Anda di halaman 1dari 12

12 Jun 2009

by tafany in Masail Fiqhiyah


Oleh Jenny Putri Vidiana

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti
bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan
dengan pendiriannya.Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang
masih diperbolehkan.
Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut “ikhtimal, tasamuh” yang artinya sikap membiarkan,
lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan) artinya: murah hati, suka
berderma (kamus Al Muna-wir hal.702). Jadi, toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai
dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain.

Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haqbil bathil (mencampuradukan
antara hak dan bathil) yakni suatu sikap yang sangat terlarang dilakukan seorang muslim, seperti
halnya nikah antar agama yang dijadikan alasan adalah toleransi padahal itu merupakan sikap
sinkretisme yang dilarang oleh Islam. Sinkretisme adalah membenarkan semua agama. Sebagaimana
yang telah dijelaskan diayat quran dibawah ini, Allah SWT berfirman:
“ Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian
(yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS.Ali Imran: 19)

Kesimpulan
Toleransi dalam beragama bukan berarti kita harus hidup dalam ajaran agama lain.Namun toleransi
dalam beragama yang dimaksudkan disini adalah meng- hormati agama lain. Dalam bertoleransi
janganlah kita berlebih-lebihan sehingga sikap dan tingkah laku kita mengganggu hak-hak dan
kepentingan orang lain. Lebih baik toleransi itu kita terapkan dengan sewajarnya. Jangan sampai
toleransi itu menyinggung perasaan orang lain. Toleransi juga hendaknya jangan sampai merugikan
kita, contohnya ibadah dan pekerjaan kita.
DAFTAR PUSTAKA

Salin, I Made dkk.2009. Pengembangan Materi Budi Pekerti. Denpasar : Dwi Jaya Mandiri.
Sri Suryati, Ni Luh dkk. 2008. Panduan Budi Pekerti. Denpasar : Dwi Jaya Mandiri.
Id.wikipedia.org/wiki/Toleransi.
Toleransi berasal dari kata “ Tolerare ” yang berasal dari bahasa latin yang berarti dengan sabar
membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas adalah suatu sikap atau perilaku
manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghargai atau menghormati setiap
tindakan yang orang lain lakukan. Toleransi juga dapat dikatakan istilah dalam konteks sosial budaya
dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap kelompok-
kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya
adalah toleransi beragama dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan
keberadaan agama-agama lainnya

Toleransi secara bahasa bermakna sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda
atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Kamus Besar B.Indonesia Edisi. 2 Cetakan 4 Th.1995).
Sedangkan pengertian toleransi sebagai istilah budaya, sosial dan politik, ia adalah simbol kompromi
beberapa kekuatan yang saling tarik-menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian bahu-membahu
membela kepentingan bersama, menjaganya dan memperjuangkannya. Demikianlah yang bisa kita
simpulkan dari celotehan para tokoh budaya, tokoh sosial politik dan tokoh agama diberbagai negeri,
khususnya di Indonesia. Maka toleransi itu adalah kerukunan sesama warga negara dengan saling
menenggang berbagai perbedaan yang ada diantara mereka.

