Anda di halaman 1dari 20

Tugas Kepemimpinan Dalam Keperawatan

BERPIKIR KRITIS & KETERAMPILAN


PENGAMBILAN KEPUTUSAN

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK VIII

Maria Ulfah Azhar

(P4200214009)

A. Ulfiyani Wahid

(P4200214019)

Sri Haryati B.

(P4200214029)

Nurdiana Djamaluddin

(P4200214038)

Yunita Nurmalasari

(P4200214039)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN
2014

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Kepemimpinan
Dalam Keperawatan khusunya pada "Berpikir Kritis", yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber referensi.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu
sebagai penyusun kami membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
Terima kasih.

Makassar,

Oktober 2014
Kelompok VII

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berpikir kritis adalah sikap terhadap isu-isu dan proses penalaran. Berpikir Kritis
tidak identik dengan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, tapi pasti
pemecahan masalah efektif dan membuat keputusan bersamaan tidak dapat terjadi tanpa
berpikir kritis (Lemire, 2002).Penilaian buruk atau pemikiran bias membuat jalan yang
berputar untuk penilaian yang baik dan pengambilan keputusan yang efektif. Berpikir
kritis membantu mengatasi hambatan tersebut. Keterampilan berpikir kritis mungkin
tidak datang secara alami. Perawat yang merupakan pemikir yang kritis harus berpikiran
terbuka dan memiliki kemampuan untuk merefleksikan tindakan sekarang dan masa lalu
dan menganalisis informasi yang kompleks.
Berpikir kritis merupakan keterampilan yang dikembangkan untuk kejelasan
pemikiran dan peningkatan efektivitas pemecahan masalah. Akar dari konsep berpikir
kritis dapat ditelusuri dari Socrates, yang mengembangkan metode menggali pertanyaan
sebagai cara berpikir lebih jelas dan dengan konsistensi logis yang lebih besar. Ia
menunjukkan bahwa orang sering tidak dapat secara rasional membenarkan klaim
percaya diri untuk pengetahuan. Arti yang membingungkan, bukti tidak memadai, atau
keyakinan diri bertentangan mungkin terletak di bawah permukaan retorika. Oleh karena
itu penting untuk mengajukan pertanyaan yang mendalam dan menyelidiki urutan
berpikir, mencari bukti, meneliti pemikiran/pertimbangan dan asumsi, menganalisis
konsep dasar, dan menelusuri implikasi. Pemikir lainnya, seperti Plato, Aristoteles,
Thomas Aquinas, Francis Bacon, dan Descartes, menekankan pentingnya berpikir kritis
sistematis dan kebutuhan untuk mendisiplinkan sistematis pikiran untuk membimbing
dalam kejelasan dan ketepatan berpikir. Pada awal 1900-an, Dewey menyamakan
berpikir kritis dengan refleksi pemikiran (Masyarakat Berpikir Kritis, 2008). Pemikiran
kritis, kemudian, ditandai dengan pemikiran yang memiliki tujuan, sistematis,
memandang sudut pandang alternatif, terjadi dalam kerangka acuan, dan didasarkan pada
informasi
Tersirat tanya dalam proses berpikir kritis. Berikut adalah beberapa pertanyaan
yang

akan

diajukan

ketika

berpikir

kritis

tentang

masalah

atau

isu:

(1) Apa pertanyaan yang diajukan? (2) Apakah ini pertanyaan yang tepat? (3) Apakah
ada

pertanyaan

lain

yang

harus

dijawab

terlebih

dahulu?.

Tidak peduli apa pertanyaan yang diajukan, pemikir kritis perlu mengetahui "mengapa"
dari pemikiran, modus penalaran (induktif atau deduktif), apa sumber dan keakuratan
informasi, apa asumsi yang mendasari dan konsep, dan apa mungkin hasil dari
berpikir?(Komunitas Berpikir Kritis, 2008).

B. Tujuan
Untuk lebih memahami makna dan maksud dari berpikir kritis dalam keperawatan dan
keterampilan pengambilan keputusan, serta untuk mengetahui penerapan dan model
berpikir kritis dalam keperawatan, sehingga kita mampu menyelesaikan suatu masalah
serta dapat mengambil suatu keputusan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi
Menurut Facione (2007), berpikir kritis dapat didefinisikan sebagai satu set
keterampilan kognitif termasuk interpretasi, analisis, evaluasi, kesimpulan, penjelasan,
dan pengontrolan diri. Menggunakan keterampilan ini, perawat dalam merawat pasien
secaralangsung yang juga sebagai pemimpin dan manajer dapat menganalisis,
mengonsep kejadian, dan menghindari kecenderungan untuk membuat keputusan dan
memecahkan masalah tergesa-gesa atau atas dasar informasi yang tidak akurat. Facione
juga menjelaskan bahwa berpikir kritis tidak hanya keterampilan, tetapi juga sifat yang
didasarkan pada komponen etika yang kuat. (Huber, 2010)
Berpikir kritis dalam keperawatan merupakan sebuah komponen esensial dalam
tanggung gugat professional dan asuhan keperawatan yang bermutu. Para pemikir kritis
dalam keperawatan memperlihatkan kebiasaan berpikir seperti ini : percaya diri,
perspektif kontekstual, kreativitas, fleksibilitas, rasa ingin tahu, integritas intelektual,
intuisi berpikiran terbuka, tekun dan refleksi. Para pemikir kritis dalam keperawatan
melatih keterampilan kognitif dalam menganalisis, menerapkan standar, membedakan,
mencari informasi, memberi alasan logis, memperkirakan dan mengubah pengetahuan.
(Scheffer & Rubenfeld, 2007 p. 6)
Selain itu, Potter dan Perry (2009), mendefenisikan berpikir kritis adalah
bagaimana

perawat

menggunakan

informasi

sebagai

pertimbangan,

membuat

kesimpulan, dan membentuk gambaran mental tentang apa yang akan terjadi pada klien.
B. Model Berpikir Kritis
Tingkat 3

