Anda di halaman 1dari 9

Puisi Selamat Pagi Indonesia Karya:

Sapardi Djoko Damono


Selamat Pagi Indonesia
Karya: Sapardi Djoko Damono
selamat pagi, Indonesia!
seekor burung mungil mengangguk dan menyanyi kecil buatmu
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu

bibirku tak biasa mengucapkan kata kata sukar


dan tangan ku terlalu kurus untuk mengacu terkepal

selalu kujumpai kau di wajah anak - anak sekolah


di mata para perempuan yang sabar
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam diam mencintaimu

pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu


agar tak sia – sia kau melahirkan ku

seekor ayam jantan menegak dan menjeritkan salam padamu


kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya

aku pun pergi bekerja,menaklukkan kejemuan


merubuhkan kesangsian
dan menyusun batu demi batu ketabahan
benteng kemerdekaan itu pada setiap matahari terbit

o anak jaman yang megah


biarkan aku memandang ketimur untuk mengenangmu
wajah – wajah yang penuh anak anak sekolah berkilat
para perempuan menyalakan api
dan ditelapak tanagn para lelaki yang tabah
telah hancur kristal – kristal dusta, khianat dan pura – pura
Sajak Bagi Negaraku (karya Kriapur)

di tubuh semesta tercinta


buku-buku negeriku tersimpan
setiap gunung-gunung dan batunya
padang-padang dan hutan
semua punya suara
semua terhampar biru di bawah langitnya
tapi hujan selalu tertahan dalam topan
hingga binatang-binatang liar
mengembara dan terjaga di setiap tikungan
kota-kota
di antara gebalau dan keramaian tak bertuan
pada hari-hari sebelum catatan akhir
musim telah merontokkan daun-daun
semua akan menangis
semua akan menangis
laut akan berteriak dengan gemuruhnya
rumput akan mencambuk dengan desaunya
siang akan meledak dengan mataharinya
dan musim-musim dari kuburan
akan bangkit
semua akan bersujud
berhenti untuk keheningan
pada yang bernama keheningan
semua akan berlabuh
bangsaku, bangsa dari segala bangsa
rakyatku siap dengan tombaknya
siap dengan kapaknya
bayi-bayi memiliki pisau di mulut
tapi aku hanya siap dengan puisi
dengan puisi bulan terguncang
menetes darah hitam dari luka lama
Cipta Puisi
1. Peserta membuat 1 karya puisi
2. Karya belum pernah dipublikasikan dan diikutsertakan dalam lomba
cipta puisi
3. Asli karya sendiri
4. Puisi ditulis rapi, menggunakan kertas ukuran A4, pena/balpoint
tinta hitam
5. Topik: Kebudayaan Indonesia
6. Kriteria Penilaian : relevansi dengan tema, kemampuan memilih
diksi, harmonisasi ungkapan metaforis, spontanitas dan orisinalitas
karya

***

Baca Puisi
1. Peserta membacakan puisi wajib dan 1 puisi pilihan
2. Peserta menyerahkan judul puisi pada dewan juri/panitia pada hari
H sebelum pelaksanaan lomba
3. Peserta menyampaikan puisi dalam waktu maksimal 10 menit
4. Peserta tidak dibenarkan menyampaikan kata pengantar sebelum
maupun sesudah penampilan, kecuali ucapan salam (misalnya:
“assalamualaikum”, “selamat pagi”, selamat siang)
5. Dalam membaca puisi tidak menggunakan alat musik pengiring
6. Puisi wajib: Ibu karya Mustofa Bisri
7. Puisi pilihan:

 Puisi Monginsidi karya Subagio Sastrowardoyo


 Puisi Orang picak dan anaknya karya Adri Darmadji Woko
 Puisi Sersan Nurcholis karya Taufiq Ismail
 Puisi Nyanyian Kemerdekaan karya Ahmadun Yosi Herfanda
 Puisi Negeri Kabut karya Oei Sien Tjwan
 Puisi Selamat Pagi Indonesia karya Sapardi Djoko Damono
 Puisi 10 November karya Toto Sudarto Bachtiar
 Puisi Sajak bagi Negaraku karya Kriapur
 Puisi Sajak 17 Agustus karya Yudhistira Ardi Nugraha W Masardi
 Sajak karya pribadi yang ditulis sendiri oleh peserta
Berikut ini adalah puisi-puisi yang dibacakan di dalam lomba:

IBU
(Mustofa Bisri)

Kaulah gua teduh


tempatku bertapa bersamamu
Sekian lama
Kaulah kawah
dari mana aku meluncur dengan perkasa
Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku
telaga tempatku bermain
berenang dan menyelam

Kaulah, ibu, laut dan langit


yang menjaga lurus horisonku
Kaulah, ibu, mentari dan rembulan
yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga
di telapak kakimu

(Tuhan,
aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amanatMu
menyampaikan kasihsayangMu
maka kasihilah ibuku

seperti Kau mengasihi


kekasih-kekasihMu
Amin).

