Anda di halaman 1dari 22

Toleransi Antar-Umat Beragama dalam

Pandangan Islam

Pendahuluan
Toleransi (Arab: as-samahah) adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling
menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda
baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan
konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama,
termasuk agama Islam.

Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada
paksaan dalam agama” , “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami” adalah contoh
populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di
berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta
historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi
adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh
para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan
oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik
kesejarahan dalam masyarakat Islam.

Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam
semesta, binatang, dan lingkungan hidup. Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka
toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi
toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap
Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga menyedot perhatian
besar dari Islam. Makalah berikut akan mengulas pandangan Islam tentang toleransi. Ulasan ini
dilakukan baik pada tingkat paradigma, doktrin, teori maupun praktik toleransi dalam kehidupan
manusia.
Konsep Toleransi Dalam Islam
Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah
“damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan
dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini
berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan
dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat
manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, ““dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”

Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua
(wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Daku (saja). Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal
tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan
bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan
“sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.

Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya
Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawā atau
common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan
tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak
mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!” Ayat ini mengajak umat
beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari
perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak
untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan
selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat
beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.

Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif.
Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada
Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la dengan amat
menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum
li’iyālihi” (“Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang
paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”).

Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi
yarhamukum man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka
yang di lanit kepadamu). Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan
Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya
perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep
keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua
keburukan.
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah satu
contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad
SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling
menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi
anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.

Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga
muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang
melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Syu’ab al-
Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib
orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan”.

Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa
umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti
satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang sangat
kuat di dalam Islam.

Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah
teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri
semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam
hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama
menurut cara (Alla); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana
Dia menciptakan manusia…”

Mufassir Baidhawi terhadap ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian
yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang
dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia,
karena semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasan Baidhawi
sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya:
“Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab “agama asal mula yang
toleran (al-hanîfiyyatus samhah).

Dilihat dari argumen-argumen di atas, menunjukkan bahwa baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi
secara otentik mengajarkan toleransi dalam artinya yang penuh. Ini jelas berbeda dengan gagasan
dan praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di barat lahir karena perang-perang agama pada
abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke
titik nadir. Latar belakang itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang Toleransi Antar-
agama yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.

Lalu, apa itu as-samahah (toleransi)? Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki
karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:

1. Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan


2. Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
3. Kelemah lembutan karena kemudahan
4. Muka yang ceria karena kegembiraan
5. Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
6. Mudah dalam berhubungan sosial (mu’amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
7. Menggampangkan dalam berda’wah ke jalan Allah tanpa basa basi
8. Terikat dan tunduk kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ada rasa keberatan.

Selanjutnya, menurut Salin al-Hilali karakteristik itu merupakan [a] Inti Islam, [b] Seutama
iman, dan [c] Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq). Dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bersabda. Artinya: “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang
mahmum dan lisan yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya : ‘Adalah hati
yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak ada rasa dengki’.
Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?. Jawabnya : ‘Orang-orang yang membenci
dunia dan cinta akhirat’. Ditanyakan : Siapa lagi setelah itu? Jawabnya : ‘Seorang mukmin yang
berbudi pekerti luhur.”

Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi
dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi,
karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti toleransi bukan saja
memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga memerlukan pengorbanan
material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-
samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang
ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallāh).

Toleransi Dalam Praktik Sejarah Islam


Sejarah Islam adalah sejarah toleransi. Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah
Arabia yang begitu cepat menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatal lil’alamin
(pengayom semua manusia dan alam semesta). Ekspansi-ekspansi Islam ke Siria, Mesir,
Spanyol, Persia, Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai. Islam tidak
memaksakan agama kepada mereka (penduduk taklukan) sampai akhirnya mereka menemukan
kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi intensif dan dialog. Kondisi ini berjalan merata
hingga Islam mencapai wilayah yang sangat luas ke hampir seluruh dunia dengan amat singkat
dan fantastik.

Memang perlu diakui bahwa perluasan wilayah Islam itu sering menimbulkan peperangan. Tapi
peperangan itu dilakukan hanya sebagai pembelaan sehingga Islam tak mengalami kekalahan.
Peperangan itu bukan karena memaksakan keyakinan kepada mereka tapi karena ekses-ekses
politik sebagai konsekuensi logis dari sebuah pendudukan. Pemaksaan keyakinan agama adalah
dilarang dalam Islam. Bahkan sekalipun Islam telah berkuasa, banyak agama lokal yang tetap
dibolehkan hidup.

