Anda di halaman 1dari 4

PUISI-PUISI

Riwayat Reruntuhan Daun-daun


buat luska Vitri A

Ketika bulan, suatu hari, kau akan tahu:


bagaimana kelam mengubah burung-burung
jadi batu, meski seluruh keperihan telah membawa kita sampai
pada suatu tempat: di mana dosa-dosa masa silam menjelma
hantu, menguburku di jurang gerhana, seolah bangkai ciuman
kita yang rabun,
yang kekal membusuk di dasar kabut.
Bahkan ketika kupagut lehermu, sementara teror mengambang,
menghina seluruh rupa pengetahuanku.
Ketika bumi telah berhenti berputar dan seluruh cahaya
terperangkap di ruang hampa tahun-tahun,seolah jiwa kita
yang terbang yang menyangkal seganap riwayat reruntuhan
daun-daun.

2004

Meriam Kematian

Bintang-bintang yang memencil terbakar di punggungku.


Jalan-jalan yang terkapar dalam jiwa seekor tikus
mencambukkan ilusi, merancahi batu-batu.
Aku berselingkuh denganmu,
tapi selokan-selokan bacin yang kering bersigelung dalam kutuk.
Kesunyianku menjelma menara-menara runtuh.
Pekikanku bulan,
sepanjang mendung menggergaji tengkorak burung-burung.
Wujud-wujud kejahatanku berdesik-desik pada daun.
Tahun-tahun pertempuran lenyap sekejap,
muncul kembali sebagai lindu.
Pahamilah lanskap dendam rasa sakit,
meski arwahku telah menghijau melebihi waktu.
Serupa hantu, aku demikian tolol.
Jantungku berhenti berdetak.
Riwayat kepenatan perdu meletup sepanjang urat nafasku.
Aku mencintai apa yang tak kumiliki
Bunyi-bunyi sirene mengumpatkan maut.
Karena senyap guntur, penampakanku memudar sekarat.
Meriam-meriam kematian menembakkan liur seratus belatung.
O bau-bau jamur, betapa musim memang hanya pilu!
Biarkan kupagut lehermu, meski rindu telah menjelma parang di dadaku.
Kau, perempuan yang datang menunggu malam.
Di kuburan tubuhku seluruh laut surut, deritaku memutih,
lebih terasing daripada rasul.

2003-2004

Udara yang Kehilangan Nyawa

Udara yang kehilangan nyawa


melacak ziarah lelawa. Bulan tiba-tiba
pucat, menyergap seratus titik sunyi
yang ditenungkan hujan. Aku ciumi tanda
hitam di perutmu. Urat-aurat nasibku yang sial
menjelma embun. Bersama cicit tikus,
aku rumahkan ketiadaan. Berakku di sudut
sumur samun. Jalan-jalan setapak keterasingan
yang biru menafasi mendung.
Tanpa rasa bersalah, ruhku merabuki
rahim tahun. Darah-darah musim bertetesan
di sepanjang tengkorak lumpur. Jantungku
berhenti berdetak. Umur berakhir dalam bisu.
Tapi seperti seorang pencuri, aku lempari susumu
dengan pagut. Kubuka selangkanganmu. Lidahku
menemukan rasa asin, semacam perasaan getir
antara lanskap pohon-pohon dan pilu. Seluruh pelacur
meludahi punggungku. Para pemabuk menghardik malam,
memecah sebotol arak dan kelu.
Tapi, siulan burung-burung mesum,
membangun menara-menara requim dalam jiwaku.
Kau beringsut. Penampakanku memudar. Arwah
arwah perompak bangkit dari dasar laut. Barangkali
sajak-sajakku memang hanya dipenuhi daun. Aku
panggil namamu, segenap kejahatan tak lagi bersalju!
Rasakanlah betapa aku menginginkanmu.
Begitu saja rambutmu memendek tanpa lindu.
Kembali kuhirup candu. Bersetia dengan maut.

2004

Tak Ada Sorga Pada Jam 8 Pagi


-Meulaboh
tak ada surga pada jam 8 pagi
di bibir kami yang sepucat jamur
laut yang meluap menyapu seluruh kota
menyerakkan reruntuh
sepanjang kampung
jenazah kami berkambangan
ajal kami berpekikan melampaui gemuruh
udara yang kami kenal
hanya dipenuhi arwah
dan aroma belatung
di mana-mana jasad kami mengerang
menyambar seluruh derita dan pilu
tak ada lagi yang tersisa
selain mayat kami yang membusuk
tangan kanak-kanak kami terjulur
ke angkasa--beku!
ah, harapan, kalaupun masih ada,
telah terkubur jauh di neraka—
melampaui kutuk....
kami bangkai tanpa ujud
tanah kami derita
dalam waktu
penampakan kami memudar
bayang-bayang kami muram
berjalan kuyu menuju kematian

2005

Rumah Duka
buat Putu Vivi Lestari

tubuhmu yang rikuh


terlampau ringkih bagi syahwatku...
Di rumah duka tatapanmu,
jenazahku yang lapuk
sedeku
Iklim yang berbaju hitam
sepanjang cumbu
menghunuskan pedang,
memanggil gemuruh.
Bagai rasul--aku reguk cahaya.
Kerinduanku gentayangan,
mengokangi sembahyang
menembaki sujud pohon
dan gedung.
Tak ada rumput,
yang tinggal cuma hantu
tanpa setubuh!
Sebab tanahmu terlampau jauh
bagi bibirku,
di alun-alun kota yang samun
defile mayatku gembira.
"Vi, ruhku membuka selangkang,
menghardiki epik derita masa lalu!"
Kejahatanku yang khusyuk
mencintai senggama—melampaui pelacur.
Bersama lindu,
kesepianku
meneguhkan ledakan peluru.
Di cekak rambutmu,
dendamku yang mesum
bersambitan,
meledakkan cuaca dan tahun.
"Vi, aku bangkai bagi hujan dan pemabuk!"
Kata-kataku tak lagi berstruktur,
menjotosi langit,
munting sepanjang ajal,
meneguhkan pagebluk.

2005

Anda mungkin juga menyukai