Tingkat Berpiki Kritis

Komitmen
Tingkat 2
Kompleks
Tingkat 1
Dasar

Dasar Pengetahuan Khusus


Pengalaman
Kompetensi
Sikap
Standar

Komponen Berpikir Kritis

Gambar Model Berpikir Kritis Untuk Penilaian Keperawatan Kataoka-Yasiro (Kataoka-Yasiro 1994, Dikutip
Dalam Potter & Perry, 2009)

C. Komponen Berpikir Kritis (Potter & Perry, 2009)


1. Dasar Pengetahuan Khusus
Komponen pertama berpikir kritis adalah pengetahuan khusus perawat dalam
keperawatan. Dasar pengetahuan ini beragam sesuai dengan program pendidikan
dasar keperawatan dari jenjang mana perawat diluluskan, pendidikan berkelanjutan
dan setiap gelar tingkat lanjut yang didapatkan perawat. Dasar pengetahuan
perawat mencakup informasi dan teori dari ilmu pengetahuan alam,
humaniora,

dan

keperawatan

diperlukan

untuk

memikirkan

masalah

keperawatan. Informasi tersebut memberikan data yang digunakan dalam berbagai


proses berpikir kritis. Penting artinya bahwa dasar pengetahuan ini mencakup
pendekatan yang menguatkan kemampuan perawat untuk berpikir secara kritis
tentang masalah keperawatan.
2. Pengalaman
Komponen kedua dari model berpikir kritis adalah pengalaman dalam
keperawatan. Kecuali perawat mempunyai kesempatan untuk berpraktik di dalam
lingkungan klinik dan membuat keputusan tentang perawat klien, berpikir kritis tidak
akan pernah terbentuk. Ketika perawat harus menghadapi klien, informasi
tentang kesehatan dapat diketahui dari mengamati, merasakan, berbicara
dengan klien, dan merefleksikan secara aktif pada pengalaman.
Pengalaman perawat dalam peraktik klinik akan mempercepat proses berpikir
kritis karena ia akan berhubungan dengan kliennya, melakukan wawancara,
observasi, pemeriksaan fisik, dan membuat keputusan untuk melakukan perawatan
terhadap masalah kesehatan.
3. Kompetensi
Kompetensi berpikir kritis adalah proses kognitif yang digunakan perawat
untuk membuat penilaian keperawatan. Terdapat tiga tipe kompetensi, yaitu berpikir
kritis umum yang meliputi pengetahuan tentang metode ilmiah, penyelesaian
masalah, dan pembuatan keputusan., berpikir kritis spesifik dalam situasi klinis
yang meliputi alasan mengangkat diagnose dan membuat keputusan untuk
perencanaan tindakan selanjutnya, dan berpikir kritis spesifik dalam
keperawatan melalui pendekatan proses keperawatan (pengkajian sampai
evaluasi).

4. Sikap untuk berpikir kritis


Ada tujuh sikap pemikir kritis, yaitu: Intellectual humility (kerendahan
hati), Intellectual courage (Keberanian), Intellectual empathy (rasa empati),
Intellectual

integrity

(Integritas),

Intellectual

Perseverance

(Ketekunan),

Intellectual sense of justice (adil), Faith in reasoning (keyakinan penalaran)


(Kadar, 2014).
Sedangkan (Paul 1993, dikutip dalam Potter& Perry, 2007) telah
meringkaskan sikap-sikap yang merupakan aspek sentral dari pemikir kritis.Sikap ini
adalah nilai yang harus ditunjukkan keberhasilannya oleh pemikir kritis. Individu
harus menunjukkan keterampilan kognitif untuk berpikir secara kritis, tetapi juga
penting untuk memastikan bahwa keterampilan ini digunakan secara adil dan
bertanggung jawab. Berikut ini contoh sikap berpikir kritis:
a. Tanggung gugat
Ketika individu mendekati suatu situasi yang membutuhkan berpikir kritis, adalah
tugas individu tersebut untuk mudah menjawab apa pun keputusan yang
dibuatnya. Sebagai perawat professional, perawat harus membuat keputusan
dalam berespons terhadap hak, kebutuhan, dan minat klien. Perawat harus
menerima tanggung gugat untuk apapun penilaian yang dibuatnya atas nama
pasien.
b. Berpikir mandiri
Sejalan dengan seseorang menjadi dewasa dan mendapatkan pengetahuan baru,
mereka belajar mempertimbangkan ide dan konsep dengan rentang yang luas dan
kemudian membuat penilaian mereka sendiri. Untuk berpikir secara mandiri,
seorang menantang cara tradisional dalam berpikir, dan mencari rasional serta
jawaban logis untuk masalah yang ada
c. Mengambil risiko
Dalam hal ini perawat perlu dibutuhkan niat dan kemauan mengambil risiko
untuk mengenali keyakinan apa yang salah dan untuk kemudian melakukan
tindakan didasarkan pada keyakinan yang didukung oleh fakta dan dan bukti
yang kuat.
d. Kerendahan hati
Penting untuk mengetahui keterbatasan diri sendiri.Pemikir kritis menerima
bahwa mereka tidak mengetahui dan mencoba untuk mendapatkan pengetahuan

