Anda di halaman 1dari 8

DUNIA KITA DUNIA YANG TERBAKAR MATAHARI

ASPAR PATURUSY

Jadilah pantai yang teduh


Menunggu nasib berlabuh
Tabah menjelma
Dari angin pasrah
Sabar terukir di awan limau

Seruling meniupkan lagu ini


Ketika kita berjalan
Di subuh hari
Tapi kita sudah lama bertolak
Dari dunia kecil

Semasa bermain gundukan pasir putih


Tertawa riang menyaksikan pasir luluh
Di kaki ombak

Kita duduk dengan cermat lagi


Lalu membiarkannya pecah-pecah
Bocah-bocah ternyata
Impian-impian bersahaja

Kini kita melangkah lewat tebing-tebing


Dengan deru ombak yang tak labuh lagi
Dunia kita dunia yang terbakar matahari

DIPONEGORO
Charil Anwar

Di masa pembangunan ini


Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
MAJU
Ini barisan genderang tak berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas di tinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
KRAWANG-BEKASI
Charil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi


Tidak bisa teriak “merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal diliputi debu
Kenang kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai,belim bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa
Kami Cuma tulang-tulang berserkan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicaramu padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang dliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
`1948
PAHLAWAN TAK DIKENAL
Karya: Toto Sudarto Bachtiar
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur sayang

Sebuah lubang peluru bundar di dadannya


Senyum bekunya mau berkata kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang


Kedua tangannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring tapi bukan tidur sayang

Wajah sunyi setengah tengadah


Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu
Dia masih sangat muda

Hari itu, 10 november hujan pun mulai turun


Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda

Isbedi Stiawan ZS
PANORAMA DARI PANTAI PANJANG

matahari panjang di atas gelombang


menerbangkan pasir hitam
ke wajahku yang gagu memandang ketinggian-MU
ini pantai amat panjang
membuatku lelah menyisir perjalanan
aku telah jadi kanak-kanak kembali
bermimpi tentang nelayan
atau bercanda dengan ketajaman ombak
yang menikam tangga usiaku
dari pohon-pohon cemara itu
kusaksikan wajahku sendiri yang menarik
bagi bunga karang di laut-Mu
di pantai panjang ini
betapa sulit kueja langkahku
bahkan pada surya yang mulai ke peraduan
kualiri saja mimpiku
dan berlayar
Bengkulu, 1995
AKU MUTIARA BANGSA INDONESIA
Karya Eka Budianta
Aku anak Indonesia sejati
Berdarah laut berjiwa matahari
Aku pemilik garis khatulistiwa
Dilahirkan pertiwi
Untuk hidup merdeka
Angin gunung adalah nafas perdamaianku
Bersama para petani di desa
Aku mengolah bumi kalahiranku
Bersama nelayan-nelayan perkasa
Aku menggarap gelombang hidupku
Pembela hutan dan samudera, adalah aku
Pelindung tumbuhan dan aneka satwa
Adalah aku
Adalah aku mutiara bangsaku
Sejarah akan mencatat cintaku padamu
Ibu
Ketika hujan menyuburkan daerah perkebunan
Ketika rembulan berlinang menyiram kota-kota
Aku bersemadi bersama segenap bangsaku
“Tuhan, beri kami otot dan semangat menyala
Untuk membangun negeri kurniaMu tercinta”
Bersama segenap saudara aku berkembang
Yang lahir di tepi Danau Toba yang besar di Tondano
Yang mekar di Padang-Padang Nusa Tenggara
Yang menyusu di rimba Irian dan Kalimatan
Saudaraku semua saudaraku semua
Aku adalah anak Indonesia sejati
Berdarah laut berjiwa matahari
Menyinarkan kemanusiaan dan cahaya Ilahi
Memancarkan persatuan dan demokrasi
Bekerja tanpa pamrih untuk pertiwi
Adalah aku, adalah aku mutiara bangsa ini
Kekayaan alam yang dilimpahkan Tuhan
Bakat-bakat yang dianugrahkan padaku
Keberanian dan cita-cita warisan nenek moyang
Adalah pusaka hidupku, adalah pendorongku
Dunia akan paham mengapa aku bangga
Menjadi anak sejati Indonesia
Jutaan saudaraku akan bangkit membuktikan
Kelahiran kami disini tidak sia-sia
Bersama anggrek Vanda Sumatrana
Bersama ikan-ikan arwana dan burung-burung langka
Kami memperindah kehidupan umat manusia
Mensyukuri berkah Tuhan dengan bekerja
Mewujudkan kebanggaan Indonesia dengan segala daya
Aku adalah mutiara bangsa Indonesia
Sinarku lembut tapi kuat dan pasti
Aku akan mati tersenyum sebagai anak Indonesia
Mutiara bangsa Indonesia, anak Indonesia sejati!
TERATAI
Sanusi Pane
Kepada Ki Hajar Dewantara
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai;
Tersembunyi kembang indah permai,
Tidak terlihat orang yang lalu.
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun berseri Laksmi mengarang
Biarpun ia diabaikan orang.
Seroja kembang gemilang mulia.
Teruslah, o teratai bahagia
Berseri di kebun Indonesia
Biar sedikit penjaga taman.
Biarpun engkau tidak dilihat,
Biarpun angkat tidak diminat,
Engkau pun turut menjaga zaman.

