Anda di halaman 1dari 38

Antologi Puisi “Untuk Sebuah Nama”

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT


Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan hidayah-
Nya, diri yang tiada arti ini mampu menuangkan goresan tinta
sederhana dari tinta cinta-Nya. Sehingga dapat di nikmati oleh
pembaca yang berbahagia.

Saya sangat gembira bisa mempersembahkan sebuah


karya, walau jauh dari kata sempurna. Butuh waktu dan proses
lama untuk saya menuangkan rasa, dengan harapan para
pembaca yang Budiman bisa menerima karya ini.

Saya mengucapkan terima kasih atas semua dukungan


yang telah di berikan. Serta kepada semua pihak yang
membantu terciptanya buku ini. Cinta begitu perkasa, dia
mampu memberikan rasa apa saja. Sedih, Bahagia, lara, haru
dan lainnya. Semua terangkum dalam tulisan sederhana ini
perihal “Setiap Kita Punya Cerita”

Akhir kata saya sampaikan permohonan maaf atas


semua kekurangan, kekeringan, kejenuhan, dan semua
ketidaksempurnaan atas karya ini. Dengan lapang dada saya
memohon kritik dan saran yang membangun agar saya bisa
memperbaiki karya berikutnya.

Kota Poso
Penulis

RAY METUSALA
DAFTAR ISI
Bagian Pertama

Titik Temu

“Tidak pernah ada kata sia dalam setiap kata temu”


DIA
Oleh: Ray Metusala

Yang hadir disaat hati ini terluka


Disaat hati ini kosong tak ada yang memiliki
Dia datang membawa cinta

Perhatiannya lembut
kasihnya membuat hati ini
bak awan awan mendung yang dihiasi warna-warni pelangi
Membawa keceriaan

Datang dengan senyuman dan


tawanya yang memikat
Hati ini serasa dihujani oleh ribuan
Bintang berkilau indah

Cintanya, kasihnya, perhatiannya


Bagai anugerah di tengah bencana
hati yg melukai jiwa
Seorang pengobat luka hati
Itulah DIA.
PEMUJA RAHASIA
Oleh: Ray Metusala

Biarkan aku memujamu dari jauh


Sekedar mencuri pandang
Pada wajah manismu
Senyummu sesekali tertuju padaku
Entah apa makna semua itu

Awalnya hanya canda, saling tertawa


Suatu ketika kita bersama
Bertatap pandang
Pada kondisi yang sama
Ingin merengkuh
Apa yang ku puja dari cinta
SEPASANG MERPATI
Oleh: Ray Metusala

Sepasang Anak Manusia


Seperti embun yang setia
Penuh keindahan keharuman
Berjalan mengarungi
Berbagai rintangan
Yang mengadang di depan
Janji setia yang menguatkan
Bagaikan sepasang merpati
Yang bebas terbang diangkasa

DIKSI
Oleh: Ray Metusala
Bersamamu kucipta diksi

Menjadi hidangan narasi paling nikmat,

Dengan seduhan makna dalam

Secangkir imaji pekat.

MENEMUKAN MU
Oleh: Ray Metusala

Akhirnya aku berjalan bersamamu


Dengan satu tujuan

Barangkali di sini akan kudapati barisan kata

Yang akan meredam resah,

saat sebelumnya segala harap dan

mimpi mulai kehilangan arah.

MENGAGUMI MU DALAM PUISI


Oleh: Ray Metusala

Bolehkah aku memuisikanmu?


Bolehkah aku menggagumimu?
Karena tak tahu aku mengapa
Seperti pelangi membungkus khatulistiwa
Senyummu adalah panorama,

Dari apa yang ada dapat kusimpan


Entah tangkai-tangkai kata buah-buah bicara
Yang mekar dengan indah horison jauh disana
Tempat kujumpa taman bunga dan kupu
membangun istana, untukmu.
Kali ini bolehkah aku memuisikanmu?

SANG KEKASIH
Oleh: Ray Metusala

Alunan nada mengalun


Mengingatkan pada
Waktu segalanya belum berubah
Sebelum aku bertemu dia,
Dia nyalakan cinta yang
Pernah menghitam karena
Ditinggal pergi dengan kesedihan
Tak berujung,

Sosok sang kekasih.


