0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
8 tayangan4 halaman
Mata betina, lekuk teluk, rumpun leli meriapi tepi,
genangan rasa rawan, beriak karena angin ringan
Sauh nelayanku bergetar, alunmu menggeliatkan sunyi,
gelembung air bersembulan dari dalam cangkang kerang
Sunyi dalam jiwaku dentang lonceng puncak menara batu,
gaung kelepak keluang dan malam mengendus getah eukaliptus
Kudengar denyar, samar, saat di tebing ombak pun rebah,
datang jauh dari wilayah dalam diriku yang entah,
mungkin gairah atau pembuluh darah yang pecah
Aku terdampar bagai sepotong
Mata betina, lekuk teluk, rumpun leli meriapi tepi,
genangan rasa rawan, beriak karena angin ringan
Sauh nelayanku bergetar, alunmu menggeliatkan sunyi,
gelembung air bersembulan dari dalam cangkang kerang
Sunyi dalam jiwaku dentang lonceng puncak menara batu,
gaung kelepak keluang dan malam mengendus getah eukaliptus
Kudengar denyar, samar, saat di tebing ombak pun rebah,
datang jauh dari wilayah dalam diriku yang entah,
mungkin gairah atau pembuluh darah yang pecah
Aku terdampar bagai sepotong
Mata betina, lekuk teluk, rumpun leli meriapi tepi,
genangan rasa rawan, beriak karena angin ringan
Sauh nelayanku bergetar, alunmu menggeliatkan sunyi,
gelembung air bersembulan dari dalam cangkang kerang
Sunyi dalam jiwaku dentang lonceng puncak menara batu,
gaung kelepak keluang dan malam mengendus getah eukaliptus
Kudengar denyar, samar, saat di tebing ombak pun rebah,
datang jauh dari wilayah dalam diriku yang entah,
mungkin gairah atau pembuluh darah yang pecah
Aku terdampar bagai sepotong
Mata betina, lekuk teluk, rumpun leli meriapi tepi,
genangan rasa rawan, beriak karena angin ringan Sauh nelayanku bergetar, alunmu menggeliatkan sunyi, gelembung air bersembulan dari dalam cangkang kerang Sunyi dalam jiwaku dentang lonceng puncak menara batu, gaung kelepak keluang dan malam mengendus getah eukaliptus Kudengar denyar, samar, saat di tebing ombak pun rebah, datang jauh dari wilayah dalam diriku yang entah, mungkin gairah atau pembuluh darah yang pecah Aku terdampar bagai sepotong dahan damar Rumput laut, lumut, lumpur, serpih kain layar Amis-asin kelenjar, aku hasratkan segar air tawar
Oh tubuh yang ngelindur, kecipak riak dan dengus angin! Mata betinaku, aku perlahan karam ke kelung palungmu di atas tebing-tebing batu kulupakan jalan keras berliku Arusmu mengalir tenang, aku terenggut hanyut di dunia ambang kurengkuh maut, demi hidup berdenyut
2002
Malam Makin Rembang
Malam makin rembang.
Jalan-jalan menerbangkan kabut., mencambukkan pilu. Bergesakan bagai waktu, aku telanjang, tapi iklim setenang maut. Demi sayatan, baying-bayangku berlubang. Kejahatanku beranak batu-batu. Bunyi-bunyi hujan samun, bersipecah di tengkukku. Burung-burung marabu terpikat tenung. Kembali murung, aku terhina, hidup di sepanjang napas Para pelacur. Sebuah kematian, dentingan-dentingan musik menjadikanku malaikat-malaikat dengan kepala terpenggal embun. Di musim-musim hujan jemariku ceking, membangun arca seratus tahun. Arwahku mengembalikan seluruh kekosongan dan waktu, tapi lewat seongok debu aku habisi seluruh pengetahuan dan rindu. Pagar-pagar purba trotoar berkilauan, memekikkan segenap pendiaman dan lindu. Aku mabuk, tercekik, lebih terasing daripada liur. Mayat-mayat air di tepi jalan meloloskan gempa abad-abad seratus kupu-kupu. Lebih samun daripada cambukan, ruhku menyabitkan celurit, menghilangkan batas musim dan pilu. Meski seluruh selubung cahaya larut, demikianlah aku awali seluruh kegelapan dan kutuk. Hantu-hantu pepohonan mendentumkan lolongan-lolongan tikus. Biografi seratus pertempuran membangkitkan bangkai-bangkai pemabuk. Aku berada dalam jeda. Aku belatung. Raib dalam kenangan. Kekal sepanjang letusan-letusan peluru.