Sampai batas ini, toleransi masih bisa dibawa kepada pengertian syariah islamiyah. Tetapi setelah itu
berkembanglah pengertian toleransi bergeser semakin menjauh dari batasan-batasan islam, sehingga
cenderung mengarah kepada sinkretisme agama-agama berpijak dengan prinsip yang berbunyi “semua
agama sama baiknya”. Prinsip ini menolak kemutlakan doktrin agama yang menyatakan bahwa kebenaran
hanya ada didalam islam. Kalaupun ada perbedaan antara kelompok islam dengan kelompok non muslim,
maka segera dikatakan bahwa perkara agama, adalah perkara yang sangat pribadi sehingga dalam
rangka kebebasan, setiap orang merasa berhak berpendapat tentang agama ini, mana yang diyakini
sebagai kebenaran (lihat definisi “toleransi” dalam kamus filsafat, Lorens Bagus, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta Th. 1996, halaman 1111-1112). Dalam kerangka berfikir yang demikian inilah muncul
berbagi wacana (konsepsi) agama dalam apa yang dinamakan dialog bebas konflik (lihat antara lain buku
yang diterbitkan oleh pustaka al-hidayah yg berjudul Atas Nama Agama, berisi berbagai artikel para tokoh
intelektual tentang toleransi). Para tokoh ilmuwan dari berbagai agama rupanya sedang bersusah payah
merubah status agama yang diopinikan sebagai sumber konflik, kemudian dirubah menjadi sumber
kerukunan dan persatuan dengan cara menyingkirkan doktrin kemutlakan kebenaran bagi masing-masing
agama kemudian diganti dengan wawasan kenisbian kebenaran untuk mencari titik temu semua agama,
khusunya tiga agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) yang dinyatakan sebagai agama-agama besar
(lihat antara lain “Tiga Agama Satu Tuhan”, kumpulan naskah beberapa pemikir, editor : George Bush
dan Benjamin J. Hubbard, penerbit mizan). Semua upaya tersebut tidak lepas dari orbit gerakan zionisme
yahudi yang ingin mengkebiri peranan agama Allah di masyarakat manusia dan menawarkan alternatif
pengganti yaitu sekularisme yang diterapkan dalam segala bidang kehidupan. Dengan demikian
lengkaplah jaringan-jaringan persengkokolan zionisme yang semuanya diatas namakan “dalam rangka
toleransi beragama” dalam bentuk :

1. Teror fisik dan mental menjadikan issue toleransi beragama sebagai faith acomply sosial, politik
terhadap umat islam.

2. Penggiringan opini lengkap dengan sekularisasi agama dan sekularisme politik, sosial, dan ekonomi
serta budaya, guna menyingkirkan peranan islam dari segenap kehidupan.

Allah Subhanallah Wa Ta’ala memperingatkan:

“Mereka (orang-orang kafir itu) menghendaki untuk memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-
mulut mereka, dan Allah terus menyempurnakan cahaya (agamaNya) walaupun orang-orang kafir tidak
suka”. (Ash-Shaf: 8)

Toleransi Beragama Menurut Islam

Ada beberapa prinsip yang tidak boleh diabaikan sedikitpun oleh umat islam dalam bertoleransi dengan
penganut agama lain yaitu :

1. Kebenaran itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah bathil. Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya agama yang diridhoi disisi Allah hanyalah islam”.(Al-Imran: 19)

“Barangsiapa yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu)
dari padanya, dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Al-Imran: 85)

2. Kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah didunia ini adalah pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun
kepadanya. Dan kebenaran itu hanya ada di agama Allah Ta’ala.”

“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka janganlah engkau termasuk kalangan orang yang
bimbang.”( Al- baqarah :147 )

3. Kebenaran Islam telah sempurna sehingga tidak bersandar kepada apapun yang selainnya untuk
kepastiaan kebenarannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku lengkapi nikmatku atas kalian dan Aku
ridhoi islam sebagai agama kalian”. (Al-Maidah: 3)
4. Kaum mu’minin derajat kemuliaannya dan kehormatannya lebih tinggi daripada orang-orang kafir (non-
muslim) dan lebih tinggi pula daripada orang-orang yang munafik (ahlul bid’ah) Allah menegaskan yang
artinya “maka janganlan kalian bersikap lemah dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang-
orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman (Al-Imran: 139)

5. Kaum muslimin dilarang ridho atau bahkan ikut serta dalam segala bentuk peribadatan dan keyakinan
orang-orang kafir dan musyrikin hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya:

