) dan pemerontak, tetapi Nabi saw menjaga
dan melindungi kaum non-Muslim.9 Demikian juga NKRI melarang adanya sikap
anti Ketuhanan dan anti Keagamaan, tetapi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya”. Pasal 1 ayat (1) UUD-NRI Tahun 1945
yang merupakan naskah asli mengandung prinsip bahwa “Negara Indonesia
adalah Negara Kesatuan”, yang berbentuk Republik. Pasal yang dirumuskan PPKI
tersebut menjadi tekad bulat bangsa Indonesia dalam Sumpah Pemuda tahun
1928, yaitu satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan, satu tanah air, yaitu
Indonesia.Para ulama yang menjadi pendiri negara (KH Abdul Wahid Hasyim,
Abdul Kahar Muzakkir, H Agus Salim dan Abikusno Tjokrosurojo) menyadari
bahwa pendirian negara bukanlah tujuan bagi dirinya sendiri, tetapi sebagai sarana
untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia. Demikian juga tujuan norma agama
Islam (maqasid asy-syari’ah) adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup
manusia secara keseluruhan tanpa membedakan ras, agama ataupun golongan.
Pluralitas beragama ini disadari oleh para ulama yang menjadi pendiri negara,
sehingga mereka mengambil kebijakan dengan merumuskan ideologi Pancasila
dan UUD-NRI 1945 yang mengakomodir aspirasi seluruh golongan dan agama.
Dengan demikian, jika NKRI dengan ideologi Pancasila sudah dianggap final,
9
Ibid., hal. 171-172
17
maka hal itu wajar karena gagasan tersebut lahir dari tradisi dan spirit keagamaan
warganya.
Pancasila yang terdiri dari lima sila dapat dicari titik temunya dengan
norma agama, tidak hanya sesuai dengan norma agama Islam, tetapi juga dengan
norma agama lainnya. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
mengambarkan bahwa Tuhan adalah Dzat Yang Esa.
18
melahirkan pendekatan fungsional yang menekankan pandangan hidup yang
menebarkan kesejahteraan bagi alam semesta (rahmatan lil ’alamin) (Q.S. al-
Baqarah: 177 dan QS 2: 32). Dari spirit tersebut, tujuan politik dalam norma
agama Islam adalah untuk melindungi hak-hak dasar manusia Ketika fungsi
norma agama Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat maka negara
menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut.
19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara terminologi, negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara
satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di
daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini
mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang terdiri atas tiga unsur:
adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah
yang berdaulat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman Asep. 2015. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Bandung: CV
Arvino Raya.
Agus Thohir. ”Relasi Agama dan Negara”. Makalah Diskusi Kajian Spiritual yang
diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang,
tanggal 4 Novem- ber 2009.
Anshari Thayib. 1997. HAM dan Pluralisme Agama. Surabaya: Pusat Kajian
Strategis dan Kebijakan.
Marzuki Wahid & Rumaidi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum
Islam Di Indonesia. L.KiS, Yogyakarta, 2001.
21