Demikianlah, sikap toleransi Islam terhadap agama-agama dan keyakinan-keyakinan lokal dalam
sejarah kekuasaan Islam menunjukkan garis kontinum antara prinsip Syari’ah dengan praktiknya
di lapangan. Meski praktik toleransi sering mengalami interupsi, namun secara doktrin tak ada
dukungan teks Syari’ah. Ini berarti kekerasan yang terjadi atas nama Islam bukanlah otentisitas
ajaran Islam itu sendiri. Bahkan bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa pemerintah-pemerintah
Muslim membiarkan, bekerjasama, dan memakai orang-orang Kristen, Yahudi, Shabi’un, dan
penyembah berhala dalam pemerintahan mereka atau sebagai pegawai dalam pemerintahan.

Lebih lanjut kesaksian seorang Yahudi bernama Max I. Dimon menyatakan bahwa “salah satu
akibat dari toleransi Islam adalah bebasnya orang-orang Yahudi berpindah dan mengambil
manfaat dengan menempatkan diri mereka di seluruh pelosok Empirium Islam yang amat besar
itu. Lainnya ialah bahwa mereka dapat mencari penghidupan dalam cara apapun yang mereka
pilih, karena tidak ada profesi yang dilarang bagi mereka, juga tak ada keahlian khusus yang
diserahkan kepada mereka”.

Pengakuan Max I. Dimon atas toleransi Islam pada orang-orang Yahudi di Spanyol adalah
pengakuan yang sangat tepat. Ia bahkan menyatakan bahwa dalam peradaban Islam, masyarakat
Islam membuka pintu masjid, dan kamar tidur mereka, untuk pindah agama, pendidikan, maupun
asimilasi. Orang-orang Yahudi, kata Max I. Dimon selanjutnya, tidak pernah mengalami hal
yang begitu bagus sebelumnya.

Kutipan ini saya tegaskan karena ini dapat menjadi kesaksian dari seorang non-Muslim tentang
toleransi Islam. Dan toleransi ini secara relatif terus dipraktikkan di dalam sejarah Islam di masa-
masa sesudahnya oleh orang-orang Muslim di kawasan lain, termasuk di Nusantara. Melalui para
pedagang Gujarat dan Arab, para raja di Nusantara Indonesia masuk Islam dan ini menjadi cikal
bakal tumbuhnya Islam di sini.

Selanjutnya, dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, ia dilakukan melalui perdagangan


dan interaksi kawin-mawin. Ia tidak dilakukan melalui kolonialisme atau penjajahan sehingga
sikap penerimaan masyarakat Nusantara sangat apresiatif dan dengan suka rela memeluk agama
Islam. Sementara penduduk lokal lain yang tetap pada keyakinan lamanya juga tidak dimusuhi.
Di sini, perlu dicatat bahwa model akulturasi dan enkulturasi budaya juga dilakukan demi
toleransi dengan budaya-budaya setempat sehingga tak menimbulkan konflik. Apa yang
dicontohkan para walisongo di Jawa, misalnya, merupakan contoh sahih betapa penyebaran
Islam dilakukan dengan pola-pola toleransi yang amat mencengangkan bagi keagungan ajaran
Islam.

Secara perlahan dan pasti, islamisasi di seluruh Nusantara hampir mendekati sempurna yang
dilakukan tanpa konflik sedikitpun. Hingga hari ini kegairahan beragama Islam dengan segala
gegap-gempitanya menandai keberhasilan toleransi Islam. Ini membuktikan bahwa jika tak ada
toleransi, yakni sikap menghormati perbedaan budaya maka perkembangan Islam di Nusantara
tak akan sefantastik sekarang.

Penutup
Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak
Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan
implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten.

Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan.
Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda
itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas
bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing
pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya
masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.

Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan kehendak
kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap a historis, yang tidak ada dasar dan
contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah,
sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas
oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.

Jakarta, 15 Januari 2009

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’nul Karim
Natsir, Mohamad. Keragaman Hidup Antar Agama (Jakarta: Penerbit Hudaya, 1970), cet. II.
Al-Baihaqi, Syu’ab al-Imam (Beirut: t.t), ed. Abu Hajir Muhamad b. Basyuni Zaghlul, VI, h.
105.
Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Toleransi Islam Menurut Pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah,
terj. Abu Abdillah Mohammad Afifuddin As-Sidawi (Misra: Penerbit Maktabah Salafy Press,
t.t.).
Shahih Al-Jami’ As-Shaghir wa Ziyadatuhu. No. 3266
Max I. Dimon, Jews, God, and History (New York: New American Library, 1962), h. 194.
5 Manfaat Toleransi Antar Umat Beragama
ads

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang di dalamnya terdapat keanekaragaman


suku, budaya, ras, agama atau kepercayaan lainnya. Dalam kehidupan beragama khususnya,
negara Indonesia memberikan kebebasan kepada setiap warga negaranya untuk memeluk suatu
agama yang sesuai keyakinan dan kepercayaan mereka.