“Katakanlah: wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan
kalian tidak menyembah apa yang aku sembah dan aku tidak menyembah apa yang kalian
sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah bagi kalian agama kalian dan
bagiku agamaku”. (Al-Kafirun: 1-6).
6. Kaum muslimin jangan lupa bahwa orang kafir dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin menyimpan
dihati mereka kebencian tradisional terhadap kaum muslimin, khususnya bila kaum muslimin
mengamalkan agamanya. Oleh karena itu kaum muslimin jangan minder (merasa rendah diri)

menampakkan prinsip agamanya diantara mereka dan jangan sampai mempertimbangkan


ketersinggungan perasaan orang-orang kafir ketika menjalankan dan mengatakan prinsip
agamanya. Demikian pula keadaan orang-orang munafik (Ahlul Bid’ah) Firman Allah:
“Orang-orang yahudi dan nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika
kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu”. (Al-Baqarah: 120)

Firman Allah :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang
diluar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka
menyukai apa yang meyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat
(Kami), jika kamu memahaminya beginilah kamu, kamu menyukai mereka padahal mereka tidak
menyukai kamu dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu,
mereka berkata : “Kami beriman” dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran
marah bercampur benci terhadap kamu katakanlah (kepada mereka): Matilah kamu karena
kemarahanmu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala isi hati”. (Al-Imran: 118-120)

7. kaum muslimin dilarang menyatakan kasih sayang dengan orang-orang kafir dan munafik yang terang-
terangan menyatakan kebenciannya kepada islam dan muslimin. Allah berfirman :

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih
sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekali pun orang-orang itu bapak-
bapak atau anak-anak, saudara-saudara, keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah
menanaman keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang
daripadanya. Dan dimasukannya mereka kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai mereka
kekal didalamnya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan
rahmatnya). Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah-lah itulah
golongan yang beruntung”. (Al-Mujadilah: 22)

DESKRIPSI MASALAH
Pluralisme agama merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari adanya, dan setiap agama muncul
dalam sebuah masyarakat yang majmuk. Jika pluralisme agama tersebut tidak disikapi secara cermat
dan tepat maka akan menimbulkan problem dan konflik antar umat beragama, dan kenyataan ini telah
terjadi pada agama-agama monotheis. Untuk mencari solusi adanya konflik antar umat beragama perlu
adanya pendekatan-pendekatan yang tepat di antaranya dengan menjalin hubungan antar umat
beragama dengan baik .
Pada masa penjajahan masyarakat Muslim di Indonesia merasa terancam dengan kebijakan politik-
sosial kolonial yang memberi perlindungan terhadap kegiatan penyebaran agama Kristen. Akibatntya,
hingga masa awal pasca kemerdekaan, kecurigaan Muslim terhadap Kristen dan Katolik dengan
sendirinya mudah terbentuk. Hal inilah yang sekarang di rasakan oleh sebagian umat Islam terutama
bagi kalangan radikal. Bahkan tak jarang dari mereka bertindak anarkis dengan memakai dalil-dalil
agama.
Kejadian yang lalu itu menurut penulis sulit untuk di lupakan bagaimana umat Islam di kekang oleh
kolonial untuk tidak mengajarkan ajaran agama Islam secara berlebihan bahkan sama sekali. Tidak itu
saja betapa umat Islam di diskriminasikan dalam dinamika sosialnya satu contoh misalnya seorang
pemuka agama saat itu Pangeran Diponegoro itu benar-benar di kekang di adu domba dan di penjara
tanpa alasan yang jelas dan mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari mereka.
Satu contoh menarik dari pengalaman pribadi penulis, waktu SMP di tempat penulis nyantri menjadi
tradisi bagi penulis dan teman-teman untuk berziarah ke makam kyai setiap hari jum’at dan kebetulan
perjalanan menuju makam tersebut melewati rumah orang kristen, tanpa di sadari penulis mengetahui
bahkan berulang-ulang teman-teman itu melempar batu-batu kecil ke rumah tersebut, pelemparan
tersebut menjadi kebiasaan setiap lewat rumah orang tersebut.
Sampai satu hari orang kristen tersebut mengadu ke kyai perihal kejadian tersebut, spontan setelah itu
kyai juga marah dengan santri-santri yang melempar ke orang kristen tersebut. Bagi penulis saat itu
memandang wajar tindakan teman-teman yang melempar batu tersebut, karena saat itu penulis
memahami sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 120 “ orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak
akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka ”.
Dari ayat tersebut penulis berasumsi sebaik apapun orang non Islam cendurung memusuhi umat Islam
sebagaimana penulis dan juga teman-teman memusuhi orang non Islam. Asumsi yang berlebihan
tersebut sampai pada akhirnya memberikan kesimpulan dari pada orang kristen tersebut menyerang
dulu mendingan di serang dulu itulah kira2 pendapat pribadi penulis saat masih SMP dulu dalam
memahami QS al-Baqarah 02:120.

