Anda di halaman 1dari 11

ISLAM WASATHIYAH

Wasathiyah berasal dari akar kata “wasatha”. Menurut Muhammad bin Mukrim bin
Mandhur al-Afriqy al-Mashry, pengertian wasathiyah secara etimologi berarti:

ُ ‫َو َس‬
‫ط ال َّشيْ ِء َما َبي َْن َطرْ َف ْي ِه‬

Artinya: “sesuatu yang berada (di tengah) di antara dua sisi

Dalam khazanah Islam klasik, pengertian wasathiyah terdapat banyak pendapat dari
para ulama yang senada dengan pengertian tersebut, seperti Ibnu ‘Asyur, al-Asfahany,
Wahbah al-Zuḥaily, al-Thabary, Ibnu Katsir dan lain sebagainya.

Menurut Ibnu ‘Asyur, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah atau sesuatu yang
memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.

Menurut al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di antara dua batas (a’un)
atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap
melampaui batas (ifrath) dan ekstrem (tafrith).

Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir menegaskan bahwa kata al-wasath adalah
sesuatu yang berada di tengah-tengah atau ‫ َمرْ َك ُز الدَّائ َِر ِة‬, kemudian makna tersebut
digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji, seperti pemberani adalah
pertengahan di antara dua ujung.

“Dan demikianlah Kami menjadikan kalian umat yang pertengahan”, artinya “dan
“demikianlah Kami memberi hidayah kepada kalian semua pada jalan yang lurus, yaitu
agama Islam. Kami memindahkan kalian menuju kiblatnya Nabi Ibrahim as dan Kami
memilihkannya untuk kalian.

Kami menjadikan Muslimin sebagai pilihan yang terbaik, adil, pilihan umat-umat,
pertengahan dalam setiap hal, tidak ifrath dan tafrith dalam urusan agama dan dunia.
Tidak melampaui batas (ghuluw) dalam melaksanakan agama dan tidak seenaknya
sendiri di dalam melaksanakan kewajibannya.”

Al-Thabary memiliki kecenderungan yang sangat unik, yakni dalam memberikan makna
seringkali berdasarkan riwayat. Terdapat 13 riwayat yang menunjukkan kata al-wasath
bermakna al-‘adl, disebabkan hanya orang-orang yang adil saja yang bisa bersikap
seimbang dan bisa disebut sebagai orang pilihan.

Di antara redaksi riwayat yang dimaksud, yaitu:


‫ ُع ُد ْواًل‬:‫ك َج َع ْل َنا ُك ْم أُم ًَّة َو َس ًطا َقال‬ َ ِّ‫ َعنْ أَ ِبي َس ِع ْي ٍد َع ِن ال َّن ِبي‬،‫صال ٍِح‬
َ ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِي َق ْولِ ِه َو َك َذال‬ َ ‫ َعنْ أَ ِبي‬.

Artinya: “Dari Abi Sa’id dari Nabi bersabda; “Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat
yang wasathan”. Beliau berkata: (maknanya itu) adil.”

Berdasarkan pengertian tersebut, seringkali dipersoalkan mengapa Allah lebih memilih


menggunakan kata al-wasath dari pada kata “al-khiyar”? Jawaban terkait hal ini
setidaknya ada dua sebab, yaitu:

Pertama, Allah menggunakan kata al-wasath karena Allah akan menjadikan umat Islam
sebagai saksi atas (perbuatan) umat lain. Sedangkan posisi saksi semestinya harus
berada di tengah-tengah agar dapat melihat dari dua sisi secara berimbang
(proporsional). Lain halnya jika ia hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa
memberikan penilaian dengan baik.

Kedua, penggunaan kata al-wasath terdapat indikasi yang menunjukkan jati diri umat
Islam yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka menjadi yang terbaik, karena mereka
berada di tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan dan tidak mengurangi baik dalam hal
akidah, ibadah, maupun muamalah.

Berdasarkan pengertian dari para pakar tersebut, dapat disimpulkan beberapa inti
makna yang terkandung di dalamnya, yaitu: sesuatu yang ada di tengah, menjaga dari
sikap melampaui batas (ifrath) dan dari sikap mengurangi ajaran agama (tafrith),
terpilih, adil dan seimbang.