Hal tersebut tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 29 ayat 2 yang
berbunyi:

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing


dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dengan adanya jaminan tersebut, maka setiap pemeluk agama tidak perlu merasa khawatir untuk
menjalani kehidupan bermasyarakat dengan pemeluk agama yang lainnya.

Bagaimana dengan masyakat sendiri menanggapi perbedaan tersebut? Masyarakat haruslah


senantiasa menyadari bahwa selain diciptakan sebagai makhluk individu, manusia juga
diciptakan sebagai makhluk sosial, artinya manusia tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan dari
manusia lainnya. Oleh karena itu setiap manusia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan
kehidupan di lingkungan sekitarnya yang terdiri dari berbagai kalangan manusia yang memiliki
keanekaragaman karakter, sifat, kepercayaan, agama, dan lain sebagainya.

Agama Islam juga menerangkan betapa pentingnya menjalin hubungan di antara sesama
makhluk ciptaan-Nya. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an Surat As- Syura ayat
13 yang artinya:

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada -
Nya orang yang kembali.”

Adapun solusi agar kita bisa hidup bersama dengan orang-orang yang hidup di tengah
masyarakat yang memiliki perbedaan tersebut adalah dengan saling menghormati dan
menghargai perbedaan tersebut. Sikap seperti itu bisa dikatakan dengan toleransi.

Pengertian Toleransi Antar Umat Beragama

Apakah yang dimaksud dengan toleransi antar umat beragama itu? Sebelumnya, ada baiknya
jika kita mengetahui arti kata toleransi.
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi berasal dari kata toleran yang
artinya batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.

 Ditinjau dari etimologinya, toleransi adalah suatu bentuk kesabaran, ketahanan


emosional, serta kelapangan dada yang dimiliki seseorang.

 Menurut istilah (terminologi), toleransi diartikan sebagai sikap atau sifat menghargai,
membiarkan, membolehkan pendirian seseorang baik itu pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, dsb yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya.

 Menurut pengertian yang lebih luas, toleransi didefinisikan sebagai sikap atau perilaku
seseorang yang sesuai dengan aturan yang berlaku, di mana orang tersebut selalu
berusaha untuk menghormati serta menghargai setiap tindakan atau perilaku yang
dilakuakan oleh orang lain.

Jadi dengan demikian jika dilihat dari konteks kehidupan beragama, toleransi merupakan sikap
dan tingkah laku yang tidak mendiskriminasikan golongan atau kelompok yang memiliki
perbedaan keyakinan. Dan selanjutnya toleransi tersebut dikenal dengan toleransi antar umat
beragama.

Toleransi beragama juga dapat diartikan sebagai sikap menghormati serta menghargai adanya
keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lainnya yang mana keyakinan dan
kepercayaan tersebut berbeda kelompok satu dengan lainnya berbeda-beda. Toleransi juga dapat
diartikan sebagai sikap yang dimiliki manusia sebagai umat beragama dan mempunyai
keyakinan, untuk menghormati serta menghargai manusia yang beragama lain.

Lalu apa saja manfaat toleransi antar umat beragama?

Banyak manfaat yang bisa didapatkan dari toleransi antar umat beragama, di mana ini
merupakan salah satu hal yang berperan penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Akan tetapi
dalam melakukannya harus dengan sewajarnya dan tidak boleh berlebih-lebihan, karena hal itu
dapat mengganggu kepentingan maupun hak orang lain, dapat menyinggung perasaan orang lain,
dan justru dapat merugikan diri kita sendiri, seperti ibadah maupun pekerjaan kita.

Adapun manfaat yang bisa didapatkan dari toleransi antar umat beragama di antaranya adalah :

Sponsors Link

1. Dapat terhindar dari adanya perpecahan antar umat beragama

Setiap orang sudah sepatutnya untuk menanamkan di dalam dirinya sifat toleran, serta
menerapkannya di dalam kehidupan bersosial masyarakat, terutama di daerah yang di dalamnya
terdapat berbagai jenis kepercayaan atau agama. Sikap toleransi antar umat beragama merupakan
salah satu solusi untuk mengatasi terjadinya perpecahan di antara umat dalam mengamalkan
agamanya.
Sebagai contoh sikap toleransi antar umat beragama bisa kita lihat di negara kita ini, yaitu
Indonesia yang memiliki lebih dari satu agama dan kepercayaan. Jika toleransi antar umat
beragama tidak tertanam di dalam pribadi masing-masing warga negara Indonesia, maka
kemungkinan besar negara ini akan terpecah belah dan tidak akan bertahan lama.