Satu contoh gambaran di atas merupakan sebuah fenomena yang terjadi di


sebuah masyarakat yang plural, plural bisa saja terjadi karena perbedaan
suku, ras, warna kuliat maupun agama bahkan dalam dinamika sosial pun
kadang-kadang berbeda. Untuk itulah penulis ingin membahas lebih dalam
bagaimana menjalin hubungan antar umat beragama sebagaimana yang telah
dituntun oleh al-Qur抋n

PEMBAHASAN
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-
beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang
niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama
yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini
merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti
mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain. [1]
Sebelum penulis membahas hubungan antar umat beragama ada baiknya bila penulis
membahas dulu pluralitas beragama walaupun secara global. Terminologi pluralisme atau
dalam bahasa Arabnya, "al-ta'addudiyyah", tidak dikenal secara popular dan tidak banyak
dipakai dikalangan Islam kecuali sejak kurang lebih dua dekade terakhir abad ke 20 yang
lalu, pluralitas beragama yaitu persoalan tentang bagaimana suatu umat beragama,
menyikapi kehadiran agama dan kaum lain yang berbeda agama [2]. Termenelogi
Pluralisme prespektif Adyan Husaini[3] yaitu sebuah faham (isme) tentang pluralitas,
paham bagaimana memahami keberagaman beragama, mengapa dan bagaimana
memandang agama, apakah hanya satu yang benar atau ada yang lain atau semua agama
benar.kondisi islam berbeda. Dasar-dasar teologi islam sudah di rumuskan dan sudah jelas
sejak islam lahir.
Pluralisme beragama yang dulu hanya diskursus pada masalah teologi namun pada
akhirnya juga berkembang pada wilayah sosiologi, hal tersebut tidak bisa di pungkiri dan
harus di tindak lanjuti, bagaimana cara-cara hidup berumah tangga yang baik kepada non
muslim, bagaimana memberi hak dan kebebasan kepada orang lain untuk memeluk agama
yang ia yakini dll.
Untuk menciptakan kehidupan rukun di dalam masyarakat yang berbeda agama, maka
setiap individu dianjurkan untuk memahami hak-hak dan kewajiban beragama dalam
kehidupan bermasyarakat, seperti hak untuk hidup dengan damai dan aman, hak untuk
diperlakukan dengan baik, hak untuk mendirikan Rumah Ibadah dab Beribadah Sesuai
Keyakinan dan hak persamaan dan keadilan, dan untuk lebih jelasnya penulis akan
membahasnya di bawah ini:
Hak Untuk Hidup dengan Damai dan aman
Tentunya setiap manusia menginginkan hidup berdamai dan aman dalam keluarga dan
bermasyarakat, sehingga nilai-nilai kehidupan benar-benar tampak dalam kehidupan sehari-
hari. Akan tetapi untuk mewujudkan kedamaian dan rasa aman tentunya harus melalui
upaya-upaya dari setiap individu untuk bersikap saling memahami identitas QS al-Hujurat
49:13 dimana setiap manusia dianjurkan untuk selalu saling mengenal antar sesama baik
dengan bangsa lain maupun suku lain, dan saling tolong-menolong terhadap tetangga yang
lain QS al-Maidah 5:2 dimana setiap manusia dianjurkan untuk saling tolong menolong
dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dalam melakukan kebaikan tentunya itu berlaku
untuk semua manusia tidak saja lantas berbuat baik kepada umat seagama dan tidak
berbuat baik kepada agama lain.
Hak untuk Diperlukan dengan Baik
Diperlakukan dengan baik, dihormati, dihargai dimasyarakat merupakan fitrah bagi manusia,
untuk itulah manusia dianjurkan untuk selalu berbuat baik, upaya al-Qur’an untuk
memberikan arahan tersebut bisa dilihat dari prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat
yang termuat dalam QS al-Hujurat ayat 11-12 dimana setiap umat Islam dilarang untuk
menghina, mencela, berprasangka buruk, menebarkan fitnah dan membicarakan kejelekan