Ditinjau dari segi terminologinya, makna kata “wasathan” yaitu pertengahan sebagai
keseimbangan (al-tawazun), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang
saling berhadapan atau bertentangan: spiritualitas (ruhiyah) dengan material (madiyah).
Individualitas (fardiyyah) dengan kolektivitas (jama’iyyah).

Kontekstual (waqi’iyyah) dengan tekstual. Konsisten (tsabat) dengan perubahan


(taghayyur). Oleh karena itu, sesungguhnya keseimbangan adalah watak alam raya
(universum), sekaligus menjadi watak dari Islam sebagai risalah abadi.

Bahkan, amal menurut Islam bernilai shaleh apabila amal tersebut diletakkan dalam
prinsip-prinsip keseimbangan antara theocentris (hablun minallah) dan anthropocentris
(hablun min al-nas).

Menurut Din Syamsuddin, terdapat pula interpretasi wasathiyah sebagai al-Shirath al-
Mustaqim. Konsep jalan tengah tersebut, tentu tidak sama dengan konsep the middle
way atau the middle path di bidang ekonomi konvensional.

Wasathiyah dalam Islam bertumpu pada tauhid sebagai ajaran Islam yang mendasar
dan sekaligus menegakkan keseimbangan dalam penciptaan dan kesatuan dari segala
lingkaran kesadaran manusia.
Hal ini membawa pada pemahaman tentang adanya korespondensi antara Pencipta
dan ciptaan (al-‘Alaqah bain al-Khaliq wa al-Makhluq), sekaligus analogi antara
makrokosmos dan mikrokosmos (al-Qiyas bain al-‘Alam al-Kabir wa al-’Alam al-
Shaghir) menuju satu spot, titik tengah (median position).

Menurut Hasyim Muzadi:

‫ِي اَل َّت َوا ُزنُ َبي َْن ْال َعقِ ْي َد ِة َوال َّت َسام ُِح‬
َ ‫ْال َو َسطِ َّي ُة ه‬

Artinya: “Wasathiyah adalah keseimbangan antara keyakinan (yang kokoh) dengan


toleransi”.

Syarat untuk merealisasikan sikap wasathiyah yang baik tentu memerlukan akidah dan
toleransi, sedangkan untuk dapat merealisasikan akidah dan toleransi yang baik
memerlukan sikap yang wasathiyah.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, pemaknaan wasathiyah dapat dipadukan


bahwa; keseimbangan antara keyakinan yang kokoh dengan toleransi yang di
dalamnya terdapat nilai-nilai Islam yang dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan
pertengahan serta tidak berlebihan dalam hal tertentu.

Keseimbangan tersebut bisa terlihat dengan kemampuan mensinergikan antara dimensi


spiritualitas dengan material, individualitas dengan kolektivitas, tekstual dengan
kontekstual, konsistensi dengan perubahan dan meletakkan amal di dalam prinsip-
prinsip keseimbangan antara theocentris dan anthropocentris, adanya korespondensi
antara

Pencipta dan ciptaan sekaligus analogi antara makrokosmos dan mikrokosmos menuju
satu spot yaitu median position. Keseimbangan yang mengantarkan pada al-Shirath al-
Mustaqim tersebut yang nantinya akan melahirkan umat yang adil, berilmu, terpilih,
memiliki kesempurnaan agama, berakhlak mulia, berbudi pekerti yang lembut dan
beramal shaleh.

Salah satu ciri dari Islam adalah wasathiyah. Kata wasathiyah memiliki beberapa
makna, yakni menurut bahasa Indonesia artinya adalah moderasi. Menurut Afifuddin
Muhadjir, makna wasathiyah sebetulnya lebih luas dari pada moderasi.

Wasathiyah bisa berarti realistis (Islam Wasathiyah yaitu Islam yang berada di antara
realitas dan idealitas). Yakni, Islam memiliki cita-cita yang tinggi dan ideal untuk
menyejahterakan umat di dunia dan akhirat. Cita-citanya yang melangit, tapi ketika di
hadapkan pada realitas, maka bersedia untuk turun ke bawah.

