Anda di halaman 1dari 4

PUISI-PUISI SITOK SRENGENGE

Bunyi Sunyi
Parafrase atas musik Tony Prabowo

Bunyi-bunyi ganjil itu, kawanku, memanggilmu sampai kelu


Jiwa terkucil yang ragu, bersandar bilah bayang-bayang,
melawan arus waktu yang menderas
menggerus mimpi-mimpimu
Kibaskan rambutmu, biar debu gemerincing mengusir sepi
yang selalu menyemai di sela seloroh orang ramai
Biar gairah berpijar bagai putik bunga api,
membakar hari-harimu yang memar
Kudengar derit derita, senyaring rasa sakit paling purba,
mungkin senar-senar syaraf berdenyar didera duka,
atau raung rindu dari ruang gelap tubuh
tak tersentuh
Kata-kata gagu meniru bunyi-bunyimu, cahaya redup,
tak sanggup menjelmakan sosokmu yang gagap-gugup
Hanya hening, membentang antara damba dan hampa,
selengang padang gersang
Kau melenggang, sendiri, meracik benih bunyi:
rintih ringkik raung ricik—menjadi sunyi
Tumbuh liar di tepi-tepi, serupa lantana
merekah jingga: kelopak-kelopak luka
Bunyi-bunyi ganjil itu menyeru namamu:
derit derita, jerit sakit, denyar duka,
ringkik rindu, sengal ajal
nan kekal

--------------------------------------------

Lidah Ibu

Cahaya yang pendar dalam kata, bukan percik api bintang pagi
Bayang samar yang gemetar di sana,
bukan geliat muslihat fatamorgana
Ini sajak menampik suara yang disumbar para pendusta
Di sesela konsonan-vokal menggema cinta tak terlafal
Huruf-hurufku bersembulan bagai gairah bebunga,
mencerap cerah cahaya
Di bawah tanah kaki-kaki mereka menjalar seliar akar,
menjangkau sumber air
Kata-kataku menautkan daya renggut inti bumi
dan medan magnet yang dilancit lambung langit,
menggerakkan yang diam, meneriakkan yang bungkam
Larik-larikku dirimai rindu pada pencinta
yang datang tanpa predikat tanpa belati di belikat
Nafasnya meraba rabu,
kelembutannya membelai betak benakmu
Lidah ibu menyalakan lampu dalam kataku
Benda-benda yang tersentuh cahayanya pun mengada:
riuh menyebut nama-nama, piuh merajut semesta
Di semesta sajak ini tak sebiji benci semi bagi pendengki
Lidah ibuku menjelma pohon pengasih buah hati

--------------------------------------------

Kata Asing
: Sylvia Plath

Di negeriku, Sylvi, saat ini matahari masih rendah,


mimpiku masih basah, puisi belum usai meraut wajah
Tak perlu terburu,
bangku kayu di taman khayalmu, di mana kau inginkan aku
duduk berderet dengan kata-kata lain dari kamusmu,
masih bertabur serbuk salju, mungkin kotor
oleh tai burung dan gugur daun sikamor
Sebentar lagi, segeliat tubuh lagi
Aku akan datang dengan separuh ruh matahari tropis
bagi rerumpun perdu yang meranggas di ranjang ranjaumu
Jemariku rindu bebunyi yang menggema dari sentuhan,
selirih pekik dandelion ditakik angin muson
Bawalah, seperti biasa, roti bakar selai marmalad
tapi kumohon jangan lagi berkelakar tentang kiamat
Kami, kata-kata yang kaupingit demi mengungkit sakit,
lebih senang kausiapkan kertas merang dan pencil arang
Sebab, jika nanti kaulansir puisi kabut dan bulan ranum,
kami ingin menaswir wajahmu yang semuram tarum
Semoga kau tak lupa, Sylvi, saat itu 23 Februari:
cuaca berangin meski suhu udara tak begitu dingin,
aku tiba di taman itu tapi kau tak kutemu
Hanya perempuan sunyi, tubuh rapuh berperancah duri
mengurai benang tangis merajut repih jiwa,
seperti linguis letih merunut siapa
yang pertama melafal kata
Tapi aku menunggu. Menunggu kisah-kisahmu,
sepenggal demi sepenggal, yang membuatku kian rapat ke ajal
Sampai kutahu: kau tak lagi menginginkanku,
pun semua kata yang berbaris rapi
yang selama ini kausapa puisi
Sebab telah kaukatupkan semua pintu dan jendela,
kausumbat ventilasi dan lubang kunci, sebelum gegas
ke negeri nirkata yang kaucipta dari dengus gas
--------------------------------------------