Derai-Derai Cemara
Chairil Anwar
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu ada yang tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Jalan Menuju Rumahmu
Karya Acep Zam Zam Noor

Jalan menuju rumahmu kian memanjang


Udara berkabut dan dingin subuh
Membungkus perbukitan. Aku menggelepar
Di tengah salak anjing dan ringkik kuda:
Engkau dimana? Angin mengupas lembar-lembar
Kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang
Rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar.
Aku menyusuri pantai, menghitung lokan dan berbicara pada batu karang.
Jalan menuju rumahmu kian lengang.
Udara semakin tiris dan langit menaburkan serbuk serbuk
Gerimis. Aku mengalun bersama gelombang
Meliuk mengikuti topan dan jumpalitan
Bagai ikan. Tapi matamu kian tak tergambarkan
Kulit-kulit kayu, daun-daun lontar, kertas-kertas tak lagi
Menuliskan igauanku. Semuanya berterbangan dan
Hangus.
Seperti putaran waktu. Kini tak ada lagi sisa
Tak ada lagi yang tinggal pada pasir dan kelopakku
Kian runcing dan pucat. Kembali aku bergulingan
Bagai cacing. Bersujud lama sekali
Engkau siapa? Sebab telah kutatah nisan yang indah
Telah kutulis sajak-sajak paling sunyi
1986 (dalam antologi puisi Jalan Menuju Rumahmu)

Sembahyang Rerumputan
Ahmadun Yosi Herfanda

Walau kabungbkan suara adan


Walau kaugusur rumah rumah tuhan
Aku rumputan takkan berhenti sembahyang
: inna shalaati wa nusuki wa mahyaya wa mamati illahi rabbil alamin

Topan menyapu luas padang


Tubuhku bergoyang-goyang
Tapi tetap teguh dalam sembahyang
Akarku yang mengurat di bumi tak berhenti mengucap salawat nabi
Sembahyangku sembahyang rerumputan
Sembahyang penyerahan jiwa dan badan yang rindu terbaring di pangkan tuhan
Sembahyangku sembahyang rerumputan
Sembahyang penyerahan habis-habisan
Walau kautebang aku
Aku tumbuh sebagai rumput baru
Walau kau bakar daun-daunku
Akan bersemi melebihi dulu
Aku rumputan keksih tuhan
Di kota-kota disingkirkan
Alam memeliharaku di hutan
Aku rumputan
Tak pernah lupa sembahyang
:sesungguhnya salatku dan ibadahku
Hidupku dan matiku hanyalah bagi Allah tuhan sekalian alam
Pada kambing dan kerbau
Daun-daun hijau kupersembahkan
Pada akar tanah kepertahankan
Agar tak kehilangan asal keberadaan
Di bmi terendah aku berada
Tapi zizkirku menggema menggetarkan jagat raya
: la illaha illalah muhammadar rasululah
Aku rumputan kekasih tuhan
Seluruh gerakku adalah sembahyang

Padamu Jua
Karya Amir Hamzah

Habis kikis segala cintaku hilang terbang


Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap


Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Dimana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku gila sasar


Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu bukan giliranku
Matahari bukan kawanku
Ketika Engkau Bersembahyang
Karya Emha Ainun Najib

Kerika engkau bersembanhyang


Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Pertikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan Allahu Akbar

Bacaan al fatehah dan surah


Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya

Tegak tubuh alifmu mengakar ke psat bumi


Ruku lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis

Sujud adalah satu hakekat hidup


Kerena perjalanan hanya tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
kepada asal mula jiwa kembali

maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri


pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
badan diperas jiwa dipompa tak terkira-kira
kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

Sembahyang di atas sajadah cahaya


Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang dan tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan pada siapapun

Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah


Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatim sabar mulia, kaki seteguh bat karang
Dadamu mencakrawala, seluas arasy sembilan puluh sembilan

Sajadah Panjang
Karya Taufik Ismail

Ada sajadah panjang terbantang


Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati

Ada sajadah panjang terbentang


Hamba tund

Anda mungkin juga menyukai