Anda di halaman 1dari 4

PUISI-PUISI SITOK SRENGENGE

Mata Betina
Nin Michaelides

Mata betina, lekuk teluk, rumpun leli meriapi tepi,


genangan rasa rawan, beriak karena angin ringan
Sauh nelayanku bergetar, alunmu menggeliatkan sunyi,
gelembung air bersembulan dari dalam cangkang kerang
Sunyi dalam jiwaku dentang lonceng puncak menara batu,
gaung kelepak keluang dan malam mengendus getah eukaliptus
Kudengar denyar, samar, saat di tebing ombak pun rebah,
datang jauh dari wilayah dalam diriku yang entah,
mungkin gairah atau pembuluh darah yang pecah
Aku terdampar bagai sepotong dahan damar
Rumput laut, lumut, lumpur, serpih kain layar
Amis-asin kelenjar, aku hasratkan segar air tawar

Oh gelambir lunak ubur-ubur, kelopak-kelopak kelamin!


Oh tubuh yang ngelindur, kecipak riak dan dengus angin!
Mata betinaku, aku perlahan karam ke kelung palungmu
di atas tebing-tebing batu kulupakan jalan keras berliku
Arusmu mengalir tenang, aku terenggut hanyut
di dunia ambang kurengkuh maut, demi hidup berdenyut

2002

Malam Makin Rembang

Malam makin rembang.


Jalan-jalan menerbangkan kabut.,
mencambukkan pilu. Bergesakan bagai waktu,
aku telanjang, tapi iklim setenang maut.
Demi sayatan, baying-bayangku berlubang.
Kejahatanku beranak batu-batu.
Bunyi-bunyi hujan samun, bersipecah
di tengkukku.
Burung-burung marabu terpikat tenung.
Kembali murung, aku terhina, hidup di sepanjang napas
Para pelacur. Sebuah kematian,
dentingan-dentingan musik menjadikanku
malaikat-malaikat dengan kepala terpenggal embun.
Di musim-musim hujan jemariku ceking, membangun
arca seratus tahun. Arwahku
mengembalikan seluruh kekosongan
dan waktu, tapi lewat
seongok debu aku habisi
seluruh pengetahuan dan rindu.
Pagar-pagar purba trotoar berkilauan,
memekikkan segenap pendiaman dan lindu.
Aku mabuk, tercekik, lebih terasing
daripada liur. Mayat-mayat air di tepi jalan
meloloskan gempa abad-abad seratus kupu-kupu.
Lebih samun daripada cambukan,
ruhku menyabitkan celurit, menghilangkan
batas musim dan pilu. Meski seluruh selubung
cahaya larut, demikianlah
aku awali seluruh kegelapan
dan kutuk. Hantu-hantu pepohonan
mendentumkan lolongan-lolongan tikus.
Biografi seratus pertempuran membangkitkan
bangkai-bangkai pemabuk. Aku berada dalam jeda.
Aku belatung. Raib dalam kenangan.
Kekal sepanjang letusan-letusan peluru.

2003

Malam Menyergapmu
Ghassan Zaqtan

Malam menyergapmu dengan serbuk jelaga beracun


Peziarah yang lelah, bersandar batang sikamor seratus tahun
Baling-baling musim gugur berkesiur
menawarkan tidur

Merinding, menahan dingin


dan pandang sepi orang-orang asing
Jiwa yang gelisah, pewaris abadi hari-hari remah
Ramallah

Sepasang tupai melompat ke dalam sungai yang beku


Tangan-tangan malam yang kekar berjuluran dari masa lalu
menggali lubang dan mengubur matahari di tubuhmu
Segala yang telah kautandai dengan kata-kata
seketika kembali ke dalam fana

O, petualang yang mengembarai puing-puing surga


kembali ke ruang hampa, buka jendela, pandangi kapitol tua
Kelindan angin dan cahaya dan bayang-bayang
berselingan menayang terang dan temaram
seakan harap, hadir dan lenyap,
berselisih dengan sedih

2001
Gerimis Gelap

Gerimis gelap mengutuki tidurku.


Kuda-kuda arwah mengirimkan
seratus isyarat sunyi ke dalam jantungku.
Aku pohon-pohon tua
yang dikhianati salju.
Dalam gairahku, serdadu
serdadu hantu kekal. Kesendirianku
karam bersama lelatu. Abad-abad kekosongan
dipupuk tahi matahari dan perdu. Pelayaran-pelayaran
mendung menggaungkan bisu.
Bangkai-bangkai geludhuk mengobarkan
keniscayaan perahu. Ada jejak
burung-burung, tapi sajak masokisme
tahun-tahun membangun menara-menara dari debu.
Aku ngilu dengan pelir menghadap halimun.
Berdiam bersamamu, kecemburuanku
berayun-ayun di punggung
lumut. Suara-suara air menahan guntur.
Taring-taring kucing liar berkilat bagai wahyu.
Kota-kota ketiadaan yang ditinggalkan laut terbentang
antara seratus rasa sakit dan lampu-lampu.
Napas-napas tanah perkabunganmu memenuhi
jiwaku. Melalui kesumpekan, payudara
payudara iklim yang kerontang menggeseki mulutku.
Bisikkanlah bagaimana rambutmu
panjang, sedang nyanyianku makin
janda di pipimu. Kemarau masih mesum,
tapi arwahku berlolongan bagai lubang anusmu!
Pelacur-pelacur adalah laba-laba beracun yang berbiak
di sepanjang jaring-jaring cintaku.
Daun-daun kuning di tanah, menguliri
pasir dengan embun.
Karena malam adalah omong kosong
yang senantiasa menghidupi rupa
kematianku. Gempa yang diriwayatkan perusuh
memutar pinggul pemabuk, hidup di gurun-gurun muram
tubuhmu. Aku mencintaimu seperti pistol yang meletus
di keningku! Dari jendela kamarku, kulihat
jenazah kunang-kunang meraung-raung. Arwahku
sungsang terkubur hidup-hidup di rimba-rimba samun
ketiakmu. Bahkan kelak apabila lidahku kembali
menemukan puting susumu. Sementara di utara,
seluruh permukaan langit dikerumuni larva bayang-bayang
dan hantu.

2003
Kembali Ke Neraka

Kembali ke neraka, aku tampar pipimu.


Langit berdarah. Bintang-bintang dari mata
yang tertidur lelap membiakkan gema.
Aku ingat dirimu, kota-kota yang memanggil
hantu-hantu. Tak ada suara. Narasi kapal-kapal 12 layar
para perompak karam di tengah laut. Seluruh taring
kucing kuning-runcing, mencabiki kabut.
Seperti jalan-jalan layang, aku segera
beriman pada kekosongan. Kematian-kematianku
bersitetes bagai hujan. Dengan bedil terkokang,
aku cemburu, dan seluruh gerimis menghalau
teluh. Bisikkanlah betapa aku mencintaimu,
meski bulan ajaib membiru tanpa ujud. Penampakanku
berpantulan di dinding-dinding lembap sumur. Jiwa
jiwa purba pohon kubentuk dari sekerat cahaya runtuh.
Siulan-siulan mendung miring mengenangi
belatungku. Bayang-bayang berlenyapan, tapi aku sakratul
bersama lindu. Pahamilah bagaimana tubuhku kurus,
sementara kejahatan memutihkan penglihatanku.
Kelak deritaku bergulungan di udara menjelma taifun.
Aku kini serdadu dengan jenazah dihidupi pilu. Terselip
di sela selangkang kegelapan dan pelacur. Aku angkat sabit.
Kuingat wajahmu. Letusan-letusan peluru.

2003

Anda mungkin juga menyukai