2. Dapat mempererat tali silaturahmi

Manfaat toleransi antar umat beragama berikutnya adalah terjalinnya tali silaturahmi. Pada
umumnya, adanya suatu perbedaan selalu menjadi alasan terjadinya pertentangan antara orang
(golongan) yang satu dengan lainnya, khususnya bagi mereka yang tidak bisa menerima adanya
perbedaan tersebut. Salah satu contoh adalah adanya perbedaan agama yang menjadi salah satu
faktor penyebab terjadinya berbagai konflik serta pertikaian di antara sesama manusia, seperti
tindakan terorisme, pembantaian pemuka agama, dan lain sebagainya yang pada akhirnya akan
mengakibatkan dampak pada timbulnya kesengsaraan bagi manusia lainnya.

Lalu bagaimanakah solusi agar itu semua dapat dihindari? Solusinya adalah menumbuhkan
kesadaran dalam diri masing-masing orang tentang pentingnya rasa saling menghormati dan
menghargai guna merajut hubungan damai antar penganut agama. Dan jika hubungan damai
telah terwujud maka tali silaturahmi antar pemeluk agama pun dapat terjalin dengan baik, bahkan
lebih erat.

Jika sudah begitu maka cita-cita bangsa untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan di tengah-
tengah banyaknya perbedaan akan dapat terwujud, dan itu akan menjadikan sebuah negara yang
lebih kuat dan kokoh dalam menghadapi ancaman apapun. (baca juga: pengertian ukhuwah
islamiyah insaniyah dan wathaniyah)

3. Pembangunan Negara akan lebih terjamin dalam pelaksanaannya

Faktor keamanan, ketertiban, persatuan dan kesatuan dari sebuah negara merupakan salah satu
kunci sukses menuju keberhasilan program-program pembangunan yang dicanangkan oleh
pemerintahan di negara tersebut.

Terjadinya kerusuhan, pertikaian, dan segala bentuk bencana baik bencana alam maupun
bencana akibat ulah manusia menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah.
Kejadian-kejadian tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap
jalannya program pembangunan yang dicanangkan oleh negara.

4. Terciptanya ketentraman dalah hidup bermasyarakat

Kehidupan masyarakat yang meskipun di dalamnya terdapat berbagai perbedaan seperti


perbedaan beragama akan tetapi ada sikap saling toleransi yang tertanam di dalam hati warga
masyarakat tersebut, maka tentunya hal itu akan menciptakan suasana yang aman, tentram, dan
damai di dalam lingkungan tersebut. Tidak akan ada sikap saling mengejek, mengolok,
menghina, serta merendahkan di antara para pemeluk agama, meskipun keyakinan yang mereka
miliki sangat jauh berbeda.
5. Lebih mempertebal keimanan

Setiap agama tentu mengajarkan perihal kebaikan kepada umatnya. Tidak ada agama yang
mengajarkan umatnya untuk hidup bermusuhan dengan sesama manusia.
Pengertian Konsep Toleransi antar umat beragama dalam
al-quran dan Hadis
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi secara bahasa (etimology) berasal dari kata
“toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh, Belanda: tolerantie,) Toleran mengandung
pengertian bersikap mendiamkan. Adapun toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa, batas ukur
untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, kesabaran, ketahanan emosional,
dan kelapangan dada, sifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri.[1] Dalam bahasa Arab, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Ahmad Warson Munawwir, bahwa toleransi biasa disebut tasamuh yang memiliki akar kata
samuha- yasmuhu-samhan,wa simaahan,wa samaahatan, artinya adalah sikap membiarkan dan
lapang dada, murah hati, dan suka berderma.[2] Sedangkan menurut istilah (terminology),
Indrawan WS. menjelaskan bahwa pengertian toleransi adalah menghargai paham yang berbeda
dari paham yang dianutnya sendiri; Kesediaan untuk mau menghargai paham yang berbeda dengan
paham yang dianutnya sendiri.[3] Sedang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S
Poerwadarminta mendefinisikan toleransi dengan "sifat atau sikap menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan
dan sebagainya) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya toleransi
agama (ideologi, ras, dan sebagainya).[4]
Dengan memperhatikan definisi dari para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa toleransi
beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan
agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.

Hubungan antara Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat


Beragama (Non-Muslim)
Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa toleransi adalah sikap seseorang yang bersabar terhadap
keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah bahkan keliru.
Dengan sikap itu, ia juga tidak mencoba menghapuskan ungkapan-ungkapan yang sah dari
keyakinan-keyakinan orang lain. Sikap seperti ini tidak berarti setuju terhadap keyakinan-
keyakinan tersebut. Selain itu, tidak berarti juga acuh tak acuh terhadap kebenaran dan kebaikan,
dan tidak harus didasarkan atas pemahaman ada tidaknya Tuhan (agnotisisme) atau paham
keraguan (skeptisisme), melainkan lebih pada sikap hormat terhadap maratabat manusia yang
bebas.[5]

Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala
macam tekanan atau pengaruh, serta terhindar dari sikap munafik (hipokrasi). Oleh karena itu,
pengertian toleransi beragama adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga untuk memeluk
agama yang menjaga keyakinan dan kebebasannya untuk menjalankan ibadahnya. Toleransi
beragama menuntut kejujuran, kebesaran jiwa, kebijaksanaan dan tanggung jawab sehingga
menumbuhkan perasaan solidaritas dan mengeliminasi egoisme golongan. Toleransi beragama
bukanlah sesuatu yang dapat dicampuradukan, melainkan mewujudkan ketenangan, saling
menghargai, bahkan sebenarnya lebih dari itu, antar pemeluk agama harus dibina untuk gotong-
royong dalam membangun masyarakat kita sendiri dan demi kebahagiaan bersama.

Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama berpangkal dari penghayatan ajaran agama
masing-masing. Demi memelihara kerukunan beragama, sikap toleransi perlu dikembangkan guna
menghindari konflik. Dan biasanya konflik antar umat beragama muncul disebabkan oleh sikap
merasa paling benar (truth claim) dengan cara mengeliminasi kebenaran dari orang lain.[6]

Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata toleransi (tasamuh) secara tersurat (eksplisit)
sehingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara
tersirat (implisit) al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya
secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi
dapat dijadikan rujukan dalam mengimplementasikan toleransi dalam kehidupan.

Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya
berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya,
bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan
Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS.
Al-Hujurat: 13)

Tidak ada satu pun manusia yang mampu menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, sudah
selayaknya bagi manusia untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-
perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk dalam salah satu risalah
penting yang ada dalam sistem teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan
keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan lain
sebagainya.

Toleransi dalam beragama bukan berarti hari ini kita boleh bebas menganut agama tertentu
kemudian esok hari kita menganut agama yang lain, atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan
ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama
harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita
dengan segala bentuk sistem dan tata cara peribadatannya, dan memberikan kebebasan untuk
menjalankan keyakinan agama masing-masing.

Islam lebih mengedepankan sikap keterbukaan (inklusif) dari pada kebencian dan permusuhan.
Ajaran Islam secara jelas melarang sikap menghujat dan mendiskreditkan agama atau kelompok
lain. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hujarat ayat 11:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan
yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri[7] dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[8] dan
barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Hujarat:
11)

Jadi, sikap kaum muslimin terhadap penganut agama lain sudah sangat jelas sebagaimana yang
telah diterangkan dalam ayat ini, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menajdikan perbedan
agama sebagai alasan untuka tidak menjalani hubungan kerja sama dengan mereka, terlebih
bersikap intoleran terhadap mereka. Karena Islam sama sekali tidak melarang memeberikan
bantuan kepada siapapun selama mereka tidak memusuhi orang Islam, tidak melecehkan simbol-
simbol keagamaan atau mengusir kaum muslimin dari negeri mereka. Kaum muslim diwajibkan
oleh al-Qur’an untuk melindungi rumah ibadah yang telah dibangun oleh orang-orang non muslim,
sebagaimana firman-Nya:

“(yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar,
kecuali Karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". dan sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya
banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-
Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS.Al-Hajj: 40)

Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai
sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki
kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan masing-masing, tanpa adanya paksaan
dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal
demikian, dalam tingkat praktek-praktek sosial, dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena
toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek
sosial dan kehidupan bertetangga serta bermasyarakat, bukan hanya sekedar pada tataran logika
dan wacana.

Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga
yang seiman dengan kita maupun tidak. Sikap toleransi dapat direfleksikan dengan cara saling
menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu hari beliau dan para sahabat sedang
berkumpul, kemudian lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah dan Nabi saw.
langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang
Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab: “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas,
bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Allah swt. dan tidak ada
kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dengan mereka dari sisi
kemanusiaan.

Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskannya pada ayat
terakhir surat al-Kafirun yang berbunyi: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia
menganut beberapa agama dalam waktu yang sama, atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama
secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh
pada sistem keesaan Allah secara mutlak, sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang
ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah swt. juga menjelaskan tentang prinsip yang
menyatakan bahwa setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran masing-masing sehingga
tidak perlu saling menghujat.

Pada taraf ini, konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya.
Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah saling bekerjasama untuk
mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat,
petunjuk, dan hidayah adalah hak mutlak Allah swt. Maka dengan sendirinya kita tidak dibenarkan
memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita.

Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama.
Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan, hendaknya
masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.

Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya untuk menyampaikan
kepada penganut agama lain ketika tidak terdapat titik temu, sebagaimana firman-Nya dalam QS.
Saba ayat 24-26:

“Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah:
"Allah", dan Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran
atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab)
tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu
perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, Kemudian dia memberi
Keputusan antara kita dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi Keputusan lagi Maha
Mengetahui”.

Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam,
selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak dapat saling menghormati haknya
masing-masing, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.(QS. Al-Mumtahanah: 8)

Al-Qur’an juga berpesan agar masing-masing agama mendakwahkan agamanya dengan cara-
cara yang bijak. Firman-Nya dalam QS an-Nahl ayat 125:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (QS an-Nahl: 125)
Hadis dan Riwayat yang Berbicara tantang Toleransi
‫ع ْن ِع ْك ِر َمةَ َع ِن‬ َ ‫َحدَّثَنِي َي ِزيدُ قَا َل أ َ ْخ َب َرنَا ُم َح َّمدُ ب ُْن إِ ْس َحاقَ َع ْن دَ ُاودَ ب ِْن ْال ُح‬
َ ‫صي ِْن‬
َّ ‫ان أ َ َحبُّ ِإلَى‬
ِ‫َّللا‬ ُّ َ ‫سلَّ َم أ‬
ِ ‫ي ْاْل َ ْد َي‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َّاس قَا َل ِقي َل ِل َر‬
َّ ‫سو ِل‬ ٍ ‫اب ِْن َعب‬
ُ‫س ْم َحة‬ َّ ‫قَا َل ْال َحنِي ِفيَّةُ ال‬
Rasullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, kemudian beliau
menjawab: al-Hanifiyyah al-Samhah (agama lurus yang penuh toleransi).

Kualitas hadits di atas termasuk hadits yang muttashil marfu' karena setelah diteliti para
perawinya termasuk perawi yang tsiqah. Begitupun setelah di-takhrij dengan CD Mausu'ah al-
Kutub al-Tis'ah, ternyata hadits ini hanya terdapat dalam riwayat Ahmad bin Hambal saja,
dengan nomor hadits 2003 pada kitab min musnad bani hasyim bab bidayah sanad Abdullah ibn
‘Abbas. [9]

Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit.
Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal
kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan
para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka, demikian juga dengan tata cara
ibadahnya, bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun.
Maka kata toleransi (tasamuh) dalam Islam bukanlah hal baru, tetapi sudah diaplikasikan dalam
kehidupan sejak agama Islam lahir.

Kerja sama yang baik antara muslim dan non muslim telah dibuktikan dan ditulis di dalam
sejarah agama Islam dengan jelas. Nabi Muhammad saw. dan para sahabat melakukan interaksi
sosial mereka (muamalah) dengan non muslim seperti Waraqah bin Naufal yang beragama
Nasrani, Abdullah bin Salam yang sebelumnya beragam Yahudi, bahkan nabi sendiri pernah
meminta suaka politik (perlindungan politik) dengan memerintahkan para sahabat untuk
berhijrah meminta perlindungan kepada raja Najasy (Nigos) dari Habsyah (sekarang Ethiopia)
yang beragama Nasrani.[10]

Imam Bukhori meriwayatkan dari Anas bin Malik bhawa ketika Nabi wafat, baju beliau masih
digadaikan pada orang Yahudi guna membiayai keluarganya, padahal sebenarnya beliau bisa
meminjam dari para sahabatnya. Akan tetapi, hal itu dilakukan dengan maksud untuk
mengajarkan kepada umatnya bahwa kerja sama denga orang-orang non muslim merupakan
sikap dan pandangan Islam.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Asma binti Abu Bakar didatangi ibunya, Qotilah, yang masih
kafir. Ia pun bertanya kepada Rasulullah saw: "Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?"
Rasulullah saw. menjawab: "Boleh". Kemudian turunlah ayat ke-8 Surat Al-Mumtahanah, yaitu:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S. al-Mumtahanah: 8)
Ayat itu menegaskan bahwa Allah swt. tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak
memusuhi agama Allah. Demikian yang diterangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.[11]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Qotilah (bekas isteri Abu Bakar yang telah diceraikannya
pada zaman jahiliyah) datang kepada anaknya yang bernama Asma binti Abu Bakar, dengan
membawakannya hadiah, Asma menolak pemberian itu bahkan tidak memperkenankan ibunya
masuk ke dalam rumah. Setelah itu ia mengutus seseorang kepada Aisyah (saudaranya) untuk
bertanya tentang hal ini kepada Rasulullah saw. dan kemudian Rasul pun memerintahkan untuk
menerimanya dengan baik serta menerima pula hadiahnya. (HR. Ahmad, Al-Bazzar, Al-Hakim
dari Abdullah bin Zubair)

Asma’ Binti Abu Bakar pernah berkata bahwa ketika Nabi saw. masih hidup, ibuku pernah
mengunjungiku dalam keadaan sangat mengharap kebaikanku kepadanya dan takut kalau aku
menolaknya dan merasa kecewa. Kemudian aku pun bertanya kepada Nabi saw: “Apakah boleh
aku menyambung hubungan silaturrahmi dengannya?”. Beliau menjawab: ”Ya.”

