Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah
ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Tasikmalaya, September 2014

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan islam di Indonesia memiliki jalan yang cukup berliku.


Sementara islam di nusantara ini memiliki banyak problematika, dan dari sini
islam hadir dengan membawa wajah tatanan baru dalam masyarakat yang tidak
terbentur dengan realitas sosial, budaya, tatanan politik dan tradisi keagamaan.
Dalam perkembangannya upaya reaktualisasi diharapkan dapat menjawab
problematika kemasyarakatan dan sebagai pendekatan agama yang rahmatan lil
‘alamin. Islam dinamis yanng diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah
kontemporer  yang terjadi diberbagai wilayah Indonesia, semisal terorisme,
liberalisme, pluralisme, dan gender, yang akan dibahas dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


a.       Apa pengertian isu-isu kontemporer dalam islam?
b.      Apa saja isu-isu kontemporer dalam islam?

1.3 Tujuan Pembahasan


a. Memahami Pengertian isu-isu kontemporer dalam islam.
b. Memahami apa saja isu isu kontemporer dalam islam.
A.    Islam dan Pluralisme Beragama

Tanpa harus melacak makna ‘Islam’ dari kata-kata asalnya seperti salam, silm,
dan sebagainya, kita akan mengutip apa-apa yang dikatakan kamus bahasa Arab
tentang makna islam. Islam berasal dari kata aslama yang berarti menyerahkan
sesuatu, menyerahkan diri pada kekuasaan orang lain, berserah diri kepada tuhan.
Sama dengan istaslama yang artinya menyerah, menyerahkan diri, pasrah,
memasuki perdamaian. Definisi lain mengenai Islam sebagai ungkapan
kerendahan hati atau kepasrahan dan ketaatan secara lahiriah kepada hukum
Tuhan serta mewajibkan diri untuk melakukan atau mengatakan apa yang telah
dilakukan dan dikatakan oleh nabi SAW.
Jika kita merujuk kepada beberapa kamus Al-Qur’an,[7] kita menemukan makna
asal aslama adalah patuh, pasrah, atau berserah diri. Beberapa kamus al-Qur’an
yang lebih klasik tidak secara jelas menyebutkan makna asal ini, tetapi
menyebutkan tingkatan-tingkatan Islam, yang menunjukkan sebenarnya pada
tingkatan kepasrahan, sama maksud artinya dengan beberapa pengertian diatas.
Menurut bahasa inggris plural adalah banyak (jamak). Pengertian sederhana
pluralisme adalah faham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran,
peradaban, agama, dan budaya. Sedangkan pluralisme agama adalah kondisi
hidup bersama (koeksistensi) antar agama. Pluralisme muncul karena tumbuhnya
klaim dari masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Semuanya
menganggap benar akan dirinya sendiri dan menganggap bahwa yang lain adalah
lebih buruk. Dari faktor saling klaim tersebut kemudian memicu lahirnya
radikalisasi, terutama dalam urusan agama jika itu menyangkut dengan pluralisme
agama, dari banyak pihak seringkali melakukan hal yang bersifat kekerasan
sebagai wujud tanggapan terhadap golongan lain, akibatnya banyak terjadi perang
dan penindasan agama.
Faktor yang menjadikan munculnya pluralisme dalam beragama adalah kesatuan
manusia (unity of mankind), bahwa sebenarnya dari sifat-sifat manusiawi sendiri
memungkinkan bahwa sesama manusia harus saling menghormati, saling menjaga
kerukunan terlebih bekerjasama tanpa membedakan dari ras, suku, etnis , ataupun
agama. Kemudian faktor yang kedua adalah keadilan disemua aspek kehidupan.

Ayat-ayat Pluralisme
Apakah orang-orang ‘kafir’ (non muslim) menerima pahala amal shalehnya ?
seperti dijelaskan pada surat Al-Hajj ayat 17
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang yahudi , orang-orang
nasrani, dan orang-orang shabiin[8], siapa saja diantara mereka yang benar-
benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh, mereka akan
menerima pahala dari tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka,
dan tidak (pula) mereka bersedih hati”[9].
Makna dari ayat itu dijelaskan oleh Sayyid Husseyn Fadhlullah dalam tafsirnya :
Makna ayat ini sangat jelas.ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari
akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam
pemikiran dan pandangan agamanya yang berkenaan dengan aqidah dan
kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir,
dan amal shaleh (cetak tebal dari penulis).[10]

