Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Tentang
Membumikan Islam di Indonesia

Oleh :
Kelompok 1, Lokal KEB 2
1. Bunga Gusasnami
2. Mukhtahul Khairi
3. Raditya Pangestu
4. Ranti Pratiwi
5. Tessa Tiara

Dosen pembimbing :
Ahmad Bestari. SIQ, S.Pd.I, MA

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
TAHUN 1441/2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam adalah agama Allah SWT. yang diwahyukan kepada Rasul-nya untuk
diajarkan kepada manusia. Dibawa secara berantai (estafet) dari satu generasi ke
generasi selanjutnya, dari satu angkatan ke angkatan berikutnya. Islam adalah rahmat,
hidayat, dan petunjuk bagi manusia dan merupakan manifestasi dari sifat rahman dan
rahim Allah Swt. Mayoritas manusia di bumi ini memeluk agama islam. Banyak juga
yang masih menjadi muallaf setelah mengetahui semua kebenaran ajaran nabi
Muhammad SAW. ini yang tercantum dalam al-qur’an.
Namun di masa kejayaan islam pada masa sekarang, semakin banyak pula orang-
orang yang beragama islam, tapi tidak mengerti arti islam itu sendiri. Mereka hanya
menjalankan syari’ah atau ajaran-ajaran islam tanpa mengerti makna islam. Ada juga
orang yang islam “KTP” atau islam hanya sebagai identitas semata.
B. Batasan Masalah
Dari latar belakang di atas, batasan masalah dari ini adalah :
1. Apakah arti agama islam ?
2. Mengapa diwajibkan atas umat islam untuk menyebar islam ?
3. Bagaiman membumikan islam di Indonesia ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Islam
Islam pada suatu sisi dapat disebut sebagai high tradition, dan pada sisi lain
disebut sebagai low tradition. Dalam sebutan pertama islam adalah firman Tuhan yang
menjelaskan syariat-syariat-Nya yang dimaksudkan sebagai petunjuk bagi manusia untuk
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, termasuk dalam nash (teks suci) kemudia
dihimpun dalam shuhuf dan kitab suci (Al Quranul Karim). Secara tegas dapat dikatakan
hanya Tuhanlah yang paling mengetahui seluruh maksud, arti, dan makna setiap Firman-
Nya. Oleh karena itu, kebenaran islam dalam dataran high tradition ini adalah mutlak.
Bandingkan dengan islam pada sebutan kedua: Low tradition. Pada dataran ini islam
yang mengandung dalam nash atau teks –teks suci bergumul dengan realitas sosial pada
berbagai masyarakat yang dibaca, dimengerti, dipahami, kemudian ditafsirkan dan
dipraktikan dalam masyarakat yang situasi dan kondisinya berbeda-beda.

B. Kewajiaban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah (Membumikan Islam)


Berikut ini Dasar Dalil Kewajiban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah (Membumikan
Islam )dari hadits.

Δ˴ Vs Vs V˷V ϝ Ϣ Ϡs VϢ͉ s o V˶ Rm s˳ s VR Vo V˳˶s Rs

“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra dituturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,


“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” [HR. Bukhari]

Pada dasarnya setiap Muslim dan Muslimah diwajibkan untuk mendakwahkan


Islam (membumikam islam) kepada orang lain, baik Muslim maupun Non Muslim.
Ketentuan semacam ini didasarkan pada firman Allah SWT. dan berikut dasar dalil
kewajiban setiap umat islam untuk berdakwah (Menyeru Kebaikan) di Al-Qur’an :

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang
yang beruntung” (QS. Al-Imran : 104),

3
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (TQS. Al-Imran : 110)

