Anda di halaman 1dari 5

PUISI-PUISI

Nafas Hujan

Nafas hujan yang gemetar


menyentuh lenganku. Kesepian cuaca
yang berlari menghidupkan patung
patung sepanjang jantungku. Sungai-sungai
kabut menyentuh kaki-kaki para pembuat
peta, menyimpan sebentuk perahu.
Seperti hari-hari percintaan yang kelak
jadi abu, seluruh rasa sakit mengimpikan
malaikat-malaikat purba berterbangan dalam
taifun. Tatapan-tatapan buta cecurut berjuntaian
di antara kegelapan dan guntur.

Jalan-jalan senyap laut meluap,


membesatkan nafsu. Seekor kunang-kunang
melayang di dataran bulan dan hancur.
Keperihan membisikkan kata-kata baru,
menciptakan labirin kebisuan dan
dentum. Aku serap dongeng-dongeng
retakan tanah, wujud-wujud keremajaan
pelacur memasuki daerah-daerah terlarang
yang didengungkan embun. Aku memekik.
Percumbuan-percumbuan kupu-kupu mengaburkan
seratus mata belatung.

Seluruh teror membangun kubah


kubah samun musim hujan, tapi seteguk
kesengsaraan bulan yang jernih menyayat urat
syarafku. Kesunyian terjaga dari setiap tidur,
iman benda-benda dan pengkhianatan
bertumpuk. Aku rasakan kesunyian,
pengetahuanku raib, menjelma sobekan
sobekan daun. Kerinduan adalah sukma-sukma
muram iklim yang menanti pembunuhan keduanya
serupa waktu. Bertahun-tahun dalam lubuk
cerlang bintang, keterasinganku mencuri roh
burung-burung. Berabad-abad siulan-siulan kilat
meledak, meneguhkan seratus shalat shalawat ajalku.

1999-2004
Talkin Seratus Gerhana

Bisikan talkin seratus gerhana


menyabitkan gema. Arwahku yang terpacak sungsang
di antara puncak-puncak pepohonan dihirup hujan.
Semacam akhir pelangi, takdirku memencil.
Hari-hari lewat meneguhkan ketelanjangan.
Aku pungut rumput, tapi arwahku lebih murung
daripada bayangan. Sebagai kenangan, kertap-kertap
lumpur menghalau cuaca. Puting putihmu bersigasing
antara musim dan kutukan.
Maka kulepas kutangmu, seperti belukar
sayatan pada perdu. Surabaya lembab-samun,
menjadi awal bagi segala pemberontakan dan bisu
Jalan-jalan diteguhkan pelacur,
tapi kesepianku memanjang, muram
menuju kematianku. Aku kilaukan tandan
belulang taifun. Demi selongsong peluru
Bisikan-bisikanku kabur bersigaung pada batu

Tapi pahamilah bagaimana kekosonganku


berlutut, saling menghisap mulut. Segenap rasa sakit
di atap-atap gedung dibakar perusuh. Demikianlah
kelaminku sontak menggembung, memimpikan
derita jenazah-jenazah pemulung. Bahkan apabila bibirku
mencucupi susumu. Sedang mayat-mayatku mabuk
dalam seratus kesumat mengkaparkan tahun-tahun.
Kecabulanku menghidupkan patung-patung pembunuh.
Lenganku makin pipih, menyabitkan rerumput.

2003

Angin Daratan

Angin daratan meliuk. Bagai burung,


rambut panjangmu tergelung,
menyoraki kabut. Aku memencil serupa tikus.
Bayang-bayangku memudar, diumpati tahun.
Asap gerhana mengepul. Arwahku lari telanjang
menghijaukan daun. Musim-musim tandus.
Sekarat! Susut sepanjang kerak retak lumpur.

Melebihi maut, tapi katakanlah bagaimana


kau cantik, sedang seratus bulan karam
menyiuli nadiku. Keringatku murung. Di ujung pelangi,
darahku kering, bersitetes dengan gema menyerupai guntur.
Dengarlah reqium-requim tatapanku, meski
malam tahajud dan kelam tak juga limbur.
Gedung-gedung dibangun dan runtuh. Seluruh kenangan
dan cumbu bersembunyi di balik celana dalammu.
Aku kini hantu. Puasa dengan jidat tertembus peluru.