Dalam hidup ku yang ku harapkan
Mengapa hanya sementara waktu
Tuhan memberikannya kepadaku

Aku ingin cinta selamanya.


Meskipun dunia telah berakhir
Dia tetap menjadi sosok sang kekasih
Yang tak lekang dimakan oleh waktu

MELIHAT MU
Oleh: Ray Metusala

Melihat Mu,
aku merasa telah menemukan.
Menemukan hatimu untuk
ku menaruh cinta,
Menemukan bahumu untuk ku bersandar,
Menemukan tanganmu untuk menuntun dan memelukku,
Dan menemukan
diriku bahagia, bersamamu.

PEMABUK
Oleh: Ray Metusala

Kita bersama menjamah waktu


Membalas surat cinta yang menggebu
Menyapa pagi malam tanpa jemu

Kita bersama tertawa ditempat


Menggapai langit dengan sekali lompatan
Menyeringai tersipu malu
mengingat kata yang melekat

Kita mabuk dalam rasa suka


Aku peminum pertama
Kamu pemilik cangkir rasa
Tuhan pemberi seteguk cinta
Maka, kita sempurna yang menggema.

WANITA DARI KAHYANGAN


Oleh: Ray Metusala

Tidak tau harus dari mana aku bercerita,


tentangnya semua terasa campur aduk
melihatnya semua terasa indah
senyumanya, selalu membuatku melayang.

Oh, ini kah wanita dari kayangan itu?


Entahlah, kau tidak tau sesempurna apa dia.
Kesempurnaan? Tidak ada manusia yang sempurna, bukan?
Ah, aku tidak peduli.

Dia mengajariku bagaimana hidup.


bagaimana mencintai diri sendiri,
bagaimana selalu bersemangat
dalam mengejar mimpi,
percayalah, semua tidaklah mudah sebelumnya.

LAUTAN AKSARA
Oleh: Ray Metusala

Engkau adalah lautan aksara


yang tak bisa ku kata dengan sederhana,

Engkau adalah lautan warna


yang tak bisa ku makna dengan sekali cerna,

Engkau adalah lautan mimpi


yang tak bisa ku beli walau harus ku gadai hati,

Engkau adalah lautan sunyi


yang tak bisa ku tembus walau dengan
rindu menghunus,

Engkau adalah lautan


yang tak ku mengerti.

SEDERHANA
Oleh: Ray Metusala

Aku ingin jatuh cinta dengan sederhana


Dengan cara yang sudah semesta tetapkan
bahkan sebelum semesta tercipta.

Aku ingin jatuh cinta dengan sederhana


Dengan cara menakjubkan yang
tidak pernah ku duga.

Aku ingin jatuh cinta dengan sederhana


Dengan cara yang tidak mungkin terlupa
meski jasad ini kian menua.

ISI HATI
Oleh: Ray Metusala

Demi mendung yang sedang berjalan


tergopoh-gopoh diatas awan,
Terlambat menurunkan air hujan ke bumi,

Aku kirimkan isi hati ini,


Aku mendadak cinta padamu.
Tanpa syarat, tanpa isyarat,
Tanpa macam surat-menyurat.

Dan sepertinya ini agak terlambat untuk diucapkan,


Beberapa waktu yang lalu, seharusnya.
Atau mungkin beberapa tahun yang lalu,
Atau mungkin ketika mata ini untuk pertama kalinya
membalas tatapanmu.

ANTIK
Oleh: Ray Metusala

Segala hal mewah itu biasa saja,

Pun buat apa bermewah dihadapan yang fana?

Tapi tidak kamu.

Kamu itu istimewa.


Mewah dengan caramu sendiri,

Antik, juga cantik.

CAHAYA MU
Oleh: Ray Metusala

Mengusap sendu yang kelabu


Ketika ada dirimu mengisi duniaku
Sebagian yang pernah hilang
Buatku sulit percaya akan cinta.

Kamu yang merengkuhku


Ingin aku untuk tinggalkan
Diriku yang dulu
Dan berubah untuk hidupku

Kehadiran dirimu,
Yang membawakan cahaya
Untuk diriku dan hidupku
Juga melangkah bersama dirimu.