Riwayat-riwayat di atas merupakan dalil yang shahih mengenai kewajiban


dakwah (membumikan islam ) atas setiap Mukmin dan Muslim. Bahkan, Allah swt
mengancam siapa saja yang meninggalkan dakwah Islam (membumikan islam), atau
berdiam diri terhadap kemaksiyatan dengan “tidak terkabulnya doa”. Bahkan, jika di
dalam suatu masyarakat, tidak lagi ada orang yang mencegah kemungkaran, niscaya
Allah akan mengadzab semua orang yang ada di masyarakat tersebut, baik ia ikut berbuat
maksiyat maupun tidak. Kenyataan ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa hukum
dakwah adalah wajib, bukan sunnah. Sebab, tuntutan untuk mengerjakan yang
terkandung di dalam nash-nash yang berbicara tentang dakwah datang dalam bentuk pasti.
Indikasi yang menunjukkan bahwa tuntutan dakwah bersifat pasti adalah, adanya siksa
bagi siapa saja yang meninggalkan dakwah. Ini menunjukkan, bahwa hukum dakwah
adalah wajib.

C. Membumikan Islam di Indonesia


1. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Filosofis tentang Pribumisasi
Islam
a) Sumber historis

Indonesia sebenarnya merupakan bangsa yang pada dasarnya telah


berhasil menahan gejolak kekerasan yang terjadi atas nama agama tersebut.
Indonesia memiliki kebudayaan adiluhung, di mana itu merupakan sebuah
ruang dialog bagi adanya hal-hal keberbedaan. Ini dapat dilihat, dari falsasah
keberbangsaan yang berbunyi, bhineka tunggal ika. Bukankah slogan itu
merupakan hasil galian para founding father bangsa Indonesia dari khazanah
kebudayaan yang ada. Artinya, secara historis, Indonesia merupakan bangsa
yang mempu menyeleseikan keberbedaan itu secara harmonis. Jadi, kekuatan
harmonisasi keberagaman di Indonesia itu melalui ruang budaya.

4
“Pribumisasi Islam” sesunggguhnya mengambil semangat yang telah
diajarkan walisongo dalam dakwahnya ke wilayah Nusantara sekitar abad ke-15
dan ke-16 di pulau Jawa. Dalam hal ini walisongo telah berhasil memasukan
nilai-nilai lokal dalam Islam yang khas indonesia. Kreatifitas walisongo ini
melahirkan gagasan baru nalar Islam Indonesia yang tidak harfiah meniru Islam
di Arab. Tidak ada nalar Arabisasi yang melekat dalam penyebaran Islam awal
di Nusantara. Walisongo mengakomodasikan Islam sebagai ajaran agama yang
mengalami historisasi dengan kebudayaan.

Sampai di sini, “Pribumisasi Islam” dipahami menjadi sebuah kebutuhan


praksis (berupa keterampilan pada proses komunikasi/ dakwah/ tabligh antar
budaya), sekaligus sebagai kebutuhan paradigmatik pemikiran (berupa
kontekstualisasi paham keislaman untuk historisitas ruang dan waktu yang
berbeda, di mana syariah didialogkan dengan berbagai konteks yang
melingkupinya). Penulis merasa akan pentingnya konsep “Pribumisasi Islam”
ini. Sebab, konsepsi “Pribumisasi Islam” sepertinya akan sangat membantu
bagi berkembangnya pemahaman Islam yang pantas untuk diterapkan dalam
konteks Indonesia maupun keindonesiaan itu sendiri. Dari situ, membangun
masyarakat yang religius juga kultural akan lebih mudah terwujud, tanpa
kehilangan kebinekaannya, tetap harmonis, toleran dan menganut pluralisme
yang dewasa.
b) Sumber sosiologis
Secara sosiologis, potret Islam Indonesia sangat toleran dengan tradisi dan
komunitas lain yang berbeda keyakinan, menerima Bhineka Tunggal Ika. Islam
Indonesia menghargai pluralitas etnis, agama dan gender. Membela kaum
minoritas, kaum mustad’afin, dan kaum terpinggirkan lainnya. Islam Indonesia
sangat memahami sosio-kultural kebangsaan, ketimbang memaksakan
normatifitas teks yang verbalisitik. Dalam masalah praktik sosial
kemasyarakatan, Islam Indonesia bisa menerima Pancasila sebagai Dasar
Negara guna memersatukan segenap entitas bangsa Indonesia. NKRI sudah
final bagi Islam Indonesia. Peningkatan Sumberdaya Manusia dan kedisiplinan
yang perlu ditingkatkan, punctuality (ketepatan),keteraturan, social justice,
pengorganisasian, kepekaan sosial, etos kerja, kompetisi positif, sportivitas,
komitmen, trust, dan lain-lain.