yang diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat.Keselamatan dan


kesejahteraan klien mungkin berisiko jika perawat tidak mampu mengenali
ketidakmampuannya untuk mengatasi masalah praktik.
e. Integritas
Pemikir kritis mempertanyakan dan menguji pengetahuan dan keyakinan
pribadinya seteliti mereka menguji pengetahuan dan keyakinan orang lain.
Integritas pribadi membangun rasa percaya dari sejawat dan bawahan.Orang yang
mempunyai integritas dengan cepat berkeinginan untuk mengakui dan
mengevaluasi segala ketidakkonsistenan dalam ide dan keyakinannya.
f. Ketekunan
Pemikir kritis terus bertekad untuk menemukan solusi yang efektif untuk masalah
perawatan klien.Solusi yang cepat adalah hal yang tidak dapat diterima.Perawat
belajar sebanyak mungkin mengenai masalah, mencoba berbagai pendekatan
untuk perawatan, dan terus mencari sumber tambahan sampai pendekatan yang
tepat ditemukan.
g. Kreativitas
Kreativitas mencakup berpikir original. Hal ini berarti menemukan solusi di luar
apa yang dilakukan secara tradisional. Sering kali klien menghadapi masalah
yang membutuhkan pendekatan unik.
5. Standar untuk berpikir kritis
Paul (1993) menemukan bahwa standar intelektual menjadi universal untuk berpikir
kritis. Standar professional untuk berpikir kritis mengacu pada kriteria etik untuk
penilaian keperawatan dan kriteria untuk tanggung jawab dan tanggung gugat
professional. Penerapan standar ini mengharuskan perawat menggunakan berpikir
kritis untuk kebaikan individu atau kelompok.(Kataoka-Yhiro & Saylor, 1994 dikutip
dalam Potter & Perry, 2009).

D. Tingkat Berpikir Kritis


Model Kataoka-Yahiro& Saylor, (Kataoka-Yahiko & Saylor, 1994, dikutip dalam
Potter & Perry, 2009) mengidentifikasi tiga tingkat berpikir kritis dalam keperawatan:
tingkat dasar, kompleks, dan komitmen. Tingkat ini cenderung sejajar dengan lima
tingkat kecakapan diuraikan oleh Benner (1984): pendatang, pemula lanjut, kompeten,
cakap, dan ahli.

Pada tingkat dasar pembelajar menganggap bahwa yang berwenang mempunyai


jawaban yang benar untuk setiap masalah. Berpikir cenderung untuk menjadi konkret
dan didasarkan pada serangkaian peraturan atau prinsip. Hal ini merupakan langkah
awal dalam perkembangan kemampuan mempertimbangkan. Individu mempunyai
keterbatasan pengalaman dalam menerapkan berpikir kritis. Di samping
kecenderungan

untuk

diatur

oleh

orang

lain,

individu

belajar

menerima

perbedaan pendapat dan nilai-nilai di antarapihak yang berwenang. Dalam kasus


perawat baru, berpikir kritis sambil melakukan prosedur keperawatan masih terbatas.
Pendekatan tahap demi tahap digunakan untuk memberikan perawatan dan mungkin
tidak dapat diadaptasi untuk kebutuhan klien yang unik atau yang tidak lazim.
Pada tingkat berpikir kritis yang kompleks seseorang secara kontinu
mengenali keragaman dari pandangan dan persepsi individu. Apa yang berubah
adalah kemampuan dan inisiatif individu. Pengalaman membantu individu mencapai
kemampuan untuk terlepas dari kewenangan dan menganalisis serta meneliti alternatif
secara lebih mandiri dan sistematis. Dalam kaitannya dengan keperawatan, praktisi mulai
untuk mencari bagaimana tindakan keperawatan mempunyai manfaat jangka panjang
untuk klien. Perawat mulai mengantisipasi alternatif lebih baik dan menggali lebih luas.
Hanya kemauan untuk mempertimbangkan penyimpangan protokol atau peraturan
standar ketika terjadi situasi klien yang kompleks.
Tingkat ketiga dari berpikir kritis adalah komitmen. Pada tingkat ini perawat
memilih tindakan atau keyakinan berdasarkan alternatif yang diidentifikasi pada
tingkat berpikir yang kompleks. Perawat mampu untuk mengantisipasi kebutuhan
untuk membuat pilihan yang kritis setelah menganalisis keuntungan dari alternatif
lainnya. Maturitas perawat tercermin dalam kerutinan selalu mencari pilihan yang
terbaik, yang paling inovatif, dan paling sesuai untuk perawatan klien
E. Faktor Faktor yang mempengaruhi berpikir kritis
1. Kondisi Fisik
Kondisi fisik sangat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam berpikir kritis.
Ketika seseorang dalam kondisi sakit, sedangkan ia dihadapkan pada kondisi yang
menuntut pemikiran matang untuk memecahkan suatu masalah, tentu kondisi seperti
ini sangat mempengaruhi pikirannya. Dalam kondisi sakit, seseorang tidak dapat
berkonsentrasi dan berpikir cepat karena tubuhnya tidak memungkinkan
untuk bereaksi terhadap respon yang ada. (Maryam, Setiawati, Ekasari, 2008)

