Anda di halaman 1dari 4

PUISI-PUISI SITOK SRENGENGE

Di Hamburg Sepi Menghambur

Kecuali kelam cuma angin compang-camping,


seusai sepi merajamkan sejuta taring
Hawa jekut bersalto di perut gelandangan,
bayang-bayang maut dari ghetto masa silam
                     
Sepi menjalar, mendesis di lurung-lurung gedung,
lidahnya menjilati patung-patung di taman
Udara menggelepar, menanggung gaung,
menebar bau rawan peraduan
                          
Dan di danau yang menyerupai genangan mimpi,
sulur-sulur cahaya seakan pendar fosfor akar kuldi

Gesau Gestapo telah lama tenggelam di dasar danau itu,


tapi masih tersisa isyarat yang mengeruhkan kalbu:
di lorong-lorong Metro, ketika rinding riuh kehilangan echo,
lolong sengau dan kerling menjauh bagi kulit sawo

Sepi meringkuk berselimut kabut tebal


di pucuk menara katedral,
dengkur lembut yang ngalir dari alam bawah sadarnya
melantunkan Talmud dan mimpinya sinagoga
                 
Riap tunas kembang menyingkap jangat bumi:
ada yang sedang berdandan, barangkali musim semi

Busut-busut salju mulai memuai,


bagai lisut seprai. Rambut angin kusut masai
Yang berlanjut cuma kelam,
merajut kelamin ke kelambu malam

Nafsu yang menggerakkan waktu,


nafas yang menafikan belenggu beku
Tubuh yang melimbak,
butuh yang meliur
Ke dalam sajak
sepi menghambur
1997                             
Kenangan Scheveningen   
                             
Ada yang senantiasa melukisi daun dan buah,
lihat jejaknya menggaris di batuan tanah
Aku daun yang tanggal, terbasuh embun         
sebelum luruh dibantun taifun
Kau buah yang mengkal, tersepuh ranum       
sebelum jatuh dikulum alum

Kita tumbuh dari akar berbeda,


meski mencecap air dari sumber yang sama      
Aku datang dari perih yang diguritkan angin  
dan angin mengibarkan rambutmu yang perak
Lihat tapaknya mengering di bangkai musim, 
sebagian abadi dalam sajak
  
Kita saksikan laut
melalui nyala lilin dan rekahan kembang         
Pulau-pulau bagai bangkai hanyut,                    
jerit di jauhan menyusun bukit karang     

Kapal-kapal beringsut                                    
memasuki kelabu kabut,                                        
kau melambai                      
ke pemuda kusut masai                                         
"Kelak ia kembali membawa buah pala             
dan seorang putri Minahasa.
Aku adalah cucu mereka."
                       
Jauh di tepi danau gubuk-gubuk gipsy diperam perih waktu
hingga udara dan air payau sama membeku,
tapi pohon-pohon putih menanggalkan baju
dan aku tertindih tumbang tubuhmu

1997

Musim

Tak pernah henti cinta mencintai 


sampai usai tak letih silih mengisi
Dulu
sebelum menyatu
aku bergelar lapar
kau bernama dahaga
Sama-sama baru tiba dari hampa
Lalu
dibimbing waktu
aku melahapmu
kau meregukku
Sejak itu kita bukan lagi yang sediakala
Betapa perkasa cinta
Ia jelmakan kita jadi manusia
Kuhasratkan kau rebah di tanah
sebab aku petani yang tabah
setia membajak dan mencangkulimu
memupuk dan mengairimu
Hingga kau bunting
melahirkan nasi ribuan piring
Kadangkala aku pekerja pabrik gula
merawat ladang tebu
atau menjaga gerak mesin gilingmu
Agar tak cuma aku
tapi semua yang dekat kita
tetap bisa menikmati manismu
Dalam dambaku kau seindah musim basah
selalu murung dan menangis
setiap kausaksikan kawanan burung
meninggalkan hutan tropis yang hampir habis
Kubuka sawah dan kebun
menadah gairah yang rimbun
sebelum kau berpaling sebagai musim kering
membuatku gering rindu peluhmu
Aku bergantung padamu
Tak perlu kuminta kau jadi yang kumau
Cinta ibarat bunga: merekah indah
sudah itu layu lalu luruh demi buah
Petani dan musim
tak terpisah

Sekarat di Tubuhmu

Aku sekarat di tubuhmu.


Gerhana pucat menyambit gulungan cahaya
yang ditenungkan guntur. Burung-burung lenyap,
tapi arwahku tenggelam seolah kabut.
Aku mati dalam hidup,
detak-detak jam dinding
membangun candi-candi dari kutuk.
Ingatan dan gempa menyusuri kota-kota derita
yang berdiri tegak sebagai pohonan salju.
Helai-helai udara melarikan diri, begitu kufur.
Ketiadaan yang tabu menaggakan bayangannya
sendiri seolah tikus.
Lalu. Langitpun terasa dangkal,
lebih tajam daripada masa silam yang menguntitku.
Bersama setubuh, dunia yang tak tercipta
memanggil bangkai-bangkai
kucing kurus. Aku hembuskan hasrat-
hasrat laut, tapi matahari biru menyayat
saman wajahku.
Ruhku berayun di susumu,
kupu-kupu yang berkelana di kegelapan
kehabisan darah seolah lumut. Sebagai pilar hitam,
aku lemparkan ajimat
ajimat taifun. Sisa-sisa gerimis
samun menyusut jadi batu. Segala asal-usul
lebur bersama Lumpur. Sukma-sukma daun
yang bersidesau
dengan ajal mendirikan
makam dosa seratus sakratul.
Sebab, gunung-gunung telah raib,
sedang cakrawala muram, lebih amis daripada tuba rambutku.
Kupahat mayatku di puncak halimun, rasul-rasul
yang menyimpan kesumat
mengobarkan ngungun. Renungkanlah
badai hijau hantu-hantu, meski di antara kedua pahamu
jenazahku lebih dukun daripada debu.
Kelak mimpi-mimpi kabur, tetesan-tetesan air
menyimpan rahasia belulang seratus syahwatku!
Kini, bulan busuk,
terkubur di jurang-jurang perdu.
Sesaat jiwaku kemilau. Bersama pasir,
aku mulai segala kejahatan dan sunyi, kekekalanku
penguk, lebih terasing daripada lazarus

2002

Anda mungkin juga menyukai