Anda di halaman 1dari 4

PUISI-PUISI SITOK SRENGENGE

Kau Angin

Semula aku sangka kau gelombang


tapi setiap kali aku renangi
kau menggasing bagai angin
Peluh membuncah dan ruh tubuh gelisah
adalah ibadah bagi Cinta tak berjamah
Di situ, kunikmatkan teduhmu
sesekali sebelum kau berhembus pergi
Aku buru suara seruling di jauhan
yang kutemu dedahan bergesekan
Aku termangu tertipu gerakmu
sehening batu di kedalaman rinduku
Kini aku tahu, tak perlu memburumu
Kau hidup di dalam dan di luar diriku
-tak berjarak namun terasa jauh
teramat dekat namun tak tersentuh
Jika benar kaulah angin itu
semauku akan kuhirup kamu
Dalam jantung yang berdegup
kau gairah baru bagi hidup
Mengalirlah darah, mengalir
dalam urat nadi Cintaku
karenamu, Kekasihku!

Peretas

Seumpama pagi, kita pun lekas pergi


Sebagai sore, kita segera sampai
Dari dan ke pangkuan kelam
Di mana kita jadi penelusur gua gelita
Meraba, menaswir gema cinta
Terpisah dari yang selain desah
Raga melenggang bagai ganggang
Sukmaku menggapai sukmamu, bersitaut serupa kiambang
Larut dalam kelucak ombak pasang
Kulumur landai lampingmu sampai pasir menyerpih
Kudentur-dentur ceruk curammu hingga berbuih
Hingga kau-aku terhempas, terlepas, di altar tarikh
Peramlah separuh perih, sampai kaulihat rakit
dinakhodai cahaya fajar pertama dari kaki langit
Selebihnya biar kusemat di jantungku, betapapun sakit
Sebab, selagi selat susut semata kaki,
kita akan mulai saling mencari
Dipandu denyut nadi
Kuharap kita akan bersua di sebuah bukit hening
yang menyimpan mata air bening, di mana letih terbaring
seluruh luka pulih, seiring kita tandai segala yang asing
Dan di tanah yang tabah itu, hidup akan tumbuh
Kau bagian dariku, aku bagian dirimu, dua jiwa satu tubuh
Senantiasa saling butuh. Tanpa yang lain kita tak penuh, tak utuh

Ruang

Aku ceruk cangkir yang membayangkan kau sebagai kopi di pagi hari,
lingkar kalung yang merindu jenjang lehermu,
lubang baju yang butuh merengkuh tubuh

Kau greonggang rahang yang mengulum kelu lidahku,


rongga dada yang menampung paru dan jantung
lurung urat biru yang mengaruskan deru darahku

Aku cekung cangkang yang menginginkan kau menjadi kerang,


lengkung langit andaikan kau gugusan planet,
luas lautan manakala kau pepunuk pulau

Kau bidang padang mengerang gersang jika aku bukan rimbun pohonan,
kitab yang mengutip kisah kesiapku kala pertama kuintip wajah kekasih,
manik mata yang mendekap dunia, kakus yang tulus menadah limbah

Aku rangkum rahim di mana kau dulu mukim, rentang tangan yang selalu
menjagamu, kubebaskan kau bergerak dan berbiak dalam diriku
Aku kosong abadi yang menghendaki kau sebagai isi

Aku penuh oleh kau yang tak membiarkanku menghampar hampa


Aku takjub pada hidup yang berdegup, cinta yang bergema

Kebun

boleh aku berkebun dalam dirimu?


padang pasir itu akan kucangkul,
kugaruk, kusemai
bila putik telah muncul
akan kusiram, kupupuk, kusiangi
akan kuundang angin sepoi
akan kupanggil hujan rinai
agar kau sejuk segar dan damai
kubiarkan tubuhmu menari
menakzimi gerak matahari
dedaunmu lembut dirahmati warna laut
kelopak-kelopak kembangmu
rekah dengan harum meruap
seperti luka yang pelahan malih jadi harap
kubayangkan kau padang luas
tempat pepohon besar berdaun rimbun
dan aku seorang kerdil yang bernaung
di bawah teduhmu nan anggun
kubiarkan serangga dan unggas
bercengkerama akur
di cecabang dan rerantingmu
yang kuat dan lentur
aku akan menjaga dan merawatmu
sebab kau telah memberiku bahagia
dan mengajariku perihal rindu
kelak jika aku mati
jasadku akan berbaring tenang di kebun itu
itulah saat aku kembali
dan kekal menyatu dengan dirimu

Kata Berkata

Panggil aku kata


Akulah asal mula
Jangan tanya siapa si pertama mengatakanku
Aku malu tak mampu memberi tahu
Walau dengan sepenuh daya
Aku tak sanggup sebut namanya
Aku cuma kata
Asal mula segala

Sembahyang Kesunyian

Sembahyang yang berputar-putar


Di tengan kemulan cahaya
Adalah rambutmu. Keheningan membentuk
Semacam kanopi di selatan
Impian-impianku mabuk bersama hujan
Yang mendentum di utara. Seperti keajaiban
Langit yang tegak pada seluruh kecupan
Kesepianku menjelma bau tanah
Yang mengeras di keremangan. Bayang-bayang
Para pejalan memucat seperti bunyi gitar
Yang terdengar nyaring di beranda
Tapi, di antara kesenyapan jalan dan makam-makam,
Serupa fantasi para pelayat. Sedang lehermu
Kulihat begitu berkilauan seperti tembaga
Harapan-harapanku menyusut
Serupa rumah-rumah
Yang berderet dan diam. Keperihan tampak
Lebih kekar dari akar-akar yang memekar
Di taman-taman. Meski di jurang
Jurang malam yang pengap, seribu doa air
Telah ditenungkan serupa gerhana
Karena segalanya hanya berpusar
Dan lenyap, seperti kebisuan kampung-kampung
Yang menjelma labirin tak bernama
Demikianlah, aku saksikan segalanya melecut
Dan nanar. Dan pada pilar-pilar napasmu
Yang patah, menaiki tangga-tangga keemasan
Seperti kabut meledak di dasar gejolak darah

1999

Anda mungkin juga menyukai