Anda di halaman 1dari 11

Diponegoro

Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini


Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak genta. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
inasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.

Februari 1943

Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini

Taufik Ismail

Tidak ada pilihan lain


Kita harus berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain

Kita harus berjalan terus


Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh

Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara


Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.

(Taufik Ismail/1966)

Merdeka Indonesiaku

Taufik Ismail

Hari ini … tujuh belas Agustus


Indonesia memperingati hari lahirnya
Gema merdeka dikumandangkan
Dari segala penjuru negeri ini
71 tahun silam …
Indonesia dijajah oleh kaum penjajah
Banyak darah ditumpahkan, nyawa dikorbankan
Demi untuk satu kata MERDEKA

Kini … Indonesia telah merdeka


Rakyat dapat tersenyum bangga
Sang saka merah putih berkibar sempurna
Mengudara di angkasa raya

Jayalah Negeriku
Makmurlah bangsaku
Kau tetap Indonesiaku
MERDEKA..MERDEKA..MERDEKA

MENATAP MERAH PUTIH


Karya: Sapardi Djoko Damono

Menatap merah putih melambai dan menari – nari di angkasa


Kibarannya telah banyak menelan korban nyawa dan harta benda

Berkibarnya merah putih yang menjulang tinggi di angkasa


Selalu teriring senandung lagu Indonesia Raya
dan tetesan air mata
dulu, ketika masa perjuangan pergerakan kemerdekaan

untuk mengibarkan merah putih


harus diawali dengan pertumpahan darah

pejuang yang tak pernah merasa lelah


untuk berteriak : Merdeka!

Menatap merah putih adalah perlawanan melawan angkara murka


membinasakan penidas dari negeri tercinta indonesia

Menatap merah putih adalah bergolaknya darah


demi membela kebenaran dan azasi manusia

menumpas segala penjajahan


di atas bumi pertiwi

Menatap merah putih adalah kebebasan


yang musti dijaga dan dibela

kibarannya di angkasa raya


Berkibarlah terus merah putihku

dalam kemenangan dan kedamaian

HARI KEMERDEKAAN
Karya: Sapardi Djoko Damono

Akhirnya tak terlawan olehku


tumpah dimataku, dimata sahabat-sahabatku

ke hati kita semua


bendera-bendera dan bendera-bendera

bendera kebangsaanku
aku menyerah kepada kebanggan lembut
tergenggam satu hal dan kukenal

Tanah dimana kuberpijak berderak


awan bertebaran saling memburu

angin meniupkan kehangatan bertanah air


semat getir yang menikam berkali

makin samar
mencapai puncak kepecahnya bunga api

pecahnya kehidupan kegirangan

Menjelang subuh aku sendiri


jauh dari tumpahan keriangan dilembah

memandangi tepian laut


tetapi aku menggengam yang lebih berharga

dalam kelam kulihat wajah kebangsaanku


makin bercahaya makin bercahaya

dan fajar mulai kemerahan

ATAS KEMERDEKAAN
Karya: Sapardi Djoko Damono

Kita berkata : jadilah


dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut

di atasnya : langit dan badai tak henti-henti


di tepinya cakrawala

Terjerat juga akhirnya


kita, kemudian adalah sibuk
mengusut rahasia angka-angka
sebelum Hari yang ketujuh tiba

Sebelum kita ciptakan pula Firdaus


dari segenap mimpi kita

sementara seekor ular melilit pohon itu:


inilah kemerdekaan itu, nikmatkanlah.

Nyanyian Kemerdekaan
Ahmadun Yosi Herfanda

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan


Di antara pahit-manisnya isi dunia
Akankah kau biarkan aku duduk berduka
Memandang saudaraku, bunda pertiwiku
Dipasung orang asing itu?
Mulutnya yang kelu tak mampu lagi menyebut namamu

Berabad-abad aku terlelap


Bagai laut kehilangan ombak
Atau burung-burung
Yang semula Bebas di hutannya
Digiring ke sangkar-sangkar
Yang terkunci pintu-pintunya
Tak lagi bebas mengucapkan kicaunya

Berikan suaramu, kemerdekaan


Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang dipilih
Di antara pahit-manisnya isi dunia

