Anda di halaman 1dari 3

Puisi-Puisi Sitok Srengenge

Cinta Pertama

Udara yang kuhirup kali pertama


kini entah di mana
kadang aku bayangkan ia kekasih
yang akan bersedih
bila aku tiada
Sebab ia tahu, baginya kubuka
rahasiaku kali pertama
Aku tak peduli berapa laksa tubuh
ia masuki sebelum dan sesudahku
pengalaman pertamaku dengannya selalu kuulang
sampai aku mati dan ia akan sedih seperti yang kubayangkan

-----------------------

Menulis Cinta
Kauminta aku menulis cinta
Aku tak tahu huruf apa yang pertama dan seterusnya
Kubolak-balik seluruh abjad
Kata-kata yang cacat yang kudapat
Jangan lagi minta aku menulis cinta
Huruf-hurufku, kau tahu,
bahkan tak cukup untuk namamu
Sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kusebut
kecuali dengan denyu

-----------------------

Penghujung Musim Penghujan

Di penghujung musim penghujan


basah tanah dan batang pohonan susut perlahan
Daun-daun mengibas rambut pada terik mentari
dari matamu yang sarat sengkarut membersit pelangi
Menetas burung-burung dalam liang luka tubuh
lantas terbang murung sebagai kata-kata dan jatuh
Jatuh ke dalam gurit yang kuguris untukmu
kicau sembilu bergaung abadi di situ

-----------------------
Kereta

1
Sendiri di Stasiun Tugu,
entah siapa yang ia tunggu
Orang-orang datang dan lalu,
ia cuma termangu
Sepasang orang muda berpelukan
(sebelum pisah) seolah memeluk harapan
Ia mendesis,
serasa mengecap dusta yang manis
Kapankah benih kenangan pertama kali tumbuh,
kenapa ingatan begitu rapuh?
Cinta mungkin sempurna,
tapi asmara sering merana
Ia tatap rel menjauh dan lenyap di dalam gelap
: di mana ujung perjalanan, kapan akhir penantian?
Lengking peluit, roda + roda besi berderit,
tepat ketika jauh di hulu hatinya terasa sisa sakit

2
Andai akulah gerbong kosong itu,
akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku
Di antara orang berlalang-lalu,
ada masinis dan para portir
Di antara kenanganku denganmu,
ada yang berpangkal manis berujung getir
Cahaya biru berkelebat dalam gelap,
kunang-kunang di gerumbul malam
Serupa harapanku padamu yang lindap,
tinggal kenang timbul-tenggelam
Dua garis rel itu, seperti kau dan aku,
hanya bersama tapi tak bertemu
Bagai balok-balok bantalan tangan kita bertautan,
terlalu berat menahan beban
Di persimpangan kau akan bertemu garis lain,
begitu pula aku
Kau akan jadi kemarin,
kukenang sebagai pengantar esokku
Mungkin kita hanya penumpang,
duduk berdampingan tapi tak berbincang,
dalam gerbong yang beringsut
ke perhentian berikut
Mungkin kau akan tertidur dan bermimpi tentang bukan aku,
sedang aku terus melantur mencari mata air rindu
Tidak, aku tahu, tak ada kereta menjelang mata air
Mungkin kau petualang yang (semoga tak) menganggapku tempat parkir
Kita berjalan dalam kereta berjalan
Kereta melaju dalam waktu melaju
Kau-aku tak saling tuju
Kau-aku selisipan dalam rindu
Jadilah masinis bagi kereta waktumu,
menembus padang lembah gulita
Tak perlu tangis jika kita sua suatu waktu,
sebab segalanya sudah beda
Aku tak tahu kapan keretaku akan letih,
tapi aku tahu dalam buku harianku kau tak lebih dari sebaris kalimat sedih

Anda mungkin juga menyukai