Menurut agama islam “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (islam)” Al-
baqarah : 256. Dari arti ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa agama islam tidak
memaksa manusia untuk mengikuti dan wajib mempercayai adanya agama islam,
karena agama islam sendiri tidak memaksa kepada manusia. Ayat tersebut
condong menyetujui pluralisme dalam beragama. Namun dari pengertian arti
tersebut bertolak belakang dengan ayat :
“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidak akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang
rugi” QS. Ali Imran : 85
“Sungguh telah kafir, mereka yang mengatakan tuhan itu ialah isa al-masih putra
maryam” QS.Al-Maidah : 72
“Sesungguhnya agama yang diridhoi allah adalah islam” QS. Ali Imran : 19
Jika pluralisme diakui dalam islam, maka tidak ada satupun orang yang dikatakan
kafir, termasuk orang-orang yang berbeda agama.

Menurut agama Kristen


“Tidak ada keselamatan diluar kristen (no solvation outside christianity)”
“Tidak ada keselamatan diluar gereja (Extra ecclesiam nulla salus)”

Pluralisme di Indonesia dalam sejarahnya yaitu pada masa kepemimpinan


Presiden Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Perjuangannya untuk
menyamakan posisi antar umat beragama di Indonesia sudah banyak yang
mengetahui, secara singkatnya, walaupun Gus Dur merupakan tokoh yang datang
dari kalangan NU dan secara spontan banyak pihak yang dibuat bingung dengan
sikap Gus Dur yang mati-matian memberikan kebebasan yang sama dari banyak
agama.
Perdamaian yang dicita-citakan Gus Dur didasari spirit multikulturalisme dalam
al-Qur’an. Allah berfirman “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kami di sisi Allah ialah orang
yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (QS.Al-Hujarat [49] : 13).[11] Bahwa toleransi memang
mengizinkan seseorang menawarkan pandangannya kepada orang lain, tetapi
dengan syarat tanpa ada paksaan untuk menerimanya. Sikap Gus Dur selaku
pemerintah dikala itu merupakan tindakan dan usaha untuk melaksanakan
kewajibannya sebagai seorang pemimpin untuk memberikan hak-haknya kepada
rakyat yang dipimpinnya.

