Anda di halaman 1dari 8

Pengertian Konsep Toleransi antar umat beragama dalam al-quran dan Hadis

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi secara bahasa (etimology) berasal dari kata
toleran (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh, Belanda: tolerantie,) Toleran mengandung
pengertian bersikap mendiamkan. Adapun toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa, batas
ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, kesabaran, ketahanan
emosional, dan kelapangan dada, sifat menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan
sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.[1] Dalam bahasa
Arab, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahmad Warson Munawwir, bahwa toleransi biasa
disebut tasamuh yang memiliki akar kata samuha- yasmuhu-samhan,wa simaahan,wa
samaahatan, artinya adalah sikap membiarkan dan lapang dada, murah hati, dan suka
berderma.[2] Sedangkan menurut istilah (terminology), Indrawan WS. menjelaskan bahwa
pengertian toleransi adalah menghargai paham yang berbeda dari paham yang dianutnya
sendiri; Kesediaan untuk mau menghargai paham yang berbeda dengan paham yang
dianutnya sendiri.[3] Sedang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta
mendefinisikan toleransi dengan sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan
sebagainya) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya toleransi
agama (ideologi, ras, dan sebagainya).[4]

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/pengertian-konsep-toleransi-antar-umat-
beragama-dalam-alquran-hadis/

Dengan memperhatikan definisi dari para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa toleransi
beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak
melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.

Hubungan antara Toleransi dengan Muamalah antar Umat Beragama (Non-Muslim)

Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa toleransi adalah sikap seseorang yang bersabar
terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah
bahkan keliru. Dengan sikap itu, ia juga tidak mencoba menghapuskan ungkapan-ungkapan
yang sah dari keyakinan-keyakinan orang lain. Sikap seperti ini tidak berarti setuju terhadap
keyakinan-keyakinan tersebut. Selain itu, tidak berarti juga acuh tak acuh terhadap kebenaran
dan kebaikan, dan tidak harus didasarkan atas pemahaman ada tidaknya Tuhan (agnotisisme)
atau paham keraguan (skeptisisme), melainkan lebih pada sikap hormat terhadap maratabat
manusia yang bebas.[5]

Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari
segala macam tekanan atau pengaruh, serta terhindar dari sikap munafik (hipokrasi). Oleh
karena itu, pengertian toleransi beragama adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga
untuk memeluk agama yang menjaga keyakinan dan kebebasannya untuk menjalankan
ibadahnya. Toleransi beragama menuntut kejujuran, kebesaran jiwa, kebijaksanaan dan
tanggung jawab sehingga menumbuhkan perasaan solidaritas dan mengeliminasi egoisme
golongan. Toleransi beragama bukanlah sesuatu yang dapat dicampuradukan, melainkan
mewujudkan ketenangan, saling menghargai, bahkan sebenarnya lebih dari itu, antar pemeluk
agama harus dibina untuk gotong-royong dalam membangun masyarakat kita sendiri dan
demi kebahagiaan bersama.
Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama berpangkal dari penghayatan ajaran
agama masing-masing. Demi memelihara kerukunan beragama, sikap toleransi perlu
dikembangkan guna menghindari konflik. Dan biasanya konflik antar umat beragama muncul
disebabkan oleh sikap merasa paling benar (truth claim) dengan cara mengeliminasi
kebenaran dari orang lain.[6]

Al-Quran tidak pernah menyebut-nyebut kata toleransi (tasamuh) secara tersurat (eksplisit)
sehingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun,
secara tersirat (implisit) al-Quran menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-
batasannya secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang
konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam mengimplementasikan toleransi dalam
kehidupan.

Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui
adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-
istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah
menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Allah dalam QS. Al-
Hujurat ayat 13:

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)

Tidak ada satu pun manusia yang mampu menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, sudah
selayaknya bagi manusia untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-
perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk dalam salah satu
risalah penting yang ada dalam sistem teologi Islam. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan
kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat,
dan lain sebagainya.

Toleransi dalam beragama bukan berarti hari ini kita boleh bebas menganut agama tertentu
kemudian esok hari kita menganut agama yang lain, atau dengan bebasnya mengikuti ibadah
dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi
beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain
selain agama kita dengan segala bentuk sistem dan tata cara peribadatannya, dan memberikan
kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.

