Anda di halaman 1dari 11

ISLAM WASATHIYAH

Dicopas oleh :
Oga Sri Lestyana ( 41.19.0017)
Putra Wahyu Anugrah S (41.19.0018)
ISLAM AGAMA YANG WASATH
(PERTENGAHAN)

 Pada saat acara KTT Islam Wasathiyah di Indonesia yang dihadiri oleh beberapa perwakilan negara, Islam
Wasathiyah sepakat diterjemahkan sebagai Islam yang moderat. Seolah moderat adalah arti yang pas untuk
kata wasathiyah.
 Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada hal yang mesti kita pertanyakan lebih dahulu, yaitu apakah
mengartikan Islam wasathiyah dengan Islam moderat adalah terjemahan yang tepat? Untuk mengukur
ketepatan terjemahan di atas, ada baiknya kita menggali terlebih dahulu makna wasathiyah di dalam surat Al-
Baqoroh, Allah SWT berfirman :

ْ ‫ول َعلَ ْي ُك‬ َ ‫اس َويَ ُك‬ ُ ‫َسطاً لِت‬ ُ ْ ُ َْ َ َ َ َ


 …ً‫ش ِهيدا‬
َ ‫م‬ ُ ‫س‬ُ ‫ون ال َّر‬ ِ ‫ن‬َّ ‫ال‬ ‫ى‬َ ‫ل‬‫ع‬َ َ
‫ء‬ ‫َا‬
‫د‬ َ
‫ه‬ ُ
‫ش‬ ‫وا‬ ُ
‫ن‬ ‫و‬ ‫َك‬ َ ‫و‬ ً
‫ة‬ َّ
‫م‬ ‫أ‬ ‫وَكذلِك جعلنَاكم‬

 “Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umata wasatha (umat
pertengahan) agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas perbuatan kalian,…” (QS. Al-Baqarah: 143)
Apa itu Wasathiyah ?

َ ‫س‬
 Secara Bahasa, kata Wasathiyah berasal dari kata wasatha (َ‫ط‬ َ yang berarti adil atau sesuatu yang
َ ‫)و‬
berada di pertengahan. Pengertian ini diungkapkan oleh Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqayisil
Lughah (6/74). Sementara itu, jumhur ulama lain menambahkan bahwa makna wasath juga berarti pilihan
(al-khiyar) atau yang paling utama (afdhal).
 Dalam kitab tafsirnya, Imam at-Tabari mengartikan makna wasath adalah udulan (umat yang adil)
dan khiyar (pilihan). Makna yang sama juga ungkapkan oleh Ibnu Katsir, yang dimaksud ayat 143 al-
Baqarah tersebut adalah pilihan dan yang terbaik. (tafsir al-QUrthubi, 2/144, Ibnu katsir, 1/455)
 Ibnu Jarir At-thabari menjelaskan, al-wasthu bermakna adil dan juga bisa bermakna pilihan. Sebab, orang
yang terpilih di antara manusia adalah yang paling adil di antara mereka. (Tafsir At-Thabari, 3/143)
 Al Baghawi dalam tafsirnya, (1/122) menukil dari Al-Kalbi sesungguhnya dia berkata, “Maksud dari ‘Umat
pertengahan’ adalah: Pengikut agama yang adil antara berlebih-lebihan dalam beribadah dan teledor
dalam menjalankan syariat agama, yang kedua sifat ini amat dicela dalam agama.”
Apa itu Wasathiyah ?

 Maka dapat disimpulkan bahwa kata wasatha mengandung dua sifat utama yang tidak bisa lepas
darinya, yaitu: udulan (adil); tidak condong ke salah satu dua kutub ekstrem yang berbeda
dan khiyar (pilihan, terbaik). Maka ketika disebut ummatan wasatha maknanya adalah umat yang
adil dalam bersikap sehingga dipilih sebagai umat yang terbaik di antara umat-umat yang lain.
 Pemaknaan ini sesuai dengan makna yang disampaikan oleh Rasulullah SAW ketika ayat 143 Al-
Baqarah diturunkan. Karena sifat adil tersebut, Allah menjadikan umat ini sebagai saksi atas umat-
umat lain di hari kiamat kelak.
 “Muslim moderat adalah mereka yang (setuju) dan menyebarkan cara pandang nilai-nilai inti
demokrasi. Termasuk mendukung demokrasi, dan HAM yang diakui secara internasional (termasuk
persamaan gender dan kebebasan beribadah), respek terhada perbedaan, setuju terhadap
sumber hukum yang nonsektarian dan menentang terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan yang
terlarang lainnya.” (Building Moderate Muslim Networks, hal 66)
LARANGAN TAFRITH dan IFROTH