orang lain. Namun kemudian ayat ini oleh sebagian ulama difahami secara terbalik (mafhum
mukholafah) yaitu saling menghargai dan menghormati, membangun komunikasi yang
beradab, saling berempati atas problem bersama.[4]
Hak untuk mendirikan Rumah Ibadah dab Beribadah Sesuai Keyakinan
Sebagai makhluk sosial yang beragama tentunya manusia ingin selalu menjadi yang terbaik
dalam beribadah kepada tuhannya, untuk itulah muncul dalam pikirannya bagaimana
supaya bisa beribadah secara bersama-sama kemudian timbulah ide untuk membuat rumah
ibadah, bagi umat islam membikin masjid, kristen membuat gereja, hindu membuat pura,
budha membuat wihara dll. Sebagai masyarakat yang hidup di sebuah tem pat yang
bermacam-macam agama setiap antar umat beragama dianjurkan untuk saling menghormati
agama yang lain dengan cara tidak merusak tempat ibadah umat agama yang lain sehingga
terjadi hubungan antar umat beragama yang harmonis, saling menjujung tinggi hak asasi
manusia yang lainnya. Sebab seandainya Allah yang menghendaki tentulah Allah sendiri
yang akan menjadikan manusia menjadi satu umat, termasuk satu agama[5]. hal tersebut
tergambar dalam QS al-Maidah 5:48 “. …Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”,
dan QS Hud 11:118-189 “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia
umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat.kecuali orang-orang yang
diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu
(keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam
dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”.
Hak Persamaan dan Keadilan
Setiap individu tentunya menginginkan adanya persamaan dan keadilan secara merata,
tanpa memandang latar belakang suku, ras, jabatan, agama dll, baik dalam bidang hukum,
ekonomi dan agama. oleh karena itu, seruan untuk berlaku adil akan dikumandangkan oleh
semua agama sebagai seruan kebaikan yang bersifat universal. Hal ini mengindikasikan
atas urgensitas adil dalam konteks hubungan antar umat beragama, akan tetapi sebagai
bentuk realisasi dari keinginan yang bersifat fitri tersebut demi tercapainya kehidupan yang
harmonis di antara warga masyarakat, baik yang seagama maupun tidak seagama.
Sebagaimana Firman Allah dalam QS al-Maidah 05: 8 “Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.
Demikianlah sedikit pembahasan ini, semoga dapat memberikan pencerahan untuk
selanjutnya membahas pokok masalah dalam makalah ini yaitu menjalin hubungan antar
umat beragama, dan penulis akan menganalisanya prespektif al-Qur’an dalam QS al-
Mumtahanah ayat 8-9
Analisa
Al-Qur’an sejak sekitar kurang lebih 1400 telah banyak memberikan gambaran-gambaran
bagaimana cara menjalin hidup berdampingan dengan antar umat beragama, indikasi
tersebut bisa di lihat dari Surat al-Mumtahanah 60: 8-9:
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-
orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim.
Setelah Allah mencegah umat Islam untuk mengungkapkan rahasia-rahasia perang kepada
musuhnya (orang kafir)[6]. Kemudian Allah memberikan isyarat untuk berteman dengan
non muslim yang berbuat baik dan tidak memerangi umat Islam, isyarat tersebut dapat
dilihat secara jelas dalam QS. Al-Mumtahanah 60:8-9
Al-Qur’an QS al-Mumtahanah 60:8-9 tersebut turun karena adanya sebuah peristiwa
sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain dari Abdullah ibn Zubair
“pada suatu hari Qutailah binti Abdil Uzza (masih kafir) datang kepada anaknya Asma’ binti
Abi Bakar dengan membawa beberapa hadiah. Asma’ menolak hadiah itu, bahkan melarang
dia untuk masuk rumah sebelum Asma bertanya kepada Aisyah, bagaimana pendapat Rasu
berkenaan dengan itu turunlah QS al-Mumtahanah 60:8-9. Nabi menyuruh Asma’ menerima
