Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namamu Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling Sajadah Panjang Taufiq Ismail
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian Sampai ke tepi kuburan hamba Kuburan hamba bila mati Ada sajadah panjang terbentang Hamba tunduk dan sujud Di atas sajadah yang panjang ini Diselingi sekedar interupsi Mencari rezeki, mencari ilmu Mengukur jalanan seharian Begitu terdengar suara azan Kembali tersungkur hamba Ada sajadah panjang terbentang Hamba tunduk dan rukuk Hamba sujud dan tak lepas kening hamba Mengingat Dikau Sepenuhnya. Gumamku ya Allah W.S. Rendra
Angin dan langit dalam diriku,
gelap dan terang di alam raya, arah dan kiblat di ruang dan waktu, memesona rasa duga dan kira, adalah bayangan rahasia kehadiran-Mu, ya Allah! Serambut atau berlaksa hasta entah apa bedanya dalam penasaran pengertian. Musafir-musafir yang senantiasa mengembara. Umat manusia tak ada yang juara. Api rindu pada-Mu menyala di puncak yang sepi. Semua manusia sama tidak tahu dan sama rindu. Agama adalah kemah para pengembara. Menggema beragam doa dan puja. Arti yang sama dalam bahasa-bahasa berbeda. Jadi Sutardji Calzoum Bachri
tidak setiap derita
jadi luka tidak setiap sepi jadi duri tidak setiap tanda jadi makna tidak setiap makna jadi ragu tidak setiap jawab jadi sebab tidak setiap jangan jadi pegang tidak setiap kabar jadi tahu tidak setiap luka jadi kaca memandang Kau pada wajahku Diponegoro Chairil Anwar Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali Dan bara kagum menjadi api Di depan sekali tuan menanti Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri Berselempang semangat yang tak bisa mati. MAJU Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti Sudah itu mati. MAJU Bagimu Negeri Menyediakan api. Punah di atas menghamba Binasa di atas ditindas Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai. Maju. Serbu. Serang. terjang Atas Kemerdekaan Sapardi Djoko Damono
kita berkata : jadilah
dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut di atasnya : langit dan badai tak henti-henti di tepinya cakrawala terjerat juga akhirnya kita, kemudian adalah sibuk mengusut rahasia angka-angka sebelum Hari yang ketujuh tiba sebelum kita ciptakan pula Firdaus dari segenap mimpi kita sementara seekor ular melilit pohon itu : inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah Jakarta 17 Agustus 45 Dinihari Sitor Situmorang
Sederhana dan murni
Impian remaja Hikmah kehidupan berNusa berBangsa berBahasa Kewajaran napas dan degub jantung Keserasian beralam dan bertujuan Lama didambakan menjadi kenyataan wajar, bebas seperti embun seperti sinar matahari menerangi bumi di hari pagi Kemanusiaan Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945 Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu Widji Thukul
apa guna punya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli apa gunanya banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu di mana-mana moncong senjata berdiri gagah kongkalikong dengan kaum cukong di desa-desa rakyat dipaksa menjual tanah tapi, tapi, tapi, tapi dengan harga murah apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu Musium Perjuangan Kuntowijoyo
Susunan batu yang bulat bentuknya
berdiri kukuh menjaga senapan tua peluru menggeletak di atas meja menanti putusan pengunjungnya. Aku tahu sudah, di dalamnya tersimpan darah dan air mata kekasih Aku tahu sudah, di bawahnya terkubur kenangan dan impian Aku tahu sudah, suatu kali ibu-ibu direnggut cintanya dan tak pernah kembali Bukalah tutupnya senapan akan kembali berbunyi meneriakkan semboyan Merdeka atau Mati. Ingatlah, sesudah sebuah perang selalu pertempuran yang baru melawan dirimu. Ibuku Dahulu Amir Hamzah
Ibuku dehulu marah padaku
diam ia tiada berkata aku pun lalu merajuk pilu tiada peduli apa terjadi. Matanya terus mengawas daku walaupun bibirnya tiada bergerak mukanya masam menahan sedan hatinya pedih kerana lakuku. Terus aku berkesal hati menurutkan setan, mengkacau-balau jurang celaka terpandang di muka kusongsong juga – biar cedera. Bangkit ibu dipegangnya aku dirangkumnya segera dikucupnya serta dahiku berapi pancaran neraka sejuk sentosa turun ke kalbu. Demikian engkau; Ibu, bapa, kekasih pula berpadu satu dalam dirimu mengawas daku dalam dunia.