bagaimana kelam mengubah burung-burung jadi batu, meski seluruh keperihan telah membawa kita sampai pada suatu tempat: di mana dosa-dosa masa silam menjelma hantu, menguburku di jurang gerhana, seolah bangkai ciuman kita yang rabun, yang kekal membusuk di dasar kabut. Bahkan ketika kupagut lehermu, sementara teror mengambang, menghina seluruh rupa pengetahuanku. Ketika bumi telah berhenti berputar dan seluruh cahaya terperangkap di ruang hampa tahun-tahun,seolah jiwa kita yang terbang yang menyangkal seganap riwayat reruntuhan daun-daun.
2004
Meriam Kematian
Bintang-bintang yang memencil terbakar di punggungku.
Jalan-jalan yang terkapar dalam jiwa seekor tikus mencambukkan ilusi, merancahi batu-batu. Aku berselingkuh denganmu, tapi selokan-selokan bacin yang kering bersigelung dalam kutuk. Kesunyianku menjelma menara-menara runtuh. Pekikanku bulan, sepanjang mendung menggergaji tengkorak burung-burung. Wujud-wujud kejahatanku berdesik-desik pada daun. Tahun-tahun pertempuran lenyap sekejap, muncul kembali sebagai lindu. Pahamilah lanskap dendam rasa sakit, meski arwahku telah menghijau melebihi waktu. Serupa hantu, aku demikian tolol. Jantungku berhenti berdetak. Riwayat kepenatan perdu meletup sepanjang urat nafasku. Aku mencintai apa yang tak kumiliki Bunyi-bunyi sirene mengumpatkan maut. Karena senyap guntur, penampakanku memudar sekarat. Meriam-meriam kematian menembakkan liur seratus belatung. O bau-bau jamur, betapa musim memang hanya pilu! Biarkan kupagut lehermu, meski rindu telah menjelma parang di dadaku. Kau, perempuan yang datang menunggu malam. Di kuburan tubuhku seluruh laut surut, deritaku memutih, lebih terasing daripada rasul.
2003-2004
Udara yang Kehilangan Nyawa
Udara yang kehilangan nyawa
melacak ziarah lelawa. Bulan tiba-tiba pucat, menyergap seratus titik sunyi yang ditenungkan hujan. Aku ciumi tanda hitam di perutmu. Urat-aurat nasibku yang sial menjelma embun. Bersama cicit tikus, aku rumahkan ketiadaan. Berakku di sudut sumur samun. Jalan-jalan setapak keterasingan yang biru menafasi mendung. Tanpa rasa bersalah, ruhku merabuki rahim tahun. Darah-darah musim bertetesan di sepanjang tengkorak lumpur. Jantungku berhenti berdetak. Umur berakhir dalam bisu. Tapi seperti seorang pencuri, aku lempari susumu dengan pagut. Kubuka selangkanganmu. Lidahku menemukan rasa asin, semacam perasaan getir antara lanskap pohon-pohon dan pilu. Seluruh pelacur meludahi punggungku. Para pemabuk menghardik malam, memecah sebotol arak dan kelu. Tapi, siulan burung-burung mesum, membangun menara-menara requim dalam jiwaku. Kau beringsut. Penampakanku memudar. Arwah arwah perompak bangkit dari dasar laut. Barangkali sajak-sajakku memang hanya dipenuhi daun. Aku panggil namamu, segenap kejahatan tak lagi bersalju! Rasakanlah betapa aku menginginkanmu. Begitu saja rambutmu memendek tanpa lindu. Kembali kuhirup candu. Bersetia dengan maut.
2004
Tak Ada Sorga Pada Jam 8 Pagi
-Meulaboh tak ada surga pada jam 8 pagi di bibir kami yang sepucat jamur laut yang meluap menyapu seluruh kota menyerakkan reruntuh sepanjang kampung jenazah kami berkambangan ajal kami berpekikan melampaui gemuruh udara yang kami kenal hanya dipenuhi arwah dan aroma belatung di mana-mana jasad kami mengerang menyambar seluruh derita dan pilu tak ada lagi yang tersisa selain mayat kami yang membusuk tangan kanak-kanak kami terjulur ke angkasa--beku! ah, harapan, kalaupun masih ada, telah terkubur jauh di neraka— melampaui kutuk.... kami bangkai tanpa ujud tanah kami derita dalam waktu penampakan kami memudar bayang-bayang kami muram berjalan kuyu menuju kematian
2005
Rumah Duka buat Putu Vivi Lestari
tubuhmu yang rikuh
terlampau ringkih bagi syahwatku... Di rumah duka tatapanmu, jenazahku yang lapuk sedeku Iklim yang berbaju hitam sepanjang cumbu menghunuskan pedang, memanggil gemuruh. Bagai rasul--aku reguk cahaya. Kerinduanku gentayangan, mengokangi sembahyang menembaki sujud pohon dan gedung. Tak ada rumput, yang tinggal cuma hantu tanpa setubuh! Sebab tanahmu terlampau jauh bagi bibirku, di alun-alun kota yang samun defile mayatku gembira. "Vi, ruhku membuka selangkang, menghardiki epik derita masa lalu!" Kejahatanku yang khusyuk mencintai senggama—melampaui pelacur. Bersama lindu, kesepianku meneguhkan ledakan peluru. Di cekak rambutmu, dendamku yang mesum bersambitan, meledakkan cuaca dan tahun. "Vi, aku bangkai bagi hujan dan pemabuk!" Kata-kataku tak lagi berstruktur, menjotosi langit, munting sepanjang ajal, meneguhkan pagebluk.