Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era globalisasi saat ini, umat beragama dihadapkan pada serangkaian tantangan
yang tidak terlalu berbeda dari yang pernah ada sebelumya. Perbedaan agama adalah
fenomena nyata yang ada dalam kehidupan, karena itu toleransi sangat dibutuhkan.
Hampir semua orang tahu bahwa Islam adalah agama yang toleran terhadap pemeluk
agama dan kepercayaan lain. Sebab dalam pandangan Islam setiap orang wajib dihormati
kebebasannya dalam menentukan jalan hidupnya. Kebebasan dan toleransi merupakan dua
hal yang sering kali dipertentangkan dalam kehidupan manusia. Secara khusus dalam
komunitas yang beragam dan akan lebih rumit ketika dibicarakan dalam wilayah agama.
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar terciptanya kerukunan antar umat
beragama. Tanpa
kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antar umat beragama. Kebebasan
beragama adalah hak setiap manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan,
dan tidak seorang pun yang boleh mencabutnya. Demikian juga sebaliknya, toleransi antar
umat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik.
Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satu pihak. Kebebasan dan
toleransi tidak dapat diabaikan. Untuk dapat mempersandingkannya dibutuhkan
pemahaman yang benar mengenai kebebasan beragama dan toleransi antar umat beragama
dalam kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian toleransi?
2. Bagaimana cara pandang setiap agama mengenai toleransi beragama?
3. Bagaimana toleransi beragama di Indonesia?
4. Apa saja landasan hukum yang di gunakan ?
5. Bagaimana upaya mewujudkan kerukunan beragama?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian toleransi.
2. Dapat mengetahui pandangan agama-agama terhadap toleransi.
3. Dapat mengetahui kerukanan umat beragama di Indonesia.
4. Dapat mengetahui landasan hukum yang di gunakan.
5. Dapat memahami bagaimana upaya mewujudkan kerukunan beragama.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Toleransi
2

Toleransi berasal dari bahasa Latin yaitu tolerare yang berarti bertahan atau memikul.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata toleran, yang
berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan),
pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda
dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya. Toleransi juga berarti batas ukur untuk
penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.
Menurut Siagian (1993) toleran diartikan dengan saling memikul walaupun pekerjaan
itu tidak disukai; atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak
tidak sependapat. (Ajat Sudrajat, 2008:141)
Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut ikhtimal, tasamuh yang artinya
membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan dan saling memudahkan.
Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu
antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan


Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
Kelemah lembutan karena kemudahan
Muka yang ceria karena kegembiraan
Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa basi
Terikat dan tunduk kepada agama Allah SWT tanpa rasa keberatan.
Selanjutnya, menurut Salin al-Hilali karakteristik tersebut merupakan:

1.
2.
3.

Inti Islam
Seutama iman,
Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq). (Syamsul Arifin Nababan, 2009:4)
Dalam konteks ini Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: Sebaik-baik orang adalah

yang memiliki hati yang mahmum dan lisan yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang
mahmum itu? Jawabnya : Adalah hati yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada
sikap melampui batas dan tidak ada rasa dengki. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih
baik) setelah itu?. Jawabnya : Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat.
Ditanyakan : Siapa lagi setelah itu?. Jawabnya: Seorang mukmin yang berbudi pekerti
luhur."
Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut dikemukakan untuk menegaskan bahwa
toleransi dalam Islam itu sangat komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun
batin. Toleransi, karena itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti
toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan, tetapi juga
memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun batin. Di sinilah,
3

konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar bagi umat Islam untuk
melakukan muamalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh
(hablum minallh). (Syamsul Arifin Nababan, 2009:5)
Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haqbil bathil
(mencampuradukan antara hak dan bathil) yakni suatu sikap yang sangat dilarang
dilakukan oleh seorang muslim, seperti halnya menikah antar agama dengan toleransi
sebagai landasannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan diayat Al-Quran dibawah ini,
Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada
mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS.Ali Imran: 19)
Menurut kami, toleransi dapat disimpulkan sebagai sikap menghargai dan menghormati
setiap orang yang berbeda-beda baik secara etnis, ras, bahasa, budaya, politik, pendirian,
kepercayaan maupun tingkah laku.
B.

Toleransi Dalam Perspektif Agama Islam


Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat
komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama.
Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat
manusia. Abu Jula

dengan amat menarik mengemukakan, Al-khalqu kulluhum

iylullhi fa ahabbuhum ilahi anfauhum liiylihi (Semua makhluk adalah tanggungan


Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama
tanggungannya).
Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, irhamuu man
fil ardhi yarhamukum man fil sam (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan
sayang pula mereka yang di langit kepadamu). Persaudaran universal adalah bentuk dari
toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak
orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan
universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling
menguntungkan serta menegasikan semua keburukan. (Syamsul Arifin Nababan, 2009:2)
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini
adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan
oleh Nabi Muhamad SAW pada awal pembangunan Negara Madinah. Di antara butir-butir
4

yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama
yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam
Piagam Madinah.
Contoh lain wujud toleransi Islam kepada agama lain diperlihatkan oleh Umar ibn-alKhattab. Umar membuat sebuah perjanjian dengan penduduk Yerussalem, setelah kota
suci itu ditaklukan oleh kaum Muslimin. (Ajat Sudrajat,2008:144).
Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan
keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadist dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini
dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan dalam Syuab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi,
dikatakan: Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti
akan membongkar aibnya di hari pembalasan. (Syamsul Arifin Nababan, 2009:3)
Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari
pemahaman bahwa umat manusia adalah satu kesatuan, dan akan kehilangan sifat
kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian
dari inti toleransi, menjadi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam.
Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung
sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di
dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari
prinsip ini.
Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas.
Tidak ada paksaan dalam agama, Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama
kami (QS. Al-Kafirun:6) adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam .
Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar
umat Islam berbuat baik dan bertindak adil. Selama tidak berbuat aniaya kepada umat
Islam. Al-Quran juga mengajarkan agar umat Islam mengutamakan terciptanya suasana
perdamaian, hingga timbul rasa kasih sayang diantara umat Islam dengan umat beragama
lain. Kerjasama dalam bidang kehidupan masyarakat seperti penyelenggaraan pendidikan,
pemberantasan penyakit sosial, pembangunan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan,
adalah beberapa contoh kerja sama yang dilakukan antara umat Islam dengan umat
beragama lain. (Ajat Sudrajat,2008:149)
Namum perlu ditegaskan lagi, toleransi tidak dapat disama artikan dengan mengakui
kebenaran semua agama dan tidak pula dapat diartikan kesediaan untuk mengikuti ibadatibadat agama lain. Toleransi harus dibedakan dari komfromisme, yaitu menerima apa saja
5

yang dikatakan orang lain asal bis menciptakan kedamaian dan kebersamaan (Ajat
Sudrajat, 2008:149).
Berbeda halnya dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di
barat lahir karena perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa
kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir. Latar belakang itu
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang. Toleransi antar-agama yang kemudian
meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.
C.

