Anda di halaman 1dari 16

PUISI SMP SEDERAJAT, SMA/SMK

GUGUR
SEDERAJAT
Karya W.S. Rendra

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya.
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia
sudah tua
luka
-
luka di badannya.
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya.
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.
Belum lagi selusin tindak
maut pun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
“Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah
Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah jiwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa.
Orang tua itu kembali berkata:
“Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah,
kita akan
berpelukan buat selama
-
lamanya!
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata:
“Alangkah gembur tanah di sini!
Hari pun lengkap malam
ketika ia
menutup matan
Senja Di Pelabuhan Kecil
Karya : Chairil Anwar (1946)

Ini kali tidak ada yang mencari cinta


di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang


menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan


menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Sejarah Kami
(karya Ediruslan Pe Amanriza)

Sejarah kami
adalah dongeng nenek menjelang tidur

Sejarah kami
adalah kilatan pedang para lanum
mengendap di teluk
dan tanjung
merayau selat
dan sungai
menjarah hutan
dan gunung

Sejarah kami
adalah pantun dan gurindam
rindu kemerdekaan
dan kebebasan

Sejarah kami
adalah dzikir dan syair
nyanyi panjang
pahit dan getir

Sejarah kami
tak tersurat
tak tersirat
dalam kitab

Sejarah kami
adalah wajah yang tertunduk
di depan cermin dunia

HAI TI
(Karya Ibrahim Sattah)

ti yang tiang topang ke punca cahaya puncanya


jejak ke gaung ke gaung ke mana jejaknya
ikutkan aku kata angin ikutkan aku kata awan
ikutkan aku kata bulan
ikutkan aku
ikutkan
aku

ti yang tiang topang ke punca cahaya puncanya


jejak ke gaung ke gaung ke mana jejaknya
kuikutkan angin kuikutkan awan kuikutkan bulan
kuikutkan ke mana akan kuikutkan
selaju cahaya selaju cahayalah aku ke punca
jejak ke punca ke punca ke mana puncanya
tanyakan aku kata angin tanyakan aku kata awan
tanyakan aku kata bulan
tanyakan aku
tanyakan
aku

tanyakan kemana akan kutanyakan


ti hai ti yang tiang topang
gelap pukaumu membelah batu tempat tidurku
ke mana angin ke mana awan ke mana bulan
ke mana akan ke mana dunia ke mana akan ke mana
keranda
ti hai ti yang tiang topang gapaiku gapai ke kau
ti hai ti yang tiang topang
gaib gapaiku ke
punca
mu

Perjalanan Kubur
karya: Sutardji Calzoum Bachri

Luka ngucap dalam badan


kau telah membawaku
keatas bukit, keatas karang, keatas gunung, ke bintang2
lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
untuk kubur mu alina

untuk kubur mu alina


aku menggali-gali dalam diri
raja dalam darah mengaliri sungai-sungai
mengibarkan bendera hitam
menyeka matahari
membujuk bulan
teguk tangismu alina
sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi ke sungai membawa kubur-kubur
sungai pergi ke akar, ke pohon, ke bunga-bunga
membawa kubur mu alina
PUISI MAHASISWA
WAJAH KITA
Karya: Hamid Jabbar

Bila kita selalu berkaca setiap saat


Dan di setiap tempat
Maka tergambarlah:
Alangkah bermacamnya
Wajah kita
Yang berderet bagai patung
Di toko mainan di jalan braga:

Wajah kita adalah wajah bulan


Yang purnama dan coreng-moreng
Serta gradakan dan bopeng-bopeng
Wajah kita adalah wajah manusia
Yang bukan lagi manusia
Dan terbenam dalam wayang

Wajah kita adalah wajah rupawan


Yang bersolek menghias lembaran
Kitab suci dan kitab undang-undang
Wajah kita adalah wajah politisi
Yang mengepalkan tangan bersikutan
Menebalkan muka meraih kedudukan

Wajah kita adalah wajah setan


Yang menari bagai bidadari
Merayu kita menyatu onani
Bila kita selalu berkaca dengan kaca
Yang buram tak sempurna
Maka tergambarlah
Alangkah berperseginya

Wajah kita yang terkadang bagai binatang


Di kota di taman margasatwa
Wajah kita adalah wajah serigala
Yang mengaum menerkam mangsanya
Dengan buas, lahap dan gairahnya

Wajah kita adalah wajah anjing


Yang mengejar bangkai dan kotoran
Di tong sampah dan selokan-selokan
Wajah kita adalah wajah kuda
Yang berpacu mengelus bayu
Mendenguskan napas-napas nafsu
Wajah kita adalah wajah wajah babi
Yang menyeruduk dalam membuta
Menyembah tumpukan harta-benda

Wajah kita adalah wajah buaya


Yang meratap dalam riangnya
Dan tertawa dengan sedihnya
Bila kita selalu berkaca dengan kaca
Yang mengkilap dan rata
Maka tergambarlah
Alangkah berseadanya

Wajah kita
Yang mendengar segala erang
Berkerendahan hati dan berkelapangan dada
Wajah kita adalah wajah
Yang kurang tambah
Serta selebihnya

Wajah kita adalah wajah


Yang sujud rebah
Bagi-Nya jua
Wajah kita adalah wajah
Yang bukan wajah
Hanya fatamorgana.

Resonansi Indonesia
karya: Ahmadun Yosi Herfanda
Bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
laut yang mengasuh hidup nakhoda
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
permata zamrud di katulistiwa
: kau dan aku
berjuta tubuh satu jiwa

kau semaikan benih-benih kasih


tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur di ladang tropika
pohon pun berbuah apel dan semangka
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
: kau dan aku
berjuta kata satu jiwa

kau dan aku


siapakah kau dan aku?
jawa, cina, aceh, batak, arab, dayak
sunda, madura, ambon, atau papua?
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
berjuta wajah satu jiwa

ya, apalah artinya tembok pemisah kita


apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus menyatu dalam asuhan
burung garuda
Selamat Pagi Indonesia
karya: Sapardi Djoko Damono

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk


dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil


memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu

Siak Sri Indrapura


Dasry Al-Mubary

Kau terhenyak tegak

Di tonggak hitam rimba berdarah

Wajahmu lugu memolesku

Meneriakkan catatan lewat tanganmu

Kau tersandar

Siak Sri Indrapura

Perhitungan jari-jemari waktu

Menorehkan aroma bertaut kata


Tertinggal dari sekian makna

Siak Sri Indrapura

wajahmu wajah kenangan

entah kemarin

hari ini

Lusa

kucium mesra hingga alu lelah


SAJAK SEORANG PRAJURIT
Karya: Suminto A. Sayuti

(Seorang prajurit telah meninggalkan pabarisan


sebab sebuah keyakinan bersarang dikalbunya :
orang tak harus menang)

palangan ditinggalkan
terompet perang tak didengarkan
gendawa ditinggalkan
busur dipatahkan).

ya, akulah seorang prajurit yang lolos


dan mencoba lolos dari kurukaserta
menjadi seonggok sajak yang tersesat
di pinggir belantara.

(yang mencatat aum serigala


yang mencatat cericit burung di belukar
yang basah oleh embun
yang kering oleh matahari
yang terjun dalam jeram
yang tersesat dalam ruang tata warna).

telah kutinggalkan palagan


sebab palagan sebenarnya ada dalam badan
telah kutanggalkan gendawa sebab gendawa
sebenarnya hati tanpa wasangka
telah kupatahkan busur
sebab busur sebenarnya keberanian tak pernah luntur.

akulah prajurit yang telah terpisah dari pabarisan


dan menciptakan medan dalam sanubari
Pandawa-korawa dalam daging-daging berduri
Krisna dalam samadi
kemenangan dalam angan-angan
panah, kereta, tombak,
kuda darah,strategi, tulang, singgasana,
Sejarah...
dalam diri

akulah prajurit dengan sejuta tombak tertancap


yang lolos dari genangan darah, tonggak-tonggak tulang
kerikil gigi, ganggang rambut, panji-panji perang.

akulah prajurit bersimbah darah


yang menyusun jitapsara dengan tinta kehidupan
duduk sendiri di pinggir hutan.

akulah prajurit pewaris tahta kerajaan


yang tersenyum pada langit dan bumi
dengan senandung air mengalir, irama ganggang tak kenal akhir

akulah prajurit yang diharapkan


dapat mematahkan lawan
dengan telak dalam satu kali gempuran

ya, akulah yang banyak berharap dan diharapkan


sehabis usia lunas disini :
peremouan-perempuan desa:
tak lagi menjadi buruh-buruh industri kota
tak lagi membanjiri lokal-lokal prostitusi
untuk sekedar mempertahankan hidupnya
para petani tak lagi berpikir
dan bertanya-tanya
besok pagi kita makan apa

para penguasa
tak lagi berorientasi pada status,
jabatan, kursi, kewenagan,
dan sejengkal perut
dan bakal terlahir atas nama sukmamu
seorang pembela kawula yang celaka dan tertindas
dari denyut ke denyut, dari waktu ke waktu

akulah seorang prajurit yang terluka


dan lari dari medan pebarisan
tapi, luka itu tak lagi berdarah
dan menyiksa Cinta berbunga
kapan usia mengain: aku hanya seorang manusia

Anda mungkin juga menyukai