Anda di halaman 1dari 17

AL-QUR’AN SEBAGAI MISI PERDAMAIAN DAN KERUKUNAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah al-Qur’an dan Sosial Budaya

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Roibin, M.HI.

Disusun Oleh:

Auliya Ilmi Anjali (210204110031)

Much. Raf Rafy Al Ghiyats (210204110049)

Khofifah Alawiyah (210204110055)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Hanya
kepada-Nya kami menyembah dan kepada-Nya pula kami memohon pertolongan.
Tidak lupa shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.
Serta para keluarga dan sahabat beliau. Semoga kita mendapat syafaat beliau pada
hari akhir kelak.

Dengan pertolongan-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Al-


Qur’an sebagai misi perdamaian dan kerukunan” yang bertujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah al-Qur’an dan Sosial Budaya.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Dengan
keterbatasan kami dan kerendahan hati, kami memohon maaf apabila ada
ketidaksesuaian ataupun kesalahan dalam kalimat. Kritik yang terbuka dan
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat kedepannya bagi para pembaca.

Malang, 01 Oktober 2023

Penulis
BAB I

PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an sebagai pembangun kedamaian


Perdamaian berasal dari kata damai yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan sebagai tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, aman dan
rukun. Damai memiliki banyak arti, arti kedamaian berubah sesuai dengan
hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan
mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di
mana sebuah angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat
juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang umum di tempat-tempat
yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi. Damai dapat juga
menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat
berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas.
Pada dasarnya manusia telah diberi Allah akal dan nafsu sebagai
anugerah yang tidak diberikan kepada makhluk lain, sertab manusia
dipercayakan Allah sebagai khalifah fil ardl dengan sebuah misi yakni
menjaga bumi dari kerusakan-kerusakan. Untuk mengadakan keseimbangan
antara kedua anugerah milik manusia tersebut, Agama adalah jawabannya.
Allah mengutus para rasul untuk menyebarkan ajaran-ajaran yang dapat
menjadi cahaya manusia dalam kehidupan ini. Islam merupakan
penyempurna dari ajaran-ajaran sebelumnya. Dan ia adalah agama samawi
terakhir yang dibawa oleh Rasul terakhir dan untuk umat terakhir yang
hidup di zaman akhir. Dengan berpedoman pada Al- Qur’an dan As-Sunnah
maka Islam mampu menjawab tantangan zaman semenjak kemunculannya,
zaman ini hingga yang akan datang.
Islam merupakan juru penyelamat sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin. Maka
dari itu, setiap ajaran Islam harus memiliki nilai kebenaran. Dengan nilai
tersebut, Islam berusaha mendatangkan perdamaian di bumi sehingga umat
manusia dan seluruh makhluk Allah dapat hidup tentram dan sejahtera.
Jika ditarik pada konteks antar umat beragama, masing-masing agama
pasti memerintahkan untuk menciptakan perdamaian dunia pula. Semua
agama pada dasaranya mengajarkan pemeluknya untu selalu menebar
perdamaian kepada orang-orang yang berbeda. Maka dari itu, seruan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip perdamaian tidak bisa diatasnamakan
agama semata. Setiap kekerasan, pelecehan, penistaan terlebih pembunuhan
dan pembantaian lebih lagi tidak boleh diatasnamakan dengan agama.
Agama seharusnya menumbuhkan jiwa dan sikap toleran serta
mengakui kebenaran ajarannya dan menghormati keberadaan dan
kebenaran ajaran agama di luar dirinya. Persoalan fanatis dalam
beragamalah yang menjadikan masalah dalam term keberagaman. Pada
masalah fanatisme ini, pluralisme agama setidaknya harus menjadi
kekuatan konstruktif-transformatif, dan bukan kekuatan destruktif. Potensi
pertama, yaitu kekuatan konstruktif-transformatif akan berkembang jika
masing-masing komunitas agama memahami dan menjunjung tinggi nilai
toleransi dan kerukunan. Sebaliknya potensi destruktif akan dominan jika
masing-masing komunitas agama tidak memiliki sikap toleran, bahkan
menganggap agamanya paling.benar, superior dan memandang inferior bagi
agama lain.
Maka dari itu, sebuah agama idealnya mampu membentuk watak
manusia, bahwa agama merupakan kebutuhan ruhani bagi penciptaan
kerukunan dan kedamaian. Ia pun juga berfungsi sebagai pemupuk
persaudaraan dan ketentraman sesuai dengan misinya. Dari pemaparan
diatas, dikarenakan perdamaian dunia merupakan perintah dari seluruh
agama, maka yang tak mengajarkan prinsip-prinsip perdamaian tak lagi
layak disebut sebagai sebuah agama.
Diantara nilai-nilai yang termuat dalam al-Qur’an, sebagai berikut
(1) Tidak melakukan kezaliman kapan saja dan dimana saja, karena itu
merupakan petaka yang dapat merusak stabilitas perdamaian dunia. (2)
Persamaan derajat. Kaya, miski, pejabat, rakyat biasa bukanlah sebuah
alasan untuk mengistimewakan kelompok atas kelompok lainnya, karena
yang membedakan satu diantara lainnya adalah derajat ketakwaan. (3)
Keadilan antar sesama, karena hal ini dapat meredam permusuhan. (4)
Rukun dan tolong menolong.
B. Al-Qur’an sebagai perawat kerukunan