Wasathiyah yang disebut dalam QS: al-Baqarah 143 dapat juga diartikan jalan di antara
ini dan itu. Dapat juga dikontekstualisasikan Islam Wasathiyah adalah tidak liberal dan
tidak radikal. Dapat diartikan pula, Islam antara jasmani dan ruhani.
Dalam kitab-kitab fiqih, seorang presiden itu harus mendalam terkait hal agama,
mujtahid dan dipilih secara demokratis. Bagaimana ketika yang menjadi presiden justru
kebalikannya? Apakah kita harus memberontak?

Tentu tidak, karena memang realitanya seperti demikian. Kitab-kitab fiqih menyatakan,
para hakim harus seorang mujtahid dan memiliki kemampuan untuk menggali hukum-
hukum dari sumbernya.

Keputusan hakim adalah kepastian dan keadilan. Tapi apabila kebalikannya, yakni tidak
terlaksana sebagaimana aturannya. Apakah kita harus memberontak? Tentu tidak,
karena memang realitanya seperti demikian.

Meskipun kita harus tetap mengingatkannya, tapi cara yang ditempuh harus baik.

Al-wasathiyah disebutkan dalam QS: al-Baqarah: 143 dan QS: al-Nisā’: 171.

‫ب اَل َت ْغلُوا فِي دِي ِن ُك ْم َواَل َتقُولُوا َعلَى هَّللا ِ إِاَّل ْال َح َّق إِ َّن َما ْالمَسِ ي ُح عِ ي َسى ابْنُ َمرْ َي َم َرسُو ُل هَّللا ِ َو َكلِ َم ُت ُه أَ ْل َقا َها إِلَى َمرْ َي َم‬ ِ ‫َيا أَهْ َل ْال ِك َتا‬
ِ ‫ون لَ ُه َولَ ٌد لَ ُه َما فِي ال َّس َم َاوا‬
‫ت‬ َ ‫َورُو ٌح ِم ْن ُه َفآ َ ِم ُنوا ِباهَّلل ِ َو ُر ُسلِ ِه َواَل َتقُولُوا َثاَل َث ٌة ا ْن َتهُوا َخيْرً ا لَ ُك ْم إِ َّن َما هَّللا ُ إِلَ ٌه َوا ِح ٌد ُسب َْحا َن ُه أَنْ َي ُك‬
‫ض َو َك َفى ِباهَّلل ِ َوكِياًل‬ ِ ْ‫َو َما فِي اأْل َر‬

Artinya: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan
janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al-
Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-
Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya.

Maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya dan janganlah kalian
mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagi kalian.
Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak,
segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai
Pemelihara”.

‫َخيْر اأْل ُمُور أَ ْو َساط َها‬

Artinya: “Sebaik-baiknya perkara itu yang pertengahan”.

Realiasasi wasathiyah dalam ajaran Islam secara garis besar dibagi tiga: akidah, akhlak
dan syariat (dalam pengertian sempit). Ajaran akidah berarti terkait konsep ketuhanan
dan keimanan. Akhlak berarti terkait penghiasan hati melalui sikap dan perilaku
seseorang agar dapat menjadi indivisu mulia.

Sedangkan syariat dalam pengertian sempit, berarti ketentuan-ketentuan praktis yang


mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar sesama manusia (al-
ahkam al-‘amaliyah).
Salah satu segmen dalam syariat adalah fiqih. Syariat dari segi sifatnya ada dua: tsabit
dan mutaghayyirah. Syariat tsabit adalah syariat yang tidak dapat berubah kapan pun
dan di mana pun, sedangkan syariat mutaghayyirah adalah syariat yang dapat berubah
sehingga dapat beradaptasi dengan waktu dan tempat.

Akidah, akhlak dan syariat tsabit tidak dapat dirubah. Sedangkan syariat mutaghayyirah
dapat berubah sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat. Wasathiyah masuk pada
akidah, akhlak, syariat tsabit dan mutaghayyirah.

