Anda di halaman 1dari 6

Pilihan Puisi untuk Lomba Baca Puisi

1. DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG


KARYA WS.Rendra

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara

Waktu itu, Tuhanku,


perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.

Tak ada lagi pilihan


kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu

Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku.

18 Juni 1960
Mimbar Indonesia, Th. XIV, No. 25
2. PERNYATAAN CINTA
Karya Acep Zamzam Noor

Kau yang diselubungi asap


Kau yang mengendap seperti candu
Kau yang bersenandung dari balik penjara
Tanganmu buntung karena menyentuh matahari
Sedang kakimu lumpuh
Aku mencintaimu
Dengan lambung yang perih
Pikiran yang dikacaukan harga susu
Pemogokan serta kerusuhan yang meletus
Di mana-mana. Darah dan air mataku tumpah
Seperti timah panas yang dikucurkan ke telingan
Kubayangkan tanganmu yang buntung serta kakimu
Yang lumpuh. Tanpa menunggu seorang pemimpin
Aku mereguk bensin dan menyemburkannya ke udara
Lalu bersama mereka aku melempari toko
Membakar pasar, gudang dan pabrik
Sebagai pernyataan cinta

Betapa menyedihkan mencintaimu tanpa kartu kredit


Tanpa kamar hotel atau jadwal penerbangan
Para serdadu berebut ingin menyelamatkan bumi
Dari gempa dahsyat. Kuda-kuda menerobos pagar besi
Anjing-anjing memercikkan api dari sorot matanya
Sementara aku melepaskan pakaian dan sepatu
Ternyata mencintaimu tak semudah turun ke jalan raya
Menentang penguasa atau memindahkan gunung berapi
ke tengah-tengah kota

Aku berjalan dengan membawa kayu di punggungku


Seperti kereta yang menyeret gerbong-gerbong kesedihan
Melintasi stasiun-stasiun yang sudah berganti nama
Kudengar bunyi rel yang pedih tengah menciptakan lagu
Gumpalan mendung meloloskan diri dari mataku
Menjadi halilintar yang meledakkan kemarahan
Pada tembok dan spanduk. Aku mencintaimu
Dengan mengerat lengan dan melubangi paru-paruAku mencintaimu dengan
menghisap knalpot
Dan menelan butiran peluru

Wahai kau yang diselubungi asap


Wahai kau yang mengendap seperti candu
Wahai kau yang terus bersenandung meskipun sakit dan miskin
Wahai kau yang merindukan datangnya seorang pemimpin
Tunggulah aku yang akan segra menjemputmu
Dengan sebotol minuman keras
3. Pahlawan Tak Dikenal

Karya Toto Sudarto Bachtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring..


Tetapi bukan tidur, sayang…
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya..
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang…
Dia tidak ingat bilamana dia datang..
Kedua lengannya memeluk senapan..
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang..
Kemudian dia terbaring, tapi bukan untuk tidur sayang…
Wajah sunyi setengah tergundah..
Menangkap sepi pedang senja..
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu..
Dia masih sangat muda…
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun..
Orang-orang ingin kembali memandangnya.
Sambil merangkai karangan bunga..
Tapi yang nampak, wajah-wajah sendiri yang tak dikenalnya…
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring..
Tetapi bukan tidur, sayang..
Sebuah peluru bundar di dadanya…
Senyum bekunya mau berkata: “aku sangat muda”
4. Selamat Pagi Indonesia: Sapardi Djoko Damono

selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk


dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil


memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu
5. Cocktail Party
Karya Toeti Heraty

meluruskan kain-baju dahulu


meletakkan lekat sanggul rapi
lembut ikal rambut di dahi
pertarungan dapat dimulai
berlomba dengan waktu
dengan kebosanan, apa lagi
pertaruhan ilusi
seutas benang dalam taufan
amuk badai antara insan

taufan? ah, siapa


yang masih peduli
tertawa kecil, menggigit jari adalah
perasaan yang dikebiri
kedahsyatan hanya untuk dewa-dewa
tapi deru api unggun atas
tanah tandus kering
angin liar, cambukan halilintar
mengiringi

perempuan seram yang kuhadapi, dengan


garis alis dan cemooh tajam
tertawa lantang –
aku terjebak, gelas anggur di tangan
tersenyum sabar pengecut menyamar –
ruang menggema
dengan gumam hormat, sapa-menyapa
dengan mengibas pelangi perempuan
itu pergi, hadirin mengagumi

mengapa tergoncang oleh cemas


dalam-dalam menghela napas, lemas
hadapi saingan dalam arena?
kata orang hanya maut pisahkan cinta
tapi hidup merenggut, malahan maut
harapan semu tempat bertemu

itu pun hanya kalau kau setuju


keasingan yang mempesona, segala
tersayang yang telah hilang –
penenggelaman
dalam akrab dan lelap
kepanjangan mimpi tanpa derita
dan amuk badai antara insan?
gumam, senyum dan berjabatan tangan

Anda mungkin juga menyukai