hadiah dari ibunya, dan menyambutnya sebagaimana mestinya. [7]
Akan tetapi ada yang menyatakan bahwa ayat ini turun mengenai Khuza’ah Banil Harts,
Kinanah, Muzainah, dan beberapa golongan arab yang telah berdamai dengan Rasulullah
untuk tidak memeranginya dan tidak pula memihak kepada musuh. [8]
Ibnu Abbas menafsirkan QS al-Mumtahanah 60:8-9 dengan mengatakan bahwa “Allaah
tidak melarang untuk berteman dan menolong mereka (orang-orang makkah) yang berbuat
adil dan menepati janji kepada Nabi dan sahabatnya mereka yaitu Bani Khuza’ah, kaum
Hilal ibn Uwaimir, khuzainah, bani madlaj. Mereka telah berbuat baik kepada Rasul sebelum
adanya perjanjian Hudaibiyah yang tidak berusaha membunuhnya, tidak mengeluarkannya
dari makah. Akan tetapi Allah hanya melarang untuk berteman dan menolong mereka (ahli
makah) yang secara terang-terangan mengusir Nabi dari Makah. [9]
Al-Qusyairi menafsirkan QS al-Mumtahanah 60:8-9 dengan mengatakan “setelah Allah
melarang untuk berteman dengan orang kafir harbi, kemudian Allah menganjurkan untuk
berteman dengan kafir dzimmi yang mempunyai akhlak yang bagus, mau berteman dan
bermanfaat bagi umat Islam, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berteman dalam segala hal”.[10]
Menurut Quraish[11] Perintah al-Qur’an untuk memusuhi orang kafir yang diuraikan oleh
yang lalu (al-Mumtahanh 60:1) boleh jadi menimbulkan kesan bahwa semua non muslim
harus dimusuhi. Ayat di atas secara tegas menyebut bahwa Allah tidak melarang kamu
berbuat baik dalam bentuk apapun bagi mereka dan tidak juga melarang kamu berlaku adil
kepada mereka. Kalau demikian, jika dalam interaksi sosial mereka di pihak yang benar,
sedang salah seorang dari kamu dipihak yang salah, maka kamu harus membela dan
memenangkan mereka.[12]
Kesimpulan Hasbi[13] dari QS al-Mumtahanah 60:8-9 bahwa “Tuhan hanya melarang
kamu berkawan setia dengan orang-orang yang terang-terangan memusuhimu, yang
memerangimu, yang mengusir kamu atau membantu orang-orang yang mengusirmu seperti
yang dilakukan oleh musrikin Mekkah. Sebagian dari mereka berusaha mengusirmu, dan
sebagian yang lain menolong orang-orang yang mengusirmu.”[14]
Aplikasi QS al-Mumtahanah 60:8-9 secara nyata oleh Nabi dapat juga dibuktikan
sebagaimana yang dikatakan oleh Thohir Ibnu Asyur [15] bahwa pada masa Nabi sekian
banyak suku-suku musrik yang justru bekerja sama dengan Nabi serta menginnginkan
kemenangan beliau menghadapi suku quraisy di Mekah. Mereka itu seperti Khuza’ah, Bani
al-Harits, Ibn Ka’b dan Muzainah.
Sayyid Qutb[16] berkomentar ketika menafsirkan ayat di atas bahwa Islam agama damai,
serta akidah cinta. Ia suatu sistem yang bertujuan menaungi seluruh alam dengan
naungannnya yang berupa kedamaian dan cinta itu dan bahwa semua manusia dihimpun di
bawah panji Allah dalam kedudukan sebagai saudara-saudara yang saling kenal mengenal
dan cinta mencintai.[17]
Kesemuanya ulama’ tafsir di atas semunya sepakat bahwa berteman dengan orang non
muslim yang berbuat baik, menolong, berbuat adil kepada umat Islam itu diperbolehkan
bahkan dianjurkan untuk menjalin hubungan dengan mereka dalam tataran sosial, akan
tetapi tidak membolehkan untuk berteman dengan mereka yang secara terang-terangan
memusuhi, dan memerangi umat Islam
Berkaitan dengan deskripsi di atas, bahwa kegiatan yang dilakukan oleh teman penulis
untuk melempar batu kepada orang non muslim merupakan perbuatan yang telah menyalahi
ajaran agama, karena kegiatan tersebut sudah jelas melanggar hak-hak kewajiban orang
lain untuk hidup dengan damai dan aman (al-Hujurat 49:13 dan al-Maidah 05:2. Hal tersebut
kemudian diperkuat oleh Sabda Nabi Muhammad SAW:
‫انصر اخاك ظا لما او مظلوما‬