Wasathiyah dalam bidang akidah, seperti posisi Islam yang berada di antara atheisme
(tidak percaya Tuhan) dan politisme (kelompok yang percaya adanya banyak Tuhan).
Wasathiyah dalam bidang akhlak, seperti posisi di antara khauf (pesimisme) yang
berlebihan dan raja’ (optimisme) yang berlebihan.

Optimisme yang berlebihan dapat mengakibatkan orang gampang berbuat dosa,


sehingga menganggap dirinya pasti mendapatkan surga. Di antara ayat yang menjadi
landasan adalah QS: al-Baqarah: 173:

‫إِنَّ هَّللا َ َغفُو ٌر َرحِي ٌم‬

Artinya: “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.

Sedangkan pesimisme yang berlebihan dapat mengakibatkan orang gampang putus


asa. Di antara landasan ayat yang sering digunakan adalah QS: al-A’raf: 99:

َ ‫أَ َفأ َ ِم ُنوا َم ْك َر هَّللا ِ َفاَل َيأْ َمنُ َم ْك َر هَّللا ِ إِاَّل ْال َق ْو ُم ْال َخاسِ ر‬
‫ُون‬

Artinya: “Apakah mereka tidak percaya ancaman Allah. Maka tidak ada yang dapat
merasa aman dari ancaman Allah, kecuali orang-orang yang merugi.”

Di antara contoh orang yang pesimis adalah pembunuh Sayyidina Hamzah dengan
memutilasinya. Pada saat masuk Islam, ia merasa pesimis akan kemungkinan
mendapatkan ampunan Tuhan dari perbuatan yang sudah dilakukannya tersebut.
Kemudian turun QS: al-Zumar: 53.

‫وب َجمِي ًعا إِ َّن ُه ه َُو ْال َغفُو ُر الرَّ حِي ُم‬
َ ‫الذ ُن‬ ُ ‫ِين أَسْ َرفُوا َعلَى أَ ْنفُسِ ِه ْم ال َت ْق َن‬
ُّ ‫طوا مِنْ َرحْ َم ِة هَّللا ِ إِنَّ هَّللا َ َي ْغفِ ُر‬ َ ‫ِي الَّذ‬
َ ‫قُ ْل يَاعِ َباد‬.

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), wahai hambaku, orang-orang yang sudah


berlebihan atas diri mereka sendiri, janganlah kalian putus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengampuni seluruh dosa-dosa. Sesungguhnya Allah
adalah Dzat yang Maha Pengampun dan Penyayang.”

Wasathiyah dalam bidang syariat (khususnya ekonomi) diindikasikan dalam QS: al-
Furqan: 67, yakni tidak terlalu berlebihan dan tidak terlalu pelit.
‫ك َق َوامًا‬ َ ‫ِين إِ َذا أَ ْن َفقُوا لَ ْم يُسْ ِرفُوا َولَ ْم َي ْق ُترُوا َو َك‬
َ ِ‫ان َبي َْن َذل‬ َ ‫َوالَّذ‬

Artinya: “dan orang-orang ketika menafkahkan, mereka tidak berlebihan dan tidak pelit
dan di antara keduanya adalah ketegakkan.”

Wasathiyah dalam bidang manhaj berarti menggunakan nash al-Qur’an dan hadis yang
memiliki hubungan dengan tujuan-tujuan syariat (maqashid al-syari’ah). Nash-nash dan
tujuan-tujuan syariatnya memiliki hubungan simbiosis mutualisme, yakni nash-nash
yang dapat dijelaskan melalui tujuan-tujuan syariat, sedangkan tujuan-tujuan syariat
lahir dari nash-nash Islam.

Tjuan-tujuan syariat merupakan hasil penelitian ulama zaman dahulu, sedangkan yang
menjadi objeknya adalah aturan-aturan yang termaktub dalam nash-nash al-Qur’an dan
hadis, berikut hikmah-hikmah dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan utama
syariat adalah kemaslahatan dunia dan akhirat dengan mengindahkan kaidah “menarik
kemaslahatan dan menolak kerusakan.”