Ibnu ‘Uyainah menambahkan keterangan bahwa kemudian Allah swt. menurunkan ayat ke-8
surat Al-Mumtahanah tersebut.[12]

Ibnu Umar berkata bahwa ayahnya ,Umar RA, pernah melihat sehelai sutra yang sedang dijual,
lalu ia berkata: “Ya Rasulullah! Belilah sutra ini dan pakailah pada hari jum’at, dan jika anda
dikunjungi utusan-utusan.” Beliau menjawab: “Hanya saja orang mengenakan sutra ini adalah
orang yang tidak akan mendapat bagian sedikitpun diakhirat.” Kemudian suatu hari Nabi saw.
pernah diberi beberapa helai pakaian sutra, kemudian beliau mengirimkan sebagian kepada
Umar, lalu Umar berkata: “Bagaimana mungkin saya akan mengenakannya sedangkan anda telah
mengatakan sutra itu seperti itu?” Beliau berkata: “Sesungguhnya saya tidak bermaksud
memberikannya kepadamu untuk kau pakai, akan tetapi supaya kau menjualnya atau
memakainkannya kepada yang lain.” Kemudian Umar mengirimkannya kepada salah seorang
saudaranya yang ada di Makkah, sebelum saudaranya itu masuk Islam.[13]

Dan Mujahid pernah berkata: “Saya pernah berada disisi Abdullah bin ‘Amr dan pada saat itu
pelayannya sedang menguliti seeokr kambing. Kemudian Abdullah berkata: “Hai pelayan! Kalau
engkau sudah selesai maka dahulukanlah tetangga kita si yahudi itu.” Tiba-tiba salah seorang
berkata: “(Kau dahulukan) orang yahudi? Semoga Allah memperbaiki anda.” Abdullah berkata:
“Saya pernah mendengar Nabi saw. berwasiat tentang tetangga, sampai-sampai kami takut atau
bahkan kami menganggap bahwa beliau akan menggolongkan tetangga itu sebagai ahli
waris.”[14]

Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah


(persaudaraan) Sesama Muslim
Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujurat:10)
Pada ayat di atas, Allah swt. menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara dan
diperintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi
kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan
contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim melakukannya.

Ayat di atas juga memerintahkan orang mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak
mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing yang diibaratkan al-Qur’an seperti
memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia, sebagaimana yang Allah terangkan
dalam QS.Al-Hujurat ayat 12 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena


sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS.Al-
Hujurat:12)

Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan
bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan yang mungkin terjadi pada
keluarga kita atau saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun
kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa
kita semua adalah bersaudara, sehingga akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian, dan
pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks pendapat dan pengamalan
agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mukmin untuk kembali kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasul-Nya (al-Sunnah).

Kesimpulan dan Penutup

Dari pemaparan makalah di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yakni:

v Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam
kerangka sistem teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam
kehidupan beragama.

v Toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan
tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.

v Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari
segala macam tekanan atau pengaruh, serta terhindar dari sikap munafik (hipokrasi).

v Penyebab terbesar konflik antar umat beragama muncul disebabkan oleh sikap merasa paling
benar (truth claim) dengan cara mengeliminasi kebenaran dari orang lain.

v Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai
sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan
memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing,
tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu
pihak ke pihak lain.

v Orang-orang mu’min itu bersaudara, dan mereka memerintahkan untuk melakukan ishlah
(perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok
kaum muslim.

v Orang mu’min dianjurkan untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan
orang lain.

v Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan
menyadari adanya perbedaan.

Mungkin hanya ini yang dapat penulis jelaskan tentang toleransi, baik antar umat beragama
maupun antar sesame muslim sendiri. Harapan penulis, semoga makalh ini dapt memberikan
kontribusi yang nyata dalam memperkaya khasanah keilmuan Islam. Penulis sadari bahwa sangat
berlebihan kiranya jikalau makalah ini dikatakan sempurna karena di dalamnya masih banyak
terdapat berbagai kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif guna penulisan selanjutnya agar lebih bagus lagi.
Kita hidup dalam negara yang penuh keragaman, baik dari suku, agama, maupun budaya. Untuk
hidup damai dan berdampingan, tentu dibutuhkan toleransi satu sama lain.

Toleransi adalah perilaku terbuka dan menghargai segala perbedaan yang ada dengan sesama.
Biasanya orang bertoleransi terhadap perbedaan kebudayaan dan agama. Namun, konsep
toleransi ini juga bisa diaplikasikan untuk perbedaan jenis kelamin, anak-anak dengan gangguan
fisik maupun intelektual dan perbedaan lainnya.

Toleransi juga berarti menghormati dan belajar dari orang lain, menghargai perbedaan,
menjembatani kesenjangan budaya, menolak stereotip yang tidak adil, sehingga tercapai
kesamaan sikap dan Toleransi juga adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang
berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok
yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.

Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat
mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan
menggunakan definisi “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan
lain-lain

Ada tiga macam sikap toleransi, yaitu:

a. Negatif : Isi ajaran dan penganutnya tidak dihargai. Isi ajaran dan penganutnya hanya
dibiarkan saja karena dalam keadaan terpaksa.

b. Positif : Isi ajaran ditolak, tetapi penganutnya diterima serta dihargai.

c. Ekumenis : Isi ajaran serta penganutnya dihargai, karena dalam ajaran mereka itu terdapat
unsur-unsur kebenaran yang berguna untuk memperdalam pendirian dan kepercayaan sendiri.

Marilah kita renungkan dan amati suasana kehidupan bangsa Indonesia. Kita harus merasa
bangga akan tanah air kita dan juga kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kita
telah dikaruniai tanah air yang indah dengan aneka ragam kekayaan alam yang berlimpah
ditambah lagi beraneka ragam suku, ras, adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama dan lain-
lainnya. Kondisi bangsa Indonesia yang pluralistis menimbulkan permasalahan tersendiri, seperti
masalah Agama, paham separatisme, tawuran ataupun kesenjangan sosial. Dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, kerukunan hidup antar umat beragama harus selalu dijaga dan dibina. Kita
tidak ingin bangsa Indonesia terpecah belah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah
agama.Toleransi antar umat beragama bila kita bina dengan baik akan dapat menumbuhkan sikap
hormat menghormati antar pemeluk agama sehingga tercipta suasana yang tenang, damai dan
tenteram dalam kehidupan beragama termasuk dalam melaksanakan ibadat sesuai dengan agama
dan keyakinannya melalui toleransi diharapkan terwujud ketenangan, ketertiban serta keaktifan
menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Dengan sikap saling
menghargai dan saling menghormati itu akan terbina kehidupan yang rukun, tertib, dan damai.

Contoh pelaksanaan toleransi antara umat beragama dapat kita lihat seperti:
· Membangun jembatan,

· Memperbaiki tempat-tempat umum,

· Membantu orang yang kena musibah banjir,

· Membantu korban kecelakaan lalu-lintas.

Jadi, bentuk kerjasama ini harus kita wujudkan dalam kegiatan yang bersifat sosial
kemasyarakatan dan tidak menyinggung keyakinan agama masing-masing. Kita sebagai umat
beragama berkewajiban menahan diri untuk tidak menyinggung perasaan umat beragama yang
lain. Hidup rukun dan bertoleransi tidak berarti bahwa agama yang satu dan agama yang lainnya
dicampuradukkan. Jadi sekali lagi melalui toleransi ini diharapkan terwujud ketenangan,
ketertiban, serta keaktifan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.
Dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati itu, akan terbina peri kehidupan yang
rukun, tertib, dan damai. Dalam kehidupan sehari-hari Anda, apakah contoh-contoh toleransi
antar umat beragama seperti diuraikan di atas telah Anda lakukan? Jika Anda telah
melakukannya berarti Anda telah berperilaku toleran dan saling menghargai. Tetapi jika Anda
tidak melakukannya berarti Anda tidak toleran dan tidak saling menghargai. Sikap seperti itu
harus dijauhi.

berikut ini contoh-contoh pengamalan toleransi dalam berbagai aspek kehidupan.

Dalam Kehidupan di Masyarakat

Cobalah Anda renungkan dan Anda sadari mengapa terjadi peristiwa seperti tawuran antar
pelajar di kota-kota besar, tawuran antar warga, peristiwa atau pertikaian antar agama dan antar
etnis dan lain sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan cerminan dari kurangnya
toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi toleransi dalam kehidupan di masyarakat antara
lain, yaitu:

a. Adanya sikap saling menghormati dan menghargai antara pemeluk agama.

b. Tidak membeda-bedakan suku, ras atau golongan.

Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Kehidupan berbangsa dan bernegara pada hakikatnya merupakan kehidupan masyarakat bangsa.
Di dalamnya terdapat kehidupan berbagai macam pemeluk agama dan penganut kepercayaan
yang berbeda-beda. Demikian pula di dalamnya terdapat berbagai kehidupan antar suku bangsa
yang berbeda. Namun demikian perbedaan-perbedaan kehidupan tersebut tidak menjadikan
bangsa ini tercerai-berai, akan tetapi justru menjadi kemajemukan kehidupan sebagai suatu
bangsa dan Negara Indonesia. Oleh karena itu kehidupan tersebut perlu tetap dipelihara agar
tidak terjadi disintegrasi bangsa.

Adapun toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara antara lain:


a. Merasa senasib sepenanggungan.

b. Menciptakan persatuan dan kesatuan, rasa kebangsaan atau nasionalisme.

c. Mengakui dan menghargai hak asasi manusia.

d. Membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan.

e. Menghindari Terjadinya Perpecahan

f. Memperkokoh Silaturahmi dan Menerima Perbedaan

Anda mungkin juga menyukai