c) Sumber teologis dan filosofis


Secara filosofis pribumisasi Islam didasari oleh paradigma sufistik tentang
substansi keberagaman. Dalam paradigma sufistik, agama memiliki dua wajah
yaitu aspek esoteris (aspek dalam) dan aspek eksoterik (aspek luar). Dalam
tataran esoteris, semua agama adalah sama karena ia berasal dari Tuhan Yang

5
Tunggal. Dalam pandangan sufistik, bahkan dikatakan semua yang maujud di
alam ini pada hakikatnya berasal dari Wujud Yang Satu (Tuhan Yang Maha
Esa). Alam ciptaan dengan pluralitas manifestasinya pada hakikatnya diikat
oleh sebuah kebenaran universal yang berasal dari Sang Pencipta Yang
Tunggal. Perbedaan maujud dalam ciptaan Tuhan semuanya dibingkai dalam
keesaan wujud. Tuhanlah satu-satunya wujud (la wujud illa Allah). Perbedaan
hanya tampak pada aspek eksoterik, yaitu unsur lahir dan amalan kasat mata
saja. Sejalan dengan pemahaman ini, maka substansi keagamaan adalah satu,
cara manusia dapat menyembah (tunduk, patuh, dan berserah diri) kepada
Tuhan sebagai kebenaran universal. Adapun ekspresi keberagaman atau
aksentuasi paham keagamaan pasti berbeda-beda karena perbedaan kebutuhan
dan tuntutan fisik dan materi yang berbeda pula.
Secara teologis, tauhid bukan sekedar pengakuan atau persaksian bahwa
tiada illah selain Allah, tapi pemaknaan terhadap tauhid melampaui dari
sekedar pengakuan atas eksistensinya yang tunggal. Jika kita tarik pemaknaan
tauhid dalam ranah realitas ciptaan (makhluk), maka tauhid berarti pengakuan
akan pluralitas atas selain Dia (makhluk-Nya). Hanya Dia yang tunggal, dan
selain Dia adalah plural. Al-Qur’an juga mengemukakan, bahwa Allah
menakdirkan pluralitas sebagai karakteristik makhluk ciptaan-Nya. Tuhan tidak
menakdirkan pluralitas dalam ciptaan untuk mendorong ketidakharmonisan dan
perang. Pluralitas sekaligus menjadi bukti relativitas makhluk.

2. Membangun Argumen tentang Urgensi Pribumisasi Islam


Secara bahasa, Urgensi berasal dari bahasa Latin yaitu “urgere” yang berarti
mendorong. Adapun secara istilah, Urgensi yaitu menunjuk pada sesuatu yang
mendorong kita, yang memaksa kita untuk menyelesaikan suatu hal. Urgensi dapat
diartikan yaitu pentingnya. Sebagai contoh, urgensi kepemimpinan berarti pentingnya
kepemimpinan.
Pribumisasi Islam adalah rekonsilasi antar budaya dan agama. Rekonsilasi ini
menuntut umat Islam memahami wahyu dengan mempertimbangkan faktor-faktor
kontekstual termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya.

Pribumisasi Islam ini sangat berbeda dengan pola atau cara berislam yang sangat
berorientasi pada purifikasi atau pemurnian yang mempunyai hasrat kuat pada keaslian
dan masa lalu. Pribumisasi islam tidak berorientasi pad masa lalu, namun berpijak
pada tradisi, kelokalan dan kekinian. Proses panjang penjumlahan Islam dengan
budaya lokal di nusantara juga telah melahirkan beragam ekspresi kebudayaan yang
khas nusantara seperti arsitektur bangunan,tari, dan perayaan keagamaan, yang bagi
sebagian orang kemudian dituduh sebagai bid’ah. Dengan proses semacam itu Islam
tidak hadir sebagai pemberangus budaya lokal. Islam hadir di nusantara yang saat itu

6
sudah merupakan peradaban dengan khazanah dan keragaman yang begitu kaya.
Semua itu tidak dibumihanguskan atau dilenyapkian sebagaimana Rasulullah yang
juga tidak lantas melenyapkan budaya lokal Arab.