Maksudnya adalah apabila seseorang hendak menafsirkan nash-nash, maka harus


memerhatikan tujuan-tujuan syariatnya. Tentu aturan yang lahir akan berbentuk tekstual
dan kontekstual. Secara kaidah, apabila dihadapkan pada mashlahah dan mafsadah,
maka yang didahulukan adalah yang mashlahah.

Tapi apabila dihadapkan pada mashlahah ghairu mahdlah (kemaslahatan tidak murni)
dan mafsadah ghairu mahdlah (kerusakan tidak murni), maka pilihannya adalah yang
terdapat mashlahah yang lebih besar. Tujuan-tujuan syariat melahirkan dalil-dalil primer
(‫ )األَ ِدلَّ ُة ال َق ْط ِعيَّة‬dan sekunder (‫)األَ ِدلَّ ُة ال َفرْ عِ يَّة‬.

Tujuan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan, sebenarnya sama seperti tujuan


negara untuk mewujudkan kemaslahatannya. Setiap negara yang sudah mampu
mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat, maka sudah bisa disebut sebagai negara
ideal dan negara khilāfah.

Afifuddin menyetujui negara dalam bingkai khilafah yang tidak seperti konsep yang
diusung HTI. Khilafah yang disetujui adalah menggunakan konsepnya al-Mawardi,
dimana ia mengatakan;

‫ان ال َّناسُ فوضى مهملين وهمجا ً مضيّعين‬


َ ‫ َولَ ْوالَ الوُ اَل ةُ لَ َك‬، ‫اس ِة ال ُّد ْن َيا‬ َ ‫اإل َما َم ُة َم ْوض ُْوع ًُة لِ ِخاَل َف ِة ال ُّنب َُّو ِة فيِ ح َِر‬.
ِ ‫اس ِة ال ِّدي‬
َ ‫ْن َوسِ َي‬ ِ

Artinya: “kepemimpinan/khilafah adalah melanjutkan tugas kenabian, yakni: menjaga


agama dan politik dunia….”.

Setiap negara yang kondusif bagi kaum Muslimin untuk melaksanakan ajaran
agamanya serta dijalankan dalam pemerintahan dengan menjamin kesejahteraan dan
kemakmuran, maka itu sudah cukup menjadi negara khilafah.
Oleh karena itu, NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negaranya, bisa saja menjadi
wadahnya khilafah. Posisi sebagai wadah, NKRI tidak ada persoalan, tapi persoalan
yang terjadi saat ini lebih berada pada isinya yang belum baik. Cita-cita negara yang
menjamin kenegaraan yang adil dan sejahtera, maka Pancasila sudah cocok untuk
mewujudkan Islam itu sendiri.

Terdapat beberapa hal yang sering dipertanyakan terkait istilah Islam Wasathiyah ini.
Adakalanya mengkritisi pada padanan derivasinya, dan ada pula yang mengkritisi
substansi penggunaannya.

Terkait frasa, terdapat istilah yang identik dengan Islam Wasathiyah, yaitu Wasathiyah
al-Islam yang mencerminkan sebagai ajaran yang seimbang.

Terkait substansi penggunaannya, sepintas akan menjadi suatu persoalan terkait


ungkapan yang termaktub di dalam nash al-Qur’an yang sejatinya adalah Ummatan
Wasathan sebagaimana diindikasikan dalam QS: al-Baqarah: 143.

Sedangkan yang justru dijadikan misi perjuangan umat Islam yang moderat adalah
istilah Islam Wasathiyah?

Terkait hal ini, Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah MUI menyatakan bahwa untuk
membentuk umat yang wasathan tentu diperlukan adanya ajaran, sehingga membahas
ajaran Islam Wasathiyah dalam rangka merealisasikan hal tersebut, tentu menjadi
suatu keniscayaan dan keharusan.

Selain mempersoalkan perihal tersebut, penggunaan istilah Islam Wasathiyah dalam


prosesnya juga tidak lepas dari suatu kritik yang menyatakan bahwa penggunaan yang
benar adalah Islam Wasathy, dimana kata “Islam” disifati dengan kata Wasathy yang
dilengkapi dengan ya’ Nisbah.