Ifrath adalah sikap berlebih-lebihan dalam menjalankan agama ini. Sedemikian semangatnya, hingga
tidak disadari apa yang diamalkan tersebut menambahi apa yang telah dicukupkan Allah dan
RasulNya dari agama ini. Sedangkan tafrith yaitu mengurangi dalam menjalankan ibadah.
Contoh-contoh dari Rasulullah dalam
Mengamalkan Agama yang Wasath (Pertengahan

 Sikap pertengahan dalam beragama adalah sikap tidak ghuluw (ekstrem) dalam
beragama, yaitu melewati batasan yang ditetapkan Allah Azza Wa Jalla, namun juga
tidak kurang dari batasan yang ditetapkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bersikap
pertengahan dalam beragama yaitu dengan meneladai jalan hidup Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam. Sedangkan sikap ghuluw, adalah melebihi dari apa yang
beliau ajarkan. Dan taqshiir adalah yang melakukan kurang dari apa yang beliau
ajarkan.
Contoh-contoh dari Rasulullah dalam
Mengamalkan Agama yang Wasath (Pertengahan

 Contohnya, seseorang mengatakan: ‘Saya ingin shalat malam dan tidak tidur setiap hari, karena shalat adalah ibadah yang
paling utama maka saya ingin sepanjang malam saya dalam keadaan shalat‘. Maka kita katakan bahwa sikap ini adalah
sikap ghuluw dalam beragama dan tidak benar. Hal yang semisal ini pun pernah terjadi di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

 ‫اجتمع نفر فقال بعضهم‬: ‫ وقال اآلخر‬،‫أنا أقوم وال أنام‬: ‫ وقال الثالث‬،‫أنا أصوم وال أفطر‬: ‫ فبلغ‬،‫أنا ال أتزوج النساء‬
‫ عليه الصالة والسالم‬،‫ فقال‬،‫سلَّ ََم‬
َ ‫علَيْهَ َو‬ ََّ ‫صلَّى‬
َ ‫َللاه‬ َ ،‫ذلك النبي‬: ” ،‫ما بال أقوامَ يقولون كذا وكذا أنا أصوم وأفطر‬
‫ فمن رغب عن سنتي فليس مني‬،‫ وأتزوج النساء‬،‫ وأنام‬،‫وأقوم‬
 “Sekelompok orang berkumpul membicarakan sesuatu. Lelaki pertama berkata, saya akan shalat malam dan tidak tidur. Yang
lain berkata, saya akan puasa dan tidak berbuka. Yang ketiga berkata, saya tidak akan menikah. Perkataan mereka ini sampai
kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . Kemudian beliau berkata, kenapa ada orang-orang yang begini dan begitu?!
Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci
sunnahku, dia tidak di atas jalanku” (HR. Bukhari-Muslim)
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
Terhadap Dalil-dalil

 Berkaitan dengan pemahaman dengan pendekatan kontekstual, Contohnya ketika Nabi


bersabda” Orang yang paling cepat menyusulku adalah orang yang paling panjang
tangannya di antara kalian” mendengar ucapan rosul ini, para istri beliau ada yang
memahaminya secara hakiki, yaitu tangan yang panjang. Melihat fenomena ini Aisyah
berkomentar, bahwa mereka (para isteri Nabi yang lain) saling memanjangkan
tangannya guna mengetahui siapa diantara mereka yang paling panjang tangannya
guna mengetahui siapa diantara mereka yang cepat menyusul rasul. Padahal Rasul tidak
bermaksud demikian. “Panjang tangan” yang dimaksud adalah dalam makna kiasan,
yakni orang yang tinggi etos kerjanya(Banyak melakukan kebaikan). Dalam hal ini
ternyata isteri Nabi yang paling pertama menyusul adalah Zainab binti Jahsy, seorang
wanita yang kreatif, banyak berkarya dan suka bersedekah.
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual
Terhadap Dalil-dalil

 Dengan demikian, pemahaman kontekstual atas hadis Nabi berarti memahami hadis
berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan,
dan kepada siapa pula hadis itu ditujukan. Artinya, hadis Nabi s.a.w hendaknya tidak
ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriah tanpa mengkaitkannya
dengan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di sini kelihatannya konteks historis
merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah pendekatan kontekstual, namun
konteks redaksional juga tak dapat diabaikan. Yang terakhir ini tak kalah pentingnya
dalam rangka membatasi dan mengangkap makna yang lebih luas (makna filosofis)
sehingga hadis tetap menjadi komunikatif.
Batas-batas Tekstualisasi Dan Kontekstualisasi

 Dalam ibadah mahdhoh(murni).


Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi,
maka hal tersebut adalah bid’ah.

 Bidang diluar ibadah murni.


kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya
dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik lamanya)
MATUR NUWUN

Anda mungkin juga menyukai