Artinya: Tolonglah saudaramu baik yang dhalim maupun terdhalimi


Dari hadis tersebut penulis menyimpulkan bahwa teks hadis tersebut tidak saja berlaku
untuk umat islam akan tetapi berlaku semua manusia, tetangga maupun saudara sedarah
yang membutuhkan pertolongan, tanpa memandang suku, ras maupun agama, baik yang
dhalim maupun terdhalimi tentulah harus ditolong, hal tersebut untuk menunjukan bahwa
manusia diciptakan untuk hidup berdamai, aman dan saling tolong menolong sehingga
terciptalah sebuah masyarakat bahagia.
Manusia pada dasarnya ingin selalu dihargai, berkomunikasi dengan masyarakat dengan
baik dan saling berempati, namun dalam kenyataannya masih saja ada sebagian orang
yang tidak menghargai orang lain sebagaimana teman penulis yang mengganggu
tetangganya dengan cara melempar batu. Tindakan tersebut menurut penulis tidaklah sesuai
dengan semangat dan prinsip-prinsp al-Qur’an dalam bermasyarakat sebagaimana yang
termuat QS al-Hujurat ayat 11-12 (di mana setiap manusia dianjurkan untuk saling
menghargai yang lain).
Manusia yang bijaksana adalah manusia yang mampu memilah bagaimana cara
berhubungan dengan Tuhan-nya (beragama) dan berhubungan dengan sesamanya
(makhluk sosial), penulis dalam makalah ini tidak dalam posisi untuk membahas bagaimana
cara berhubungan dengan Tuhannya, akan tetapi penulis akan mendalami bagaimana cara
berhubungan yang baik dengan sesamanya.
Selama ini tidak ada diskursus terkait berhubungan baik dengan seagama dalam sebuah
masyarakat. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan dalam sebuah masyarakat adanya
tetangga yang berbeda agama. Terbukti hal tersebut terjadi pada pemakalah di mana saat
penulis bertempat di sebuah pondok pesantren penulis bertetanggaan dengan orang non
muslim.
Argumentasi pelemparan batu oleh teman pemakalah kepada non muslim di dasari oleh
Firman Allah QS al-Baqarah 02:120 bahwa orang yahudi dan nasrani tidak akan rela kepada
kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka, dari sinilah dasar pelemparan tersebut
dimulai.
Menurut pemakalah argumentasi tersebut tidaklah tepat, karena tidak semua orang non
muslim itu benci atau memerangi orang Islam. Dan tetangga non muslim tersebut bukanlah
dari orang yang membenci orang Islam (kafir harbi).
Sebagaimana dalam surat al-Mumtahanah bahwa orang non muslim dibagi menjadi 2 yang
pertama non muslim yang ingin memerangi umat islam (al-Mumtahanah 60;1) dan yang
kedua orang non muslim yang berdamai dengan orang islam (al-Mumtahanah 60:8-9).
Kejadian pelemparan tersebut kepada non muslim yang dilakukan teman pemakalah
merupakan tindakan yang tidak terpuji dan tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an,
dikarenakan non muslim yang dilempar tersebut adalah non muslim yang berdamai bukan
yang sebaliknya.
Argumentasi pemakalah didasari oleh Firman Allah dalam QS al-Mumtahanah 60:8-9 bahwa
Allah tidak melarang untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka non muslim yang
berdamai karena Allah hanya melarang untuk berteman kepada non muslim yang
memerangi orang islam.