2. Keyakinan diri/motivasi
Lewin (1935), dikutip dalam Maryam, Setiawati, Ekasari (2008) mengatakan
motivasi sebagai pergerakan positif atau negatif menuju pencapaian tujuan. Motivasi
merupakan upaya ntuk menimbulkan rangsangan, dorongan, ataupun
pembangkit tenaga seseorang agar mau berbuat atau melaksanakan sesuatu/
memperlihatkan perilaku tertentu yang telah direncanakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
3. Kecemasan
Kecemasan dapat mempengaruhi kualitas pemikiran sesorang. Jika terjadi
ketegangan, hipotalamus dirangsang dan mengirimkan impuls untuk menggiatkan
mekanisme simpatis-adrenal medularis yang mempersiapakan tubuh untuk bertindak.
Peningkatan kecemasan dapat menurunkan kemampuan berpikir dan sangat
membatasi model inquiry (penyelidikan), new ideas and creativity (ide baru dan
kreatifitas), dan knowing how you think (tahu bagaiman kamu berpikir). (Rubenfeld
& Scheffer, 2007)
4. Kebiasaan dan rutinitas
Salah satu faktor yang dapat menurunkan kemampuan berpikir kritis adalah terjebak
dalam rutinitas, dan cara tersering yang membuat kita terjebak dalam rutinitas adalah
penggunaan model kebiasaan yang berlebihan. Perawat baru biasanya masih taat
pada pedoman dan belum mempunyai kebiasaan dalam keperawatan, namun
perawat tersebut akan mengembangkan kebiasaan dengan cepat. Masalah
dalam keperawatan akan muncul ketika perawat berhenti berpikir setelah
mereka mengembangkan kebiasaan yang nyaman, terjamin dan aman dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Kebiasaan dapat menghambat
penggunaan model inquiry (penyelidikan) dan new ideas and creativity (ide baru dan
kreatifitas) (Rubenfeld & Scheffer, 2007)
5. Perkembangan Intelektual
Perkembangan intelektual seseorang berbeda-beda. Seseorang yang semakin cerdas
akan semakin cakap dalam membuat tujuan, berinisiatif, tidak hanya
menunggu perintah saja, tetap pada tujuan, tidak mudah dibelokkan oleh orang
lain. Orang cerdas juga akan mudah menyesuaikan diri dan mudah menyusaikan
cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan sesuai kondisi dan situasi yang

dihadapi, serta akan belajar dari kesalahan. Dengan demikian, semakin cerdas
seseorang semakin kritislah dia. (Rubenfeld & Scheffer, 2007)

6. Konsistensi
Dalam melakukan asuhan keperawatan, perawat harus mampu menggunakan
keterampilan berpikir mereka, menaikkan kekuatannya sampai tingkat tinggi dan
selalu menjadi pemikir hebat. Banyak faktor yang mempengaruhi pemikiran
konsistensi seseorang, antara lain makanan, minuman, suhu, ruangan, cahaya,
pakaian, dan banyak faktor lain yang membuat kemampuan berpikir menjadi
naik turun. (Rubenfeld & Scheffer, 2007)
7. Perasaan
Perasaan atau emosi biasanya diidentifikasi dalam satu kata, yaitu sedih, lega,
senang, frustasi, bingung, marah dan lain-lain. Perasaan merupakan bagian dari
kehidupan yang tidak dapat dan tidak boleh diabaikan. Seseorang harus menyadari
bagaimana perasaan mempengaruhi pemikiran dan membentuk cara-cara
untuk memodifikasi keadaan sekitar yang memberikan kontribusi pada
perasaan. (Rubenfeld & Scheffer, 2007)
8. Pengalaman
Pengalaman dalam hidup merupakan aset yang berharga dalam mempelajari
keperawatan. Selama rentang kehidupan, keterampilan koping berkembang dan dapat
dibagi dengan orang lain. Pengalaman dalam keperawatan merupakan hal utama
untuk mengembangkan diri menjadi perawat profesional. (Rubenfeld & Scheffer,
2007)
F. Problem Solving
Kreativitas dan pemecahan masalah saling terkait erat. Pemecahan masalah secara
kreatif didefinisikan sebagai pemikiran diarahkan pada pencapaian tujuan dengan cara
baru dan ide yang tepat atau hasil (Le Storti et al., 1999). Pernyataan ini menyiratkan
bahwa jika para pemimpin dan manajer bertindak tanpa berpikir, hasilnya mungkin
kurang diinginkan (Menkes, 2006). Meskipun, secara tradisional, pemecahan masalah
telah ditekankan secara rasional, berpikir logis, kreativitas sangat penting jika hasil klinis
terbaik yang akan dicapai.
Aktifitas pemecahan masalah telah memetakan dua buah konsep yaitu: (1)
pemecahan masalah individu atau klinik, (2) pemecahan masalah yang berhubungan