2003
Malam Menyergapmu Ghassan Zaqtan
Malam menyergapmu dengan serbuk jelaga beracun
Peziarah yang lelah, bersandar batang sikamor seratus tahun Baling-baling musim gugur berkesiur menawarkan tidur
Merinding, menahan dingin
dan pandang sepi orang-orang asing Jiwa yang gelisah, pewaris abadi hari-hari remah Ramallah
Sepasang tupai melompat ke dalam sungai yang beku
Tangan-tangan malam yang kekar berjuluran dari masa lalu menggali lubang dan mengubur matahari di tubuhmu Segala yang telah kautandai dengan kata-kata seketika kembali ke dalam fana
O, petualang yang mengembarai puing-puing surga
kembali ke ruang hampa, buka jendela, pandangi kapitol tua Kelindan angin dan cahaya dan bayang-bayang berselingan menayang terang dan temaram seakan harap, hadir dan lenyap, berselisih dengan sedih
2001 Gerimis Gelap
Gerimis gelap mengutuki tidurku.
Kuda-kuda arwah mengirimkan seratus isyarat sunyi ke dalam jantungku. Aku pohon-pohon tua yang dikhianati salju. Dalam gairahku, serdadu serdadu hantu kekal. Kesendirianku karam bersama lelatu. Abad-abad kekosongan dipupuk tahi matahari dan perdu. Pelayaran-pelayaran mendung menggaungkan bisu. Bangkai-bangkai geludhuk mengobarkan keniscayaan perahu. Ada jejak burung-burung, tapi sajak masokisme tahun-tahun membangun menara-menara dari debu. Aku ngilu dengan pelir menghadap halimun. Berdiam bersamamu, kecemburuanku berayun-ayun di punggung lumut. Suara-suara air menahan guntur. Taring-taring kucing liar berkilat bagai wahyu. Kota-kota ketiadaan yang ditinggalkan laut terbentang antara seratus rasa sakit dan lampu-lampu. Napas-napas tanah perkabunganmu memenuhi jiwaku. Melalui kesumpekan, payudara payudara iklim yang kerontang menggeseki mulutku. Bisikkanlah bagaimana rambutmu panjang, sedang nyanyianku makin janda di pipimu. Kemarau masih mesum, tapi arwahku berlolongan bagai lubang anusmu! Pelacur-pelacur adalah laba-laba beracun yang berbiak di sepanjang jaring-jaring cintaku. Daun-daun kuning di tanah, menguliri pasir dengan embun. Karena malam adalah omong kosong yang senantiasa menghidupi rupa kematianku. Gempa yang diriwayatkan perusuh memutar pinggul pemabuk, hidup di gurun-gurun muram tubuhmu. Aku mencintaimu seperti pistol yang meletus di keningku! Dari jendela kamarku, kulihat jenazah kunang-kunang meraung-raung. Arwahku sungsang terkubur hidup-hidup di rimba-rimba samun ketiakmu. Bahkan kelak apabila lidahku kembali menemukan puting susumu. Sementara di utara, seluruh permukaan langit dikerumuni larva bayang-bayang dan hantu.
2003 Kembali Ke Neraka
Kembali ke neraka, aku tampar pipimu.
Langit berdarah. Bintang-bintang dari mata yang tertidur lelap membiakkan gema. Aku ingat dirimu, kota-kota yang memanggil hantu-hantu. Tak ada suara. Narasi kapal-kapal 12 layar para perompak karam di tengah laut. Seluruh taring kucing kuning-runcing, mencabiki kabut. Seperti jalan-jalan layang, aku segera beriman pada kekosongan. Kematian-kematianku bersitetes bagai hujan. Dengan bedil terkokang, aku cemburu, dan seluruh gerimis menghalau teluh. Bisikkanlah betapa aku mencintaimu, meski bulan ajaib membiru tanpa ujud. Penampakanku berpantulan di dinding-dinding lembap sumur. Jiwa jiwa purba pohon kubentuk dari sekerat cahaya runtuh. Siulan-siulan mendung miring mengenangi belatungku. Bayang-bayang berlenyapan, tapi aku sakratul bersama lindu. Pahamilah bagaimana tubuhku kurus, sementara kejahatan memutihkan penglihatanku. Kelak deritaku bergulungan di udara menjelma taifun. Aku kini serdadu dengan jenazah dihidupi pilu. Terselip di sela selangkang kegelapan dan pelacur. Aku angkat sabit. Kuingat wajahmu. Letusan-letusan peluru.