Toleransi Dalam Perspektif Agama Kristen Katholik


Satu perangkat kepercayaan dan tindakan yang diikuti oleh mereka yang
berkomitmen untuk melayani dan menyembah Allah. Perintah pertama menuntut kita
untuk percaya pada Tuhan, untuk menyembah dan melayani Dia, sebagai tugas pertama
dari kebajikan agama. Dari definisi ini, maka kita melihat bahwa agama mengajarkan
satu perangkat kepercayaan atau iman dan bagaimana mewujudkan iman atau kepercayaan
ini, baik dengan doa, ritual atau berbagai macam cara yang mengatur bagaimana untuk
menyembah Tuhan yang dipercayai, maupun dengan satu pengajaran moral yang mengatur
bagaimana untuk hidup dengan baik sesuai dengan apa yang dipercayai. Di sisi lain, ada
orang yang mengatakan bahwa agama adalah free thinker.
Namun, kalau kita meneliti, sungguh sulit menjadi free thinker yang sesungguhnya,
karena seseorang dalam satu tatanan sosial mempunyai satu aturan atau kebiasaan yang
harus diikuti oleh orang yang tergabung dalam masyarakat tersebut. Orang yang tidak
mempunyai agama juga dapat didorong oleh alasan karena tidak mau terikat oleh satu
tatanan baik iman maupun moral dari satu agama.
Orang seperti ini adalah orang yang mengedepankan pemikiran sendiri, atau dengan
kata lain, agamanya adalah apa yang dia pandang baik menurut dirinya sendiri. Namun,
dalam sejarah umat manusia, telah dibuktikan bahwa ada banyak orang yang salah dengan
pemikirannya, juga termasuk kaum cerdik pandai. Jadi, orang dalam kategori ini
mempunyai resiko untuk mempercayai apa yang salah. Konsep Toleransi dan Perdamaian
Dalam Ajaran Gereja Katolik Di jaman kuno di Roma, Cicero sudah berbicara mengenai
toleransi, ketika ia. menulis bahwa "agama. kita berlaku untuk kita, sedangkan kalau ada
orang yang mau beragarna lain, kita memberi toleransi untuk itu" (Pro Flacco 28). Pada
tahun 313 dalam Kerajaan Romawi, secara politis diterbitkan 'Keputusan toleransi di
Milano' untuk membiarkan orang kristiani hidup di antara orang dengan agama romawi.
Sejak abad ke-16 ada konsesi-konsesi dalam kekaisaran Romawi dan Jerman
6

menyebabkan penyimpangan kultur atau politis dibiarkan. Misalnya, agama yang tidak
sama dengan pimpinan negara. Sejak tahun 1689 di Inggris ada UU toleransi yang
memberi tempat kepada 'anggota masyarakat yang berbeda pendapat dengan kebanyakan
warga masyarakat'.
Pada 13 Oktober 1781 Kaisar Joseph Austria yang mayoritas penduduknya katolik
mentoleransi orang yang beragama kalvinis, lutheran dan ortodoks untuk memiliki tanah
serta, melaksanakan ibadat. Di negara itu pada 1782 diumumkan toleransi terhadap orang
Yahudi yang nantinya dibatalkan Hitler. Begitulah kita sudah melihat beberapa konteks
pemberian toleransi. Tampak sekali bahwa toleransi mencakup spektrum pemahaman yang
luas. Tidak hanya bidang politik, tetapi juga bidang sosial, ekonomi, teologi, bahkan juga
medis dan teknis. Oleh sebab itu, diperlukan sikap hati-hati untuk memahami arti toleran.
Dari lain sudut, spektrum pemahaman itu juga boleh meneguhkan bahwa toleransi itu
sesuatu yang umum adanya dalam aneka bidang kehidupan manusia, walau sekarang
sering toleransi hanya dipikirkan ada dalam dunia politik dan pergaulan kemasyarakatan
luas. Toleransi secara etimologis memang berasal dari kata tolerare yang berarti
'menanggung' atau 'membiarkan'.
Toleransi dapat mempunyai warna etis-sosial, religius, politis dan yuridis serta
filosofis maupun teologis. Secara kasar toleransi menunjuk pada sikap membiarkan
perbedaan pendapat dan perbedaan melaksanakan pendapat untuk beberapa lapisan hidup
dalam satu komunitas. Pada umumnya arah pemahaman toleransi mencakup pendirian
mengenai membiarkan berlakunya keyakinan atau norma atau nilai sampai ke sistem nilai
pada level religius, sosial, etika politis, filosofis maupun tindakan-tindakan yang selaras
dengan keyakinan tersebut di tengah mayoritas yang memiliki keyakinan lain dalam suatu
masyarakat atau komunitas.
Sejak jaman reformasi, hal itu berarti memberi kebebasan beragama dan
melaksanakan suara hati serta kebebasan budaya kepada minoritas. Dalam dunia modern
toleransi menyangkut hak azasi manusia. Dapat dibedakan toleransi formal (dalam hukum
resmi) dan toleransi isi (dalam hidup harian menghargai keyakinan minoritas). Dalam
jaman pencerahan toleransi dituntut untuk memungkinkan orang melaksanakan kebebasan
berpikir dan berdemokrasi.
Hal itu jaman sekarang diandaikan untuk memberi ruang pada perbedaan pendapat
dan tawaran kebenaran serta kampanye norma yang 'fair' dalam 'pasar pendapat dunia
modern. Ide dasarnya adalah bahwa tak ada manusia yang bisa memiliki kebenaran utuh
maupun cara menemukan kebenaran secara sempurna. Sebab pencarian kebenaran diakui
7