Ular dan Penyair

Di Taman Edan, aku bersua sesosok kata terpuruk mabuk di pojok kalimat jorok. Rambut
gimbal akar gantung beringin tua, pakaian kumal sarang kepinding dan kecoa, mulut busuk
comberan mampat, tubuh gembrot burik berborok
Kusapa ia dengan cinta. Mata bara menjelang padam, kerjap binal bintang zohal. Kutawari ia
mandi, pakaian bersih-rapi, sebotol minyak wangi. Siapa tahu kelak, ketika nasib tak lagi
congkak, seorang penyair yang sedang cari inspirasi memungutnya sebagai anak asuh dan
memberinya rumah dalam puisi yang teduh
Aku ingin kau mampus, ia mendengus ketus. Bau mulutnya alkohol kakilima. Lidah
bercabang, kata-kata terucap sumbang. Kudengar ia kentut, udara pun semaput. Lalu ia
muntah, menumpahkan bangkai kawan-kawannya sendiri yang ia telan sembari masturbasi
Tak ada sajak cukup kupijak, ia berlagak. Aku terlalu besar. Aku bukan kata sekadar. Segala
sesuatu bermula dariku. Aku penyebab penyair lahir. Firmanku suci, perintahku dipatuhi para
nabi. Penyair tak lebih dari pendusta nyinyir, bertualang dari remang ke temaram, tanpa kitab
keabadian. Aku kutuk mereka: mendamba cahaya, didera derita
Mungkin saat itu tuhan pulas di selembar daun apel yang lepas. Angin berdesir, muncul si
penyair. Rambut tersisir klimis, dandanan necis. Sambil mengelap ujung sepatu ia ucap salam
rindu kepadaku. Kata- katanya terdengar lain, sesahdu irama latin. Aku terpukau, dalam
dirinya bebukit hijau, bentang kebun kakao, kemilau danau
Sambil menimang apel malang, si penyair bilang: Aku sedang menyusun ulang kata-kata
yang sengaja tak diucapkan Adam kepada Eva, tentang Lilith istri pertamanya. Kelak akan
gamblang, mengapa dunia dipenuhi para pecundang. Mereka pencemburu yang tak doyan
mengunyah sajak, lebih gemar memburu dan mengenyah orang bijak, bersenjata pedang
dusta
Kata busuk yang terpuruk mabuk di pojok kalimat jorok itu seketika kuyu. Ia beringsut kecut,
melata pergi, lalu lesap ke kobar api, jauh di luar sajak ini

--------------------------------------------

Separuh Kromosom

Kau, suara yang sayup kudengar saat mula selaput telinga tergetar,
senandung kidung segugup degup jantung, membisikkan fajar
sejenak setelah aku sadar, mengajar mengeja semesta cinta
sampai sangkakala melengking melengkapkan usia
Kau, wujud yang lamat kulihat kali pertama pelupuk mata terbuka,
cerlang sejernih pandang kekasih, sabar menjalar di langit nalar,
mengelus santun ubun, menuntun tangan menatah nisan
sebelum cahaya dan apiku padam di sumbu kalbu
Dan aroma asing yang paling dulu kuhirup, tiada lain selain kau,
seharum hawa lembab di lembah susu, melecut kelepak paru,
mengulur nafas mengalirkan nafsu, ke muara rahasiamu
kelak ketika udara henti di hulu nadi
Siapa lebih setia dibanding kau – jiwa yang tak jeri mengembarai diri
sendiri, detikmu serentak detakku, harimu sehiruk haru-huraku,
rasaku meraba rabumu, tak tanggung kautunggui aku
hingga hapus air mataku dari mata airmu
Kukecup-kecap cintamu, kupagut pagi-petang, kusesap siang-malam,
kau bertahun bertahan, tanpa alpa tugasmu: menumbuh-rubuh-rapuhkan
kenanganku, sampai aku melupakanmu ketika tanah
memintaku kembali ke Entah

Anda mungkin juga menyukai