Anda di halaman 1dari 7

Chairil Anwar

LAGU DARI PADA PASUKAN TERAKHIR

Pada tapal terakhir sampai ke Jogja


bimbang telah datang pada nyala
langit tergantung suram
kata-kata berantakan pada arti sendiri
Bimbang telah datang pada nyala
dan cinta tanah air akan berupa
peluru dalam darah
serta nilai yang bertebaran sepanjang masa
bertanya akan kesudahan ujian
mati – atau tiada mati-matinya

O, Jendral, Bapa, Bapa


tiadakah engkau hendak berkata untuk kesekian kali
ataukah suatu kehilangan keyakinan
hanya akan tetap tinggal pada tidak sempurna
dan nanti tulisan yang telah dibuat sementara
akan hilang ditiup angin, karena
ia berdiam di pasir kering
O, Jendral, kami yang kini akan mati
tiada lagi dapat melihat kelabu
laut renangan Indonesia
O, Jendral, kami yang kini akan jadi
tanah, pasir, batu dan air
kami cinta pada bumi ini

Ah mengapa pada hari sekarang, matahari


sangsi akan rupanya, dan tiada pasti pada cahaya
yang akan dikirim ke bumi

Jendral, mari Jendral


mari jalan di muka
mari kita hilangkan sengketa ucapan
dan dendam kehendak pada cacat keyakinan
engkau bersama kami engkau bersama kami
Mari
kita tinggalkan ibu kita
mari kita biarkan isteri dan kekasih mendoa
mari Jendral, mari
sekali ini derajat orang pencari bahaya
mari, jendral—mari jendral mari, mari … .
Kelompok 2
W.S. Rendra
Sapardi Djoko Damono

DOA SEORANG SERDADU SEBELUM PERANG

Tuhanku
Wajahmu membayang di kota terbakarKATA KONOTATIF
Dan firman-Mu terguris di atas ribuan
Kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
Tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti


Serpurnalah sudah warna dosa
Dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku


Adalah satu warnaSIMBOL KEGELAPAN
Dosa dan nafasku
Adalah satu udaraSIMBOL PILIHAN YANG BURUK/SULIT

Tak ada lagi pilihan


Kecuali menyadari
Biarpun bersama penyesalan

Apa yang bisa diucapkan


Oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua tangan-Mu yang capai
Mendekap bumi yang mengkhianati-Mu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
pok 3

W.S. Rendra

W.S. Rendra
GUGUR
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya

Bagai harimau tua


susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu


lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belum lagi selusin tindak
mautpun menghadangnya
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata:
“Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah”

Tanah Ambarawa yang kucinta


Kita bukanlah anak jadah
kerna kita punya bumi kecintaan

Bumi yang menyusui kita


dengan mata airnya
Bumi kita adalah tempat pautan yang syah
Bumi kita adalah kehormatan
Bumi kita adalah jiwa dari jiwa

ia adalah bumi nenek moyang


ia adalah bumi waris yang sekarang
ia adalah bumi waris yang akan datang

Hari pun berangkat malam


Bumi berpeluh dan terbakar
Karena api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata
“Lihatlah hari telah fajar!”
Wahai bumi yang indah
Kita akan berpelukan buat selamanya

Nanti sekali waktu


seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun akan berkata
--Alangkah gemburnya tanah di sini
Haripun lengkap malam
Ketika ia menutup matanya
Kelompok 4
Puisi Karya Taufiq Ismail
Taufiq Ismail
BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN

Pada tahun keenam


Setelah di kota kami dirikan
Sebuah musium perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota

Bertahun-tahun aku rindu


Untuk berkunjung kemari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak menembak dan malam penyergapan
Di daerah ini
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
Dan potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menghitung-hitung satyalencana
Dan selalu mempercakapkannya

Alangkah sukarnya bagiku


Dari tempatku kini, yang begitu jauh
Untuk datang seperti saat ini
Dengan jasad berbasah-basah
Dalam gerimis bulan November
Datang sore ini, menghayati musium yang lengang
Sendiri
Menghidupkan diriku kembali
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
Di waktu kebebasan adalah impian keabadian
Dan belum terpikir oleh kita masalah kebendaan
Penggelapan dan salahguna pengatasnamaan

Begitulah aku berjalan pelan-pelan


Dalam musium yang lengang
Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
Ke sangkutan ikat kepala, sangkur-sangkur berbendera
Maket pertempuran dan penyergapan di jalan
Kuraba mitraliur Jepang dari baja hitam
Jajaran bisu pistol Bulldog, pestol Colt
PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu
Gambar laskah yang kurus-kurus
Dan kuberi tabik khidmad dan diam
Pada gambar Pak Dirman

Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali


Ke ruangan yang sepi dan dalam
Jendela musium dipukul angin dan hujan
Kain pintu dan tingkap bergetaran
Di pucuk-pucuk cemara halaman
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
Deru konvoi menjalari lembah
Regu di bukit atas menahan nafas
Di depan tugu dalam musium ini
Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping aluminium
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku di sana …

GUGUR DALAM PENCEGATAN


TAHUN EMPAT PULUH DELAPAN

Demikian cerita kakek penjaga


Tentang pengunjung lelaki setengah baya

Berkemeja drill lusuh, dari luar kota


Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya
Datang ke musium perjuangan
Pada suatu sore yang sepi
Ketika hujan rinai, tetes-tetes di jendela
Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
Lelaki itu menulis kesannya di buku
Buku tahun keenam, halaman seratus delapan

Dan sebelum dia pergi


Menyalami dulu kakek Aki
Dengan tangannya yang dingin aneh
Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh
Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
Ke tengah gerimis di pekarangan
Tetapi sebelum pagar halaman
Lelaki itu-tiba-tiba menghilang
Sapardi Djoko Damono5

SELAMAT PAGI INDONESIA

Selamat pagi Indonesia, seekor burung mungil mengangguk


dan menyanyi kecil buatmu
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku kepadamu
dalam kerja yang sederhana
bibirku tak bisa mengucapkan kata-kata yang sukar
dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membantu para pekerja jalanan,
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam padamu,
kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya
aku pun pergi bekerja, menaklukkan kejemuan,
merobohkankan kesangsian,
dan menyusun batu demi batu ketabahan, benteng kemerdekaanmu
pada setiap matahari terbit, o anak jaman yang megah,
biarkan aku memandang ke timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura
selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil
terasa benar: aku tak lain milikmu

Anda mungkin juga menyukai