RINGKASAN :
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena
seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat
setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat
dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling
pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai
pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu
berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima
imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya
untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri.
Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak
pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau
itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi,
sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia
merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk
dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak
memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah.
Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak
berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia
senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah
semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini
sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia
itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu
memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan
hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan
cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
• Amanat
Amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis
adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.”
Hal ini dapat dilihat dari beberapa amanat berikut :
(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita
karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain
(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini
bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan
Tuhan itu.
(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan
mencelakakan diri pemakainya.
(d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda
Tuhan
(e) Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam
cerpen ini
• Latar
Latar Tempat
Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti
kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar
tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat
Latar Sosial
Dari cerpen ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau
cara hidupnya.
• Alur (plot)
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang
telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa
bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir
bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
• Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji
Soleh.
(a) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
(c) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan
mempercayai orang lain.
(d) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
• Konflik
Konflik yang ada adalah konflik batin antara si tokoh dengan Tuhannya dan juga
dengan Keluarganya.
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan
sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu
pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji
Soleh di depan tokoh aku.
• Gaya
UNSUR EKSTRINSIK :
• Judul : Robohnya Surau Kami
Ali Akbar Navis atau yang lebih dikenal publik dengan sebutan A.A. Navis
lahir di Padang Panjang pada tanggal 17 November 1924.
Navis belajar di INS Kayutanam dari tahun 1932 sampai 1943. Sejak tahun
1968 kembali mengabdi untuk lembaga pendidikan yang didirikan oleh
Muhammad Syafei itu. Lebih dari 20 buku sudah dihasilkan olehnya. Mulai
dari kumpulan cerpen, puisi, novel, kumpulan esai, hingga penulisan
biografi dan otobiografi. Pada tahun 1956, ia menulis kumpulan cerpen
Robohnya Surau Kami yang merupakan karya monumental dalam dunia
sastra Indonesia. Tiga bukunya yang diterbitkan Gramedia adalah
kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami, Bertanya Kerbau pada Pedati dan
Novel Saraswati.
• Ukuran : 14 x 20 cm
• Jilid :
• Edisi Ke :
• Dimensi (L x P) : 14 X 20
• Nilai Sosial :
Kita harus sailing membantu jika orang lain dalam kesusahan seperti dala
cerpen tersebut karena pada hakekatnya kita adalah makhluk sosial.
• Nilai Moral :
Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek atau
menghina orang lain tetapi harus saling menghormati.
• Nilai Agama :
Kita harus selau malakukan kehendak Allah dan jangan melakukan hal
yang dilarang oleh-Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.
• Nilai Pendidkan :
Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu
berusaha dengan sekuat tenaga dan selalu berdoa.
• Nilai Adat :
Kita harus menjalankan segala perintah Tuhan dan memegang teguh nilai
nilai dalam masyarakat.
1) Sinopsis
Dari novel tersebut menceritakan guru Isa yang ketakutan pada masa revolusi.
Ketika Guru Isa sedang berjalan kaki menuju sekolahnya di Tanah Abang, dia
mendengar tembakan pertama di gang jaksa dan itu memecahkan kesunyian pada
guru Isa. Dalam pikirannya rasa was-was teringat keselamatan istri dan anaknya di
rumah. Dihari-hari pertama revolusi itu, guru Isa belum menganalisis benar-benar
kedudukannya, kewajibannya dan pekerjaannya dalam revolusi. Hari itu bertemu
muka dengan segi-segi keras dan tajam dari revolusi, penumpahan darah, darah
manusia. Guru Isa akan merasa terluka hatinya jika dikatakan padanya, bahwa yang
dirasakan sekarang adalah rasa takut. Tetapi pada dirinya sendiri dia tidak hendak
mengakui bahwa dia takut, rasa takutnya itu ia melakukan perbuatan yang berani dan
bersifat kepahlawanan.
2) Kutipan
• Hujan gerimis senja lekas menggelap. Terang yang ditimbulkan amat cepat diganti
oleh gelap yang lebih pekat patruli yang membelok ke kiri kanan. Terus dan
terus di jalan-jalan sunyi, kosong dan sepi. Jalan dalam malam, hujan gerimis
gelap, jalan berliku tak habis-habis, jalan tak ada ujung.
• Saya pergi telepon Kantor Berita Antara, “Kata anak muda yang berpistol itu
kepada siapapun juga dia berbicara kepda dirinya sendiri.
• “Wah, gua takut setengah mati. Bukan takut sama si ubel-ubel tapi sama pemuda.
Setelah si ubel-ubel pergi, mereka datang dan ambil kembali. Baru gua lengah”.
• “Persetan !” Sumpahnya. “Kenapa mesti saban pagi mesti ada tembakan ? Dunia
ini sudah mau kiamat. Orang semua sudah gila”.
• “Ha, rupanya pistol itu masih belum juga engkau buang ? Bukankah sudah ayah
suruh seminggu yang lalu ? Anak kepala batu ! Engkau mau mati ?”
• “Sampai bisa niat mencuri masuk kedalam kepalaku”. Pikirnya, malu pada dirinya
sendiri.
• Guru Isa menukar lagu dengan sebuah Nocturne chopin, E-flat mayor, lagu yang
penuh ketenangan dan abadi dan keindahan....
• “Sudah lama aku tidak mendengar engkau main biola demikian hebat”, kata Saleh
padanya ketika Saleh masuk kembali.
• “Akh, jiwa dalam musik ini – jiwa yang dimasukkan chopin kedalamnya – api
yang membangunkan dalam gesekan biolaku”.
• “gesekan biolamu, meskipun belum lancer dan mahir, mengandung tenaga”. Kata
guru Isa kepada Hazil memuji.
• “Aku takut sebenarnya, Fat”. Katanya, “tidak pernah aku berorganisasi seperti ini”.
• “Terhadap musik demikian apa yang dapat dikatakan ?” balas guru Isa
• Sekarang aku masih bimbang... rasanya belum cukup kuat aku gambarkan
perjuangan manusia semenjak zaman dahulu. Perjuangan memburu
kebahagiaan”.
• “Siapa manusia merdeka yang bisa hidup dalam ikatan gerombolan ?” Manusia
Indonesia sebagai gerombolan dapat dijajah oleh Belanda dari 350 tahun
• “Engkau jenius musik !” Katanya menepuk bahu guru Isa, “Engkau berikan aku
satu pikiran baru, ha” serunya, “Siapa bilang musik Indonesia tidak mengandung
tenaga-tenaga terpendam yang hebat-hebat ?”
• “Dalam perjuangan kemerdekaan ini tidak ada tempat pikiran kacau dan ragu-
ragu” kata Hazil. “Saya tidak pernah ragu, dari mulai saya tak tahu-semenjak
mula- bahwa jalan yang kita tempuh ini adalah tidak ada ujung.
• “pensiun Tuan akan kami bayar, dan nanti kalau ada tempat yang pantas untuk
tuan, maka tuan akan kami panggil, “ Demikianlah kira-kira Belanda itu berkata
padanya.
• “Amat berat terasa bagi guru Isa untuk merenggut matanya dari Fatimah, karena
hingga akhirnya dia masih berharap juga. Dalam hatinya, sebagai biasa juga
pada waktu-waktu seperti ini. Dia amat benci dan sedih melihat sinar mata
Fatimah yang tiada mengandung kasih dan cinta.
• “Apa yang tinggal dari perkawinan kita kalau demikian ?” guru Isa bertanya
malam itu. Jawabnya aku akan menjadi istri yang baik bagimu. Hanya itu ?”
• Menyembunyikan cinta, benci dan seratus ribu yang lain yang dapat
disembunyikan dan dibuat berpura-pura.
• “Dalam revolusi ini”, dia menyusun pikirannya, banyak orang terpaksa melakukan
rolnya yang acapkali tidak dikehendakinya”. Sekarang bertambah jelas baginya,
terutama kedudukannya sendiri, “Engkau lihat, aku seorang guru. Aku tidak
suka kekerasan. Semenjak dahulu aku tidak pernah berkelahi pekerjaan kasar
dan orang biadab.
• “Amarah tiada berguna dalam perkara seperti ini”, Kata Hazil yang salah
menangkap arti guru Isa. “Protes juga tidak berguna. Semuanya itu terjadi di luar
kuasa orang”.
“Merdeka!”
“Merdeka!”
“Merdeka!”
Mereka tertawa
• Ini revolusi seperti banjir dan tidak seorang bisa kuasai lagi perjalanannya.
• Setelah menjual buku tulis kepada warung Tionghoa di pasar Tanah Abang. Guru
Isa bergegas pulang.
• “ Merdeka !” serunya membuka pintu, dan melihatguru Isa yang duduk bersandar
di kursi, pucat dan lesu, dia lekas masuk ke dalam melangkah ke dekat guru Isa.
• Saya akan main musik, “ kata Hazil dan dia pergi kekamar kerja guru Isa.
• Saya akan main musik, “kata hazil dan dia pergi kekamar kerja guru Isa
• “manusia mesti belajar menguasai ketakutannya merasa takut adalah satu perasaan
yang sehat, dan kerja kuli ialah melawan rasa takut.
Unsur Instrinsik
b. Tokoh :
1. Pak Damrah
2. Isa
3. Fatimah
4. Semedi
5. Kamaruddin
6. Hazil
7. Salim
8. Hamid
9. Zubair
10. Hamidy
11. Abdullah
12. Rakhmat
c. Latar : di Jakarta
d. Amanat
e. Alur
f. Sudut pandang
g. Gaya penulisan