Cholil Nafis menyatakan bahwa, penggunaan istilah tersebut terjadi pembuangan kata
َ ‫لي َط ِر ْي َق ِة‬
muannats yang asal mulanya (taqdir) yaitu ‫الو َسطِ َّي ِة‬ َ ‫اإلسْ الَ ُم َع‬
ِ dimana artinya yaitu
Islam yang mengikuti jalan wasathiyah.

Di dalam al-Qur’an, kata ummat (‫ )أُمَّة‬terulang sebanyak 51 kali dan 11 kali dengan
bentuk (‫)أ ُ َمم‬. Tetapi hanya satu frasa yang disandarkan pada kata “wasathan”, yaitu
terdapat di dalam QS: al-Baqarah; 143.

QS: al-Baqarah: 143

‫ون الرَّ سُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهي ًدا‬


َ ‫اس َو َي ُك‬ ُ ‫ك َج َع ْل َنا ُك ْم أُم ًَّة َو َس ًطا لِ َت ُكو ُنوا‬
ِ ‫ش َهدَا َء َعلَى ال َّن‬ َ ِ‫َو َك َذل‬

Artinya: “Dan yang demikian ini Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai
umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian.”
Apabila dicermati dengan teliti, kata wasathan ini terdapat di tengah-tengah ayat al-
Baqarah ayat ke 143 dan ayat tersebut juga terletak di tengah-tengah Surat al-Baqarah
yang seluruh ayatnya berjumlah 286 ayat. Itu artinya, ditinjau dari segi penempatannya
sudah mengindikasikan makna tengah-tengah.
 ARTIKEL KEDUA
 Salah satu murid senior Snouck Hurgronje, G.W.J. Drewes dalam sebuah artikel
menyatakan, bahwa Islam menjadi agama mayoritas bagi kurang lebih 60 juta
penduduknya—pada waktu itu—dengan daya tampung luar biasa dan kemampuan yang
mengagumkan dalam hal menyesuaikan ide-ide yang baru diperoleh dengan pola lama
dasar pemikiran mereka, tetapi tidak pernah memperlihatkan ledakan-ledakan kreatif
sedikitpun. Dalam soal agama, orang-orang Indonesia selalu menjadi pengikut yang baik;
mereka hampir tidak pernah memegang pimpinan, baik di negerinya sendiri atau dalam
kancah dunia Islam yang lebih luas. Pernyataan ini memberikan kesimpulan, bahwa
masyarakat Indonesia sangat akomodatif terhadap ide-ide apa pun yang berasal dari luar,
bahkan dalam banyak hal, akulturasi dan asimilasi budaya kerap terjadi dengan tanpa
meninggalkan akar tradisi lokalnya sama sekali, tetapi memperlihatkan bentuk resepsi
budaya yang diserap dari beragam nilai sehingga membentuk kebudayaan “indigenous”,
di mana Islam sebagai agama yang dibawa dari luar penduduk asli Indonesia, mampu
berasimilasi dengan beragam tradisi lokal.
 Islam di Indonesia terbentuk dalam rangkaian sejarah panjang proses Islamisasi yang
telah dimulai sejak abad ke-13, juga melalui kegiatan perdagangan dan peran guru sufi
yang telah “terasimilasi” sebelumnya melalui persinggahan mereka di wilayah-wilayah
yang dilewatinya. Perjalanan para pedagang Arab, Gujarat, dan Cina jelas melewati
berbagai wilayah sebelum akhirnya sampai ke Indonesia, di mana ide-ide lokal telah juga
meresap bahkan membentuk watak Islam yang kemudian diperkenalkan kepada
penduduk Indonesia. Pembentukan pertama masyarakat Muslim Indonesia, jelas melalui
kontak perdagangan, sekalipun bahwa para sufi pengembara beperan besar dalam
mengkorvensi penduduk lokal ke dalam Islam. Ide-ide keagamaan yang dibawa para guru
sufi sebagai penyebar Islam pertama, jelas moderat, di mana doktrin-doktrin Islam yang
diperkenalkan kepada penduduk mudah diterima dan hampir tak terjadi konflik apa pun
dengan nilai, tradisi, atau kepercayaan masyarakat yang telah ada sebelumnya.
 Hampir dipastikan, para sufi pengembara merupakan pengikut mazhab Syafi’i yang
