Anda di halaman 1dari 2

Puisi HR Bandaharo

Terkadang di Kala-kala tak Terduga

Terkadang di kala-kala tak terduga


di dada luka lama terbuka:
teringat seorang teman yang mati di penjara
jauh di Utara
di masa revolusi, saudara berhadapan dengan saudara.

Empat puluh tahun yang lalu kami bertemu


sama-sama jejaka sedang naik badan, resah dan gelisah
menghadapai masa pendudukan fasisme
yang tak memberi harapan masa depan, kecuali menyerah kalah

dan itu pantang bagi Bangkit Hakim*, temanku itu


ia dilahirkan dan dibesarkan di pantai Danau Toba
terbiasa bebas ditimang permainan ombak di danau
dan berteriak lantang menjeritkan lagu-lagu batak membelah cakrawala.

Di kota kami dia orang pertama menerima tamparan serdadu jepang


karena menolak menyerahkan sepedanya yang dirampas tiada semena-mena;
dengan pipi bengkak dan bibir pecah
ia tertawa terbahak-bahak menceritakan padaku perkenalannya dengan
“saudara tua”.
Sejak detik itu kami anti-fasis.

Sekarang mereka semua telah pergi.


Bangkit Hakim dan yang lain-lain lagi
seperti Sakti Lubis, kepala pencopet sebelum perang
si Go Sek anak cina yang bicara dengan lidah Medan;
Maulana, Hasyim Sirait, Muchtar, Syahdon
dan banyak yang raib begitu saja, terlupakan
mati di penjara atau di area-area pertempuran
– tapi banyak pula saat ini yang gemetar takut kusebutkan namanya
karena mereka hidup senang sebagai bunglon –
dan aku menyadari mereka adalah manusia biasa
bukan pahlawan, memang pahlawan tak pernah ada.
Pahlawan adalah ciptaan sekelompok orang
yang ingin berlindung di naungan ciptaannya.

Pernahkah anda dengar kisah Umar Bachsan


proklamator dan yang mengamankan perundingan Rengasdengklok
atau pemuda dan Bung Karno-Bung Hatta?
Ia kulihat sakit terkapar di atas tikar robek-robek
diselubungi selimut kumal
ia bicara dengan lidah kelu, tangannya tergapai-gapai
dan akhirnya menghembuskan napas penghabisan
di blok-RS penjara Salemba.

Siapa yang bisa menyangkal ia seorang pahlawan?


Tapi tak ada kelompok yang menabalkannya.
Mereka telah pergi, satu demi satu
meninggalkan aku sendirian menghadapi lampu kehabisan minyak dan sumbu
dipermainkan oleh lenggang-lenggok bayang-bayang nyala yang hampir padam
Pernahkan mereka sebenarnya ada
teman-teman yang terdiri dari darah dan daging, bukan godaan angan-angan?
apakah mereka bukan figur-figur khayalan
kuciptakan di masa-masa aku kesunyian
dan kulawan mereka bercakap-cakap, menumpahkan isi hatiku
Yang ingin kusampaikan tak tau entah kepada siapa, lalu bicara
dengan bayangan?

Semua seperti mimpi, dalam mimpi aku teringat dan luka kambuh menyayat
antara terasa dengan tidak. Denyut nyeri dalam mimpi
terbawa sampai terjaga, tapi tak tahu di bagian mana.
Kesunyian menghadapi keredupan senja
dari kehidupan, bertambah sunyi… bertambah sunyi.
Dalam pertarungan selalu ada pemenang
yang merasa berjasa, hiruk pikuk membagi pangkat.

Esa hilang – dua terbilang


Hang Djebat hilang, sekalipun ia membela kebenaran.

Bangkit Hakim hilang bersama dia.


1983
* Bangkit Hakim = B. H. Hoetajoeloe
[Dari kumpulan: Terkenang]

Anda mungkin juga menyukai