KAMU; RINDU
Senyawa lepas, pencar diudara
Pada oksigen yang terus ku baur
Aku termangu.
Ruang yang ku susun penuh oleh tanya
Bersama waktu yang mulai kau sela, beribu jeda
Adakah kau terpaku ditatap mu?

Kelu lidah ku,


Sayu ratapku,
Sesak nafasku,
Retak jantungku,
Menyerpih menjadi debu.

Ujung pelangi dapatkah kau sentuh?


Bertirai indah saat kau pejam mata
Senyawa lepas, urai sebuah kisah
Pada siluet yang terus ku simak
Kau kurindu.

TENTANG RASA
Oleh: Ray Metusala

Seindah mentari,
warnai pagiku dikala sepi
menemaniku dikala sunyi
Kini aku tak lagi sendiri,
ada kamu menyelimuti
Ini tentang cinta lagi,
tidak kah kau keberatan?

Maaf bila kau bosan.


Tapi aku tak segan,
menggambarkan perasaan
melulu aku tulis cinta,
bukan duka tapi ini rasa.

Bagian Kedua

Ruang Rindu
“Kamu tahu, apa alasanku selalu menulis
tentangmu? Karena tulisan ku satu-satunya media ketika
tangan ku tak sangup lagi memeluk mu”

KOPI KU
Oleh: Ray Metusala

Kopiku ingin berbicara kepadamu,


Tentang rindu yang mengutuk
Tentang rindu yang nenusuk.

Sudah angin keberapa kah ini,


Yang mendingin kan kata
Yang nenbekukan tawa
Kemudian menguap hilang tiba-tiba.

Jika saja angin bersedia mendengar


Kita adalah manekin-manekin
Dalam toko yang ditinggalkan
Ingin memecah bisu, tapi tak mampu.

Rindu menguap jadi awan


Kemudian pergi bersama angin
Tenggelam bersama senja
Lalu kembali menumpang fajar
Merasuk kedalam aroma kopi pagi.

JEJAK-JEJAK RINDU
Oleh: Ray Metusala

Jejak rindu perlahan membekaskan cerita

Dijalan setapak penuh liku, lengkung melengkung

Ini bukan lagi perkara pungguk merindukan bulan

Ini perkara pluto merindukan matahari

Ini perkara kunjungan ke mars, tak jadi-jadi

Ini perkara dentuman bom nuklir, tak kunjung henti


Ini perkara hidup atau mati, tak pasti

Jejak rindu kini jadi saksi bisu peraduanku padamu.

TITIP RINDU
Oleh: Ray Metusala

Wahai daun-daun maple,


yang mulai menguning di musim gugur.
Terbanglah jauh melintas luasnya samudera pulau
Sampaikan satu kata dariku,
Kepada ia yang sedang terduduk di depan
jendela kaca-kaca beku.
Kepada ia yang sedang meneteskan air mata, membeku.
Kepada ia yang telah melebur beku hati, mati, menahun.

Bisikkan tepat di telinganya kata "rindu",


Dariku.
HUJAN
Oleh: Ray Metusala

Hujan paling sepi,


runtuh di depan rumahku.
Aku tak lagi mendengar suara-suara
tak lagi diganggui gemuruh.

Dan tak perlu menutup telinga


Rinainya menjantang
Dinginnya mengabar
Bahkan tak ada,
dalam mata terkatup
Bahkan hujan pun tak lagi bersuara, tanpamu.
KEMBALI MENULIS
Oleh: Ray Metusala

Aku mencoba menulis kembali.


Ku pejamkan mataku,
mencoba membayangkan sosokmu.
Ku tarik panjang nafasku, kamu.

Ya, kamu.
Kamu yang malam ini kembali mengisi rindu,
Rindu yang kian lama kian pilu.
Ku meragu.

Apa yang berubah?


Seketika ku resah.
Ku rasa cinta ini semakin dalam.
Bahkan, tak semalampun ku lewati,
tanpa membayangkanmu dalam meram.

Kamu - lebih dari ribuan kata yang ku tulis


Bahkan seluruh kataku sudah habis.
Tapi cinta ini tak pernah tiris,
meskipun rindu ini selalu mengiris.