dengan pelayanan. Di level individu, pemecahan masalah dipandang secara dekat/detail


berhubungan dengan bagaimana seseorang mengelola informasi. Di pelayanan
kesehatan, menyangkut tentang keakuratan dan keefektifan telah menekankan kepada
alasan diagnosa dan pembuatan keputusan klinis. Pemecahan masalah menjadi sangat
kompleks bagi manajer dalam sebuah organisasi karena beberapa pemangku kepentingan
dan dinamika negara yang terjadi sehingga pemecahan masalah manajerial terletak pada
pemahaman tentang teori sistem umum (Lemire, 2002). Teori sistem umum mendalilkan
memahami bahwa perubahan di salah satu bagian dari sistem mempengaruhi semua
bagian dari sistem tersebut. Karena efek dinamika ini, keefektifan pemecahan masalah
membutuhkan penggabungan efek sistem dari keputusan yang dihasilkan. Seringkali
kelompok, atau interdisipliner (Forman,2006), terlibat dalam pemecahan masalah
sehingga perlu lebih banyak untuk interaksi, proses yang lebih lambat dan sebuah
kesepakatan. Sebuah masalah bisa diselesaikan pada tingkat terbaik dan bukan pada
tingkat yang ideal.
1. Cara pemecahan masalah
Kirton (1994) dikutip dalam Huber (2010), banyak pengaruh timbal balik
organisasi yang menjadi kebutuhan untuk mengindentifikasi, mendefinisikan, dan
memecahkan masalah. Tampaknya individu relatif stabil memiliki masalah
kepribadian terkait cara pemecahan masalah. Tampak bahwa gaya pemecahan
masalah memiliki pengaruh pada seberapa baik orang dapat bekerja sama.
Selanjutnya, gaya keperibadian dengan bagaimana seseorang memperoleh,
menyimpan, mengambil, dan mengubah informasi. Sehingga hubungan mungkin ada
antara gaya pemecahan masalah dengan keefektifannya dalam situasi tertentu.
Seperti gaya kepemimpinan, tidak ada satu gaya yang optimal. Efektivitas gaya
bersifat situasional, ditentukan oleh apa yang sesuai dengan keadaan.
Teori adaptasi-inovasi Kirton mengidentifikasi jenis pemecahan masalah:
adapter dan inovator. Adaptor mencari solusi untuk sebuah masalah dengan cara
mencoba dan menerima. Mereka terfokus pada menyelesaikan masalah daripada
mencari masalahnya. Mereka jarang meragukan aturan dan bersifat metodis,
terpercaya, dan efisien. Sebaliknya dengan inovator. Mereka mencari solusi untuk
masalah aslinya, kreatif, dan cara yang menantang. Mereka menemukan masalah
dan jalan untuk pemecahannya. Inovator mempertanyakan praktik saat ini dan
mempromosikan perubahan. Teori Kirton mendukung karakteristik pemikir kritis

memiliki berbagai gaya pemecahan masalah. Meskipun cara berfikir yang berbeda
tentang cara pemecahan masalah yang ada, dengan menggunakan keterampilan
refleksi dan analisis berfikir kritis, seorang perawat dapat meningkatkan kesadaran
diri dan pengetahuan tentang cara alternatif bertindak atas masalah (Huber, 2010).
2. Langkah-langkah dalam proses pemecahan masalah
Langkah-langkah dalam proses pemecahan masalah berbeda-beda dalam
berbagai sumber. Kerangka kerja untuk pemecahan masalah yang diambil dari
berbagai sumber (Bowen, 1999; Facione, 2007; Finkelman, 2001 dikutip dalam
Huber 2010). Bagaimanapun, hal tersirat bahwa proses ini linear atau dianggap
terdapat garis lurus dari langkah pertama sampai langkah ketujuh. Pada
kenyataannya, proses terjadi secara berulang-ulang. Ini berarti bahwa informasi dan
umpan balik dari satu langkah kegiatan ke dalam proses yang dinamis, dan siklus
langkah-langkah dapat dimulai lagi sebelum menyelesaikan semua langkah. Sebagai
informasi yang dikumpulkan, masalah mungkin harus didefenisikan ulang, sebagai
solusi yang dihasilkan, informasi baru dapat mengungkap bahwa dapat
mendefinisikan masalah lagi. Ketujuh langkah ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Mendefinisikan masalah. Apakah sebuah masalah yang ada membutuhkan
waktu dan sumber daya untuk memecahkannya? Mungkin protocol yang suda
ada dapat digunakan untuk menangani masalah yang terjadi. Di sisi lain,
mungkin masalah tersebut benar-benar terdiri lebih dari satu masalah, atau
mungkin apa yang menjadi masalah tidak memrlukan tindakan sama sekali
(Davidhizar & Bowen, 1999). Secara jelas, merumuskan masalah dapat dibantu
dengan memperbaiki pernyataan tertulis dari masalah. (mis., masalahnya
adalah....).
b. Mengumpulkan informasi. Pemecah masalah tidak bisa melebih-lebihkan
pentingnya langkah ini. Terlalu sering, orang memulai proses pemecahan
masalah tanpa harus menghabiskan cukup waktu mengumpulkan informasi
tentang masalah. Sangat penting untuk memulai dengan mengumpulkan
sebanyak

mungkin

masukan

dan

informasi

dari

berbagai

sumber.

