0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
9 tayangan5 halaman
Riwayat matahari ngigau
di akhir napas rumput.
Umpatan-umpatan langit berkilau,
seluruh kiamat kuning terperangkap dalam teluh.
Aku tegak sepanjang mimpi buruk, tapi rambutmu
panjang melebihi sajak-sajak gelapku.
Seperti hantu, kekosongan mengiris urat
darahku. Seketika aku merangkak menuju
apa yang kutinggalkan. Kota-kota masa lalu
mengepungku dengan hikayat seribu pohonan
dan pilu.
Riwayat matahari ngigau
di akhir napas rumput.
Umpatan-umpatan langit berkilau,
seluruh kiamat kuning terperangkap dalam teluh.
Aku tegak sepanjang mimpi buruk, tapi rambutmu
panjang melebihi sajak-sajak gelapku.
Seperti hantu, kekosongan mengiris urat
darahku. Seketika aku merangkak menuju
apa yang kutinggalkan. Kota-kota masa lalu
mengepungku dengan hikayat seribu pohonan
dan pilu.
Riwayat matahari ngigau
di akhir napas rumput.
Umpatan-umpatan langit berkilau,
seluruh kiamat kuning terperangkap dalam teluh.
Aku tegak sepanjang mimpi buruk, tapi rambutmu
panjang melebihi sajak-sajak gelapku.
Seperti hantu, kekosongan mengiris urat
darahku. Seketika aku merangkak menuju
apa yang kutinggalkan. Kota-kota masa lalu
mengepungku dengan hikayat seribu pohonan
dan pilu.
di akhir napas rumput. Umpatan-umpatan langit berkilau, seluruh kiamat kuning terperangkap dalam teluh. Aku tegak sepanjang mimpi buruk, tapi rambutmu panjang melebihi sajak-sajak gelapku. Seperti hantu, kekosongan mengiris urat darahku. Seketika aku merangkak menuju apa yang kutinggalkan. Kota-kota masa lalu mengepungku dengan hikayat seribu pohonan dan pilu. Seraya melemparkan batu-batu, aku menjelma burung malam di tengkukmu. Tukang-tukang becak di gigir tanah lapang begitu saja mengobarkan tidur. Serupa bunyi-bunyi kereta, aku menikah selain denganmu! Fantasi-fantasiku berbalik arah menyumpalkan mayat-mayat angin di belah pantatku. Kenangan adalah angus puing-puing bekas gedung yang mencekiki nyanyianku! Kini, aku bisikkan rupa-rupa ketelanjangan, meski seluruh derita senantiasa kembali menemukanku sebagai seonggok badut. Badai-badai daun kelak kering, sekali lagi keangkuhanku murung, jenazahku biru berkhianat pada segenap cuaca dan setubuh.
2003
Perahu Cintaku
Aku larungkan perahu cintaku.
Pelabuhan matamu yang bengkak membentang sepanjang mimpi dan air mukaku. Aku tahu jalan-jalan larut dalam cahaya lampu, tapi maut di dasar gerimis menasbihkan mayatku. Bibirmu lembut mengerkahi daun-daun. Burung-burung musim hujan kuyup, berlepasan dari kabut. Sensasi ketandusan menjadi ajaib menghujat waktu, melawan seratus tatapan matahari, menjelma takhayul. Tapi, aku rindu dengan pisau pisau kegelapan menyayati urat darahku. Keremajaanmu menyala, disiulkan kesumat batu-batu. Keterpencilanku hidup, menjadi patung-patung yang berkhayal mengusap rambut panjangmu. Kubayangkan bagaimana pinggulmu ramping, sedang keperihanku lebih buntal daripada payudara seratus pelacur. Gerak-gerak awan menyusun kenangan jadi pekikan-pekikan hantu. Kota-kota demikan tolol bagai pelayat-pelayat sial yang enempeli jidatku dengan Lumpur. Kesepin seratus tahun mendetakkan lindu. Serakan-serakan perdu menyembunyikan bangkai-bangkai tikus, menjaga malam dari keriuhan dan sedu. Ada sungai-sungai, meski bisikanku tak pernah sampai pada tanah lapang kecantikanmu. Aku lelah dengan dingin yang bergemerincing di sepanjang retakan makamku. Seperti aroma vodka yang tertinggal dalam paruku, aku memujamu, tapi gerhana adalah butiran butiran pasir yang memutihkan wujud pendiamanku. Demikanlah tak ada takdir, bahkan jenazahku kian terasing di sepanjang parit alismu. Barangkali kitalah malaikat-malaikat muram yang mengitari kelam dengan rasa sakit dan cumbu. Bahkan apabila suatu hari nanti kau mulai melupakanku, sedang aku tak habis-habisnya melarungkan perahu cintaku serupa Yesus yang sendiri di tengah laut.
2003
Twelve Apostles, Port Campbell
Lauren Bain
Di lautmu matahari menatahi terumbu
angin bagai prana, bahasa di luar kata, jejak di pasir kikis sebelum gerimis reda Dari rimba jiwaku (kaudengar?) gelepar liar seekor bekisar, putik gairah di dasar kelenjar meletik menjelma kelepak camar Dibimbing angin yang bagai prana, bahasa di luar kata, mengisari gelombangmu, matahari yang menatahi terumbu dikulum kerang di ceruk bebatu
Gerimis mencetak bercak di paras lautan
terguris sejenak lalu lenyap bagai kenangan Angin dan air ganas mendengus, tebing-tebing cadas tergerus kau dan aku pun kandas sebelum senja lampus
Kelak kaudengar suaraku, kudengar suaramu,
ketika selusin penempuh tebing itu telah jadi debu
2002
Daun-daun Kering
Aku rayapi tubuhmu. Gerimis gersang
dan keperihan membakari lindu. Lewat tarian tarian tanah yang kelu, arwah-arwahku nafsu, diam-terbunuh bersama batu. Rasakanlah bagaimana kesunyianku mendengus di sepanjang labirin tempikmu. Rambutku panjng, terbakar hangus melebihi hantu. Wujud-wujud ketelanjangan kota-kota masa lalu Samun, mengelupasi kulitku. Musim-musim lantas mabuk, tapi liar tikus-tikus mencincangi mayatku. Ruhku bertaring, segera merintih dengan sebutir peluru membeku di pelipisku. Ada daun-daun kering yang jatuh, sementara detak-detak jam menghabisi belatungku. Penampakanku purba dengan tatapan kanak-kanak jembalang yang meletupkan taifun. Kematianku bersidengung dengan taifun. Fantasi seluruh rasa sakit menggali-gali sumur-sumur hitam kerinduanku. Betapa aku sangat mencintaimu, meski jimat-jimat malam dari percikan api memahati mendung. Aku bentuk menara dari tidur mimpi buruk. Payudaramu membesar menghina pengetahuanku. Jiwaku, kiasan-kiasan rabun yang menyalibkan Jenazah batang-batang perda. Kelak kau melenguh. Nyaliku menciut, mencari-cari lehermu. Aku kini maut Dengan jemari memainkan pentilmu. Cuaca typhus! Narasi Seluruh pertempuran yang gagu merancahi kuburan-kuburan Pucat lanskap-lanskap murm baying-bayangku.
2003
Kesiur Musim Gugur
Antonia Logue
Bayang-bayang maut bersimpuh di helai daun-daun layu,
ditimang angin laut lalu luruh sebagai, "Musim gugur," katamu Lenguh anggun nan rawan lepas dari bibirmu, seluruh rimbun hutan ranggas di nyeri rindu
Dengus bukit dan beting dan batang-batang batai
menghunus sakit atas hening kita yang mencintai
Serisau rasa, sekatam kata,
seriuh ruh berpiuh antara duka dan dukana
Gaungnya bertalu di kelung kaldera kalbu
merdu bagai lagu, menderu bagai seru seteru
Langit menabur serbuk cahaya ke setangkup jiwa lusuh
bayang-bayang maut lebur dalam kelam sayup menjauh
Musim menangkar peluhku di pelir waktu
kelak berbiak menjadi lendir salju
Menyungkup janin musim semi di ceruk rahim reranting raras
menyusup ingin di palung tubuhmu yang terkelupas
2001
Penghujung Musim Penghujan
Dora Havassy
Di penghujung musim penghujan
basah tanah dan batang pohonan susut perlahan
Daun-daun mengibas rambut pada terik mentari
dari matamu yang sarat sengkarut membersit pelangi
Menetas burung-burung dalam liang luka tubuh
lantas terbang murung sebagai kata-kata dan jatuh
Jatuh ke dalam gurit yang kuguris untukmu
kicau sembilu bergaung abadi di situ
2001
Syair Penyair Pemanggul Mayat
Kubenamkan hidungku di sela rambutmu.
Kesunyianku yang purba membangun jembatan, memuncratkan gemintang. Seketika aku bermimpi tentang burung, tapi hujan tiba-tiba turun, mengisyaratkan derita. Aku imani napas perawanmu. Kerinduanku berumah bulan. Cahaya melukis cuaca dengan bayangan. Malam jadi makin larut, bergaung-lengang di kedalaman kelam. Seperti senyum pemadat, iklim sungguh dingin, arwahku bersipacu dengan diam, memucatkan tulang-belulang jamur di halaman. Ada maut. Butiran-butiran gerimis yang menghitam di sepanjang impian. Aku mencintaimu, tapi seperti terowongan penampakanku kian gelap dan hilang. Musim-musim sekarat tanpa siulan. Aku sendiri bagai syair penyair pemanggul mayat.