Bunga-bunga hanya kutuk, tapi lanskap


seratus kematian ungu. Waktu!
Bangkai-bangkai kelelawar berpekikkan sepanjang gorong
kerongkonganku. Kelak di daerah perbatasan
yang tak dikenal aku memperkosamu. Kaki-kaki
patah arwahku menancapkan cakar-cakarnya yang busuk
di pusat pusar mendung. Segera aku mabuk. Orgasme
tanpa peju. Betapa belatungku hancur. Fantasiku
angus-lebus. Memulai segenap kisah pertempuran
dan derita masa lalu.

2003

Berbisik di Dalam Bayangan

Aku berbisik di dalam bayangan.


Tangan-tangan arwah ingatanku yang kurus
menjulurkan kegelapan. Dingin pecah,
meleler di selangkangan cuaca. Rumput-rumput
merintih, tapi payudara-payudara gerimis yang buntal
menopang kelam. Masa lalu mendetakkan gempa.
Kota-kota terbakar. Melengangkan jalanan.

Sisa-sisa keringat jamur yang kuyup,


mengharumkan ajal. Gagak-gagak langit cerlang
berjatuhan, menyiulkan ode hitam seratus pertempuran.
Kesunyianku menemukanmu seolah selokan-selokan
kampung yang gasang. Segera aku onani dengan kelamin
tersayat. Pengetahuanku berkhianat pada bulan.
Meditasi kupu-kupu selepas senja memanggil taufan.
Lintang lapar dikacaukan khayalan. Mayatku sungsang,
mengangkat martil, mengayunkan kekosongan.

2003
Millenium Seratus Kematian

Dari rumpun daun yang mengering,


kristal tangisku yang memudar menciumu
telapak tanganmu. Sepanjang trowongan gerimis
yang jauh, kawah-kawah kesunyian mendidih,
menjelma benua, menghidupkan deru guntur.
Seperti pemabuk, aku hakimi tidurmu.
Arwahku sungsang, mencuri anggur
yang kau sembunyikan di jurang rambutmu.
Seluruh gairah dan derita menuangi gelas-gelas
cawan kerinduanku. Tangis jalan-jalan memecah!
Wujud-wujud kejahatan mengetuki jiwaku.

Jejak-jejak semut mengabur di dinding


dinding lembab kampung. Ingatan rasa sakit
yang dikhusyukan taifun merengkuh ikrar-ikrar liar,
membangkitkan jenazah-jenazah hantu. Seteguk
menara kubangun di tengah laut persis halus
pipimu. Ada yang tumpas, meski di malam-malam
tak berbatas bulan hilang lekas. Diam pasir-pasir getas,
seluruh keperihan meledak-lepas! Bahkan ketika
kutemukan tiang lehermu yang jenjang, sementara
dari masa lalu kusaksikan bagaimana bayang-bayangku
raib, menyerah pada kilat millenium seratus kematian.

2003

Surealita Tahun-tahun

Aku runtuh bersama bayangan.


Dengan cahaya bulan Desember yang ungu,
pikiranku yang hidup
tanpa ujud menampung
derita lindu. Seperti perunggu,
waktu jadi retak, dan aku terapung-limbung
antara ledakan dan yatim rambutmu.
Menjadi retakan, aku sisipkan seteguk
keindahan dari keterpencilan
yang menyingkap semua rahasia
bunuh diri di tempikmu. Hujan melukaiku
dengan segenap keajaiban dan kutuk. Daun-daun
jatuh, terperangkap antara fantasi dan lumpur.

Renjana awan kelabu membungkus


para pejalan, mengembalikan kesia-siaan, juga gelap
jiwaku. Di sebalik gerimis,
sunyi yang menggeram
telah selesai kutafsirkan sebagai sepotong sajak,
tapi betapa labirin pipimu yang remaja
demikian halus, senantiasa
memberikan percikan pada pilu.
Seolah ingatan yang kerap tertinggal
antara sejarah dan selangkang pelacur, aku kenang
bau mulutmu, ruhku meluncur-samun di sela-sela guntur.
Ini enigma, meski kualami perubahan musim
melebihi kejahatan yang menyala di bawah mendung.
Sungai-sungai mengawali seluruh kisah dan keruh.
“O kulihat ledakan-ledakan di dasar kabut!”
Seribu milenium mayatku hitam, murung,
mengkhayalkan bulan dan gemeretak zakar
surealita tahun-tahun.

2003

Anda mungkin juga menyukai