1414 H
***

Monginsidi
Oleh : Subagio Sastrowardoyo

Aku adalah dia yang dibesarkan dengan dongeng di dada bunda


Aku adalah dia yang takut gerak bayang di malam gelam
Aku adalah dia yang meniru bapak mengisap pipa dekat meja
Aku adalah dia yang mengangankan jadi seniman melukis keindahan
AKu adalah dia yang menangis terharu mendengar lagu merdeka
Aku adalah dia yang turut dengan barisan pemberontak ke garis
pertempuran
Aku adalah dia yang memimpin pasukan gerilya membebaskan kota
AKu adalah dia yang disanjung kawan sebagai pahlawan bangsa
Aku adalah dia yang terperangkap siasat musuh karena pengkianatan
Aku adalah dia yang digiring sebagai hewan di muka regu eksekusi
Aku adalah dia yang berteriak 'merdeka' sbelum ditembak mati
AKu adalah dia, ingat, aku adalah dia

Budaja Djaja
No. 23, April 1970

Sersan Nurcholis
karya Taufiq Ismail

Seorang Sersan
Kakinya hilang
Sepuluh tahun yang lalu

Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji

Sekali datang
Teman-temannya
Sudah orang resmi

Dengan senyum ditolaknya


Kartu anggota
Bekas pejuang

Sersan Nurcholis
Kakinya hilang
Di jaman Revolusi

Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji

(1958)

NYANYIAN KEMERDEKAAN
Ahmadun Yosi Herfanda

hanya kau yang kupilih, kemerdekaan


di antara pahit-manisnya isi dunia
akankah kaubiarkan aku duduk berduka
memandang saudaraku, bunda tercintaku
dipasung orang asing itu?
mulutnya yang kelu
tak mampu lagi menyebut namamu

Berabad-abad kau terlelap


Bagai laut kau kehilangan ombak
Burung-burung yang semula
Bebas dihutannya
Digiring ke sangkar-sangkar
Tak bebas mengucapkan kicaunya

Hanya kau yang ku pilih


Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang ku pilih
Diantara pahit-manisnya isi dunia

Orang asing itu berabad-abad


Memujamu dingerinya
Namun di negriku
Mereka berikan belengu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantara
Bangkitlah semua dada yang terluka

-Bergenggam tanganlah dengan saudaramu


Eratkan genggaman tangan itu atas namaku
Kekuatan yang memancar dari genggaman itu –
Suaramu sayup diudara
Membangunkanku dari mimpi siang yang celaka
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu
Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kurterjang pintu-pintu terkunci itu
Dan mendobraknya atas namamu

Terlalu pengap
Udara yang tak tertiup
Dari rahimmu
Jantungku hamper tumpas
Karena racunnya
( matahari yang kita tunggu
Akhirnya bersinar juga
Di langit kita )

Mei 1985

Selamat Pagi Indonesia:


Sapardi Djoko Damono

selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk


dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil


memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu

***
"Pahlawan Tak Dikenal"
karya Toto Sudarto Bachtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang


Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

wajah sunyi setengah tengadah


Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun


Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda.

1953

***
Sajak Bagi Negaraku
karya Kriapur

di tubuh semesta tercinta


buku-buku negeriku tersimpan
setiap gunung-gunung dan batunya
padang-padang dan hutan
semua punya suara
semua terhampar biru di bawah langitnya
tapi hujan selalu tertahan dalam topan
hingga binatang-binatang liar
mengembara dan terjaga di setiap tikungan
kota-kota
di antara gebalau dan keramaian tak bertuan
pada hari-hari sebelum catatan akhir
musim telah merontokkan daun-daun
semua akan menangis
semua akan menangis
laut akan berteriak dengan gemuruhnya
rumput akan mencambuk dengan desaunya
siang akan meledak dengan mataharinya
dan musim-musim dari kuburan
akan bangkit
semua akan bersujud
berhenti untuk keheningan
pada yang bernama keheningan
semua akan berlabuh
bangsaku, bangsa dari segala bangsa
rakyatku siap dengan tombaknya
siap dengan kapaknya
bayi-bayi memiliki pisau di mulut
tapi aku hanya siap dengan puisi
dengan puisi bulan terguncang
menetes darah hitam dari luka lama

Solo, 1983

Anda mungkin juga menyukai