Orang asing itu berabad-abad


Memujamu di negerinya
Sementara di negeriku
Ia berikan belenggu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantoro
Bangkitlah semua dada yang terluka
“Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman itu atas namaku
Kekuatanku akan memancar dari genggaman itu.”
Suaramu sayup di udara
Membangunkanku dari mimpi siang yang celaka

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan


Di antara pahit-manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu
Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kuterjang pintu-pintu terkunci itu
Atau mendobraknya atas namamu
Terlalu pengap udara yang tak bertiup
Dari rahimmu, kemerdekaan

Jantungku hampir tumpas


Karena racunnya

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan


Di antara pahit manisnya isi dunia

(Matahari yang kita tunggu


Akankah bersinar juga
Di langit kita?)

Mei, 1985

Selamat Pagi Indonesia

selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk


dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
Pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil


memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar: aku tak lain milikmu.

Sumber: Basis (Januari, 1965)

NYANYIAN TANAH AIR

Saini KM
Gunung-gunung perkasa, lembah-lembah yang akan tinggal
menganga
dalam hatiku. Tanah airku, saya mengembara dalam bus
dalam kereta api yang bernyanyi. Tak habis-habisnya hasrat
menyanjung dan memuja engkau dalam laguku.

Bumi yang tahan dalam derita, sukmamu tinggal terpendam


bawah puing-puing, bawah darah kering di luka,
pada denyut daging muda
Damaikan kiranya anak-anakmu yang dendam dan sakit hati,
ya Ibu yang parah dalam duka-kasihku!

Kutatap setiap mata di stasiun, pada jendela-jendela terbuka


kucari fajar semangat yang pijar bernyala-nyala
surya esok hari, matahari sawah dan sungai kami
di langit yang bebas terbuka, langit burung-burung merpati
1963

Bendera Darah dan Air Mata Kami


Saini KM

Telah kami pertahankan bagimu suatu ruang di langit


Berkibarlah s'lalu! lambailah angkatan-angkatan yang akan datang
dari ufuk sejarah. Biarlah mereka tengadah padamu senantiasa
Bawah hujan darah, bawah taufan api!
Kami yang datang hari ini dan yang bernaung di kakimu
telah jauh berjalan, melangkahi mayat sanak sendiri
Kami yang kini tegak beradu bahu di sini, yakni akan kebesaran
semangat kami yang dilambangkan oleh kedua warnamu.

Bendera darah dan air mata kami, berkibarlah, berkibarlah!


Kami masing-masing tak mampu memberi lebih dari pada satu nyawa
dan tangan-tangan yang akan jadi kaku selagi memegang tiangmu
sepasang tangan di antara berjuta, yang datang dan yang pergi.

Sumber: Basis (Agustus, 1965)

DOA UNTUK NEGERIKU


Ahmadun Yosi Herfanda

Seperti harapan yang engkau tabur


Aku pun menebar rasa bersaudara
Jika hari kembali terjaga dalam gairah kerja
Aku selalu berdoa, untukmu, negeriku
Untuk keselamatanmu, untuk kejayaanmu
Walau corona masih menghantuimu
Dan wabah gelombang ketiga menakutimu
Aku ingin engkau tetap tegar dalam langkahmu

Kutebarkan kata-kata bijak


Mengusap wajah-wajah para pekerja
Menepis covid, berlindung selembar harapana
Mereka menumpang gerbong-gerbong kereta
Dan bus-bus antarkota. Mereka dari desa ke kota
Lalu lenyap di balik gedung-gedung berkaca
Di tanganmu yang perkasa, mereka
Menganyam cita-cita, sehasta demi sehasta
Juga untukmu, tanah airku

Kini doaku mengental, menjadi sajak


Yang dengan senyumnya mengucapkan
Selamat malam, selamat menuai mimpi
Lalu dengan sayap makna menari-nari di udara
Menciumi tiap pipi yang merona oleh sapaannya

Esok hari dengan seribu sayap bidadari


Sajak itu akan membawa sekuntum bunga
Bagi tiap warga negara. Berharap tiap kelopaknya
Mekar jadi tawa dalam rasa bersaudara.

Jakarta, 2021

Anda mungkin juga menyukai