sebagai proses majemuk yang menyejarah, tidak sekali jadi. Selain itu toleransi diperlukan
agar suara hati masing-masing orang dapat berfungsi secara wajar dan saling dihargai.
Dalam masyarakat tertutup pun sesungguhnya toleransi diperlukan agar berlakunya norma
umum (bukan keinginan seorang pemuka masyarakat) terjamin, seraya memungkinkan
agar pendapat mayoritas berkembang demi keseimbangan masyarakat; di lain pihak
diharapkan pula bahwa orang yang berbeda pendapat tidak ditindas dan didiskriminasikan.
Dengan mekanisme tersebut toleransi menjarnin terjadinya saling komunikasi dan dapat
diatasinya konflik batin maupun konflik sosial secara damai.
Begitulah kemanusiaan dapat berkembang baik dalam komunitas yang sehat.
Tiadanya toleransi menyebabkan 'yang kuat' menang habis-habisan, sementara yang kalah
hancur tanpa bekas. Dengan cara itu masyarakat rugi, karena benih-benih pendapat yang
baru tumbuh dan belum kuat dapat hancur sebelum memperoleh kesempatan untuk
dilaksanakan dan diuji oleh praksis. Dalam masyarakat demokratis, toleransi mutlak
diperlukan bagi perkembangan berpikir secara kreatif dan aktif serta justru untuk
memperkembangkan segala potensi masyarakat. Pada umumnya manusia hidup dengan
banyak toleransi: dalam keluarga, dalam kampung, dalam organisasi, dalam paguyuban
beriman, dalam perusahaan, dalam pernerintahan. Dalam komunitas politik, dalam bidangbidang nilai, toleransi secara mutlak diperlukan demi demokrasi. Namun toleransi
memang membutuhkan batas. Batasnya adalah bahwa pelaksanaan toleransi tidak
'mengganggu ketertiban umum'.
Namun perlu juga disadari bahwa batas itu tidak jelas. Motivasi toleransi dalam
komunitas politik adalah kesetaraan semua warga. Pluralisme menjadi landasan mutlak.
Demi kedamaian yang sejajar. Maka toleransi diterima bukanlah karena indifferentnya
negara terhadap perbedaan pendapat, namun bahwa negara berdiri di atas semua pendapat
fragmentaris. Jadi dasarnya penghargaan terhadap hak azasi manusia dan pengharagaan
pada hidup bersama yang damai. Jadi penilaian tinggi terhadap kebebasan dan kebenaran
majemuk. Diharapkan bahwa toleransi meninggikan kemungkinan tercapainya kebenaran
dan kesejahteraan yang lebih tinggi bagi lebih banyak anggota masyarakat. Menciptakan
kehidupan beragama yang baik bukanlah berdasarkan toleransi yang semu, yang
mempunyai tendensi untuk mengatakan bahwa semua agama sama saja.
Gereja Katolik tetap menghormati agama-agama yang lain, mengakui adanya unsurunsur kebenaran di dalam agama-agama yang lain, namun tanpa perlu mengaburkan apa
yang dipercayainya, yaitu sebagai Tubuh Mistik Kristus, di mana Kristus sendiri adalah
Kepala-Nya. Oleh karena itu, Gereja Katolik tetap melakukan evangelisasi, baik dengan
8

pengajaran maupun karya-karya kasih. Dengan kata lain, Gereja terus mewartakan Kristus
dengan kata-kata dan juga dengan perbuatan kasih. Konsili Vatikan II dalam Nostra Aetate
mengatakan demikian : Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di
dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara
bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal
berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh
memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada
hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni jalan, kebenaran dan hidup
(Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula
Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.[4] Maka Gereja mendorong para
puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama
dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta
perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani
dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka. Toleransi menjadi
bermasalah ketika salah satu pihak merasa dalam posisi mutlak benar, khususnya karena
ketentuan ilahi. Repotnya adalah bahwa toleransi diperlukan pada saat orang harus
mewujudkan suatu yang tampaknya mutlak namun harus ditampakkan dalam kondisi
terbatas. Kondisi terbatas itu dapat secara. mendasar berbatas atau secara insidental
berbatas, misalnya tergantung situasi politik, sosial, ekonomis, budaya, psikhis atau
biologis.
Pada lapisan teologis, ada dilema: di satu pihak ada tuntutan mencintai sesama secara.
penuh dan mengasihi Allah tanpa batas, di lain pihak realitas manusia yang terbatas. Surat
Paulus kepada umat di Roma bab 14 dan I Kor 8 menunjukkan bahwa Gereja Perdana
mengakui kemungkinan toleransi pada orang-orang yang 'lemah' sehingga mempunyai
pendapat atau praktik hidup yang tidak sama dengan 'yang umum'. Cinta pada Tuhan
(tanpa batas) dan cinta sesama meminta toleransi sampai batin. Meskipun begitu orang
tetap mempunyai pegangan kebenaran (Ef 4: 15). Pada jaman Agustinus ada pergeseran
walau Agustinus sendiri mengatakan: "orang tidak dipaksa beriman bila tidak mau sendiri"
. Ketika orang mempunyai ajaran Gereja yang tegas, sehingga penyimpangan ajaran atau
praktis jadi tampak dan tidak mudah ditolerir. T
homas Aquinas apakah ritus kafir ditolerir? mendekati hal itu. Thomas menyentuh
soalnya dari sudut lain dengan mengatakan: "menerima iman itu bebas, namun
melaksanakan apa yang sudah dipilih itu wajib". Banyak kaisar kristiani menuntut agama
sama; yang lain dilarang. Namun abad Pertengahan, bahkan ada toleransi terhadap orang
9