B.    Islam dan Kesetaraan Gender


Isu tentang kesetaraan gender sangat menarik untuk dibahas, karena kita akan
mengetahui bagaimana perspektif Islam terhadap kesamaan gender, kita juga
dapat menggali dan mempelajari secara mendalam bagaimana nilai-nilai serta
kandungan kesamaan gender ini lewat kacamata Al-Qur’an Al-Karim. Ketika kita
membicarakan masalah gender, yang ada dalam benak kita mungkin masalah
diskriminasi terhadap wanita serta penghilangan hak-hak wanita. Islam tidak
membedakan antara hak dan anatomi manusia, hak dan kewajiban itu sama dalam
islam. Islam mengedepankan keadilan bagi siapapun tanpa membedakan dari jenis
kelamin. Islam adalah agama yang membebaskan dari perbudakan, persamaan hak
dan tidak pernah mengedepankan salah satu komunitas atau golongan, karena
islam hadir sebagai agama yang menyebarkan kasih sayang bagi sesama.
Rosulullah bersabda :
“Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah
orang yang terbaik diantara kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan
kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina perempuan
adalah orang yang tak tahu budi.” ( HR. Abu Assakir )
            Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan bila dilihat dari dari nilai dan tingkah laku. Kata gender
berasal dari bahasa inggris yang artinya jenis kelamin (John M. Echols dan
Hassan Sadhily, 1983 : 256). Dalam Women Studies Ensiklopedia, dijelaskan
bahwa gender adalah kosep cultural, berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalis dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dimasyarakat.
            Dalam perspektif islam, semua yang diciptakan Allah SWT berdasarkan
kodratnya masing-masing, seperti firman Allah “Sesungguhnya segala sesuatu
kami ciptakan dengan kadar” ( QS. Al-Qamar : 49 ). Antara laki-laki dan
perempuan dalam pandangan yang kuasa adalah sama, dari amal-amal mereka
yang nantinya akan dijadikan perbandingan dihari kemudian. Firman Allah :
“Sesungguhnya aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal
diantara kamu, baik lelaki maupun perempuan” (QS.Ali Imran : 195)
Hal ini berarti kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dari segi intelektualnya,
mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan apa yang
mereka hayati dari dzikir kepada Allah, serta apa yang mereka pikirkan dialam
raya ini.
            Dari sifat perempuan yang memang patut untuk diketahui adalah sifat
feminisme. Kesadaran feminis yang mewarnai gerakan feminis dimanapun. Yaitu,
kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap kaum perempuan di dalam
masyarakat, ditempat kerja dan didalam keluarga, serta suatu tindakan sadar oleh
perempuan maupun laki-laki untuk mengubah kondisi tersebut.[12] Yakni
diskriminasi atas dasar kelamin, dominasi laki-laki terhadap perempuan,
pelaksanaan sistem patriarkhi; dan ia melakukan tindakan untuk menentang itu,
maka ia dapat dikategorikan sebagai seorang feminis, baik disebut secara eksplisit
maupun tidak.
            Pengertian yang biasa muncul bahwa kaum laki-laki dalam pandangan
masyarakat mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kaum perempuan biasannya
didasarkan pada penafsiran ayat Al-qur’an:
“Kaum laki-laki adalah qawwamun atas kaum perempuan, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain, dan karena
mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (QS.Al-Nisa [4] : 34).
Kata qawwamun dalam ayat ini dalam berbagai literature tafsir biasanya diartikan
sebagai: “Penanggung jawab, penguasa, pemimpin, penjaga atau pelindung
perempuan.” Itu sebabnya, menurut banyak mufasir bahwa dari kaum laki-laki
muncul tugas-tugas besar, seperti sebagai nabi, ulama, imam, guru sufi. Laki-laki
pula yang berperan dalam jihad, adzan, shalat jum’at, khutbah, takbir, persaksian,
wali dalam menikahkan anak perempuannya, sampai kepada perceraian dan ruju’.
[13]
            Bahwa memang dalam beberapa hal kaum laki-laki sudah mempunyai
kodrat untuk menjadi pemimpin dari diri seorang perempuan, begitupun juga
kaum perempuan sudah memiliki kodrat pula bahwa diciptakan untuk bias
dipimpin seorang laki-laki. Namun, hal yang semacam ini tidak menjadikan
bahwa kaum perempuan dianggap lemah dan sebagai bahan penindasan, dari
beberapa sifat perempuan yang memang feminis, harusnya dari seoarang laki-laki
justru dapat untuk menjadi pelindung bagi perempuan.
C.  ISLAM DAN HAM
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang di bawa dari
sejak lahir sebagai anugrah dari Tuhan yang Maha Esa, bukan pemberian manusia
atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan
manusia yang bersifat kodrati. HAM dalam islam lebih dikenal dengan istilah
huquq al-insan ad-dhoruriyyah dan huquq Allah. Dalam islam huquq al-insan ad-
dhoruriyyah dan huquq Allah tidak dapat dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri
tanpa adanya keterkaitan satu dengan yang lainnya. Inilah yang membedakan
konsep Barat tentang HAM dengan konsep Islam.
Dalam Al-quran Allah menjamin hak-hak manusia, seperti:
a.    Islam melarang umatnya untuk membunuh (QS. Al- An'am (6):151).
b.    Melindungi hak hidup (QS. Al-Baqarah (2):195 ).
c.    Hak merdeka beragama agama (QS. Yunus (10):99).
d.   Memperoleh hak nya (QS. An-Nisa (4):2)
e.    Hak memilh pekerjaan yang layak (QS. Al-Mulk (67):15)
f.     Hak mendapatkan pelajaran (QS. At-Taubah (9):122).

D. ISLAM DAN DEMOKRASI

Islam adalah agama. Sebagai agama, Islam diyakini dan dipahami merupakan
seperangkat ketentuan dan aturan (aqidah wa al-syari‟ah) yang bersumber dari
Allah Swt. Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya, dimaksudkan untuk
menjadi panduan bagi manusia. Karena ia menjadi panduan bagi kehidupan
manusia, berarti ia juga harus menjadi basis bagi semua atau keseluruhan
perilaku manusia, yang antara lain meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial dan
seterusnya.