PERIHAL RINDU
Oleh: Ray Metusala

Perihal rindu ini,


biar saja aku yang menanggungnya.
Karena aku yang telah berani,
masuk ke dalam kehidupanmu.

Perihal cinta ini,


biar saja aku yang merasakannya.
Karena aku yang berani menaruh harap kepadamu.
Tak usah kau pedulikan aku.
Biar saja aku menanggung segalanya,
karena hatiku sudah siap untuk terluka nantinya.
KHAYAL BELAKA
Oleh: Ray Metusala

Seperti hujan tadi malam,


aku bernaung pada pohon gaharu.
Dibawah lagit yang begitu kelam,
aku terpaku pilu menikmati rindu.

Rintik hujan masih setia,


menahan anganku merangkai kata.
Diantara rindu dan degar harum bunga,
ternyata wajahmu sebatas khayal belaka.
TENGGELAM
Oleh: Ray Metusala

Ku pejamkan mataku,
mencoba membayangkan sosokmu.
Ku tarik panjang nafasku.

Kau lebih ganas dari samudera hindia,


arktik pun kau telanjangi hingga mati kedinginan.
Kini Atlantis menyelinap masuk dalam ragaku,
akan kau tenggelamkan kah aku,
untuk kedua kalinya?
Bagian Ketiga

Sebuah Perpisahan

“Kata yang tertahan, tertuai bebas dalam tulisan


Pun bahkan jika mulut tengah membungkam
Untaian kata akan memulihkan”
TAK SALING MEMBERI HATI
Oleh: Ray Metusala

Kamu tak lagi memberi hati pada foto-foto


yang kubagikan di media sosial,
begitu pun dengan aku.

Mungkin pernyataan itu menjawab


segala pertanyaan,bahwa baik di dunia maya
maupun di dunia nyata,
kita tak lagi saling memberi hati.
KENANGAN
Oleh: Ray Metusala

Ada beberapa kenangan,


yang tak ingin kau lupakan.
Tapi nyatanya tak bisa kau ingat.
Ada beberapa kenangan yang,
tak ingin kau ingat,
tapi nyatanya tak bisa kau lupakan.

Bagi beberapa kenangan,


ingatan adalah rumah dan,
Bagi beberapa kenangan,
ingatan hanyalah tempat singgah.
DEMIKIAN LAH KITA
Oleh: Ray Metusala

Terbelenggu bayangku,
mengantar kepergian itu.
Menatap semu atas kesanggupan,
yang tak lekas menyambutmu kembali.

Sekarang tak ada lagi air mata,


yang pulang lebih pagi dari bilik mata.
Karena telah kulangitkan pada semesta,
Tentang kau yang pernah ada.
SETIA YANG TERLUKA
Oleh: Ray Metusala

Bergontai langkah atas segala hiraumu,


bertekuk lutut aku atas undangan cemburu itu.
Tak berani lagi diri memicing mata,
sebab ketakutan telah menggenang.

Di pelupuk mata saat ini,


cinta tak lagi berpemilik.
Di tubuh-tubuh kehilangan,
telah terluka di sini sebuah kesetiaan.
TITIK
Oleh: Ray Metusala

Pada titik penerimaan,


aku menghentikan perasaan
memaksa penuh penekanan.

Pada titik melepaskan,


aku rela tanpa sedikitpun terluka.
Pada titik dimana aku tetap mencintai,
aku meminta untuk tidak turut menyakiti.
LANGIT MANUSIA
Oleh: Ray Metusala

Kadang langit bisu, tiada guruh,


kadang langit pudar, mau hujan agaknya.

Dan manusia juga sama,


adakala membisu dan tidak melawan.
Ada juga yang lesu dan kecewa.

Biarlah Tuhan.
Dia yang melihat dan menimbang,
walau itu buat manusia tak senang.
Kalau boleh mau nampak yang terang,
tidak perlu disembunyi belakang.
Tak perlu melawan jika tidak dipandang,
ia akan membutakan lagi kehidupan.
Teruskan jalan kehadapan,
Dan Tuhan menjadi tatapan.

Anda mungkin juga menyukai