Yahudi dan kafir, minimal secara teoritis. Datangnya intoleransi itu dari ketegasan ajaran
dan ketertutupan, hidup monastik yang menjadi patokan hidup kristiani yang baik. Di
dalamnya termasuk ide kekuasaan ilahi dan duniawi yang bersatu, dengan dasar ajaran
yang sama. Orang waktu itu mentolerir orang beragama lain namun tidak mentolerir orang
murtad. Dengan perpecahan Gereja toleransi jadi aktual kembali. Lama-lama orang agak
acuh tak acuh dengan. iman dan sekularisme menguat sehingga toleransi jadi biasa.
Indifferentisme sering mempengaruhi juga. 1689 di Inggris keluar 'Act of Tolerance' untuk
orang beriman beraneka. H.G. Merabeau menegaskan kebebasan tanpa batas untuk
beragama. Leo XIII mengungkapkannya dalam Ensiklik 'Immortale Dei' (1885) bahwa
"orang tak mempunyai dasar untuk menentang toleransi atau secara. serampangan
mendukung toleransi yang adil Surat Pius XII (17- 2 - 1950) menyebut mengenai
kebebasan berpikir dalam Gereja Katolik. Di dalamnya termasuk termuat masalah
kebebasan suara hati. Orang tak boleh dipaksa melawan suara hati. Sesungguhnya iman
akan penciptaan sendiri sudah membawa konsekuensi dilematis, sebab Allah yang
mahakuasa membuat ciptaan yang mengambil bagian dalam hidup, kreativitas dan hidup
kekalnya Yang Ilahi.
Dengan demikian kepada manusia diberikan kesempatan untuk memilih akan berbuat
baik dan memihak Allah, ataukah berbuat jahat dan menolak Allah. Dengan demikian,
kemungkinan bahwa melakukan dosa dan kejahatan (jadi "menolak Allah") itu memang
ditolerir Allah yang mahabaik, atas dasar cintanya kepada kebebasan manusia. Sebab
hanya dengan kebebasan itulah manusia pantas menjadi ciptaan Allah. Bahwa terbuka
kernungkinan manusia memilih menolak Tuhan, itu risiko yang diambil Tuhan dengan
menciptakan manusia berbudi. Allah masih meneruskan cinta-Nya. Ia mengirim Anak-Nya
jadi manusia (Fil 2: 1-11). Dengan begitu sekali lagi terjadi toleransi dari yang Mahabesar
pada yang berbatas. Sebab penjelmaan memaksa Putra untuk hidup dalam keterbatasan
biologis, historis, budaya, psikologis dan spiritual. Namun sebaliknya juga harus dikatakan
bahwa justru dengan cara itulah manusia ditebus. Dengan kata lain, penebusan terjadi
lewat kesediaan Allah memberi toleransi kepada manusia untuk memilih berbuat kejahatan
dan kedosaan daripada selalu berbuat baik. Injil Luk 16: 1-8, maka beranilah kita berkata
bahwa adalah sesuatu yang tidak tahu diri kalau manusia tidak mau memberi toleransi
kepada manusia lain; juga orang lain yang lebih kecil atau lebih lemah.
Sebab Allah begitu rela berbesar hati terhadap manusia yang penuh kesalahan dan
dosa. Dengan kata lain, kalau manusia mau memberi toleransi kepada orang atau
kelompok lain hanya masalah realisasi: bahwa manusia mengakui dirinya sudah diberi
10

toleransi oleh Tuhan. Dengan latar belakang itu, toleransi bukanlah jasa manusia
melainkan kewajiban manusia. Dalam konteks itu dapatlah kita lebih memahami Konsili
Vatikan II yang mendukung kebebasan beragama dan suara hati. Sebab "Dignitatis
Humanae" menunjukkan kebesaran hati mentoleransi pendapat dan keyakinan lain bahwa
tugas-tugas itu menyangkut serta mengikat suara hati, dan bahwa kebenaran itu sendiri,
yang merasuki akal budi secara halus dan kuat.
Adapun kebebasan beragama, yang termasuk hak manusia dalam menunaikan tugas
berbakti kepada Allah, menyangkut kekebalan terhadap paksaan dalam masyarakat.
Kebebasan itu sama sekali tidak mengurangi ajaran katolik tradisional tentang kewajiban
moral manusia dan masyarakat terhadap agama yang benar dan satu-satunya Gereja
Kristus. Selain itu dalam menguraikan kebebasan beragama Konsili suci bermaksud
mengembangkan ajaran para paus akhir-akhir ini tentang hak-hak pribadi manusia yang
tidak dapat di ganggu-gugat, pun juga tentang penataan yuridis masyarakat. .
Maka juga toleransi. Paus Yohannes XXIII dalam Pacem in Terris (no. 14)
menunjukkan sikap positif juga terhadap toleransi. Toleransi didukung oleh pendirian
bahwa pada kodratnya semua manusia itu sama. Deklarasi Hak-hak Azasi Manusia
mengungkapkan seluruh sikap itu dalam rangakaian satu sama lain, yang secara berangsurangsur dilengkapi: bahwa dari alasan kodratinya semua manusia hanya mempunyai pilihan
untuk mentoleransi pendirian dan praktik hidup, satu sama lain. Sebab setiap manusia, dari
kodratnya sendiri, memang setara. Maka tidak ada alasan bahwa orang satu tidak
mentoleransi orang lain. Kontipendium Ajaran Sosial Gereja juga melarang kekerasan atas
nama agama dengan menyatakan : Tindak kekerasan tidak pernah menjadi tanggapan yang
benar. Dengan keyakinan akan imannya di dalam Kristus dan dengan kesadaran akan
misinya, Gereja mewartakan bahwa tindak kekerasan adalah kejahatan, bahwa tindak
kekerasan tidak dapat diterima sebagai suatu jalan keluar atas masalah, bahwa tindak
kekerasan tidak layak bagi manusia. Tindak kekerasan adalah sebuah dusta, karena ia
bertentangan dengan kebenaran iman kita, kebenaran tentang kemanusiaan kita. Tindak
kekerasan justru merusakkan apa yang diklaim dibelanya: martabat, kehidupan, kebebasan
manusia. Kalau kita mau sempurna, tentu tidak puas dengan hanya bersikap toleran. Kalau
kita mau realistis, mungkin malah harus belajar toleran. Sebab, jangankan mau sempurna
mencintai sesama seperti diri sendiri, toleran pada sesama pun kita belum tentu dapat.
Gereja Katolik Menanggapi Stigma Kristenisasi? Dalam tulisannya berjudul Gereja dan
Reformasi A.A Yewangoe menyatakan bahwa kaum Nasrani masih banyak yang
menanggung beban sejarah masa lampau, yakni stigma bahwa kekristenan adalah agama
11

