Anda di halaman 1dari 4

PUISI-PUISI

Malam yang Hangus

Malam yang hangus oleh rindu


membakar mayatku. Di kota-kota kesunyian
yang samun, ciumanku yang tinggal bulan
meluncur, terbuang, menjilati amis rahim waktu.
Kutahu rambutmu pendek, tapi nafas para pemabuk
yang muram sepanjang gelap memenuhi
jantungku. Di jiwaku, bangkai-bangkai anjing
liar membusuk. Bibirmu melepuh, menikungkan
jalan-jalan, menghardikkan hantu-hantu.
Seketika arwahku yang mesum
beringsut, menuju jarak tak terjengkal yang dikekalkan
100 riwayat pemberontakkan dan embun. Katakanlah
bahwa sukmaku telah meletuskan segala rindu,
tapi cintaku yang flu hanya menyisakan batuk melulu.
Sayang, bumiku bisu, dan iklim hanya
tinggal kuyup tanpa setubuh! Suara-suara
dari ajal yang bakal dikenal meneguhkan diamku.
Penampakanmmu remaja. Seluruh kekejaman
dan kekosongan memicu kabut, menamai kembali
segenap lanskap keterasinganku.
Sebab seluruh mimpi adalah defile
burung-burung yang menyongsong tahun-tahun
kematianku. Hidup begitu getir, tapi di balik
tidurku masih kuimpikan matahari bersisembul
dari sela kedua payudaramu. Barangkali
segenap derita hanyalah runtuhan daun-daun
yang meneguhkan pekik trowongan, melampaui
guntur. Kini biarkan aku usap pipimu,
meski langit masih saja sehitam pahamu!
Aku kesumat yang pernah dilahirkan maut
lewat lobang duburmu. Kelak sajak-sajakku lapuk.
Belatungku biru, lebih gaib daripada cemburu.

Kekosongan ini

kekosongan ini :
sodomi
atas perempuan dan matahari
suara-suara granat yang menggelepar
dan senantiasa menjadi tiang
tiang bayangan bagi sepi—
kekosongan ini:
ruang hampa ilusi-ilusi
yang disenandungkan sejarah
yang menggempar
dan senantiasa mencari senggama
sepanjang pelirku yang ringkih
semacam kantong kumuh buah dadamu
yang kenyal
yang menggembungkan serapah air

2002-2005

Arah Taufan
Buat Pe

Di kota ini musim cuma tinggal angin.


Hujan yang raib dari jalanan memperpendek jarak
antara luka dan terik. Pernah, sekali, kau minta
cumbu, seteguk sajak yang tumbuh
sepanjang pilu. Kutenggak
paloma, kampung-kampung tua
yang lengang meliuk tanpa kenangan.
Kesadaranku bernostalgia dengan kejahatan.
Jasadku meregang, telanjang, sesaat, menjadi doa-doa
hitam yang diingkari Sorga. Seribu kupu-kupu yang pernah
kubedil sepanjang diam berusaha menafsirkan
arah taufan. Daun-daun pucat, mengering di halaman.
Tanpa alasan: aku bakar belukar, tapi kulitmu yang remaja
menggelap, menghamburkan kunang-kunang.
Bintang-bintang susut—bersiledakan sepanjang senyap.
Tapi seolah rasa getir yang sempurna, kau
meninggalkanku. Anak-anak bajang berlarian di tengah
malam, memainkan layangan. Ruhku menciptakan
gumpalan-gumpalan awan dari dendam. Sebab
seluruh gerak, juga bau tubuhmu, kalaupun masih
ada, hanya tinggal gersang. Sungguh sukmaku murung,
mencari-cari ujud jembalang. Tapi, katakanlah gairahku
menyabitkan gobang. Pekikanku membiru di angkasa.
Rambutmu memanjang, mataku menyipit,
masih saja gagal menutupi lautan. Bagai gaung gema,
aku berharap tertidur di sampingmu melampaui
adzan. Dengan pelir terkokang aku tentang Neraka!
Barangkali memang telah percuma
segala prosa. Di pelabuhan-pelabuhan
terkelam aku larungkan muram. Nyawaku
pudar. Bibirmu memerah. Mayatku lupa makam,
darahku asam, menorehkan lebam.

Hantu tanpa Kepala

Di negri tropis kematianmu, aku sabitkan bisikan.


Bersama gaung gerhana, hari-hari tuaku yang tak bertuan
mengembara, memercikkan gema.
Siapa kira bintang yang setia hanya tinggal hitam.
Hujan makin kental, membakari tatapanku yang tinggal buta.
Tikus-tikus tewas tanpa kenangan.
Fantasi-fantasiku pucat, murung, orgasme percuma.
Bagai granat, kerinduanku yang samun bersiledakan,
menghidupkan kembali doa-doa seribu kejahatan.
Tanpa bulan, aku pun mabuk, tapi seluruh udara menggigil,
meniadakan suara.
Kau potong rambutmu bagai pohonan dirumpangkan taufan.
Waktu memendek, segenap dendam merabunkan usia.
Aku purba tanpa senggama.
Burung-burung raib dari pikiran.
Sebab segenap iklim sekarat, meski puting mungilmu
yang bengal telah membirukan Sorga. Cuaca kini cuma tinggal dingin
tanpa pejalan. Kota-kota yang kuyup dalam genangan
memanggil napas para pelacur melampaui nyawa.
Demikianlah di mana-mana kabut membuka kutangnya
melampaui seluruh rasa sakit termuram.
Aku hunuskan pelirku bagai kelewang.
Kelak kau buka celana dalammu seumpama ajal!
Kekosonganku jadah. Arwahku memaki-maki Neraka.
Keterpencilanku melesat, melemparkan hantu-hantu tanpa kepala.

Gambus Hujan

Hujan merampas seluruh bulan dari ingatanku.


Berabad-abad darahku hangus, mengerang, mereguki
100 keringat gerhana yang diteteskan rindu.
Kau ikat rambutmu, seupama pesona rasa lapar
yang mencari setubuh pada pelacur. Jalanan diinapi
genangan, tapi gerimis yang sendiri melupakan jejakku.
Jasadku memutih tanpa ciumanmu! Mayatku acuh.
Kegelapan membatuk, sepanjang tidur, menjadi turbin
bagi rengat paru-paruku.
Meski udara tak pernah sampai pada tremor
lenganku. Sungguh daun-daun di halaman telah kuyup.
Tikus-tikus yang kufur terbantai, tinggal tengkorak
tanpa bau. Sebab begitulah, gigil yang dibaitkan
iklim begitu gentar, bergaung-gaung, memudarkan
sisa remah, juga bayanganku. Tak ada sajak. Bahkan riwayat
para pejalan telah raib dari jiwaku. Dengarlah siulanku,
seteguk reqium yang pucat, yang pernah dipekikkan Neraka
pada pilu. Langit cuma hitam di pelupuk mataku! Aromamu raib.
Penampakanku gaib melebihi hantu. Burung-burung marabu beku
di angkasa, menjadi ornamen bagi kematianku.

Anda mungkin juga menyukai