Anda di halaman 1dari 5

Jembatan

Sutardji Calzoum Bachri

Sedalam-dalam sajak takkan mampu


menampung airmata bangsa.
Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna
maka aku pun pergi menatap pada wajah orang berjuta.
Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase indah di
berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu !
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan-jalan
mekar dimana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada,
tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita ?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tulang kersang dan otot linu
mengerang mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara.
Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarannya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi
padamu negeri airmata kami.

PRAJURIT JAGA MALAM


Chairil Anwar

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?


Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam,
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu...
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

1948

Hatta, Lagu Sederhana Tanah Air Kita


Sondri BS
Indonesia: nenek moyang siapa yang menerukannya
dalam sebuah nama
Indonesia: merdeka jiwanya, merdeka badannya,
tanah air yang rindu membiru
dalam jiwamu, bersama gelombang jiwanya,
tertatih letih, terkapar cemas menjaga ruh raganya
di antara perjalanan dengan simpang-simpang
yang gaduh perkabaran sejarah
aku dengar nyanyianmu: lagu sederhana
pada tanah air yang bebas jiwa rakyatnya,
lelaki yang memikul sejarah bangsanya
dengan mata jernih cinta
di tengah keringnya telaga dan samudera jiwa
yang mencari muara
dalam hiruk sejarah bangsamu, kau telah mencoba
menjadi satu bintang
ditengah kerinduan orang-orang pada cahaya,
negeri di Timur ini
yang berulangkali dihempaskan gelombang,
diamuk badai
bahkan mengupak diri mereka
yang telah menjadi penyangga sejarah negerinya
sendiri
Tetapi cinta yang murni akan menjadi bunga
sejarah bangsanya
cinta yang gombal akan dihembus angin bagai debu
Hatta, orang-orang kecil dari bangsa kita
yang masih terpencil
di pojok dunia, selalu merindukan
para penanam bunga sepertimu
demi menumbuhkan jiwa, menemukan sebuah arti
beribu pulau dan wajah yang memenuhi negeri ini
hiduplah abadi dalam jiwamu, dengan ratusan
juta mimpi rakyat
yang timbul tenggelam dalam gelombang waktu
di antara tangan tirani yang senantiasa melukai

Harum Bunga Layu


A. Rapanie Igama
Begitu santunnya
embun menyapa hari
yang tertidur pulas
samar-samar selimut malam
perlahan-laha ditarik
ketika saat gamang
meraba bayangan langkah
dalam onakmu masa lalu
lalu kamu pukul mendung berantung
seketika kami mencium
menusuk
semerbak harum bunga layu
pada bumi sayu yang juga layu

Menagih Senyum
Amin Mulyanto

Tegak menjulang
tanpa kata hanya lalu lalang
mendiamkan sulang di atas rintih memerah dulu
ketika bentangan menyatukan ilir dan ulu
antara dua tepian
legenda terapung meniadakan tegur
kaki kaki berlumut tak sekuat riak
ketika penyangga memaki ulah
ada sepasang
melebur malam di tepian kenangan
menidurkan katup katup elegi
esok tak menjumpa
wajah-wajah kian cemberut

Anda mungkin juga menyukai