moderat dalam pemikiran keagamaan: Penganut Asy’ariyah-Maturidiyah yang secara
teologis, mensintesakan dua kecenderungan yang ekstrem di antara kebebasan
rasionalitas dan juga kepasrahan buta terhadap takdir. Dalam ide-ide tasawuf, para sufi
pengembara yang melakukan Islamisasi di Indonesia, kemungkinan mengambil ide
sufisme-intelektual al-Ghazali yang juga sangat moderat: kemampuannya dalam
mendamaikan kecenderungan fikih-sentris yang terlampau ketat dengan etika dan filsafat.
Al-Ghazali memang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
aktivisme Islam dengan kemampuannya memoderasi berbagai kutub ekstrem dalam
pemikiran. Perkembangan pemikiran keislaman pasca Al-Ghazali juga menunjukkan
realitas moderatisme dan inilah sesungguhnya yang telah ada dalam ide-ide para sufi
pengembara yang kemudian mengislamisasi penduduk Nusantara.
 Indonesia pra-Islam, banyak disebut dalam berbagai penelitian etnografi dengan
menyinggung tradisi “animis” di Asia Tenggara yang memperlihatkan dengan sangat
jelas konsistensi tertentu akan keyakinan keagamaan yang dianut. Segi umum yang
paling mencolok dari dari sistem kepercayaan ini adalah keterlibatan yang terus menerus
orang yang telah meninggal dunia dalam urusan-urusan mereka yang masih hidup.
Seakan terjadi kesesuaian dimana praktik keagamaan dalam tradisi masyarakat animis di
Indonesia yang sarat dengan berbagai upacara pemujaan untuk orang yang sudah
meninggal dengan para ideologi para sufi pengembara yang menawarkan Islam dalam
bentuk mistik yang kurang lebih memiliki seperangkat ide yang sama dengan realitas
kultur lokal. Unsur-unsur sufisme memang banyak ditemukan diseluruh dunia Muslim,
tetapi akan tampak sangat jelas fenomena ini ketika melihat Islam di India dan Asia
Tenggara.
 Keberadaan Islam Indonesia hampir dipandang oleh seluruh dunia mewakili satu bentuk
moderatisme Islam. Tidak saja dari sisi sejarah Islamisasinya yang menempatkan para
guru sufi—atau dikenal dengan “wali”—yang kental nuansa mistisisme tetapi hampir
tidak mempertentangkan aspek-aspek budaya lokal. Realitas masyarakat Indonesia yang
religius, telah memberikan kesan kuat bahwa Islam benar-benar mampu menyerap ke
dalam batin penduduknya karena ide dan ajarannya yang mudah dan akomodatif.
 Dalam soal agama, orang-orang Indonesia selalu menjadi pengikut yang baik; mereka
hampir tidak pernah memegang pimpinan, baik di negerinya sendiri atau dalam kancah
dunia Islam yang lebih luas.
 Kita bahkan hampir-hampir tidak percaya, bahwa sesungguhnya Indonesia benar-benar
merupakan negeri Muslim (darul Islam), sekalipun kita tidak pernah disuguhkan suatu
pemandangan yang khas Islam, seperti di Timur Tengah, dimana simbol-simbol
keagamaan tampak semarak sebagaimana kita saksikan juga di banyak negara Muslim.
Sampai pada tahap tertentu, orientalis kawakan, Snouck Hurgronje sampai pada
kesimpulan bahwa Islam Indonesia lebih banyak dibentuk oleh aktivitas berpikir, bukan
bertindak. Hal ini jelas didasarkan pada kenyataan bahwa para wali penyebar Islam
merupakan sufi-intelektual yang telah mengalami serangkaian pengalaman, memahami
Islam secara lebih dalam serta menyerap ide-ide lokal, sehingga memberikan dampak
pada watak dan corak Islam di Indonesia.
 Islam “Wasathiyah”, begitu barangkali istilah yang tepat untuk menggambarkan corak
Islam Indonesia. Konsep yang terambil dari asal kata “w-sh-th” ini memang disebut juga
dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa realitas Islam adalah “ummatan wasatha”
(umat yang berkeadilan/moderatisme). Semangat “adil” dan “moderat” tentu saja inheren
dalam watak Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”. Pembentukan watak Islam moderat atau
“wasathiyah” di Indonesia terbukti masih terpelihara sampai saat ini, terbukti bahwa dua
ormas besar Islam sampai saat ini tetap bertahan di Indonesia: NU dan Muhammadiyah.
Sekalipun muncul beberapa fenomena sosial yang melakukan penolakan terhadap tradisi
yang dianggap tidak sesuai dengan Islam, semata-mata bukanlah keinginan untuk
menolak keseluruhan tradisi lokal yang ada, tetapi lebih didasari oleh keinginan untuk
keluar dari belenggu tradisi yang sejauh ini mengungkung mereka. Hal ini dapat
dibuktikan oleh adanya semangat penyatuan antara adat dan syariat, sebagaimana dialami
dalam tradisi lokal masyarakat Muslim di Minangkabau.
 Islam wasathiyah yang hidup dalam aktivisme dan intelektualisme masyarakat Muslim di
Indonesia, bukannya tanpa masalah, tetapi terkadang memperlihatkan sikapnya yang
terlampau lemah, bahkan dalam banyak hal justru terlampau permissif terhadap berbagai
tradisi pra-Islam yang dinilai sangat kontraproduktif dengan penyebaran ide-ide
modernisme Islam. Dalam konteks tertentu, konsep Islam “wasathiyah” akan kehilangan
semangat dinamisitas dan progresivitasnya, sebab respons mereka terhadap globalisasi
jelas akan terhambat oleh kesibukan mereka melakukan “kompromi intelektual” dengan
ide-ide atau praktik kelembagaan pra-Islam di masa lalu. Kenyataan ini akan membuat
banyak di antara kelompok modernis yang giat melakukan gerakan-gerakan bersifat
puritanistik: romantisme-kultural dengan mengembalikan realitas Islam kepada masa
awal keemasannya ketika zaman Nabi Muhammad. Gerakan-gerakan ini sangat dinamis,
reaktif bahkan konfrontatif dalam banyak beberapa kasus, dimana suasana ekstrimisme
sangat kuat memaksa tradisi-tradisi tertentu yang telah “diislamisasi” agar dihilangkan
atau bila perlu dihancurkan.
 Bagi saya, Islam wasathiyah sekalipun tetap menjadi pilihan pijakan teologis yang
terbaik, terutama ketika harus berada pada posisi di antara dua kutub teologi yang
ekstrem. Islam, bagaimanapun merupakan agama dengan seperangkat ajaran dan doktrin
yang berdimensi Ilahiyah, namun sekaligus juga peradaban yang dibangun oleh ide,
pemikiran, atau aktivisme yang mengalami serangkaian sejarah panjang terkait dengan
akulturasi, asimilasi, dan adaptasi dengan beragam tradisi dan kebudayaan lokal. Proses
ini dalam banyak sejarah, selalu menemukan puncaknya pada di mana hampir sama
sekali tidak ditemukan pemberangusan ide-ide atau lembaga-lembaga pra Islam ketika
Islam mulai diterima dan berkembang dalam suatu wilayah, termasuk di Indonesia. Yang
ada justru, ide-ide atau lembaga-lembaga itu tetap ada tanpa tercerabut dari akarnya sama
sekali, tetapi Islam tetap melekat menyemai batin masyarakat Indonesia sejauh ini. Ide
moderatisme yang menempatkan suatu realitas tampak “tengah-tengah” seharusnya dapat
lebih fleksibel, bukan selalu berada “di tengah”, tetapi bagaimana moderatisme selalu
menyesuaikan dengan ide-ide yang tampak ekstrem, menjaga jarak tetapi pada saat
bersamaan memberikan pengaruhnya, bukan malah menjauhi, menolak, atau bahkan
meninggalkannya sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai