Anda di halaman 1dari 5

PUISI DIPENOGORO

CIPTAAN:Chailri anwar

Di masa pembangunan ini


Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak genta. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
inasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.

Februari 1943
SAJAK TAFSIR

Ciptaan:Sapardi Djoko Damono

Kau bilang aku burung?


Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu
Tolong ciptakan makna bagiku
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.
Barangkali Karena Bulan

Ciptaan:W.S Rendra

Bulan menyebarkan aroma berahi


dari tubuhnya.
Yang lalu melekat di daun-daun pohon tanjung
yang gemetaran.
Seekor kucing jantan mengerang
dengan suara ajaib.
Mengucapkan puisi yang tak bisa ia tuliskan.
Dan, Ma, aku meraih sukmamu
yang jauh dari jangkauanku.

Aku tulis sajak cintaku ini


Karena tak bisa kubisikkan kepadamu.
Rindu mengarungi Senin, Selasa, Rabu,
Dan seluruh Minggu.
Menetas bagaikan air liur langit
Yang menjadi bintang-bintang.

Kristal-kristal harapan dan keinginan


berkilat-kilat hanyut di air kali
membentur batu-batu yang tidur.
Gairah kerja di siang hari
di malam hari menjadi gelora asmara.
Kerna bintang-bintang, pohon tanjung,
angin, dan serangga malam.

Ma, tubuhmu yang lelap tidur


terbaring di atas perahu layar
hanyut di langit
mengarungi angkasa raya.
Ah
(Karya Sutardji Calzoum Bachri)
rasa yang dalam!
datang Kau padaku!
aku telah mengecup luka
aku telah membelai aduhai!
aku telah tiarap harap
aku telah mencium aum!
aku telah dipukau au!
aku telah meraba
celah
lobang
pintu
aku telah tinggalkan puri purapuraMu
rasa yang dalam
rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala nyata sebab dari segala abad sungsang
dari segala sampai duri dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau kubu dari segala
buku resah dari segala rasa rusuh dari segala guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina
dari segala Anu puteri pesonaku!
datang Kau padaku!

apa yang sebab? jawab. apa yang senyap? saat. apa


yang renyai? sangsai! apa yang lengking? aduhai
apa yang ragu? guru. apa yang bimbang? sayang.
apa yang mau? aku! dari segala duka jadilah aku
dari segala tiang jadilah aku dari segala nyeri
jadilah aku dari segala tanya jadilah aku dari se-
gala jawab aku tak tahu

siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit siapa laut yang paling larut siapa tanah
yang paling pijak siapa burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal siapa tahu yang
paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau tak aku yang paling rindu?

bulan di atas kolam kasikan ikan! bulan di jendela


kasikan remaja! daging di atas paha berikan bosan!
terang di atas siang berikan rabu senin sabtu jumat
kamis selasa minggu! Kau sendirian berikan aku!

Ah
rasa yang dalam
aku telah tinggalkan puri purapuraMu
yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung yang mana nama selain mana
yang mana gairah selain resah yang mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu
yang mana tiang
selain
Hyang
mana
Kau
selain
aku?
nah
rasa yang dalam
tinggalkan puri puraMu!
Kasih! jangan menampik
masuk Kau padaku!
Kita adalah pemilik sah republik ini
Ciptaan:Taufiq ismail
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
(1966)

Anda mungkin juga menyukai