Memperpendek proses pengumpulan informasi untuk menghemat waktu dapat


menyebabkan

kesulitan

nantinya.

Informasi

harus

dianalisis

dengan

memisahkan informasi yang penting dengan yang tidak penting, dan jadwal
kejadian mungkin perlu ditentukan untuk mendapatkan pemahaman penuh

terhadap masalah (Finkelman, 2001). Bagian dari pengumpulan informasi


termasuk mendefinisikan isi dari masalah (Facione, 2007).

c. Menentukan tujuan keseluruhan atau hasil yang diinginkan.


Langkah ini sebagai panduan dalam pengambilan keputusan dan tindakan
terhadap hasil yang diinginkan. Fokus hasil kontribusi terhadap efektivitas
kegiatan yang dipilih. Pada kenyataannya, menentukan tujuan secara
keseluruhan dapat menjelaskan kebutuhan informasi lebih lanjut serta
memudahkan pengambilan solusi yang tepat (Pesut & Herman, 1999).
d. Mengembangkan solusi
Masalah menunjukkan lebih dari satu solusi alternatif (davidhizar & Bowen,
1999; Finkelman, 2001). Manusia memiliki pilihan dan masalah memiliki
solusi. Mungkin susunan beberapa solusi untuk masalah tak satupun dari
mereka yang sangat menarik. Namun, solusi atau beberapa pilihan untuk setiap
situasi masalah yang diberikan selalu ada. Memperluas kemampuan untuk
melihat masalah selalu memiliki unsur potensial dalam menangani masalah. Hal
tersebut sangat membantu dalam menghindari reaksi spontan yang terjadi ketika
masalah diidentifikasi tanpa pertimbangan hati-hati atau berfikir kritis. Hal ini
mempengaruhi untuk mengurangi waktu dan energi yang berhubungan dengan
analisis masalah secara hati-hati dan mengambil solusi mudah yang ada, tetapi
ini membahayakan keefektifan pemecahan masalah.
e. Mempertimbangkan konsekuensi
Langkah

ini

harus

dilakukan

secara

hati-hati

pada

setiap

solusi

alternatif.Langkah pertama adalah membuat daftar konsekuensi yang potensial.


Ini adalah strategi berfikir kritis. Hal tersebut memerlukan perspektif yang luas
yang mencakup semua konsekuensi potensial. Nilai-nilai pemecah masalah ini
akan memainkan peran dalam analisis dan evaluasi konsekuensi. Misalnya,
konsekuensi dipandang sangat negatif oleh satu orang tetapi mungkin dianggap
kurang oleh orang lain. Sebuah analisis yang dilakukan secara hati-hati terhadap
pilihan yang tersedia bersifat sangat penting (Facione, 2007 dikutip dalam
Huber 2010).
f. Membuat keputusan
Ini adalah tahap tindakan tegas. Di beberapa poin, analisis perlu diajukan ke
keputusan yang dibuat. Berbagai tehnik berguna dalam proses pengambilan

keputusan untuk salah satu pilihan. Salah satu strategi yang berguna adalah
dengan tegas menjelaskan mengapa pilihanpilihan tertentu lebih dipilih
dibanding yang lainnya (Facione, 2007 dikutip dalam Huber 2010).
g. Menerapkan dan mengevaluasi solusi
Ini merupakan tahap aksi/penerapan dan umpan balik. Hasil analisis masalah
dan proses pengambilan keputusan kognitif sekarang berujung pada penerapan
langsung yang ditetapkan sebagai kebutuhan yang perlu diambil. Tahap ini
memerlukan resiko dan keberanian. Pemeriksaan berkala terhadap efektivitas
perlu dibuat dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam proses pemecahan
masalah. Beberapa orang tidak pernah bisa sampai ke tahap ini. Mereka tidak
bisa menghasilkan solusi. Amati teman anda, apakah mereka pengidentifikasi
masalah? Beberapa orang mengalami kesulitan besar dalam mengidentifikasi
masalah. Orang lain dapat dengan mudah mengetahui apa masalahnya tetapi
tidak bisa lebih dari mengidentifikasi masalah. Apakah individu merupakan
pembuat solusi? Jika mereka mampu menghasilkan solusi, apakah mereka dapat
mengambil resiko untuk membuat keputusan dan menerapkan solusi? Aspek
evaluasi melibatkan pengecekan dan menanyakan apakah ada sesuatu yang tidak
terjawab. Ukuran koreksi diri ini akan membantu memastikan bahwa keputusan
terbaik telah dibuat (Facione, 2007dikutip dalam Huber 2010).
G. Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah inti dari kepemimpinan dan manajemen. Hal itu
diharapkan kepada pemimpin dan manajer untuk dilakukan (Keynes, 2008). Sehingga
keputusan adalah hasil yang terlihat dari proses kepemimpinan dan manajemen.
Efektivitas pengambilan keputusan merupakan salah satu kriteria untuk mengevaluasi
pemimpin dan manajemen.Namun, staf perawat dan manajer perawat serta pemimpin
harus mengambil keputusan dalam lingkungan yang tidak pasti (Drummond, 2001) dan
kompleks (Clancy dan Delaney, 2005).
Pengambilan keputusan, seperti pemecahan masalah secara keseluruhan, dapat
dianggap sebagai proses dengan langkah-langkah yang daapat diidentifikasi namun
dipengaruhi oleh konteks dan dengan pemahaman intuitif terhadap situasi. Perawat
membuat keputusan dalam situasi pribadi, klinik, dan organisasi dan dibawah kondisi
kepastian, ketidakpasitan, dan resiko.Ada berbagai model dan strategi pengambilan
keputusan yang ada. Kontrol perawat atas pengambilan keputusan dapat bervariasi untuk