Kerukunan berasal dari kata rukun (‫ ) ركن‬dengan bentuk jama’nya


(‫ )أراكن‬yang berarti cenderung, keluarga, mulia, dan anggota atau sisi yang
menjadi pegangan. Makna serupa juga terdapat dalam ungkapan bahasa
Inggris yang menyepadankan rukun dengan kata harmonious yang berarti
kesepakatan antara beberapa orang atau kelompok. Dalam beberapa literatur
lain, istilah yang populer adalah coexistence yang memiliki arti
‘berdampingan’.

Adapun makna yang lebih tepat digunakan dalam hal ini ialah makna
yang terahir, yakni sebagai sisi yang menjadi pegangan. Secara istilah,
kerukunan juga disebut sebagai al-Ta’ayush al-silmi yaitu hidup dalam
keadaan rukun dan damai atau hidup dalam iklim persatuan dan
persahabatan, sehingga dapat melahirkan kehidupan yang berdampingan
secara damai. Dalam konteks ini, istilah kerukunan terbagi menjadi tiga
bagian, yakni kerukunan dalam konotasi politis ideologis, ekonomi dan
yang paling mutakhir ialah kerukunan dalam konotasi religi, kebudayaan,
yaitu keinginan dari para pemeluk agama dan budaya yang berbeda untuk
mencari titik temu dalam mewujudkan keamanan dan perdamaian di muka
bumi, di mana sesame manusia dapat hidup dalam iklim persaudaraan dan
saling tolong menolong dalam kebaikan.