Islam lebih mengedepankan sikap keterbukaan (inklusif) dari pada kebencian dan
permusuhan. Ajaran Islam secara jelas melarang sikap menghujat dan mendiskreditkan
agama atau kelompok lain. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hujarat ayat 11:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan


kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula
sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu
lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[7] dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman[8] dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang
zalim. (QS. Al-Hujarat: 11)
Jadi, sikap kaum muslimin terhadap penganut agama lain sudah sangat jelas sebagaimana
yang telah diterangkan dalam ayat ini, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak
menajdikan perbedan agama sebagai alasan untuka tidak menjalani hubungan kerja sama
dengan mereka, terlebih bersikap intoleran terhadap mereka. Karena Islam sama sekali tidak
melarang memeberikan bantuan kepada siapapun selama mereka tidak memusuhi orang
Islam, tidak melecehkan simbol-simbol keagamaan atau mengusir kaum muslimin dari negeri
mereka. Kaum muslim diwajibkan oleh al-Quran untuk melindungi rumah ibadah yang telah
dibangun oleh orang-orang non muslim, sebagaimana firman-Nya:

(yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
benar, kecuali Karena mereka berkata: Tuhan kami hanyalah Allah. dan sekiranya Allah
tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-
masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong
orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha
Perkasa. (QS.Al-Hajj: 40)

Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai
sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan
memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan masing-masing, tanpa
adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak
ke pihak lain. Hal demikian, dalam tingkat praktek-praktek sosial, dapat dimulai dari sikap
bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut
keagamaan dalam praktek sosial dan kehidupan bertetangga serta bermasyarakat, bukan
hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.

Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan
tetangga yang seiman dengan kita maupun tidak. Sikap toleransi dapat direfleksikan dengan
cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Sebagaimana yang
telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu hari beliau dan para sahabat
sedang berkumpul, kemudian lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah
dan Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata:
Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul? Nabi saw. menjawab: Ya, tapi mereka
manusia juga. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia,
melainkan Allah swt. dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan
kita bermuamalah dengan mereka dari sisi kemanusiaan.

Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Quran menjelaskannya pada
ayat terakhir surat al-Kafirun yang berbunyi: Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku.

Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin
manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama, atau mengamalkan ajaran dari
berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Quran menegaskan bahwa umat Islam
tetap berpegang teguh pada sistem keesaan Allah secara mutlak, sedangkan orang kafir pada
ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah swt. juga menjelaskan
tentang prinsip yang menyatakan bahwa setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran
masing-masing sehingga tidak perlu saling menghujat.
Pada taraf ini, konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga
sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah saling
bekerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan
untuk urusan akhirat, petunjuk, dan hidayah adalah hak mutlak Allah swt. Maka dengan
sendirinya kita tidak dibenarkan memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut
agama kita.

Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk
agama. Al-Quran menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan
persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling
menyalahkan.

Bahkan al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya untuk
menyampaikan kepada penganut agama lain ketika tidak terdapat titik temu, sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Saba ayat 24-26:

Katakanlah: Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?
Katakanlah: Allah, dan Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada
dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: Kamu tidak akan ditanya
(bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula)
tentang apa yang kamu perbuat. Katakanlah: Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua,
Kemudian dia memberi Keputusan antara kita dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi
Keputusan lagi Maha Mengetahui.

Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh
Islam, selama masih dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak dapat saling
menghormati haknya masing-masing, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-
Mumtahanah ayat 8:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.(QS. Al-Mumtahanah: 8)

Al-Quran juga berpesan agar masing-masing agama mendakwahkan agamanya dengan cara-
cara yang bijak. Firman-Nya dalam QS an-Nahl ayat 125:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl: 125)

Hadis dan Riwayat yang Berbicara tantang Toleransi

Rasullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, kemudian beliau
menjawab: al-Hanifiyyah al-Samhah (agama lurus yang penuh toleransi).
Kualitas hadits di atas termasuk hadits yang muttashil marfu karena setelah diteliti para
perawinya termasuk perawi yang tsiqah. Begitupun setelah di-takhrij dengan CD Mausuah
al-Kutub al-Tisah, ternyata hadits ini hanya terdapat dalam riwayat Ahmad bin Hambal saja,
dengan nomor hadits 2003 pada kitab min musnad bani hasyim bab bidayah sanad Abdullah
ibn Abbas. [9]

Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-
belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak
mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan
keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka, demikian juga dengan tata
cara ibadahnya, bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama
manapun. Maka kata toleransi (tasamuh) dalam Islam bukanlah hal baru, tetapi sudah
diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam lahir.