asing, hanya karena kedatangan para misionaris dari barat itu bersamaan dengan
datangnya kolonialisme dan imperialisme barat. Bisa dibuktikan bahwa walaupun
kedatangan para misionaris bersamaan dengan tibanya para penjajah, mereka (misionaris)
mempunyai penampilan yang lain sama sekali. Malah bisa ditunjukkan bahwa pekerjaan
para misionaris justru dihalang-halangi oleh pemerintah kolonial itu.
Tugas gereja adalah mengabarkan keselamatan bukan mengkristenkan orang. Dan
orang-orang beragama pun harus bersaksi dalam hidupnya melalui kata-kata dan
perbuatan dan keteladanan. Dan biarlah orang-orang yang melihat mempertimbangkan dan
mengambil keputusan atas apa yang didengar dan disaksikannya. Sebenarnya salah satu
yang membuat masalah semakin besar antara Kristen dan agama yang lain adalah: kita
semua terlalu arogan dengan pemahaman agama yang kita miliki, seolah-olah kita sudah
memahami semua maksud dan kehendak Tuhan, tidak takut-takut kita mau saling
mencemooh, merendahkan kitab suci dan isi ajarannya, tanpa memahami betul ajaran
tersebut. Kita terlalu suka menggeneralisasi akan suatu hal. Seperti halnya berbagai kasus
yang diangkat dalam berbagai berita yang provokatif banyak hal yang terlalu digeneralisir
mengenai sikap-sikap dan tindakan kekristenan yang dikutip dari sebagian topik lalu
mengangkatnya menjadi penyebab utama.
Jadi, kehidupan beragama yang baik, hanya dapat terlaksana jika terjadi suasana dan
lingkungan yang memberikan kebebasan beragama dan setiap umat dapat melaksanakan
agama masing-masing dengan bijaksana.
D.

Toleransi dalam Perspektif Agama Protestan


Sebagaimana halnya agama Kristen Katholik, dalam agama Protestan jugs
menganjurkan agar antar sesama umat manusia selalu hidup rukun dan harmonis. Agama
Protestan beranggapan bahwa aspek kerukunan hidup beragama dapat diwujudkan
melalui Hukum Kasih yang merupakan norma dan pedoman hidup yang terdapat dalam Al
Kitab. Hukum Kasih tersebut ialah mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia.
Menurut agama Protestan, Kasih adalah hukum utama dan yang terutama dalam
kehidupan. orang Kristen. Dasar kerukunan menurut agama Kristen Protestan didasarkan
pada Injil Matins 22:37.

E.

Toleransi dalam Perspektif Agama Hindu


Dalam agama Hindu diajarkan pula tentang masalah kerukunan. Pandangan agama
Hindu untuk mencapai kerukunan hidup antarumat beragama, manusia harus mempunyai
12

dasar hidup yang dalam agama Hindu disebut dengan Catur Purusa Artha, yang mencakup
Dharma, Artha, Kama, dan Moksha.
Dharma berarti susila atau berbudi luhur. Dengan Dharma seseorang dapat mencapai
kesempurnaan hidup, baik untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Artha, berarti
kekayaan dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup. Mencari harta didasarkan
pada Dharma. Kama berarti kenikmatan dan kepuasan. Kama pun harus diperoleh
berdasarkan Dharma. Moskha berarti kebahagiaan abadi, yakni terlepasnya atman dari
lingkaran samsara. Moskha merupakan tujuan akhir dari agama Hindu yang setiap saat
selalu dicari sampai berhasil. Upaya mencari Moskha juga mesti berdasarkan Dharma.
Keempat dasar inilah yang merupakan titik tolak terbinanya kerukunan antarumat
beragama. Keempat dasar tersebut dapat memberikan sikap hormat-menghormati dan
harga menghargai keberadaan umat beragama lain. Tidak saling mencurigai dan saling
menyalahkan.
F.

Toleransi dalam Perspektif Agama Budha


Pandangan agama Budha mengenai kerukunan hidup umat beragama dapat dicapai
dengan melalui 4 jalan kebenaran. Yakni :
1.
2.
3.
4.

Hidup adalah suatu penderitaan (dukha).


Penderitaan disebabkan karena keinginan yang rendah (samudaya).
Apabila keinginan rendah dapat dihilangkan maka penderitaan akan berakhir.
Jalan untuk menghilangkan keinginan rendah ialah dengan melaksanakan 8 jalan utama
(1. Kepercayaan yang benar. 2. Niat/pikiran yang benar. 3. Ucapan yang benar. 4.
Perbuatan yang benar. 5. Kesadaran yang benar. 6. Mata pencaharian/usaha yang benar.
7. Daya upaya yang benar. 8. Semadhi/ pemusatan pikiran yang benar).
Dalam pengajaran Budha Gautama kepada manusia telah dilaksanakan dengan dasar :

1. Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia.
2. Metta berarti belas kasih terhadap sesama makhluk. Belas kasih terhadap makhluk ini
hendaknya seperti belas kasih seorang ibu terhadap putranya yang tunggal.
3. Karunia, kasih sayang terhadap sesama makhluk, kecenderungan untuk selalu
meringankan penderitaan orang lain.
4. Mudita, perasaan turut bahagia dengan kebahagiaan makhluk lain tanpa bennda, iri hati,
perasaan prihatin bila makhluk lain menderita.
5. Karma (reinkarnasi). Hukum sebab akibat.
G.

Toleransi dalam Perspektif dalam Agama Khonghucu

13

Sebagaimana agama-agama lainnya seperti telah diuraikan di atas, maka dalam agama
Khonghucu jugs ditemui ajaran yang dapat mengantarkan pemeluknya untuk hidup rukun
dengan pemeluk agama lainnya.
Di antara ajaran atau lima sifat yang mulia (Wu Chang) yang dipandang sebagai konsep
ajaran yang dapat menciptakan kehidupan harmonis antara sesama adalah :
1. Ren/Jin, cinta kasih, tabu diri, halus budi pekerti, rasa tenggang rasa serta dapat
2.
3.
4.
5.

menyelami perasaan orang lain.