Perbedaan objek dan ruang lingkup ketiga bagian kerukunan di atas


tak jarang ditemukan keterkaitan antara satu sama lain di dalamnya.
Stabilitas suatu negara merupakan contoh yang paling tepat untuk
menggambarkan hal ini. Kajian kerukunan seringkali dijumpai berkaitan
erat dengan kajian perdamaian atau bina damai, sebab kerukunan
merupakan hasil dari tercapainya suatu bina damai. Selanjutnya, posisi
kajian kerukunan dapat dilihat melalui penelitian-penelitian terdahulu
terkait bagaimana islam mendukung prinsip dan nilai-nilai perdamaian.
Dalam penelitiannya Abu Nimer membagi hal ini dalam tiga kategori utama,
yakni sebagai berikut :
a) Kajian-kajian tentang perang dan jihad
Kelompok ini cenderung memiliki hipotesis yang sama terhadap
islam. Mereka beranggapan bahwa agama dan tradisi Islam dengan mudah
dan cara yang unik digunakan untuk mendukung perang dan kekerasan
sebagai sarana penyelesaian perbedaan. Islam seolah tidak menolelir adanya
perbedaan, terlebih perbedaan agama. Mereka berpendapat bahwa perang
dan kekerasan merupakan bagian integral dari agama dan tradisi Islam.
Mereka menutup mata dengan adanya metode-metode nirkekerasan yang
terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis, bahkan menganggap hal itu
bertentangan dengan tradisi keislaman.
Bernard Lewis ialah salah satu contoh tokoh intelektual barat yang
dalam banyak kajiannya ia menyudutkan dan menuduh Islam sebagai agama
kekerasan. Ia mengatakan bahwa umat Islam meyakini perang hanya akan
berakhir bila kalimat Allah ditegakkan di seluruh muka bumi. Artinya umat
Islam akan senantiasa memerangi penganut agama lain sampai mereka
masuk Islam. Ia beranggapan bahwa Islam adalah agama perang atau
menyebarkan agamanya hanya melalui perang.
Kajian-kajian sebagaimana dalam kelompok ini umumnya enggan
melihat potensi masyarakat Islam untuk mewujudkan atau mengembangkan
masyarakat madani atau entitas-entitas demokratis, karena perkembangan
historis budaya dan agama Islam.
Pada titik ini, riset tentang jihad menghasilkan mudarat. Meski
demikian, bukan berarti kekerasan, perang, dan jihad tidak perlu dikaji.
Selain kasus tersebut menjadi headlines di media, menelitinya menjadi
penting supaya masyarakat bisa menghindari atau membebaskan diri dari
kekerasan. Demikian pula, anggapan agama Islam berperan dalam bidang
kekerasan juga perlu disadari dan diteliti, tetapi mesti disandingkan dengan
perannya di bidang perdamaian dan penyelesaian masalah secara
nirkekerasan.
b) Kajian tentang Perang Adil dan Perdamaian
Sedikit berbeda dari kelompok pertama, hipotesa yang diajukan
kelompok ini adalah bahwa agama dan tradisi Islam membenarkan
penggunaan kekerasan dalam kondisi-kondisi tertentu yang terbatas dan
jelas. Sebaliknya, Islam dipandang sebagai agama yang menjunjung
kedamaian dan keadilan. Pengerahan kekuatan terbatas dalam jihad
dipandang sebagai salah satu cara untuk mewujudkan kedamaian dan
keadilan.
Penggunaannya dalam menyelesaikan konflik internal dan eksternal
harus mempertimbangkan kondisi dan situasi. Beberapa sarjana seperti
Mahmoud Ayoub, Sohail Hashmi, dan Abdolaziz Sachedina menjadi bagian
dari kelompok ini, meskipun dari sisi yang lain juga dapat dikategorikan
sebagai kelompok ketiga. Hashmi misalnya, ia mengakui asumsi damai
Islam, tapi sekaligus mendukung argumen bahwa Islam tidak bisa menjadi
agama “nirkekerasan mutlak”, karena agama ini membenarkan tindakan
perang dan pengerahan kekuatan dalam kondisi-kondisi tertentu. Namun
yang perlu dicatat adalah argumen utama Hashmi: meskipun Islam
membolehkan pengerahan kekuatan, ia melarang agresi. Tujuan utama
Islam adalah mewujudkan kedamaian lewat keadilan serta menjaga
keyakinan dan nilai-nilai.
Abu-Nimer menyimpulkan bahwa terdapat tiga prinsip utama dalam
kelompok ini. Pertama, ada kondisi-kondisi tertentu yang diizinkan oleh
agama Islam untuk menggunakan kekerasan dengan catatan hal itu dapat
mengurangi kemungkinan perang dan kekerasan. Kedua, jihad di dalam
Islam tidak selalu bermakna penggunaan kekerasan dan kekuatan dalam
menghadapi orang lain, baik Muslim maupun non-Muslim. Dan ketiga,
pelarangan perang atau penggunaan kekuatan yang mutlak tidak didukung
secara teologis di dalam Islam.
c) Kajian tentang Nirkekerasan dan Bina-Damai
Dalam dua kategori sebelumnya, para sarjana mendasarkan
penelitiannya pada teori perang-adil atau kajian-kajian keagamaan dan
teologis atas teks suci. Adapun kajian dalam kelompok ketiga ini dijalankan
dalam kerangka kajian perdamaian, teori-teori nirkekerasan, atau
pendekatan pembaruan Islam atas kitab suci dan tradisi. Pandangan mereka
dapat dinyatakan dalam hipotesis berikut: “Kini tidak ada alasan teologis
apa pun bahwa masyarakat Islam tidak dapat memainkan peran sebagai
pelopor dalam pengembangan nirkekerasan, dan terdapat setiap alasan
bahwa beberapa di antara mereka memang harus memimpin pengembangan
nirkekerasan.
Seperti kajian dalam kategori kedua, beberapa kajian dalam kaetogori
ketiga ini juga membenarkan penggunaan kekerasan terbatas dalam kondisi-
kondisi tertentu, hanya saja proyek keseluruhannya adalah mendamaikan
tradisi keislaman dengan metodologi dan praktik nirkekerasan. Dari sini,
maka perbedaan antar keduanya terletak pada penekanan terhadap
keutamaan nirkekerasan dan perdamaian yang dipengaruhi keyakinan atau
kerangka teoretis mereka. Kelompok ketiga ini tidak terlalu menekankan
landasan teologis perang-adil atau penggunaan kekerasan. Mereka lebih
menyerukan perumusan pendekatan nirkekerasan dalam Islam. Dalam
mendukung gagasan-gagasan bahwa Islam sangat menganjurkan
nirkekerasan, para sarjana menunjukkan beberapa komunitas nirkekerasan
Muslim. Abu-Nimer misalnya, ia menganalisis studi kasus bina-damai dan
resolusi konflik yang terjadi di kalangan Arab-Muslim sebagai gambaran
praktik actual nilai-nilai perdamaian.