[1] Zainul Abas, Makalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia Tantangan dan
Harapan, Surakarta
[2] Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme Etika al-qur’an tentang Keberagaman Beragama,
(Jakarta; Wahana Semesta Inter Media), h.2
[3] Adyan Husaini, Majalah Islamia, h,19
[4] Muhlis Hanafi dkk, Tafsir Tematik Hubungan Antar-Umat Beragama, (Jakarta: Depag,
2008), H.80-90
[5] Muhlis Hanafi dkk, Tafsir Tematik Hubungan Antar-Umat Beragama. H. 91
[6] Al-Qur’an Surat al-Mumtahanah 60:1
[7] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqi, Tafsir al-Nur Jilid 5, (Semarang:Pustaka Rizki
Putra,2003), h. 4193
[8] Hasbi, Tafsir al-Nur Jilid 5, h.4193
[9] Ibnu Abbas, al-Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas, (Maktabah Syamilah), h.550
[10] Al-Qusyairi, Tafsir al-Qusyairi, (Maktabah Syamilah), h. 471
[11] Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Di lahirkan pada tanggal 16
Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas
Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar, meraih gelar MA pada tahun 1969
di tempat yang sama untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul “Al-I
'jaz Al-Tasyri'iy li Al-Qur’an Al-Karim”, kemudian dia melanjutkan studi S3Pada 1980 di
tempat yang sama pula dan pada tahun 1982 menyelesaikan disertasinya dengan judul
“Nazhm Al-Durar li Al-Biqa'iy, Tahqiq wa Dirasah”, dia berhasil meraih gelar doktor dalam
ilmu-ilmu Al-Quran dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I
(mumtaz ma'a martabat al-syaraf al-'ula). Pada tahun 1992-1998 menjadi Rektor IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 1998 menjadi Mentri Agama dan 2004 sampai sekarang
menjabat sebagai Direktur Pusat Studi al-Qur’an (PSQ).
[12] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah V.14, (Jakarta: Lentera hati, 2006), h.
168
[13] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqi lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tanggal 10
maret 1904 dikeluarga Ulama’ dan Pejabat. Pada tahun 1960 diangkat menjadi Guru Besar
dalam Ilmu Syari’ah di IAIN Sunan Kali Jaga dan pada tahun 1975 mendapatkan 2 Gelar
Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri Bandung dan IAIN Sunan Kali Jaga
Jogjakarta. Meninggal di Rumah sakit Islam Jakarta pada hari Selasa tanggal 9 Desember
1975
[14] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqi, Tafsir al-Nur Jilid 5, h.194
[15] Nama lengkapnya Muhammad Thahir (Thahir II) bin Muhammmad bin Muhammad
Thahir (Thahir I) bin Muhammad bin Muhammad Syadzili bin ‘Abd al-Qadir bin Muhammad
bin ‘Asyur. Lahir dari sebuah keluarga tehormat yang berasal dari andalusia pada tahun
1296 H atau 1879 M di Tunis dan wafat pada tahun 1393 H atau 1973 M di Tunis. Karya
Ibnu Asyur yang terkenal yaitu tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir
[16] Nama lengkapnya adalah Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Dia dilahirkan pada
tanggal 9 Oktober 1906 M di kota Asyut, salah satu daerah di Mesir. Di antara karyanya yaitu
Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an. Pada tahun 1965, Sayyid Qutb divonis hukuman mati atas tuduhan
perencanaan menggulingkan pemerintahan Gamal Abdul Nasher.
[17] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah V.14, (Jakarta: Lentera hati, 2006), h.
167

Anda mungkin juga menyukai