I/Gi, yaitu rasa solidaritas, senasib sepenanggungan dan rasa membela kebenaran.
Li atau Lee, yaitu sikap sopan santun, tata krama, dan budi pekerti.
Ce atau Ti, yaitu sikap bijaksana, rasa pengertian, dan kearifan.
Sin, yaitu kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya oleh orang lain serta dapat
memegang janji dan menepatinya.
Memperhatikan ajaran Khonghucu di atas, terutama lima sifat yang mulia di atas di

mana Khonghucu sangat menekankan hubungan yang sangat harmonis antara sesama
manusia dengan manusia lainnya, di samping hubungan harmonis dengan Tuhan dan juga
antara manusia dengan alam lingkungan.
Setiap penganut Khonghucu hendaknya mampu memahami dan mengamalkan kelima
sifat di atas, sehingga kerukunan atau keharmonisan hubungan antar sesama dapat
terwujud tanpa memandang dan membedakan agama dari keyakinan.
Jadi pada dasarnya semua agama telah memberikan ajaran yang jelas dan tegas
bagaimana semestinya bergaul, berhubungan dengan pemeluk agama lain. Secara dassolen
semuanya menjunjung tinggi hidup rukun, saling tolong-menolong antara pemeluk
masing-masing agama, namun terkadang pemeluknya lupa atau tidak mampu
mengaplikasikan ajaran, tuntunan dari agamanya. Terkadang dassolen dan dessain
tampak tidak sejalan.
H.

Kerukunan Umat Beragama di Indonesia


Kerukunan umat beragama adalah program pemerintah meliputi semua agama, semua
warga negara RI.
Pada tahun 1967 diadakan musyawarah antar umat beragama, Presiden Soeharto dalam
musyawarah tersebut menyatakan antara lain: Pemerintah tidak akan menghalangi
penyebaran suatu agama, dengan syarat penyebaran tersebut ditujukan bagi mereka yang
belum beragama di Indonesia. Kepada semua pemuka agama dan masyarakat agar
melakukan jiwa toleransi terhadap sesama umat beragama.

14

Pada tahun 1972 dilaksanakan dialog antar umat beragama. Dialog tersebut adalah
suatu forum percakapan antar tokoh-tokoh agama, pemuka masyarakat dan pemerintah.
Tujuannya adalah untuk mewujudkan kesadaran bersama dan menjalin hubungan pribadi
yang akrab dalam menghadapi masalah masyarakat.
Kerukunan umat beragama bertujuan untuk memotivasi dan mendinamisasikan semua
umat beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan bangsa.
I.

Landasan Hukum
Landasan Idiil, yaitu Pancasila (sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa).
Landasan Konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat 1: Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan Pasal 29 ayat 2: Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Landasan Strategis, yaitu Ketatapan MPR No.IV tahun 1999 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara. Dalam GBHN dan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun
2000, dinyatakan bahwa sasaran pembangunan bidang agama adalah terciptanya suasana
kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang penuh
keimanan dan ketaqwaan, penuh kerukunan yang dinamis antar umat beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, secara bersama-sama makin memperkuat
landasan spiritual., moral dan etika bagi pembangunan nasional, yang tercermin dalam
suasana kehidupan yang harmonis, serta dalam kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa
selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila.
Landasan Operasional
UU No. 1/PNPS/l 965 tentang larangan dan pencegahan penodaan dan penghinaan
agama
Keputusan

bersama

Menteri

Dalam

Negeri

dan

Menteri

Agama

RI.

No.01/Ber/Mdn/1969 tentang pelaksanaan aparat pemerintah yang menjamin ketertiban


dan kelancaran pelaksanaan dan pengembangan ibadah pemeluk agama oleh pemeluknya.
SK. Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri RI. No.01/1979 tentang tata cara
pelaksanaan pensyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga
keagamaan swasta di Indonesia.
Surat edaran Menteri Agama RI. No.MA/432.1981 tentang penyelenggaraan peringatan
hari besar keagamaan .\
15

J.

Upaya Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama


Menciptakan kerukunan umat beragama baik di tingkat daerah, provinsi, maupun
pemerintah merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi pemerintah
lainnya. Mulai dari tanggung jawab mengenai ketentraman, keamanan, dan ketertiban
termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, menumbuh kembangkan
keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama bahkan menertibkan rumah ibadah.
Dalam hal ini untuk menciptakan kerukunan umat beragama dapat dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Saling tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama


Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.
Melaksanakan ibadah sesuai agamanya
Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan Negara atau
Pemerintah.
Sikap tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama merupakan

indikasi dari konsep trilogi kerukunan. Seperti dalam pembahasan sebelumnya upaya
mewujudkan dan memelihara kerukunan hidup umat beragama, tidak boleh memaksakan
seseorang untuk memeluk agama tertentu. Karena hal ini menyangkut hak asasi manusia
(HAM) yang telah diberikan kebebasan untuk memilih baik yang berkaitan dengan
kepercayaan, maupun diluar konteks yang berkaitan dengan hal itu.
Kerukunan antar umat beragama dapat terwujud dan senantiasa terpelihara, apabila
masing-masing umat beragama dapat mematuhi aturan-aturan yang diajarkan oleh
agamanya masing-masing serta mematuhi peraturan yang telah disahkan Negara atau
sebuah instansi pemerintahan. Umat beragama tidak diperkenankan untuk membuat
aturan-aturan pribadi atau kelompok, yang berakibat pada timbulnya konflik atau
perpecahan diantara umat beragama yang diakibatkan karena adanya kepentingan ataupun
misi secara pribadi dan golongan.
Selain itu, agar kerukunan hidup umat beragama dapat terwujud dan senantiasa
terpelihara, perlu memperhatikan upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan
secara mantap dalam bentuk. :
1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat
beragama dengan pemerintah.