jumlah kontrol dan di mana dalam proses mereka dapat mempengaruhi hasil keputusan.
Kesadaran komponen, proses, dan strategi pengambilan keputusan memberikan
kontribusi untuk efektivitas dalam kepemimpinan keperawatan dan pengambilan
keputusan manajemen. Elemen dasar dari pemecahan masalah pengambilan keputusan
dapat diringkas kedalam dua bagian sebagai berikut: (1) mengidentifikasi masalah, dan
(2) membuat keputusan. Menurut Finkelman (2001), langkah-langkah dari proses
pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
1. Mengenali dan menentukan proses
2. Mengumpulkan data dan informasi yang relevan
3. Mengidentifikasi solusi atau pilihan yang mungkin untuk memecahkan masalah atau
berurusan dengan masalah
4. Mencapai keputusan
5. Mengevaluasi hasil
6. Menguji atau menilai solusi
Keputusan yang diinginkan dapat dikategorikan menjadi dua titik akhir: minimal
dan optimal. Hasil keputusan minimal dalam hasil yang cukup memenuhi persyaratan
dasar dan minimal memenuhi tujuan yang diinginkan. Hal ini kadang-kadang disebut
keputusan yang memuaskan. Sedangkan keputusan optimal termasuk membandingkan
kemudian memilih solusi optimal yang paling sesuai dengan tujuan (Choo, 2006). Selain
dua strategi ini, Janis dan Mann (1977) menjelaskan dua strategi lainnya: gabungan
membaca sekilas dan inkrementalisme. Inkrementailsme adalah lambatnya kemajuan
menuju ke jalan optimal. Gabungan membaca sekilas menggabungkan rasionalisme ketat
dari

pengoptimalan

dengan

keluar

dari

keterpurukan

melalui

pendekatan

inkrementalisme untuk membentuk substrategi. Mengoptimalkan memiliki tujuan


memilih tindakan dengan hasil tertinggi (maksimalisasi). Keterbatasan waktu, ruang,
atau orang-orang dapat mencegah pembuat keputusan dari pemilihan proses yang lebih
deliberatif dan lebih lambat dari optimalisasi. Pembuat keputusan perlu fokus pada
tehnik yang akan meningkatkan efektifitas dalam situasi pengambilan keputusan.
H. Strategi Pemecahan Masalah dan Alat Pengambilan Keputusan
Berbagai strategi digunakan untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Strategi ini didasarkan pada waktu dan variasi struktur mental (misalnya, cepat, lambat,
impulsif, intuitif atau logis). Ada beberapa cara membuat strategi yang dibahas sebagai
berikut: (Huber, 2010)
1. Coba dan Ralat (Trial and Error)

Dalam menggunakan trial and error, menembak dari pinggul atau panah jenis
lemparan solusi diberlakukan. Sebuah solusi yang tampaknya menarik dipilih dan
mudah dicoba. Manajer yang biasanya menggunakan trial and error sebagai strategi
untuk pengambilan keputusan sering dipandang tidak efektif. Mereka dianggap
sebagai pemecah masalah yang buruk. Bukti protokol praktek berbasis telah
digantikan trial and error pengambilan keputusan.
2. Proyek percontohan
Proyek percontohan melibatkan eksperimen dengan uji coba terbatas. Proyek
percontohan atau uji coba didefinisikan dengan hati-hati digunakan untuk percobaan
dengan mencoba solusi alternatif secara kecil atau terbatas untuk melihat apakah
masalah besar akan terjadi dan untuk mengurangi risiko. Strategi proyek percontohan
juga terkait dengan inisiatif peningkatan kualitas.
3. Teknik kreativitas
Teknik kreativitas meliputi sesi pengungkapan masalah, proses Delphi, dan teknik
kelompok nominal, dimana kelompok berkumpul untuk latihan berpikir bebas (Van
deVen&Delbecq, 1974). Mereka terutamanya cocok diaplikasikan untuk masalah
yang kompleks yang tampaknya tidak memiliki solusi yang baik. Teknik kreativitas
digunakan sebagai cara untuk menghasilkan solusi, ide, dan pemikiran dengan
mendekati masalah dengan kebebasan dari bias yang dilakukan. Teknik-teknik
tersebut sering strategi yang berbasis tim.
4. Pohon Keputusan
Sebuah pohon keputusan adalah model grafis yang secara visual menampilkan
pilihan, hasil, dan risiko yang harus diantisipasi. Sebuah pohon keputusan dimulai
dari bagian kiri dan mengalir ke kanan atau dimulai dari atas dan jatuh ke bawah.
Sebuah pertanyaan atau masalah yang diajukan, dan pilihan yang mungkin akan
menjadi bercabang. Dengan demikian jalur keputusan dapat ditelusuri melalui titik
pilihan dan seterusnya. Misalnya, pohon keputusan yang sangat sederhana mungkin
mulai dengan pertanyaan "Apakah Anda berkomitmen untuk menjadi seorang
perawat?". Jawaban untuk pertanyaan itu adalah ya atau tidak. Tergantung pada
jawaban, jalan yang sesuai diikuti sebagai dipetakan pada pohon keputusan. Pohon itu
memungkinkan visualisasi dari alternatif dan konsekuensinya. Ini membantu dengan
pengambilan keputusan melalui analisis dan kejelasan (Pidgeon &Gregory, 2004).
I. Contoh Berpikir Kritis