Kerja sama yang baik antara muslim dan non muslim telah dibuktikan dan ditulis di dalam
sejarah agama Islam dengan jelas. Nabi Muhammad saw. dan para sahabat melakukan
interaksi sosial mereka (muamalah) dengan non muslim seperti Waraqah bin Naufal yang
beragama Nasrani, Abdullah bin Salam yang sebelumnya beragam Yahudi, bahkan nabi
sendiri pernah meminta suaka politik (perlindungan politik) dengan memerintahkan para
sahabat untuk berhijrah meminta perlindungan kepada raja Najasy (Nigos) dari Habsyah
(sekarang Ethiopia) yang beragama Nasrani.[10]

Imam Bukhori meriwayatkan dari Anas bin Malik bhawa ketika Nabi wafat, baju beliau
masih digadaikan pada orang Yahudi guna membiayai keluarganya, padahal sebenarnya
beliau bisa meminjam dari para sahabatnya. Akan tetapi, hal itu dilakukan dengan maksud
untuk mengajarkan kepada umatnya bahwa kerja sama denga orang-orang non muslim
merupakan sikap dan pandangan Islam.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Asma binti Abu Bakar didatangi ibunya, Qotilah, yang
masih kafir. Ia pun bertanya kepada Rasulullah saw: Bolehkah saya berbuat baik
kepadanya? Rasulullah saw. menjawab: Boleh. Kemudian turunlah ayat ke-8 Surat Al-
Mumtahanah, yaitu:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. al-Mumtahanah: 8)

Ayat itu menegaskan bahwa Allah swt. tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak
memusuhi agama Allah. Demikian yang diterangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.[11]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Qotilah (bekas isteri Abu Bakar yang telah
diceraikannya pada zaman jahiliyah) datang kepada anaknya yang bernama Asma binti Abu
Bakar, dengan membawakannya hadiah, Asma menolak pemberian itu bahkan tidak
memperkenankan ibunya masuk ke dalam rumah. Setelah itu ia mengutus seseorang kepada
Aisyah (saudaranya) untuk bertanya tentang hal ini kepada Rasulullah saw. dan kemudian
Rasul pun memerintahkan untuk menerimanya dengan baik serta menerima pula hadiahnya.
(HR. Ahmad, Al-Bazzar, Al-Hakim dari Abdullah bin Zubair)

Asma Binti Abu Bakar pernah berkata bahwa ketika Nabi saw. masih hidup, ibuku pernah
mengunjungiku dalam keadaan sangat mengharap kebaikanku kepadanya dan takut kalau aku
menolaknya dan merasa kecewa. Kemudian aku pun bertanya kepada Nabi saw: Apakah
boleh aku menyambung hubungan silaturrahmi dengannya?. Beliau menjawab: Ya.

Ibnu Uyainah menambahkan keterangan bahwa kemudian Allah swt. menurunkan ayat ke-8
surat Al-Mumtahanah tersebut.[12]

Ibnu Umar berkata bahwa ayahnya ,Umar RA, pernah melihat sehelai sutra yang sedang
dijual, lalu ia berkata: Ya Rasulullah! Belilah sutra ini dan pakailah pada hari jumat, dan
jika anda dikunjungi utusan-utusan. Beliau menjawab: Hanya saja orang mengenakan sutra
ini adalah orang yang tidak akan mendapat bagian sedikitpun diakhirat. Kemudian suatu hari
Nabi saw. pernah diberi beberapa helai pakaian sutra, kemudian beliau mengirimkan
sebagian kepada Umar, lalu Umar berkata: Bagaimana mungkin saya akan mengenakannya
sedangkan anda telah mengatakan sutra itu seperti itu? Beliau berkata: Sesungguhnya saya
tidak bermaksud memberikannya kepadamu untuk kau pakai, akan tetapi supaya kau
menjualnya atau memakainkannya kepada yang lain. Kemudian Umar mengirimkannya
kepada salah seorang saudaranya yang ada di Makkah, sebelum saudaranya itu masuk
Islam.[13]

Dan Mujahid pernah berkata: Saya pernah berada disisi Abdullah bin Amr dan pada saat itu
pelayannya sedang menguliti seeokr kambing. Kemudian Abdullah berkata: Hai pelayan!
Kalau engkau sudah selesai maka dahulukanlah tetangga kita si yahudi itu. Tiba-tiba salah
seorang berkata: (Kau dahulukan) orang yahudi? Semoga Allah memperbaiki anda.
Abdullah berkata: Saya pernah mendengar Nabi saw. berwasiat tentang tetangga, sampai-
sampai kami takut atau bahkan kami menganggap bahwa beliau akan menggolongkan
tetangga itu sebagai ahli waris.[14]

Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim

Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10: Orang-orang beriman itu Sesungguhnya
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (QS. Al-Hujurat:10)

Pada ayat di atas, Allah swt. menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara dan
diperintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi
kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok kaum muslim. Al-Quran memberikan
contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap muslim
melakukannya.