16

2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional, dalam bentuk upaya mendorong
dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan
implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.\
3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif, dalam rangka memantapkan
pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama, yang mendukung bagi
pembinaan kerukunan hidup intern umat beragama dan antar umat beragama.\
4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari
seluruh keyakinan plural umat manusia, yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman
bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik dan berinteraksi sosial satu
sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap keteladanan.
5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang
mengarahkan kepada nilai-nilai ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpanganpenyimpangan nila-nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan.\
6. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara
menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta
suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
7. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh
sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena
kehidupan beragama.
Dalam upaya memantapkan kerukunan itu, hal serius yang harus diperhatikan adalah
fungsi pemuka agama, tokoh masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini pemuka agama,
tokoh masyarakat adalah figur yang dapat diteladani dan dapat membimbing, sehingga apa
yang diperbuat mereka akan dipercayai dan diikuti secara taat. Selain itu mereka sangat
berperan dalam membina umat beragama dengan pengetahuan dan wawasannya dalam
pengetahuan agama.
Kemudian pemerintah juga berperan dan bertanggung jawab demi terwujud dan
terbinanya kerukunan hidup umat beragama. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas umat
beragama di Indonesia belum berfungsi seperti seharusnya, yang diajarkan oleh agama
masing-masing. Sehingga ada kemungkinan timbul konflik di antara umat beragama. Oleh
karena itu dalam hal ini, pemerintah sebagai pelayan, mediator atau fasilitator merupakan
salah satu elemen yang dapat menentukan kualitas atau persoalan umat beragama tersebut.
Pada prinsipnya, umat beragama perlu dibina melalui pelayanan aparat pemerintah yang
memiliki peran dan fungsi strategis dalam menentukan kualitas kehidupan umat beragama,
melalui kebijakannya.

17

Untuk menjaga dan meningkatkan kerukunan hidup umat beragama dan keutuhan
bangsa, perlu dilakukan upaya-upaya.
Meningkatkan efektifitas fungsi lembaga-lembaga kearifan lokal dan keagamaan
masyarakat;
1. Meningkatkan wawasan keagamaan masyarakat;
2. Menggalakkan kerjasama sosial kemanusiaan lintas agama, budaya, etnis dan profesi
3. Memperkaya wawasan dan pengalaman tentang kerukunan melalui program kurikuler
di lingkungan lembaga pendidikan.
K.

Dialog Antar Umat Bergama


Saat ini, pandangan dan sikap umat terhadap agama terus bergeser seiring
perkembangan zaman. Namun, di balik semua itu, diperlukan dialog antarumat beragama
atau dialog antar iman, sebagai media dan sarana efektif untuk mengurangi ketegangan
akibat munculnya perbedaan masing-masing kebudayaan tersebut . Ada tiga faktor utama
yang menyebabkan belum terwujudnya dialog antar umat beragama yaitu yaitu pertama,
penyalahgunaan dan penyimpangan penggunaan bahasa dalam agama itu sendiri. Kedua,
penerapan metode komunikasi yang sering kali salah dan cenderung antipati. Ketiga,
perilaku untuk saling mengasihi sesama . Dialog antarumat beragama dalam mengatasi
munculnya

perbedaan

nilai-nilai

dasar

agama

dalam

masyarakat,

seharusnya

mengutamakan komunikasi interpersonal, komunikasi antarbudaya dan kearifan


masyarakat lokal, bukan komunikasi pengerahan massa menghadapi masyarakat lain yang
berbeda. Dengan begitu, ketegangan konflik antarsesama akan terhindarkan .
Setidaknya ada empat paradigma yang dapat diungkapkan untuk dijadikan landasan
dalam melakukan dialog antaragama, yaitu: kesadaran akan perbedaan, kebebasan
beragama, kebenaran bersifat universal dan doktrin supersessionisme Alquran sebagai
legitimasi bagi agama-agama sebelumnya . Selain itu setidaknya ada dua hal yang dapat
dijadikan alasan perlunya diadakan dialog antaragama. Pertama, secara sosiologis, yakni
era globalisasi dan informasi yang telah melanda seluruh aspek kehidupan manusia Kedua,
secara kemanusiaan , yaitu sebagaimana yang kita lihat dewasa ini, peradaban modern
telah tampil dalam dua wajah yang antagonistis . Pengertian dialog antaragama adalah
suatu tema

antara dua atau lebih pemeluk agama yang berbeda, di mana diadakan

pertukaran nilai dan informasi keagamaan pihak masing-masing untuk mencapai bentuk
kerja sama dalam semangat kerukunan .

18

Berikut ini adalah

beberapa pedoman dasar dialog antaragama menurut Leonard

Swidler:
1.
2.
3.
4.

Tujuan dialog antaragama adalah untuk menambah pengetahuan.


Dialog antar agama harus dari 2 pihak yang masing-masing sebagai pemeluk agama .
Masing-masing pihak harus bersikap jujur dan ikhlas .
Dalam dialog antaragama tidak boleh membandingkan antara konsep dengan praktek.
Tetapi hendaknya yang dibandingkan adalah konsep dengan konsep, ataupun

5.
6.

sebaliknya .
Masing-masing pihak harus memposisikan dirinya sesuai dengan eksisitensinya sendiri.
Masing-masing pihak tidak dibenarkan memiliki asumsi untuk mencari perbedaanperbedaan, tetapi harus berusaha mencoba setuju dengan pihak lain sejauh masih

7.
8.
9.

terpelihara integritas keyakinannya.


Dialog antaragama hanya bisa dilakukan dengan posisi seimbang.
Dialog antaragama bisa terlaksana atas dasar saling percaya .
Orang yang mengikuti dialog antaragama, hendaknya memiliki sifat kritis terhadap

10.

dirinya dan agamanya .


Masing-masing pihak harus mencoba untuk menghayati agama atau kepercayaan pihak

11.

lain secara mendalam .


Dialog antaragama mencakup tiga bidang lapangan operasional. Pertama, dialog
antaragama dalam dataran praksis , Kedua, dialog antaragama dalam dataran spritual ,

12.

Ketiga dialog antaragama dalam dataran kognitif .


Dialog antaragama dapat dilakukan dalam tiga tingkatan. Pertama tingkatan saling
mengenal dan mengetahui satu sama lain di antara para pemeluk agama , Kedua
tingkatan adanya upaya untuk saling mengamati perbedaan nilai-nilai yang diyakini
masing-masing pemeluk agama yang berbeda dengan harapan untuk mencari
penyesuaian dengan diri sendiri. Ketiga, tingkatan adanya upaya untuk mencari dan
menyingkapkan wilayah realitas baru dan kebenaran yang belum terungkap sebelumnya
sebagai hasil dari dialog tersebut .
Ada dua hal yang sesungguhnya ingin dicapai dialog antar agama ini. Pertama, pada
tataran normatif yaitu adanya pemahaman yang relatif benar terhadap esensi agama itu
sendiri , Kedua, dialog antar agama diperlukan dalam rangka membangun kembali kirakira bagaimana relasi antar agama yang terbaik, dan sampai saat ini belum ada formula
dialog yang terbaik .
Ada beberapa model yang bisa dilakukan untuk melaksanakan dialog antar umat
beragama / antar iman yang di kemukakan oleh Kimball sebagai berikut ( Ajat Sudrajat,
2009:158 ) .
19

1.