Nabi Muhammad Saw dan Kerukunan Umat Beragama

Untuk melihat pandangan Islam tentang kerukunan umat beragama,


tidak cukup hanya dengan melihat praktik keberagamaan pemeluknya.
Agama dan sikap keagamaan adalah dua hal yang berbeda meski saling
terkait. Pemahaman atau praktik keagamaan seorang muslim belum tentu
mencerminkan agama Islam itu sendiri. Tidak jarang terdapat pemahaman
yang bertolak belakang antara seorang muslim dengan muslim lainnya
dalam satu masalah tertentu. Bahkan dari satu teks keagamaan yang sama
dapat dipahami secara berbeda oleh orang yang berbeda.

Maka untuk menghilangkan bias pandangan Islam tentang


kerukunan, penting kiranya merujuk langsung sumber agama Islam itu
sendiri, yakni al-Qur’an yang dijelaskan dengan praktik kehidupan (hadis)
Nabi saw. Secara struktural, hadis menduduki posisi kedua setelah al-
Qur’an. Sedangkan dari sisi fungsi, hadis menjadi penjelas dari al-Qur’an
atau tambahan dari hal-hal yang belum tercantum di dalamnya. Keduanya
menjadi representasi pandangan Islam. Seperti contoh pada ayat QS. al-
Anbiya’ [21] ayat 107, dalam ayat tersebut mengandung pesan konsepsi
universalitas islam yang menyeru kepada kerukunan hidup sebagaimana
dikonfirmasi melalui praktik kehidupan Nabi SAW.

Sejarah telah mencatat keberhasilannya yang mampu merumuskan


strategi yang tepat untuk menciptakan suasana hidup rukun dalam suatu
masyarakat majemuk tanpa adanya diskriminasi. Rumusan tersebut tertuang
dalam Piagam Madinah atau juga disebut sebagai pembumian ajaran al-
Qur’an dalam bidang sosio-politik. Sebelum Islam datang, struktur
masyarakat Arab didasarkan pada susunan klan di mana keanggotaannya
didasarkan pada hubungan darah sehingga menumbuhkan solidaritas yang
kuat antarmereka, sehingga mereka mampu bertahan hidup di tanah padang
pasir tersebut, sayangnya, sistem ini justru mengakibatkan disharmoni
antara satu suku dengan lainnya. Tidak jarang permusuhan dan peperangan
terjadi di sana.

Di Madinah, permasalahan yang demikian ini semakin komplek


dikarenakan beragamnya kelompok agama, etnis dan keyakinan. Terdapat
suku Aws dan Khazraj serta kelompok Yahudi yang selalu terlibat dalam
permusuhan untuk merebut pengaruh kepada masyarakat Madinah. Kondisi
yang demikian ini tentu mengharapkan datangnya juru damai yang kuat dan
menguasai sebagian besar atau seluruh wilayah Madinah. Maka ketika Nabi
saw datang, ia kemudian mempelajari potret masyarakat Madinah dengan
seksama, hingga akhirnya dicetuskan Piagam Madinah. Melalui Piagam
Madinah, Nabi saw memperkenalkan ide- ide yang cemerlang dalam
menciptakan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya.

Berikut identifikasi butir-butir dalam Piagam Madinah yang


berkaitan dengan kerukunan intern-umat seagama sebagaimana berikut:
- Kaum muslimin tidak membiarkan seorang muslim yang dibebani
dengan utang atau beban keluarga. Mereka memberi bantuan dengan
baik untuk keperluan membayar tebusan atau denda. Seorang muslim
tidak akan bertindak senonoh terhadap sekutu (tuan atau hamba sahaya)
muslim yang lain (butir 12).
- Seorang muslim tidak diperbolehkan membunuh seorang muslim lain
untuk kepentingan orang kafir, dan tidak diperbolehkan pula menolong
orang kafir dengan merugikan orang muslim (butir 14).
- Seorang muslim, dalam rangka menegakkan agama Allah menjadi
pelindung bagi muslim yang lain di saat menghadapi hal-hal yang
mengancam keselamatan jiwanya (butir 19).
- Bila kamu sekalian berbeda pendapat dalam suatu hal hendaklah
perkaranya diserahkan kepada (ketentuan) Allah dan Muhammad (butir
23).58