3. Mendeskripsikan dan Mengkomunikasikan Pribumisasi Islam sebagai Upaya


Membumikan Islam di Indonesia
Islam pribumi ini lahir dari sikap keterbukaan Islam dalam berdialog dengan
memanifestasikan diri kedalam budaya lokal Nusantara. Sebagai pijakan dalam
mengemukakan tawarannya, Gus Dur mencatat adanya dua kecenderungan dalam
menanifestasikan kebudayaan Islam ke dalam kebudayaan Nusantara. Pertama,
kecenderungan untuk formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan
bangsa. Kedua, kecenderungan untuk menjauhi sebisa mungkin formalisasi ajaran
Islam dalam manifestasi kebudayaan bangsa. Kecenderungan pertama menurut Gus
Dur berkeinginan untuk memanifestasikan dimensi Islam ke dalam kehidupam sehari-
hari agar kebudayaan Indonesia diwarnai oleh ajaran Islam. Mereka memulainya dari
persoalan bahasa seperti ucapan salam “assalamu’alaikum” dijadikan ganti dari
ucapan “Selamat Pagi” hari kelahiran diganti dengan yaum al-milad, istilah sahabat
diganti dengan ikhwan dan sebagainya. Kecenderungan seperti ini pada akhirnya
menghilangkan budaya lokal yang dinilai tidak Islami. Mereka mencangkan budaya
Islam sebagai budaya alternatif. Menurut Gus Dur, sebagai ajaran normatif yang
berasal dari Tuhan Islam harus mengakomodasi kebudayaan yang berasal dari manusia
tanpa kehilangan identitasnya. Tumpang tindih antar agama dan budaya itu menurut
Gus Dur akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya
kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Namun, perbedaan agama dan budaya tidak
menghalangi kemungkinan menifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya
seperti penggunaan seni dalam mengekspresikan ritual keagamaan. Dalam rangka
menifestasi budaya Islam ke dalam budaya lokal itulah Gus Dur menawarkan gagasan
pribumisasi Islam.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad Saw.
sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga
akhir zaman. Kewajiban sebagai umat islam untuk membumikan Islam sudah tertera
dalam berbagai hadist dan Surat didalam Al- qur’an. Banyak cara yang dapat ditempuh
dalam membumikan Islam di Indonesia. Kebangkitan atau kemajuan umat Islam, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama sungguh sangat bergantung pada sejauh mana
mereka berpedoman dan berpegang teguh pada petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran, aturan-
aturan, etika-etika dan norma-norma yang mencakup segala aspek dan segi kehidupan
manusia di mana pun.

B. Saran dan Kritik


Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut
dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para
pembaca. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
disarankan untuk perbaikan ke atas. Dan juga pembaca diharapkan bisa membaca
referensi lain untuk menambah wawasan keilmuannya.

8
DAFTAR PUSTAKA

http://www.gusdurian.net/id/article/kajian/Menimbang-Gagasan-Pribumisasi/. Diakses pada 7


November 2019

http://www.islammadani.net/kajian/dari-pribumisasi-islam-ke-islam-nusantara-sebuah-tinjauan-
kritis-1. Diakses pada 7 November 2019

Dody S Truna.dkk.2002.Pranata Islam Di Indonesia. Jakarta: Logos WacanaIlmu

Noer Derlier.1995.Gerakan Modern Islam Di Indonesia1900-1942. Jakata: PT Pustaka LP3ES


Indonesia

https://muslim.or.id/4703-keutamaan-menyebarkan-ilmu-agama.html. Diakses pada 7 November


2019

http:/mutiarahaticieka.blogspot.com/Pribumisasi-Islam. Diakses pada 7 November 2019

Anda mungkin juga menyukai