Ayat di atas juga memerintahkan orang mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak
mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing yang diibaratkan al-Quran seperti
memakan daging saudara sendiri yang telah meninggal dunia, sebagaimana yang Allah
terangkan dalam QS.Al-Hujurat ayat 12 yang berbunyi:

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena


sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang. (QS.Al-Hujurat:12)
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan
bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan yang mungkin terjadi pada
keluarga kita atau saudara kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara
membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan
menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara, sehingga akan timbul rasa kasih sayang,
saling pengertian, dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks
pendapat dan pengamalan agama, al-Quran secara tegas memerintahkan orang-orang
mukmin untuk kembali kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (al-Sunnah).

Kesimpulan dan Penutup

Dari pemaparan makalah di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yakni:

v Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam
kerangka sistem teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan
dalam kehidupan beragama.

v Toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan
tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.

v Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari
segala macam tekanan atau pengaruh, serta terhindar dari sikap munafik (hipokrasi).

v Penyebab terbesar konflik antar umat beragama muncul disebabkan oleh sikap merasa
paling benar (truth claim) dengan cara mengeliminasi kebenaran dari orang lain.

v Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat
dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain,
dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-
masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah,
dari satu pihak ke pihak lain.

v Orang-orang mumin itu bersaudara, dan mereka memerintahkan untuk melakukan ishlah
(perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau
kelompok kaum muslim.

v Orang mumin dianjurkan untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari


kesalahan orang lain.

v Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan
menyadari adanya perbedaan.

Mungkin hanya ini yang dapat penulis jelaskan tentang toleransi, baik antar umat beragama
maupun antar sesame muslim sendiri. Harapan penulis, semoga makalh ini dapt memberikan
kontribusi yang nyata dalam memperkaya khasanah keilmuan Islam. Penulis sadari bahwa
sangat berlebihan kiranya jikalau makalah ini dikatakan sempurna karena di dalamnya masih
banyak terdapat berbagai kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang konstruktif guna penulisan selanjutnya agar lebih bagus lagi.

Catatan Kaki
[1] Sulchan Yasin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Edisi II Cetakan IV, 1995, hal 389

[2] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya:


Pustaka Progressif, 2002 ) hal 702

[3] Indrawan WS, Kamus Ilmiyah Populer, 1999, hal 144

[4] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia

[5] Humaidi Abdussami dan Masanun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wasasan
untuk Para Dai), (Jogjakarta: LKIS), hal. 115

[6] Humaidi Abdussami dan Masanun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wasasan
untuk Para Dai), (Jogjakarta: LKIS), hal. 116

[7] Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana
orang-orang mukmin seperti satu tubuh.

[8] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti
panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir
dan sebagainya.

[9] Sakhr, CD Mausuah al Hadis al Syarif, (Jami al Huquq Mahfudzhah Lisyirkati al


Baramij al Islamiyati al Dauliyah, 1991) Sunan Ahmad, Bidayah Sanad Abdullah bin Abbas,
ruwwat, jarh wa tadil

[10] Humaidi Abdussami dan Masanun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wasasan
untuk Para Dai), (Jogjakarta: LKIS), hal. 118

[11] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qurqn Al-adzim Juz IV terj. Salim Bahraisy dan Said
Bahraisy,(Bandung: Bina ilmu, 1993) hal 349.

[12] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Al-Adabul Mufrod yang
dishahihkan oleh Al-Muhaddits Al-Allamah Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah dalam kitab Shahih Al-Aldabul Mufrod 19/25

[13] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhori didalam kitab Al-Adabul Mufrod
yang dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Shaih Al-Adabul Mufrod no.
20/26.

[14] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhori didalam kitab Al-Adabul Mufrod
yang dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Shaih Al-Adabul Mufrod no
45/128.

Sumber: https://www.tongkronganislami.net/pengertian-konsep-toleransi-antar-umat-
beragama-dalam-alquran-hadis/

Anda mungkin juga menyukai