Sebagai kumpulan ajaran Allah Swt, Islam terkodifikasikan dalam al-Qur‟an. Al-
Qur‟an inilah yang kemudian menjadi rujukan perilaku manusia. Tetapi, karena
ajaran- ajaran dalam al-Qur‟an memerlukan penjelasan, maka keberadaan Nabi
Muhammad Saw., adalah berperan sebagai orang yang menjelaskan al-Qur‟an
(mubayyin al- Qur‟an). Nabi Muhammadlah yang kemudian memberikan
penjelaskan secara operasional terhadap ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-
Qur‟an. Karena itu kemudian, keduanya --al-Qur‟an dan Sunnah-- menjadi
rujukan bagi perilaku umat Islam.
Memperhatikan Islam sebagai kumpulan ajaran yang berasal dari Allah Swt., dan
kemudian dilembagakan melalui Nabi Muhammad Saw., dapat dikatakan bahwa
yang bisa disebut memiliki kemutlakan untuk mengatur manusia di sini adalah
Allah. Dalam pandangan ini Allahlah yang memiliki kedaulatan atas manusia.
Allahlah (al-Khaliq) yang menentukan segala ketentuan dan aturan untuk
sekalian ciptaannya (al-Makhluq), termasuk di dalamnya adalah manusia.
Dengan demikian manusia harus tunduk dan patuh kepada semua ketentuan dan
aturan Allah ini.
Dalam pada itu ketentuan dan aturan yang bersumber dari Allah dipandang
memiliki nilai kemutlakan (ultimate). Dengan demikian penilaian atas sesuatu
yang dilakukan oleh Islam terhadap perilaku manusia secara pasti dan mutlak
telah ditentukan apakah itu termasuk dalam kategori benar atau salah. Ketentuan
hukum yang demikian adalah mutlak adanya dan tidak bisa dirubah dan akan
berlaku sepanjang kehidupan manusia.
Di pihak lain dikenal adanya faham tentang „demokrasi‟. Menurut kamus,
demokrasi adalah „pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada
di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil yang
mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas‟2. Dalam kaitan ini demokrasi
adalah suatu sistem di

mana warga negara bebas mengambil keputusan melalui kekuasaan mayoritas3.


Dari pendefinisian yang demikian bisa dilihat adanya implikasi antara lain
terhadap: (a) cara pengangkatan kepala negara atau semua jajaran pejabat
lembaga pemerintahan, (b) cara pengambilan keputusan tentang suatu
perundang-undangan atau peraturan pemerintah.
Dalam paparan Affan Gafar, ilmu politik membagi dua macam pemahaman
terhadap demokrasi: pemahaman secara normatif dan pemahaman secara
empirik. Pemahaman yang disebut terakhir biasanya dikenal dengan sebutan
procedural democracy. Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi
merupakan sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan
oleh sebuah negara, seperti misalnya terungkap dalam pernyataan Abraham
Lincoln bahwa demokrasi adalah suatu “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat”. Dari pernyataan ini bisa dinyatakan bahwa demokrasi
dibangun di atas dua prinsip yaitu pemerintahan sendiri dan penetapan atau
pembuatan undang-undang secara langsung oleh rakyat4.
Adapun pemahaman demokrasi secara empirik (procedural democracy) biasanya
menggunakan sejumlah indikator antara lain seberapa banyak ruang gerak yang
diberikan pemerintah kepada warga negara untuk berpartisipasi. Warga negara
atau rakyat (demos), dalam demokrasi selalu mendapatkan perhatian, bahkan
terfokus padanya. Oleh karena itu selalu ditekankan peranan warga negara yang
senyatanya dalam proses politik5. Oleh karena itu dalam demokrasi, pemerintah
hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial
dari lembaga-lembaga yang banyak dan bervariasi: partai politik, organisasi dan
asosiasi. Namun diakui bahwa yang memiliki kemutlakan dan kedaulatan adalah
manusia atau rakyat.

Adanya penekanan yang demikian terfokus kepada warga negara atau rakyat,
maka dalam pemerintahan yang demokrasi selalu memberikan perhatian kepada
warga negaranya. Implikasi dari cara pandang yang demikian adalah pada
diletakkannya pilar- pilar demokrasi yang selalu mengutamakan kepentingan
warga negara. Pilar-pilar demokrasi itu adalah: (a) kedaulatan rakyat, (b)
pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah (rakyat), (c)
kekuasaan mayoritas, (d) hak-hak minoritas, (e) jaminan hak-hak asasi manusia,
(f) pemilihan yang bebas dan jujur, (g) persamaan di depan hukum, (h) proses
hukum yang wajar, (i) pembatasan pemerintah secara konstitusional, (j)
pluralisme sosial, ekonomi dan politik, dan (k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme,
kerjasama dan mufakat6.
Demokrasi, oleh karena itu, bergantung kepada pembangunan suatu budaya
warga negara yang demokratis. Budaya dalam pengertian ini adalah perilaku,
praktek dan norma-norma yang menjelaskan kemampuan warga negara untuk
memerintah diri sendiri. Pemerintah yang merupakan representasi warga negara
dengana sendirinya juga harus memberikan kebebasan kepada setiap warga
negara untuk mengejar kepentingan dan menjalankan hak-hak mereka. Mereka
membuat keputusan sendiri tentang pekerjaan yang akan mereka lakukan, jenis
pekerjaan yang akan dilakukan, partai politik mana yang akan diikutinya atau
bahkan tidak akan terlibat dalam partai politik, dan seterusnya. Pada intinya
adalah adanya „kebebasan‟.
Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik, tetapi keduanya
tidak sama. Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip
tentang kebebasan, tetapi juga menyangkut seperangkat praktek dan prosedur
yang terbentuk melalui sejarah yang panjang. Dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa demokrasi adalah „pelembagaan‟ dari kebebasan. Oleh karena itu wajar
kalau dalam perkembangan wacana demokrasi ini terkait dengan persoalan
kebebasan, misalnya saja hak asasi manusia, persamaan di depan hukum, dan
toleransi. Karena di dalam contoh- contoh tersebut terkandung makna kebebasan
warga negara.

Dari sedikit gambaran di atas, fokus dan ruang lingkup demokrasi adalah pada
persoalan kemanusiaan, dari manusia kepada manusia. Dan lebih fokus lagi
adalah persoalan kekinian, duniawi. Dalam demokrasi tidak ada intervensi yang
berasal dari pihak luar, di luar diri manusia, yaitu Allah Swt. Dengan demikian,
dalam demokrasi tidak ada nilai-nilai yang bercorak ilahiah. Tidak ada nilai-nilai
yang dipandang transendental yang abadi. Justifikasi benar dan salah yang
dihasilkan dari demokrasi bercorak relatif, sangat bergantung kepada hasil
kesepakatan bersama suatu masyarakat. Keputusan dan aturan yang
dilembagakan sebagai hasil demokrasi tidak memiliki kemutlakan dan nilai
transenden (spiritual). Produk aturan demokrasi semata bersifat temporal dan
kekinian (duniawiah) semata.

Sekalipun ada pemilikan kemutlakan dan kedaulatan yang berbeda antara Islam
dan demokrasi, tidak berarti dengan sendirinya Islam tidak kompatibel dengan
demokrasi. Banyak persoalan yang harus diurai lebih jauh mengenai
kompatibilitas dan tidak kompatibelnya Islam dengan demokrasi. Tetapi,
penjajaran Islam dengan demokrasi secara serta merta adalah merupakan cara
pandang yang salah dan jelas keliru. Karena Islam merupakan seperangkat
ketentuan dan aturan yang terkait dengan otoritas Allah Swt., secara mutlak.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, orang yang menyatakan bahwa antara Islam dan
demokrasi terdapat segi-segi persamaan, itu hanyalah berarti menerangkan
sebagian dari hakekatnya; karena hakekat yang sempurna ialah, antara Islam dan
demokrasi ada perbedaan. Bahkan menurutnya yang lebih tepat ialah ada hal-hal
yang bersesuaian, tetapi banyak hal-hal yang tidak bersesuaian7. Seperti juga
yang diakui oleh Bassam Tibbi, ia sependapat dengan yang dikemukakan oleh
Hamid Enayat: “Jika Islam sampai pada konflik dengan postulat-postulat
demokrasi tertentu, itu adalah karena karakter umumnya sebagai sebuah
agama…melibatkan banyak asksioma yang suci”8. Sementara demokrasi
bersandar pada otoritas manusia, dan lebih menyangkut masalah prosedural.
Meskipun diakui, dalam perkembangannya pemahaman terhadap demokrasi
menjadi semakin kompleks, seperti misalnya hak-hak minoritas, jaminan hak-
hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan di depan hukum,
proses hukum yang wajar, pembatasan pemerintah secara konstitusional,
menghargai pluralisme, toleransi, kerjasama dan mufakat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari semua perkara di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa pluralisme


agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama, muncul karena
tumbuhnya klaim dari masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri.
Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
bila dilihat dari nilai dan tingkah laku.
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang di
bawa dari sejak lahir sebagai anugrah dari Tuhan yang Maha Esa, bukan
pemberian manusia atau penguasa.
Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh rakyat atau wakil-wakil
yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas.

Anda mungkin juga menyukai