Pukul 3 pagi, perawat melihat lampu kamar Tn. X masih menyala. Kemudian perawat
mendekati pasien dan menanyakan Selamat pagi Tn.X, saya melihat lampu kamar anda
masih menyala, apa yang anda lakukan? ada yang bisa saya bantu? Tn. X tersenyum dan
menjawab saya baik-baik saja. Perawat mengobservasi dan menemukan tissue di lantai
dan melihat bahwa mata Tn. X merah dan bengkak. Dari kasus tersebut bisa kita dapatkan
kesimpulan sementara (sedikitnya 4 kesimpulan dari proses berpikir kritis perawat), yaitu:
1. Klien baik-baik saja, memang normal klien bangun pada jam tersebut dan mata klien
merah mungkin karena klien menggosok matanya akibat alergi
2. Klien baik-baik saja tetapi tidak bisa tidur siang sebentar karena rasa bosan. Sehingga
mata terlihat merah dan bengkak
3. Klien tidak dalam keadaan baik tetapi tidak ingin berbicara kepada siapapun tentang
masalahnya
4. Klien dalam keadaan tidak baik tetapi tidak tahu bagaimana untuk minta bantuan
kepada orang lain.
Disini peran perawat adalah memvalidasi : Anda bicara kalau anda baik-baik
saja, tetapi saya melihat mata anda merah dan bengkak. Kemudian bandingkan dengan
informasi yang diperoleh teman kita. Yang perlu dipelajari :
Apakah kita mendapat jawaban yang sebenarnya dari pertanyaan kita? Kapan kita
membandingkan jawaban yang kita peroleh dengan jawaban teman kita apakah ada
perbedaan?

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berpikir kritis didefinisikan sebagai satu set keterampilan kognitif termasuk interpretasi,
analisis, evaluasi, kesimpulan, penjelasan, dan pengontrolan diri. Sedangkan berpikir
kritis dalam keperawatan berarti sebuah komponen esensial dalam tanggung gugat
professional dan asuhan keperawatan yang bermutu.
Komponen berpikir kritis terdiri atas: (1) dasar pengetahuan khusus; (2) pengalaman; (3)
kompetensi; (4) sikap untuk berpikir kritis; (5) standar untuk berpikir kritis. Adapun
factor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam berpikir kritis antara lain: (1) kondisi
fisik; (2) keyakinan diri/motivasi; (3) kecemasan; (4) kebiasaan dan rutinitas; (5)
perkembangan intelektual; (6) konsistensi; (7) perasaan; dan (8) pengalaman.
Inti dari kepemimpinan dan manajemen adalah bagaimana mereka mengambil
keputusan. Dalam hal ini berpikir kritis dan penggunaan kreativitas pun sangat
dibutuhkan dalam memecahkan sebuah masalah. Begitupun bagi seorang perawat dalam
aktivitasnya yang selalu berhubungan dengan masalah atau konflik, baik itu dengan
pasien, teman sejawat, maupun pimpinannya.
B. Saran
Diharapkan para pemimpin, manajemen, dan perawat dapat terus melatih kemampuan
berpikir kritis dan kreativitasnya sesuai dengan tahapan-tahapannya, sehingga masingmasing (sesuai peran dan fungsinya) dapat memberikan keputusan yang terbaik dalam
menyelesaikan suatu masalah dimana semua pihak yang terkait tidak ada yang merasa
dirugikan.

DAFTAR PUSTAKA

Huber, D. L. (2010).Leadership And Nursing Management Care. Phyladelphia: Sauders


Elsevier
Kadar, K. (2014).WeekSix:Critical Thinking(Powerpoint slides). Unpublished
Manuscript, Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia
Maryam, S., Setiawati., Ekasari, M.F. (2008). Buku Ajar Berpikir Kritis Dalam Proses
Keperawatan.Jakarta : EGC
Potter, P.A.& Perry, A.G. (2009). Fundamental Of Nursing.7th Edition. Jakarta: Salemba
Medika.
Rubenfeld, M.G & Schaffer, B.K (2007). Berpikir Kritis Dalam Keperawatan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai