Nyala romansa diriku oleh senyummu pagi itu, merupakan campur tangan tuhan yang
terindah. Kita dipertemukan pada tempat, dimana Tanah mengakar kokoh sebagai pijakan,
angin membantu semai serbuk kehidupan bunga, api mengusir dingin dan lapar di malam,
serta air memberikan kehidupan pada yang hidup. Reaksi reaksi alam pun tak bisa
disembunyikan, langit tak pernah serendah ini, burung burung terbang dengan sebelah
sayapnya, bunga menumpahkan nektarnya. Pagi ketika itu, melihat potret dirimu dalam
piyama merah mawar merekah. Membuatku berani berdalih, menghilangkan semua alibi
meresahkan, aku mencintaimu. Pada rambut indah tak terbantah, wajah tulen Jawa menambah
asri suasana pagi itu, kau duduk silangkan kaki, anggunnya dirimu. Namun keasingan
melarang sapa antar kita, hingga masa itu berlalu begitu saja. Aku tidak ingin merayumu
dengan puisiku, aku ingin kau melalui apa yang aku lalui, Memandang lalu mencinta. Engkau
adalah pengharapan yang kujadikan wewangian, asmaraloka indah yang kudambakan diriku
terjebak didalamnya, bahasa yang memuntahkan intan dan zamrud. Bagaimana mungkin aku
tak berdiri pada sebuah kulminasi menjulang dan berseru. Aku mencintaimu. Ingin kutempuh
apa saja untuk pengertianmu atas perasaanku, untuk balasan, dan untuk kepastian. Haruskah
dengan surat kutempuh layaknya Johnny cash? atau melalui perang seperti troya?. Aku
mencoret rasa pada setiap angin yang melalui tubuhku, berbisik bercerita padanya. Berharap
mereka mengabarimu tentang rasa seorang pemuda, yang hanya bisa dijelaskan olehmu. Akan
aku biarkan ini menjadi asrarku dengan tuhan, sampai waktunya tiba ungkapan ini akan
mapan dan nyaman.
AKU, KAMU, dan PARIS