Adapun butir-butir yang berkaitan dengan kerukunan antarumat


beragama adalah sebagai berikut:

- Kedua pihak; kaum Muslimin dan Yahudi bekerja sama dalam


menanggung pembiayaan dikala mereka melakukan perang bersama
(butir 24).
- Sebagai satu kelompok Bani ‘Auf hidup berdampingan dengan kaum
muslimin. Kedua belah pihak memiliki agama masing-masing.
Demikian pula dengan sekutu masing- masing. Bila di antara mereka
ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hal ini, maka akibatnya
akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri (butir 25).
- Bagi kaum Yahudi Bani Harith berlaku ketentuan sebagaimana yang
berlaku pada Bani ‘Auf (butir 27).
- Bagi kaum Yahudi bani Sa’idah berlaku ketentuan sebagaimana yang
berlaku pada Bani ‘Auf (butir 28).

Poin-poin yang ada dalam Piagam Madinah ini menjadi modal besar
bagi umat Islam untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama,
Sementara dalam kaitan kerukunan intern-umat seagama, persatuan, saling
membantu satu sama lain, kesetaraan sesama Muslim, serta menjadikan al-
Qur’an dan hadis sebagai patokan bersama, adalah poin yang mesti
dipegangi oleh kaum muslimin.

C. Ayat-ayat tentang kedamaian dan kerukunan


Berbicara mengenai perdamaian dan kerukunan, tak bisa terlepaskan
akan adanya suatu perbedaan dan keragaman yang tercipta naluriah di
tengah-tengah kehidupan ummat manusia. Hal ini suatu keniscayaan yang
termaktub dalam QS. al-Hujurat: 31, bahwa Allah SWT. menciptakan
komunitas manusia tidak secara seragam/sekelompok akan tetapi dalam
kondisi bersuku, agama, bahasa, kultur, serta status sosial yang berbeda-
beda.

١ ‫س ِم ْي ٌع َع ِل ْي ٌم‬
َ َ‫ّٰللا‬ ‫س ْو ِل ٖه َواتَّقُوا ه‬
‫ّٰللاَ ۗا َِّن ه‬ ‫ٰ ٰٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََل تُقَ ِد ُم ْوا َبيْنَ يَدَي ِ ه‬
ُ ‫ّٰللاِ َو َر‬

Maksudnya adalah bahwa orang-orang mukmin tidak boleh


menetapkan suatu hukum sebelum ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya
dalam hal yang dimungkinkan adanya penjelasan dari Allah atau Rasul-
Nya.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.

Kata ja’alnakum dalam ayat ini menjelaskan bahwa gambaran


manusia secara naluriah memang cenderung hidup berkelompok yang
pada akhirnya setiap kelompok memiliki ciri khas sendiri yang tidak
dimiliki oleh kelompok yang lain. Dari masing-masing kelompok ini akan
menjadi kualitas yang lebih baik apabila satu sama lain saling mengenal
agar dapat saling memahami dan saling mengerti. sebagaimana dapat
dilihat pada penggalan kata lita’arafu,1 kata ini terbentuk dari kata ‘arafa
yang bermakna mengetahui sesuatu dengan memikirkan dan merenungkan
jejaknya. Dengan istilah ini, maka kata ‘arafa lebih dalam dan luas artinya
dari kata ‘alima. Bukan hanya saling mengenal untuk bertegur sapa akan
tetapi juga saling mengenal satu sama lain agar dapat mengetahui
kelebihan dan kekurangan dari masing-masing satu sama lain. Ayat ini
berlaku bagi semua umat manusia dan menjadi salah ayat yang membahas
dan menganjurkan agar umat beragama hidup rukun dan damai meskipun
ada perbedaan ras, suku, keyakinan dan berbeda negara.2
Pesan kedamaian dan kerukunan antar ummat beragama terkandung
dalam beberapa ayat al-Qur’an, antara lain:
1. QS. al-Baqarah: 256

ِ ِ ‫َسََ ِب ْالُُ ْر َو‬ ‫ت َويُؤْ ِم ْۢ ْن ِب ه‬


َ ‫اّللِ فَقَ ِد ا ْستَ ْم‬ َّ ‫الر ْشد ُ ِمنَ ْالغَي ِ ۚ فَ َم ْن يَّ ْكفُ ْر ِبال‬
ُ ‫طا‬
ِ ‫غ ْو‬ ُّ َ‫الدي ۗ ِْن قَدْ تَّبَيَّن‬
ِ ‫َل اِ ْك َراهَ فِى‬ ٰٓ َ
٢٥٦ ‫س ِم ْي ٌع َع ِل ْي ٌم‬ ‫ام لَ َها َۗو ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ‫ص‬ َ ‫ْال ُوثْ ٰقى ََل ا ْن ِف‬

(256.) Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).


Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang
ingkar kepada tagut3) dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang
teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Melihat dari aspek historis ayat diatas, Imam As-Suyuthi dalam


kitabnya Asbabun Nuzul menjelaskan, menurut Ibnu Abbas mengenai Q.S

1
Abd. Halim, “Budaya Perdamaian Dalam Al-Qur’an”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan
Hadits, no. 1 (2014): 25.

2
Hamim Ilyas, “Pendidikan Multikultural dalam Wacana Tafsir al-Quran” (Yogyakarta: PPs UIN
Suka dan Idea Press, 2009), hlm. xix

3
Kata tagut disebutkan untuk setiap yang melampaui batas dalam keburukan. Oleh karena itu, setan,
dajal, penyihir, penetap hukum yang bertentangan dengan hukum Allah Swt., dan penguasa yang
tirani dinamakan tagut.
Al-Baqarah 256 turun atas sebab seorang sahabat dari golongan Anshor
bernama Hushain yang mempunyai dua putra yang beragama Nasrani,
Hushain bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: “Wahai Rasulullah,
bolehkan saya memaksa kedua anakku masuk agama Islam? Keduanya
tidak mau menganut agama apapun, kecuali agama Nasrani”. Kemudian
Allah SWT menurunkan Q.S Al-Baqarah ayat 256 sebagai bentuk jawaban
atas peristiwa tersebut.4

Dari riwayat ini, dapat disimpulkan juga bahwa Islam disebarkan


bukan dengan dasar paksaan, akan tetapi dengan memberikan argument
yang jelas dan valid sehingga orang bisa menerima dengan lapang hati dan
tanpa adanya keterpaksaan. Dengan kata lain, tidak ada agama dalam
keterpaksaan.

2. QS. al-An’am: 108


‫ّٰللاَ َعد ًْو ْۢا بِغَي ِْر ِع ْل ٍۗم ك َٰذلََِ زَ يَّنَّا ِل ُك ِل ا ُ َّم ٍة َع َملَ ُه ْۖ ْم ث ُ َّم ا ِٰلى‬ ‫َسبُّوا الَّ ِذيْنَ يَدْع ُْونَ ِم ْن د ُْو ِن ه‬
ُ َ‫ّٰللاِ فَي‬
‫َسبُّوا ه‬ ُ َ ‫َو ََل ت‬
١٠٨ َ‫َربِ ِه ْم َّم ْر ِجُُ ُه ْم فَيُن َِبئ ُ ُه ْم ِب َما كَانُ ْوا َي ُْ َملُ ْون‬

(108.) Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah


selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa
yang telah mereka kerjakan.

Ayat ini turun membahas terkait cacian atau umpatan yang


dilakukan oleh beberapa sahabat terhadap berhala-berhal yang dianggap
sebagai tuhan dan juga disembah oleh kaum musyrik. Lantas kaum musyrik

4
Al-Suyuthi, “Asbabun Nuzul” Terj. Andi M. Syahril, Yasir Maqasid, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar): 83-84.
tidak menerima yang pada akhirnya melakukan balas dendam dengan
membalas terhadap Allah SWT.5

Terdapat tiga pokok kandungan dalam ayat diatas yang berbicara


tentang kedamaian dan kerukunan beragama, sebagai berikut:

a. Tidak menistakan sesembahan agama lain


Ayat ini melarang terhadap ummat Islam menghina atau
mencela kepada sesembahan agama lain non-Islam, karena tidak
selayaknya bagi orang mukmin ikut campur terhadap
berbagai permasalahan yang bukan masalahnya. Celaan
dan hinaan yang ditujukan kepada sesembahan non-Islam
tidak akan membuat mereka mendapatkan (hidayah) petunjuk,
namun justru akan membuat mereka semakin mengingkari-Nya
dan memusuhi umat Islam. Hal ini akan menimbulkan celaan
yang dilakukan oleh orang non-Islam terhadap Allah SWT.6
b. Mengakui eksistensi agama lain
Diantara kewajiban umat Islam adalah menghormati dan
menjaga eksistensi komunitas selain agama Islam. Al-Qur’an
tidak hanya mengajarkan untuk mempertahankan eksistensi
kebenaran dan kelurusan agama islam sendiri, akan tetapi Islam
juga mengajarkan kepada para umatnya untuk mengakui
eksistensi agama-agama yang lain dan memberikan hak
keberlangsungan hidup bebas untuk hidup berdampingan.
Sehingga, terwujudlah keharmonisan, perdamaian serta
kerukunan pada diri umat islam dan penganut agama lain.
Jika ada dalam golongan manusia yang menolak dan juga
tidak menerima atas setiap perbedaan yang terdapat dalam

5
Wahbah al-Zuhaylī, Al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Sharī’ah wa al-Manhaj. Vol. 7. Beirūt:
Dār Al-Fikr, 1991, 324

6
Sayyid Qutb, “Tafsir Fi Zilali al-Qur’an”. Vol. 4 (Beirut: Dar Al-Shuruq, 1992): 182-183.
keberagaman agama masing-masing, hal ini akan memicu
konflik sosial dan menganggu keharmonisan antar ummat
beragama.7
c. Berdakwah dengan santun
Berdakwah tanpa ada unsur mengina atau mencela terhadap
sesembahan agama lain, timbul adanya perbedaan keyakinan
adalah yang sangat penting dalam berdakwah. Apabila
seseorang apabila berdakwah atau mengajak kepada kebaikan
dengan lemah lembut, sopan santun dan sebagainya. Salah satu
maksud dan tujuan Allah menurunkan ayat ini adalah agar setiap
muslim ataupu nonmuslim tidak saling melakukan penghinaan
dan pelecehan terhadap berbagai macam perbedaan budaya, ras,
suku serta agama.8

3. QS. al-Mumtahanah: 7-9


‫ ََل‬٧ ‫ّٰللاُ َغفُ ْو ٌر َّر ِِ ْي ٌم‬ ‫ّٰللاُ ا َ ْن يَّجْ َُ َل بَ ْينَ ُك ْم َوبَيْنَ الَّ ِذيْنَ َعادَ ْيت ُ ْم ِم ْن ُه ْم َّم َودَّ ۗ ِ ً َو ه‬
‫ّٰللاُ قَ ِدي ۗ ٌْر َو ه‬ ‫َسى ه‬ َ ‫َع‬
ُ ‫ار ُك ْم ا َ ْن ت َ َب ُّر ْو ُه ْم َوت ُ ْق َِس‬
‫ط ْٰٓوا‬ ِ ‫الدي ِْن َولَ ْم ي ُْخ ِر ُج ْو ُك ْم ِم ْن ِد َي‬ ِ ‫ّٰللاُ َع ِن الَّ ِذيْنَ لَ ْم يُقَاتِلُ ْو ُك ْم فِى‬ ‫َي ْنهٰ ى ُك ُم ه‬
‫الدي ِْن َواَ ْخ َر ُج ْو ُك ْم ِم ْن‬ ِ ‫ّٰللاُ َع ِن ا َّل ِذيْنَ َقاتَلُ ْو ُك ْم ِفى‬ ‫اِ َّن َما َي ْنهٰ ى ُك ُم ه‬٨ َ‫ِطيْن‬ ِ ‫ّٰللاَ ي ُِحبُّ ْال ُم ْقَس‬
‫اِلَ ْي ِه ۗ ْم ا َِّن ه‬
ٰٰۤ ُ ٰٓ
٩ َ‫ظ ِل ُم ْون‬ ‫ولىََِٕ ُه ُم ال ه‬ ِ ‫ظاه َُر ْوا َع ٰلى ا ِْخ َر‬
‫اج ُك ْم ا َ ْن ت ََولَّ ْو ُه ۚ ْم َو َم ْن يَّت ََولَّ ُه ْم فَا‬ َ ‫ار ُك ْم َو‬ِ َ‫ِدي‬
(7.) Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang di
antara kamu dengan orang-orang yang pernah kamu musuhi di
antara mereka. Allah Mahakuasa dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (8.) Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam
urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (9.)

