Pada kabut melukis kelam serupa rumput. Seseorang Dalam perburuan gerimis memberi nama pada pilu. Dengan sekawanan gagak aku hidupkan bangkai labirin Ingatanmu. Di tanah retak mataku, salju hanya derita. Dalam ketinggian udara yang tersungkur Melebihi waktu, seluruh iklim gagal dituliskan Sebagai rindu. Seolah sajak-sajak gelapku Yang mempersekutukan cahaya dengan maut, Tangan kita yang patah mengais-ais biji-biji kemilau Pada embun. Pada guliran-guliran abad yang mencuri Setiap pengetahuan dari kesadaranku, jenazahku Yang ringkih menembaki kabut “Adakah bulan pada rambutmu?” Angin munting bunting tanpa setubuh. Di akhir mimpi, aku mulai kembali segenap sejarah penciptaan dan pilu. Tapi, tidur kita adalah kutuk! Meski seluruh pesona Revolusi telah aku apologikan sebagai tenung. Di bawah maki terowongan, ode jalan-jalan malam Dicurahkan cuaca berguntur. Bersama jam-jam padam, Arwahku mengembara, menuju kota-kota murung Penghabisan.
2004
Perjalanan Luka Buat Nik
Runtuh aku bersama bayangan.
Kristal nafasku yang pudar menciumi telapak tanganmu. Sepanjang cahaya bulan Oktober yang ungu, pikiranku yang hidup tanpa ujud menampungi derita lindu. Taman-taman musim hujan kuyu, mengandaikan pilu. Sepanjang terowongan gerimis yang samun kawah-kawah kesunyianku yang pengap mendidih, menghidupkan guntur. Jenazahku yang tak lagi bernama mengapung-limbung di atas lautan rambutmu. Betapa mungil bibirmu! Duhai lembut kecil hitam tetekmu! Darahku amis-telanjang, kulitmu begitu cokelat, memangil sosok hantu-hantu. Sukmaku murung—menghakimi tidur kupu-kupu. Antara ledakan dan retakan-retakan waktu ruhku kesepian—mengirisi halimun. Aku jatuh cinta padamu, tapi malam yang selembab dubur pelacur membedilkan kabut. Di jalan-jalan yang manyun oleh sedu, doaku rontok tanpa Tuhan, membakari perdu. Serupa perunggu, keterpencilanku menyingkap segenap rahasia bunuh diri dan embun. “Nik, iklim hanya menyisakan belatung, dan 100 pisau taifun menyayati urat nadiku!” Demikianlah, kumulai lagi perjalanan luka. Tatapanmu memporakkan makamku. Barangkali memang telah pudar segala cumbu. Bangkaiku yang terancam dosa melarikan diri dari surga, sungguh mati merindukan ladam bau nafasmu.
2004
Kesunyian yang Bulan
Kesunyianku yang bulan mencair bersama bayangan air.
Seolah jembatan, bisikanku menggantung diri di udara, menginsyafi alur angin. Aku nisbi, sayang. Dengan kekosongan yang mengekalkan 100 riwayat penaklukan, Jenazahku yang menangis menjelma rontokan daun— pucat-mengering! Deritaku memekik dari kedalaman bumi Kemabukanku yang tak lazim meneggak habis bau gerimis. Ujud kegilaanku yang murung gentayangan, seteguk impian gerhana memeluk luka 100 serapah petir. Sayang, payudaramu adalah siput ringkih putih mungil. Tatapanku yang kurus telah terusir dari dunia serupa 100 dosa pasasir. “Mengapa kau potong rambutmu, bukankah mayatku yang malang 100 tahun telah dikhianati takdir?” Di akhir taufan, bintang-bintang liar bangkit. Bibirmu adalah kota-kota musim hujan yang raib sepanjang gigil. Seakan lanskap pohonan di ujung rasa sakit—panggil aku penyair! Darahku kini asin, amis, meletupkan kesumat 100 sihir hasis.
2003-2004 Bayang-bayang Memudar
Bayang-bayangku yang memudar
meliukkan angin daratan di tengkukmu. Bagai burung, keterpencilanku menyoraki kabut, diumpati tahun. Serupa tikus, asap gerhana mengepul, tapi arwahku lari telanjang menghijaukan daun. Musim-musim tandus. Fantasiku angus-lebus. Susut sepanjang kerak Lumpur. Melebihi maut, aku sekarat. Bulan 100 karam menyiuli nadiku. Keringatku murung. Di ujung pelangi, darahku kering, bersitetes bagai gem mengingkari guntur. Requim tatapanku menancapkan cakar-cakarnya yang mesum. Aku de ja vu. Malam tahajud, tapi kelam tak juga limbur. Gedung-gedung dibangun dan runtuh. Seluruh kenanganku dan cumbu bersembunyi di balik mungil celana dalammu. Bunga-bunga hanya kutuk, meski panorama 100 kematian telah kuberi warna ngungun. Waktu! Bangkai-bangkai kelelawar berpekikkan sepanjang gorong kerongkonganku. Aku kini hantu. Puasa dengan jidat tertembus peluru. Kelak di daerah perbatasan yang tak dikenal aku memperkosamu. Kaki-kaki patah syahwatku memusarkan mendung. Segera aku mabuk. Orgasme tanpa peju. Memulai lagi segenap kisah pertempuran derita masa lalu.
2003-2004
Musim Bunuh Diri
Musim bunuh diri. Bayang-bayang
daun yang beku memanggil napas para pemadat. Koloni-koloni bulan mati mengedarkan kegelapan. Kesadaranku memburu kemustahilan. Dalam hardikan udara, jiwaku menjelma debu, memanggil sekarat dan keterpencilan. Pikiran-pikiran busuk para leluhur terkubur hidup-hidup di kedalaman gempa. Kusebut kesia-siaan. Zaman ramah-lebur, terperangkap sepanjang gaung dan kesenyapan. Pantulan-pantulan semedi petir menyembunyikan erangan awan. Arca-arca dosa masa lalu memakikan kejahatan. Aku bersedih dengan pelir mencari sanggama. Malaikat-malaikat buta menggali sumur sumur suntuk kerinduan. Wujudku seketika lenyap, sepanjang nyala api menjadi nostalgia, memuntahkan kesumat. Kota-kota hari esok larut dalam hujan. Ruhku membangun candi-candi kematian. Ini ajal masih setia tinggal. Kesunyianku menemukan kemurnian kelam. Lihatlah para pemabuk menari! Pelacur-pelacur memamerkan selangkangannya ke Surga. Tahun-tahun mengerat. Kekosongan menggertakkan taring-taringnya ke cakrawala.