Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

RELASI ISLAM DAN MODERNITAS

Dosen pengampu :
Bpk. Munawir

Di susun oleh Kelompok :


Ahmad Basori Alwi ( 2157201111 )
Devi Putri Utami (2157201001)
Muhammad Ali Mustofa ( 2157201113)
Rahmat Prastyo ( 2157201118)

PRODI SISTEM INFORMASI

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA LAMPUNG


2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telahmelimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga
penulis dapatmenyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul“ Relasi Islam Dan
Modernitas”.
Makalah ini diajukan guna untuk memenuhi tugas mata kuliah. Dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini
Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyakkekurangan-kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saranyang bersifat membangun.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang......................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.................................................................................2
1.3 Tujuan Dan Manfaat.............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Relasi Islam........................................................................3


2.2 Modernitas............................................................................................6

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...........................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................8

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otoritas yang bersumpah pada Tuhan, agama, dan negara seringkali bertabrakan
dalam panggung sejarah. Masing-masing menawarkan janji keselamatan dan
pembebasan, namun juga menuntut loyalitas serta pengorbanan. Secara ontologis,
agama dan negara adalah derivasi dan akibat dari firman Tuhan, karena Tuhan
adalah Maha Absolut, sumber dan akhir dari segala wujud yang ada. Namun
sekarang hadir bersama dalam kesadaran manusia dan menjelma dalam lembaga
yang adakalanya seakan saling memperebutkan hegemoni (Fachruddin, 2006: 5).
Pemahaman serta sosok agama dan negara senantiasa berkembang dari zaman ke
zaman. Muatan dan spirit keberagaman agama apa pun yang lahir belasan abad
lalu sudah pasti mengalami perkembangan karena zaman senantiasa berubah.
Misalnya, dahulu ketika wahyu Alquran turun langsung terlibat dialog dengan
persoalan politik dan sosial secara langsung dalam kurun waktu 23 tahun. Itu pun
dipandu langsung oleh Rasulullah Muhammad yang memperoleh otoritas tunggal
dari Tuhan jika muncul perselisihan.
Meski pada mulanya semua agama diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan
yang menyejarah, namun pada urutannya lembaga-lembaga agama berkembang
otonom di bawah kekuasaan tokoh-tokohnya. Wibawa Tuhan kemudian
memperoleh saingan berupa institusi agama dan negara. Bahkan negara jauh lebih
berkuasa dibanding Tuhan dan agama dalam mengendalikan masyarakat. Atas
nama negara sebuah rezim bisa memberangus agama dan memperolok-olok
Tuhan karena beranggapan bahwa berbeda agama berarti berbeda Tuhan, dan
perbedaan berarti ancaman bagi yang lain sehingga negara tampil sebagai hakim.
Hidup manusia bagaikan lalu lintas, masing-masing ingin berjalan secara
bersama-sama sekaligus ingin cepat sampai ke tujuan. Namun karena kepentingan
mereka berbeda, maka apabila tidak ada peraturan lalu lintas kehidupan, pasti
terjadi benturan dan tabrakan. Karena itu, dalam kehidupan manusia
membutuhkan peraturan demi lancarnya lalu lintas yang akan memberinya
petunjuk, seperti kapan harus berhenti, kapan harus bersiap-siap dan kapan harus
berjalan (Shihab, 1992: 211). Agar tabrakan dan benturan tidak terjadi di antara
manusia, maka hendaknyalah manusia itu berpegang

teguh pada dua pedoman warisan yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saw,
yaitu Alquran dan sunnah.
Al-Mawdūdi seorang pemikir besar kontemporer menyatakan bahwa Islam adalah
suatu agama paripurna yang memuat prinsip-pronsip yang lengkap tentang semua
segi kehidupan yang meliputi moral, etika, serta petunjuk di bidang politik, sosial,
dan ekonomi (Esposito, 1995: 79).
Dalamrealitassosialpolitik, berbagaiupayatelahdicariuntukmenemukan format

1
yang tepat bagaimana memosisikan keduanya, yaitu keberagaman dan
kebernegaraan. Sebagai salah satu contoh, Indonesia sebagai sebuah negara yang
rakyatnya memiliki semangat beragama yang tinggi, seringkali digoyang tidak
hanya gelombang pasar global, melainkan juga oleh konflik solidaritas dan
loyalitas keagamaan yang melampaui sentimen nasionalisme dan kemanusiaan
(Fuad, 2006: viii). Namun adakalanya orang lebih membela kelompok agamanya
meski berada di luar negaranya. Atau orang lebih loyal pada kelompok atau partai
yang mengusung simbol agama ketimbang pada cita-cita berbangsa dan bernegara
serta kemanusiaan.
Menurut Ibn Khaldun, bahwa peranan agama sangat diperlukan dalam
menegakkan negara. Ia melihat peranan agama dalam upaya menciptakan
solidaritas dikalangan rakyat, dan rasa solidaritas akan mampu menjauhkan
persaingan yang tidak sehat, justru seluruh perhatiannya terarah pada kebaikan
dan kebenaran. Dengan agama pula tujuan solidaritas menjadi satu. Apa yang
diperjuangkan bersama itu adalah untuk semua warga dan semuanya siap untuk
mengorbankan jiwa untuk mencapai tujuannya (al- Qahthani, t.th: 264).
Musthāfa Kemal al-Tattūrk juga memiliki pemikiran tersendiri mengenai
hubungan antara agama dan negara. Menurutnya, agama dan negara memiliki
relevansi, namun dalam pengelolaan urusan agama dan negara harus terpisah.
Oleh karena itu, ia telah menjadikan negara Turki sebagai negara sekuler yang
memisahkan urusan dunia dengan urusan agama (Nasution, 1994: 142).
Pada hakikatnya, Indonesia merupakan tenda raksasa yang digunakan banyak
orang untuk berteduh. Mereka datang dari berbagai daerah yang berasal dari
berbagai etnik, suku, ras, tradisi, budaya, dan agama. Mereka memiliki kebebasan
mengekspresikan kebudayaan maupun ajaran-ajaran agamanya di hadapan oran
lain sepanjang tidak mengganggu oran lain
tersebut. Mereka juga bisa bergaul sangat akrab dengan orang lain yang berbeda
latar belakangnya, tanpa batas-batas suku, agama, dan ras (Qomar, 2012: 14).
Pemikiran Islam tentang hubungan agama dan negara juga terjadi di negara-
negara yang berpenduduk muslim lainnya, seperti Indonesia yang sampai saat ini
masih menjadi aktual dalam wacana pemikiran Islam. Oleh karena itu, dapat
dirumuskan bahwa pemikiran tentang hubungan agam dan negara adalah masalah
yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut secara cermat secara mendalam.

1.2 Rumusan Masalah.


1. Apakah relasi Islam itu..?
2. Apa yang dimaksud Modernitas..?

1.3 Tujuan Dan Manfaat


1. Dapat mengetahui dan mengerti tentang relasi islam.
2. Dapat mengetahui maksud dari modernitas.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Relasi Islam


Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamiin yang bersifat universal. Artinya,
misi dan ajaran Islam tidak hanya ditujukan kepada satu kelompok atau negara,
melainkan seluruh umat manusia, bahkan jagat raya. Namun demikian,
pemaknaan universalitas Islam dalam kalangan umat muslim sendiri tidak
seragam. Ada kelompok yang mendefinisikan bahwa ajaran Islam yang dibawa
Nabi Muhammad yang nota-bene berbudaya Arab adalah final, sehingga harus
diikuti sebagaimana adanya. Ada pula kelompok yang memaknai universalitas
ajaran Islam sebagai yang tidak terbatas pada waktu dan tempat, sehingga bisa
masuk ke budaya apapun.
Kelompok-kelompok tersebut mempunyai pandangan yang berbeda sehingga
seringkali menimbulkan perdebatan atau bahkan perpecahan diantara kelompok
tersebut. Kelompok pertama berambisi menyeragamkan seluruh budaya yang ada
di dunia menjadi satu, sebagaimana yang dipraktekkan Nabi Muhammad. Budaya
yang berbeda dianggap bukan sebagai bagian dari Islam. Kelompok ini disebut
kelompok fundamentalis (Kasdi 2000, 20). Sementara kelompok kedua
menginginkan Islam dihadirkan sebagai nilai yang bisa memengaruhi seluruh
budaya yang ada. Islam terletak pada nilai, bukan bentuk fisik dari budaya itu.
Kelompok ini disebut kelompok substantif. Ada satu lagi kelompok yang
menengahi keduanya, yang menyatakan, bahwa ada dari sisi Islam yang bersifat
substantif, dan ada pula yang literal.
Dari perbedaan kelompok-kelompok yang telah disebutkan sebelumnya timbulah
wacana yakni Islam Nusantara (IN). Kehadiran wacana Islam Nusantara (IN)
tidak terlepas dari pertarungan tiga kelompok di atas. IN ingin memosisikan diri
pada kelompok ketiga. Ia muncul akibat “kegagalan” kelompok pertama yang
menghadirkan wajah Islam tidak ramah dan cenderung memaksakan kepada
budaya lain, bahkan menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan Islam. Begitu
juga kelompok kedua yang dianggap mendistorsi ajaran Islam.
Tujuan daripada IN tersebut dinilai menurut saya merupakan jawaban dari
persoalan mendasar dari perbedaan-perbedaan kelompok yang tekah disebutkan
diatas, tetapi tujuan tersebut berbanding terbalik dengan realitas yang ada. Konsep
IN ini dianggap kurang matang (sebatas wacana) dalam konteks keilmuan.
Menurut Azhar Ibrahim, Universiti Nasional Singapura (nu.or.id), IN belum
menelurkan gagasan Filsafat yang rasional (belum menghasilkan kesarjanaan
Islam yang tinggi). Frasa ini baru muncul sebagai konsep, ketika akan

3
diselenggarakannya muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur. Sementara
menurut kalangan intelektual NU, IN sudah dipraktekkan sejak zaman Wali
Songo di Jawa. Bahkan, IN diklaim NU sebagai konsep dakwah Islam paling ideal
dibanding Islam Timur Tengah.
Islam Nusantara (IN) terdiri dari dua kata, Islam dan Nusantara. Islam berarti
“penyerahan, kepatuhan, ketundukan, dan perdamaian” (nu.or.id). Agama ini
memiliki lima ajaran pokok sebagaimana diungkapkan Nabi Muhammad, yaitu
“Islam adalah bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa
dan menunaikan haji—bagi yang mampu.” (nu.or.id). Selain itu Islam memiliki
dua pedoman yang selalu dirujuk, Alquran dan Hadith. Keduanya memuat ajaran
yang membimbing umat manusia beserta alam raya ke arah yang lebih baik dan
teratur.
Nusantara adalah istilah yang menggambarkan wilayah kepulauan dari
Sumatera hingga Papua. Kata ini berasal dari manuskrip berbahasa Jawa sekitar
abad ke-12 sampai ke-16 sebagai konsep Negara Majapahit. Sementara dalam
literatur berbahasa Inggris abad ke-19, Nusantara merujuk pada kepulauan
Melayu. Ki Hajar Dewantoro, memakai istilah ini pada abad 20-an sebagai salah
satu rekomendasi untuk nama suatu wilayah Hindia Belanda (Kroef 1951, 166–
171). Karena kepulauan tersebut mayoritas berada di wilayah negara Indonesia,
maka Nusantara biasanya disinonimkan dengan Indonesia. Istilah ini, di Indonesia
secara konstitusional juga dikukuhkan dengan Keputusan Presiden (Kepres) MPR
No.IV/MPR/1973, tentang Garis Besar Haluan Negara Bab II Sub E. Kata
Nusantara ditambah dengan kata wawasan.

Berdasarkan pengertian di atas, IN adalah ajaran agama yangterdapat dalam


Alquran dan Hadith yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad yang diikuti oleh
penduduk asli Nusantara (Indonesia), atau orang yang bertempat tinggal di
dalamnya. Namun jika dikaitkan dengan pandangan setiap muslim atau organisasi
Islam tertentu, konsep IN akan menjadi kompleks. Sebagaimana terjadi dalam
organisasi Islam terbesar di dunia, NU. Meskipun secara resmi istilah ini
diluncurkan sebagai tema muktamar ke-33 di Jombang, yakni “Meneguhkan Islam
Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan dunia”, tetapi para tokoh di dalamnya
memiliki konsep yang berbeda-beda.
Lalu bagaimana praktek yang sebenarnya dari kedudukan atau pandangan
untuk menempatkan budaya lokal dari kacamata islam? Dengan mengacu pada
konsep Islam Nusantara (IN) di atas, budaya Islam; nilai-nilai islam, teologi
(sistem kepercayaan), pemikiran, dan praktek ibadah yang bersifat qath’ i , juga
dianggap sebagai ajaran islam yang bersifat lokal-Arab. Sementara budaya
Indonesia adalah pemikiran, perilaku, kebendaan, dan sistem nilai yang memiliki
karakteristik tertentu, seperti keyakinan dan kepercayaan yang berbeda-beda,

4
terbuka, egaliter, tidak merasa paling tinggi satu sama lain, sopan-santun, tata
krama, toleransi, weruh saduruning winarah dan suwuk,
hamengku,hangemot,danhangemong. Jadi, ini adalah unsur-unsur budaya
islam dan nusantara.
Berdasarkan data (nu.or.id), ditemukan 26 “ungkapan penghubung” yang
menunjukkan bahwa Islam mempengaruhi budaya Indonesia. Sedangkan
ungkapan yang menunjukkan adanya keseimbangan antar keduanya ada 13.
Sementara hanya ada hanya ada 3 ungkapan yang menunjukkan budaya lokal
memengaruhi Islam. Dengan demikian, hubungan keduanya bisa dipetakan
menjadi tiga.

5
2.2 Modernitas

Modernitas adalah jargon yang digunakan dalam ilmu humaniora dan ilmu
sosial untuk menyebut sebuah periode sejarah (era modern) dan campuran norma,
perilaku, dan praktik sosial-budaya tertentu yang muncul di Eropa pasca-abad
pertengahan dan berkembang di seluruh dunia sejak saat itu. Meski turut
mencakup berbagai proses sejarah dan fenomena budaya yang saling terkait
(dari tata busana sampai perang modern), modernitas juga dapat mengacu pada
pengalaman subjektif atau eksistensial terhadap suasana yang ada serta
dampaknya terhadap kebudayaan manusia, lembaga, dan politik (Berman 2010,
15–36).
Sebagai peristiwa sejarah, modernitas mengacu pada masa-masa yang dipenuhi
kritik atau penolakan tradisi;
pengutamaan individualisme, kebebasan, dan kesetaraan hukum; keyakinan
terhadap kemajuan sosial, ilmiah, dan teknologi, dan keparipurnaan
manusia; rasionalisasi dan profesionalisasi, peralihan
dari feodalisme (atau agrarianisme) ke kapitalisme dan ekonomi
pasar; industrialisasi, urbanisasi, dan sekularisasi; pembentukan negara-
bangsa dan lembaga bawahannya (misalnya demokrasi perwakilan, pendidikan
umum, birokrasi modern); dan berbagai bentuk pengintaian (Foucault 1995, 170–
77). Sejumlah penulis berpendapat bahwa jumlah modernitas bisa lebih dari satu
karena definisi istilah dan sejarahnya sendiri belum tetap.
Charles Baudelaire diakui sebagai pencipta istilah "modernitas" (modernité)
dalam esainya tahun 1864, "The Painter of Modern Life". Ia menciptakan istilah
tersebut untuk menyebut pengalaman hidup yang cepat usai di tengah kota dan
tugas seniman untuk menggambarkan pengalaman tersebut. Artinya, modernitas
mengacu pada hubungan terhadap waktu, hubungan yang ditandai oleh
terputusnya seseorang dengan masa lalu, keterbukaan terhadap hal-hal baru pada
masa depan, dan naiknya tingkat kesadaran terhadap hal-hal unik pada masa kini
(Kompridis 2006, 32–59).

Sebagai konsep analitis dan gagasasn normatif, modernitas sangat


berkaitan dengan etos modernisme filosofis dan estetis; arus politik dan
intelektual yang bersinggungan dengan Renaisans; dan berbagai perkembangan
selanjutnya seperti Marxisme, eksistensialisme, seni modern, dan ilmu sosial.
Modernitas juga mencakup hubungan sosial yang berhubungan dengan
bangkitnya kapitalisme, dan peralihan perilaku yang berhubungan dengan
sekularisasi dan kehidupan pasca-industri (Berman 2010, 15–36).

6
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa pemikiran


Islam tentang hubungan agama dan negara saling berkaitan antara satu dengan
lainnya, khususnya dalam aspek ketatanegaraan, demokrasi dan
:hak asasi manusia, dengan kesimpulan sebagai berikut
Relasi antara agama dan negara dalam pemikiran Islam yaitu, Islam ’.
memberi prinsip-prinsip terbentuknya suatu negara dengan adanya konsep
khalīfah, dawlah, atau hukūmah. Dengan prinsip-prinsip ini, maka terdapat tiga
paradigma tentang pandangan agama Islam dan negara, yakni; paradigma
integratif, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik
Relasi antara agama dan demokrasi, dalam hal ini Islam menekankan ’.
pada nilai demokrasi itu sendiri, yakni kebenaran dan keadilan. Dengan demokrasi
ini pula, maka aturan permainan politik yang baik dapat terwujud. Karena itu
konsep demokrasi seperti ini, sangat sesuai dengan Islam, karena Islam adalah
agama yang selalu mengedepankan nilai-nilai kebenaran dan keadilan

7
DAFTAR PUSTAKA

Berkes, Niyazi. 1964. The Development of Secularism in Turkey,


Montreal:McGill University Press.
Basyir, Azhar Ahmad. 1993. Refleksi Atas Persoalan Keislaman; Seputar Filsafat,
Hukum, Politik dan Ekonomi; Bandung: Mizan.
Efendi, Bachtiar. 1998. Islam dan Negara; Jakarta: Paramadina. Enayat, Hamid.
1992. Modern Islamic Political Thought Austin; t.p.

8
9

Anda mungkin juga menyukai