dan kemerdekaan pun jadilah bagai laut di atasnya : langit dan badai tak henti-henti di tepinya cakrawala
terjerat juga akhirnya
kita, kemudian adalah sibuk mengusut rahasia angka-angka sebelum Hari yang ketujuh tiba
sebelum kita ciptakan pula Firdaus
dari segenap mimpi kita sementara seekor ular melilit pohon itu : inilah kemerdekaan itu, nikmatilah Madura, Akulah Darahmu Karya: D. Zawawi Imron
di atasmu, bongkahan batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa biar berguling di atas duri hati tak kan luka meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu dan aku anak sulung yang sekaligus anak bungsumu kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah bahwa aku sapi karapan yang lahir dari senyum dan air matamu
seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah menanggung biru langit moyangku, menanggung karat emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
di sini perkenankan aku berseru: -madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku bila dadamu kerontang kubajak kau dengan tanduk logamku di atas bukit garam kunyalakan otakku lantaran aku adalah sapi karapan yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku di ubun langit kuucapkan sumpah -madura, akulah darahmu. Rumahku yang Biru (Rumahku yang biru Adakah ibu di situ?) Karya: Arifin. C. Noer Di pekarangan. Di serambi. Di kamar tengah Di kamar makan. Di kamar-kamar. Sepi bergantungan pada lampu-lampu yang keruh, pigura-pigura yang lusuh Sepi duduk di kursi. Di meja makan duka tersuguh
Adik-adikku. Saudara-saudaraku. Para kerabatku
Semua menutup wajahnya sedang airmata meleleh di sela-sela jemarinya
Di mana ia? Di mana
Pohon jambu diam saja. Kembang-kembang pun berahasia Batang Kelapa kaku saja! Wahai, di mana ia? Sebagai protes Bersujudlah aku sejuta malam berputar sekilat seketika…..
Ya Tuhan, ibu kini tengah menciumi rambutku
secara diam-diam Betapa harum nafasnya bunga-bunga mawar bertumbuhan di sajadah betapa banyaknya Ya Tuhan, terimalah abadi sujudku agar tak lepas-lepas ciuman ibu. Sajak Garuda Karya: Emha Ainun Nadjib
Selalu terdengar olehku suara
Dari paruh Garuda itu “Kalau kau hisap darah rakyatku akan kutagih darah itu Kalau kau ambil tanah mereka akan kusengsarakan hari tuamu Kalau kau rebut hak mereka akan kubatalkan kebahagiaanmu Kalau kau rampok kenyang mereka akan kulaparkan anak cucumu Dan kalau kasih Tuhan kepada mereka kau halangi Mayatmu takkan kuhormati Kucabik-cabik dan kubelatungi…” Tiba-tiba wajah Garuda itu tertawa: “Yang dungu aku atau kamu?” Sebuah Jaket Berlumur Darah Karya: Taufik Ismail Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah berbagi duka yang agung Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita Di
bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’ Berikrar setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai- pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata LANJUTKAN PERJUANGAN! Lagu Seorang Gerilya (Untuk puteraku Isaias Sadewa) Karya: W.S Rendra
Engkau melayang jauh, kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari. Aku di sini memandangmu, menyandang senapan, berbendera pusaka. Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu, engkau berkudung selendang katun di kepalamu. Engkau menjadi suatu keindahan, sementara dari jauh resimen tank penindas terdengar menderu. Malam bermandi cahaya matahari, kehijauan menyelimuti medan perang yang membara. Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku, engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu Peluruku habis dan darah muncrat dari dadaku. Maka di saat seperti itu kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan bersama kakek-kakekku yang telah gugur di dalam berjuang membela rakyat jelata Resonansi Indonesia Karya: Ahmadun Yosi Herfanda
bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu jarak yang memisahkan kita laut yang mengasuh hidup nakhoda pulau-pulau yang menumbuhkan kita permata zamrud di katulistiwa : kau dan aku berjuta tubuh satu jiwa
kau semaikan benih-benih kasih
tertanam dari manis cintamu tumbuh subur di ladang tropika pohon pun berbuah apel dan semangka kita petik bersama bagi rasa bersaudara : kau dan aku berjuta kata satu jiwa
kau dan aku
siapakah kau dan aku? jawa, tionghoa, batak, arab, dayak melayu, sunda, madura, ambon, atau papua? ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita : kau dan aku berjuta wajah satu jiwa
ya, apalah artinya jarak pemisah kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda? jiwaku dan jiwamu, jiwa kita tulus menyatu dalam genggaman sumpah pemuda! Jari-Jari Bumi Karya: Mario F. Lawi
Belajar menggelinding ke pangkuan malam
Sambil menyeduh airmata hari yang sakral, Tubuh tua kami tak akan lagi mampu bertahan.
Tangan matahari senantiasa lembut ketika
Menyentuh permukaan kulit kami yang retak Jauh sebelum kami belajar mencintai gravitasi.
Partikel-partikel angkasa belajar mengendap
Atau melekat sedangkan bagi kami semata Wangi bulan yang menggerakkan tubuh kami.
Revolusi adalah cinta yang mengucapkan diri
Dan membuat perhitungan bagi wajah semesta Yang tak pernah lembut menyentuh hati kami.
Tarian kami yang kelam memang tak mungkin
Dipahami para bintang yang selalu mencari Cara menaklukkan gelisah dari luar diri kami.