7
Muhammad Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan,dan Keserasian Al-Qur’an”. Vol.
4 (Jakarta: Lentera Hati, 2002): 183

8
Masrul Anam, dkk, “Prinsip Toleransi Beragama Perspektif QS. Al-An’ām[6]:108 dan
Relevansinya dalam Konteks Keindonesiaan”, QOF: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, no. 01,
(2023): 72-76.
Sesungguhnya Allah hanya melarangmu (berteman akrab) dengan
orang-orang yang memerangimu dalam urusan agama,
mengusirmu dari kampung halamanmu, dan membantu (orang lain)
dalam mengusirmu. Siapa yang menjadikan mereka sebagai teman
akrab, mereka itulah orang-orang yang zalim.

Kandungan Q.S al-Mumtahanah ayat 7-9 terdapat 2 aspek yang


harus dibentuk agar terbangun nilai perdamaian dan kerukunan, yaitu:

1. Rasa kasih sayang terhadap non-muslim, yang dilukiskan dengan


asa’ artinya optimis atau kepastian akan menjadikan sikap kasih
sayang antara orang beriman dan orang kafir karena mereka telah
merasakan pahitnya permusuhan antara mereka. Dalam ayat ini
juga dilukiskan dengan mawwadah berarti memberikan kasih
sayang setelah kebencian, kasih sayang setelah permusuhan, dan
kerukunan setelah pertingkaian. Ketika Allah menghendaki, maka
Allah akan menyatukan hati-hati manusia setelah sebelumnya
penuh dengan permusuhan dan kebencian, sehingga menjadi hati
yang bersatu dan penuh kerukunan.
2. Berlaku adil dan berbuat baik terhadap non-muslim, Hal ini
dijelaskan dalam penggalan ayat diatas dengan kata ( ‫ا َ ْن تَبَ ُّر ْو ُه ْم‬
ُ ‫)وت ُ ْق َِس‬
‫ط ْٰٓو‬ َ untuk berbuat baik kepada mereka, serta berbuat adil
terhadap mereka, penggalan ayat tersebut terdapat kata tabarruhum
terambil dari kata birr yang bermakna kebaikan yang luas. Kata
tersebut mencerminkan kebolehan melakukan segala sesuatu
interaksi dan berbuat baik kepada non-muslim selain persoalan
akidah dan aspek kepentingan umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Nur. “Nilai-Nilai Ajaran Islam Tentang Perdamaian (Kajian Antara Teori
Dan Praktek).” Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama 17, no. 1
(2018): 15. https://doi.org/10.14421/aplikasia.v17i1.1271.

Roibin. Roibin. “Pendidikan Agama Berbasis Kerukunan.” ULUL ALBAB: Jurnal


Studi Islam 4, no. 1 (2003): 95–101.
https://doi.org/https://doi.org/10.18860/ua.v4i1.6141.

Sulistiantono, Agus. “PERDAMAIAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN:


KAJIAN ATAS PENAFSIRAN MUFASIR NUSANTARA.” UIN Syarif
Hidayatullah, 2019.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Cet. III. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Mahfudhon, Ulin Nuha. Kerukunan Umat Beragama Dalam Al-Quran Telaah


Penafsiran Kiai Sya’roni Ahmadi. Edited by Amien Nurhakim. 1st ed.
Tangerang: Maktabah Darus Sunnah, 2020.

Nimer, Mohammed Abu. Nirkekerasan Dan Bina-Damai Dalam Teori Dan


Praktik . Edited by Ihsan Ali Fauzan and Rizal Panggabean. Nirkekerasan
Dan Bina-Damai Dalam Teori Dan Praktik . 1st ed. Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2010. https://www.paramadina-pusad.or.id/buku/nirkekerasan-
dan-bina-damai-dalam-islam-teori-dan-praktik/.

Fauzi, Ihsan Ali, dkk., Agama, Kerukunan, dan Binadamai di Indonesia: Modul
Lokakarya Penyuluh Agama, Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi,
2018.

Muhammad Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan,dan Keserasian Al-


Qur’an”. Vol. 4 (Jakarta: Lentera Hati), 2002.

Masrul Anam, dkk, “Prinsip Toleransi Beragama Perspektif QS. Al-An’ām[6]:108


dan Relevansinya dalam Konteks Keindonesiaan”, QOF: Jurnal Studi Al-
Qur’an dan Tafsir, no. 01, (2023): 72-76

Wahbah al-Zuhaylī, Al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Sharī’ah wa al-Manhaj.


Vol. 7. Beirūt: Dār Al-Fikr, 1991,

Sayyid Qutb, “Tafsir Fi Zilali al-Qur’an”. Vol. 4 (Beirut: Dar Al-Shuruq, 1992)

Anda mungkin juga menyukai