Dialog Parlementer. Dialog ini dilakukan dengan melibatkan tokoh-tokoh umat beragama di

2.

tingkat dunia.
Dialog Kelembagaan. Dialog ini dilakukan dengan melibatkan Organisasi-organisasi

3.
4.

keagamaa.
Dialog Teologi . Tujuannya adalah untuk membahas persoalan-persoalan teologis filosofi .
Dialog dalam Masyarakat. Dialog ini dilakukan dalam bentuk kerjasama dari komunitas
agama yang plural yang menggarap dan menyelesaikan masalah-masalah praktis dalam

5.

kehidupan sehari-hari.
Dialog Kerohanian . Tujuannya adalah untuk mengembangkan dan memperdalam kehidupan
spiritual di antara berbagai agama .

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Toleransi berasal dari bahasa Latin yaitu tolerare yang berarti bertahan atau memikul.
toleransi adalah sikap menghargai dan menghormati setiap orang yang berbeda-beda baik
secara etnis, ras, bahasa, budaya, politik, pendirian, kepercayaan maupun tingkah laku.
Manfaat yang diperoleh dari sikap toleransi adalah Menghindari terjadinya perpecahan,
memperkokoh silaturahmi dan dapat menerima perbedaan.

Akibat apabila toleransi

diabaikan adalah menimbulkan konflik di dalam masyarakat semakin maraknya


pelanggaran HAM.
Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat
komprehensif.

Kita harus bersikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa

mempersoalkan perbedaan keyakinan.

Prinsip yang mengakar paling kuat dalam

pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada

20

sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia
merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini.
Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar
umat Islam berbuat baik dan bertindak adil. Selama tidak berbuat aniaya kepada umat
Islam.
Kerukunan umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta
berkat adanya toleransi agama. Kerukunan umat beragama bertujuan untuk memotivasi
dan mendinamisasikan semua umat beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan
bangsa dan menjadi hal yang sangat penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup
dinegeri ini.
pluralisme agama adalah mengakui adanya kemajemukan, keragaman dan keberbedaan,
baik yang prinsip maupun tidak, yang meliputi keberbedaan keyakinan atau agama.
Dalam Al-Quran terdapat beberapa teks yang mendukung sikap positif terhadap
keyakinan lain. Juga terdapat ayat-ayat yang bersifat netral.
Sikap lapang dada dalam kehidupan beragama akan mempunyai makna bagi
kehiduipan dan kemajuan masyarakat plural
Pluralitas merupakan realitas hidup manusia dan keberadaannya tidak bisa dianulir.
Untuk membangun perdamaian adanya kesadaran pluralisme agama merupakan hal yang
mutlak
Dialog agama diselenggarakan sebagai usaha untuk mempertemukan tokkoh-tokoh
agama dalam rangka pembinaan kerukunan umat beragama. Dengan dialog antaragama
diharapkan terjadi pertukaran nilai dan informasi keagamaan antar pemeluk agama yang
berbeda untuk mencapai bentuk kerja sama dalam semangat kerukunan. Dengan demikian
agama menjadi berfungsi dan dapat diberdayakan sebagaiman semestinya. sangat penting
untuk membumikan dialog agama di ruang kuliah.
Ada dua hal yang sesungguhnya ingin dicapai dialog antar agama ini. Pertama, pada
tataran normatif yaitu adanya pemahaman yang relatif benar terhadap esensi agama itu
sendiri , Kedua, dialog antar agama diperlukan dalam rangka membangun kembali kirakira bagaimana relasi antar agama yang terbaik,
B. Saran
Agar kerukunan hidup umat beragama dapat terwujud dan senantiasa terpelihara, perlu
memperhatikan upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan secara mantap dalam

21

bentuk memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar
umat beragama dengan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Jirhanuddin, Perbandingan Agama Pengantar Studi Memahami Agama-Agama,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1980
Humaidi Tatapangarsa, Akhlak yang Mulia, Jakarta: Bulan Bintang, 1991
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: CV. Adi Grafika Semarang, 1994
Selengkapnya
:
http://www.kompasiana.com/alexanderphilip/toleransi-beragamadalam-ajaran-gereja-katolik_550f5b34813311872cbc67bd
Ajat Sudrajat, Din Al Islam, Yogyakarta: UNY Press, 2008
Hamdan Farchan, Dari Teologi Profesional ke Teologi Praktisi, Kompas, 15 Februari
1999. Hlm. 4.
Hamdan Farchan, Dari Teologi Profesional ke Teologi Praktisi, Kompas, 15 Februari
1999. Hlm. 5.
Hamdan Farchan, Membumikan Dialog Agama Di Ruang Kuliah, Bakti, No. 79
(Januari), 1998. Hlm. 10.

22

Hamdan Farchan, Pluralitas dan Potensi Konflik (Makalah Workshop Mediasi


Konflik Tingkat Wilayah Jateng, Pati, 2005). Hlm. 1.
Hamdan Farchan, Kesadaran Pluralisme Modal Dasar Membangun Demokrasi
(Makalah Workshop Mengawal Kebijakan Pemda Menegakkan Keadilan, 2002). Hlm. 2.
Hamdan Farchan, Reaktualisasi Gerakan Sosial Berbasis Pluralisme Untuk
Perdamaian (Makalah Workshop di Glagah Kulon Progo Yogyakarta, 2003). Hlm. 4.
Hamdan Farchan, Agama Dan HAM Dalam Konteks Masyarakat Pluralis (Makalah
Workshop di CD BethesdaYogyakarta, 2003). Hlm. 2.
Syamsul Arifin, Toleransi Antar-Umat Beragama dalam Pandangan Islam, (Dalam
www.Yayasan An NabaCenter.org.,2009). Hlm. 4.
Mhiqbah,
2015
Pancasila
dalam
kerukunan
beragama,
http://mhiqbah.blogspot.co.id/2015/04/pengalaman-nilai-nilai-pancasila-dalam.html. Diakses
pada tanggal 21/11/2015 jam 19.22 WIB

23

Anda mungkin juga menyukai